Manaqib Syeikh Abu Bakar bin Salim

Kamilah raja sejati, bukan yang lain. Demi Allah, selain kami, tak diketemukan raja lain. Kekuasaan pada raja hanyalah istilah belaka. Namun mereka bangga dan membuat kerusakan di dunia. Kemuliaan tanpa Allah adalah kehinaan sejati. Dan merasa mulia dengan Allah adalah kemuliaan yang hakiki.”
(Syeikh Abu Bakar bin Salim – Aurad al-Awliya’)
 
Syeikh Abu Bakar bin Salim adalah syeikh Islam dan teladan manusia. Pemimpin alim ulama. Hiasan para wali. Seorang yang amat jarang ditemukan di zamannya. Da’i yang menunjukkan jalan Illahi dengan wataknya.
Pembimbing kepada kebenaran dengan perkataannya. Para ulama di zamannya mengakui keunggulannya. Beliau telah menyegarkan berbagai warisan pendahulu-pendahulunya yang sholeh. Titisan dari Hadrat Nabawi. Cabang dari pohon besar Alawi. Alim Rabbani. Imam kebanggaan Agama, Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi, semoga Allah meredhainya.

Beliau lahir di Kota Tarim yang makmur, salah satu kota di Hadramaut, pada tanggal 13 Jumadi Ats-Tsani, tahun 919 H. Di kota itu, beliau tumbuh dengan pertumbuhan yang sholeh, di bawah tradisi nenek moyangnya yang suci dalam menghafal Al-Quran.

Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi meriwayatkan bahwa wali lainnya yang telah meramalkan keberadaan Syeikh Abubakar adalah Habib Muhammad bin Ahmad Jamalullail, ia berkata, “Akan ada disini (Inat) salah seorang dari anak-anak kami yang akan termasyhur dengan keagungan dan kewalian, dan Qubahnya akan berada dan didirikan di kota ini”.

Orang-orang terpercaya telah mengisahkan; manakala beliau mendapat kesulitan menghafal Al-Quran pada awalnya. Ayahnya mengadukan halnya kepada Syeikh Al-Imam Syihabuddin bin Abdurrahman bin Syeikh Ali. Maka Syeikh itu bertutur: “Biarkanlah dia! Dia akan mampu menghafal dengan sendirinya dan kelak dia akan menjadi orang besar. Maka menjadilah dia seperti yang telah diucapkan Syeikh itu. Serta-merta, dalam waktu singkat, dia telah mengkhatamkan Al-Quran.
 
Kemudian beliau disibukkan dengan menuntut ilmu-ilmu bahasa Arab dan agama dari para pembesar ulama dengan semangat yang kuat, kejernihan batin dan ketulusan niat. Bersamaan dengan itu, beliau memiliki semangat yang menyala dan ruh yang bergelora. Maka tampaklah tanda-tanda keluhurannya, bukti-bukti kecerdasannya dan ciri-ciri kepimpinannya. Sejak itu, sebagaimana diberitakan Asy-Syilly dalam kitab Al-Masyra’ Ar-Rawy, beliau membolak-balik kitab-kitab tentang bahasa Arab dan agama dan bersungguh-sungguh dalam mengkajinya serta menghafal pokok-pokok dan cabang-cabang kedua disiplin tersebut. Sampai akhirnya, beliau mendapat langkah yang luas dalam segala ilmu pengetahuan.

Beliau telah menggabungkan pemahaman, peneguhan, penghafalan dan pendalaman. Beliau alim handal dalam ilmu-ilmu Syariat, mahir dalam sastra Arab dan pandai serta kokoh dalam segenap bidang pengetahuan. Dalam semua bidang tersebut, beliau telah menampakkan kecerdasannya yang nyata. Maka, menonjollah karya-karyanya dalam mengajak dan membimbing hamba-hamba Allah menuju jalan-Nya yang lurus.

Guru-guru Beliau
Para guru beliau antara lain; Umar Basyeban Ba’alawi, ahli fiqih yang sholeh, Abdullah bin Muhammad Basahal Bagusyair dan Faqih Umar bin Abdullah Bamakhramah. Pada merekalah dia mengkaji kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Syeikh Ma’ruf bin Abdullah Bajamal Asy-Syibamy dan Ad-Dau’any juga termasuk guru-guru beliau.

Hijrahnya dari Tarim
Beliau beranjak dari Kota Tarim ke kota lain bertujuan untuk menghidupkan pengajian. memperbarui corak dan menggalakkan dakwah Islamiyah di jantung kota tersebut. Maka berangkatlah beliau ke kota ‘Inat, salah satu negeri Hadramaut. Beliau menjadikan kota itu sebagai kota hijrahnya. Kota itu beliau hidupkan dengan ilmu dan dipilihnya sebagai tempat pendidikan, pengajaran dan pembimbingan. Tinggallah di sana hingga kini, masjid yang beliau dirikan dan pemakaman beliau yang luas. Syahdan, berbondong-bondonglah manusia berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk menimba ilmunya. Murid-murid beliau mengunjunginya dari beragam tempat: Hadramaut, Yaman, Syam, India, Indus, Mesir, Afrika, Aden, Syihr dan Misyqash.

Para murid selalu mendekati beliau untuk mengambil kesempatan merasai gambaran kemuliaan dan menyerap limpahan ilmunya. Dengan merekalah pula, kota ‘Inat yang kuno menjadi berkembang ramai. Kota itu pun berbangga dengan Syeikh Imam Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi. Karena berkat kehadiran beliaulah kota tersebut terkenal dan tersohor, padahal sebelumnya adalah kota yang terlupakan.

Tentang hal itu, Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Katsiry bersyair:
Ketika kau datangi ‘Inat, tanahnya pun bedendang
Dari permukaannya yang indah terpancarlah makrifat
Dahimu kau letakkan ke tanah menghadap kiblat
Puji syukur bagi yang membuatmu mencium tanah liatnya
Kota yang di dalamnya diletakkan kesempurnaan
Kota yang mendapat karunia besar dari warganya
Dengan khidmat, masuklah sang Syeikh merendahkan diri
Duhai, kota itu telah terpenuhi harapannya.

Akhlak dan Kemuliaannya
Beliau adalah seorang dermawan dan murah hati, menginfakkan hartanya tanpa takut menjadi fakir. Beliau memotong satu dua ekor unta untuk para peziarahnya, jika jumlah mereka banyak. Dan betapa banyak tamu yang mengunjungi ke pemukimannya yang luas.
Beliau amat mempedulikan para tamu dan memperhatikan keadaan mereka. Tidak kurang dari 1000 kerat roti tiap malam dan siangnya beliau sedekahkan untuk fuqara’. Kendati beliau orang yang paling ringan tangannya dan paling banyak infaknya, beliau tetap orang yang paling luhur budi pekertinya, paling lapang dadanya, paling sosial jiwanya dan paling rendah hatinya. Sampai-sampai orang banyak tidak pernah menyaksikannya beristirahat.

Syeikh ahli fiqih, Abdurrahman bin Ahmad Bawazir pernah berkata:
“Syeikh Abu Bakar selama 15 tahun dari akhir umurnya tidak pernah terlihat duduk-duduk bersama orang-orang dekatnya dan orang-orang awam lainnya kecuali untuk menanti didirikannya sholat lima waktu (yaitu duduk seperti tahiyat akhir).”.

Syeikh sangat mengasihani orang-orang lemah dan berkhidmat kepada orang-orang yang menderita kesusahan. Beliau memperlihatkan dan menyenangkan perasaan mereka dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik.

Pada suatu ketika Syeikh Abubakar berniat belajar kepada salah seorang gurunya, Syeikh Makruf Bajamal yang tinggal di kota Syibam. Namun ia terpaksa berhenti di pinggir kota, karena Syeikh Makruf Bajamal belum berkenan menemuinya. Setiap kali dikatakan kepada Syeikh Makruf, “Anak Salim bin Abdullah meminta izin untuk menemuimu.” Jawabnya selalu, “Katakan kepadanya bahwa aku belum berkenan menerimanya”, meskipun ayah beliau adalah seorang yang dihormati karena kesalehannya. Syeikh Abubakar bin Salim tetap bersabar di bawah teriknya matahari dan dinginnya angin malam. Ia menguatkan hati dan mengendalikan nafsunya demi memperoleh asrar.

Baru setelah lewat 40 hari ia menerima kabar bahwa Syeikh Makruf bersedia menemuinya. Syeikh Makruf hanya memerlukan beberapa saat saja untuk menurunkan ilmu kepadanya. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh Makruf, ia mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan kedatangannya, “Selamat wahai Ibnu Salim, selamat wahai Ibnu Salim.” Mereka berbuat demikian dengan harapan mendapatkan sesuatu darinya. Iapun segera menyadari hal ini dan kemudian mendoakan agar mereka mendapatkan suami yang setia. Menurut Habib Ali hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami yang setia. Ketika Habib Ali ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh Abubakar bin Salim?” Ia menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli syeikhnya”.
 
Diantara sekian banyak akhlaknya yang mulia itu adalah kuatnya kecintaan, rasa penghormatan dan kemasyhuran nama baiknya di kalangan rakyat. Selain murid-murid dan siswa-siswanya, banyak sekali orang berkunjung untuk menemuinya dari berbagai tempat; baik dari Barat ataupun Timur, dari Syam maupu Yaman, dari orang Arab maupun non-Arab. Mereka semua menghormati dan membanggakan beliau.

Ibadah dan Pendidikannya
Masa muda Syeikh Abubakar bin Salim dipenuhi dengan rutinitas pendidikan, selain didikan orang tuanya, juga tercatat beberapa ulama besar yang menjadi gurunya, antara lain, Syeikh Umar Basyeiban Ba’alawi, Syeikh Abdullah bin Muhammad Baqusyair, Syeikh Muhammad bin Abdullah Bamakhramah, Imam Ahmad bin Alwi Bajahdab, Syeikh Makruf Bajamal dan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah.

Syeikh Abubakar bin Salim mempelajari Risalatul Qusyairiyah yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf di bawah bimbingan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah. Disebutkan dalam Kitab Tadzkirun Naas, sekali waktu Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas shalat ashar di masjid Syeikh Abdul Malik Baraja di Kota Seiwun, ia menunjukkan sebidang tanah sambil berkata : “Ini adalah sebidang tanah yang mana pernah terjadi satu peristiwa antara Syeikh Umar Bamakhramah dan Syeikh Abubakar bin Salim. Tatkala itu Syeikh Abubakar sedang belajar dan membaca kitab tasawwuf yang terkenal Risalah Al-Qusyairiyah, tatkala sedang membahas kekeramatan para wali, Syeikh Abubakar bin Salim bertanya kepada gurunya “Kekeramatan itu seperti apa ?”, dijawab oleh Syeikh Umar, “Contoh kekeramatan itu adalah engkau tanam biji kurma ini kemudian ia langsung tumbuh dan berbuah pada saat itu juga” Kemudian Syeikh Umar yang kala itu memang sedang memegang biji kurma, melemparkan biji kurma tersebut ke tanah dan kemudian langsung tumbuh dan berbuah, sehingga orang-orang yang hadir saat itu dapat memetik dan memakan buahnya. Orang-orang yang hadir pada saat itu berkata pada Syeikh Abubakar bin Salim “Kami menginginkan lauk pauk darimu yang ingin kami makan bersama kurma ini”. Tersirat dalam perkataan ini seolah-olah mereka bertanya kepada Syeikh Abubakar apakah ia mampu melakukan seperti yang telah dilakukan oleh Syeikh Umar. Lalu Syeikh Abubakar bin Salim berkata, “Pergilah kalian ke telaga masjid, lalu ambillah apa yang kalian temui disana”. Kemudian mereka pergi ke telaga masjid dan mendapati ikan yang besar disana. Lalu mereka ambil dan makan sebagai lauk pauk yang mereka inginkan.
  
Seringkali beliau melakukan ibadah dan riyadhah. Sehingga suatu ketika beliau tidak henti-hentinya berpuasa selama beberapa waktu dan hanya berbuka dengan kurma muda berwarna hijau dari Jahmiyyah di kota Lisk yang diwariskan oleh ayahnya. Di abnar, beliau berpuasa selama 90 hari dan selalu sholat Subuh dengan air wudhu Isya’ di Masjid Ba’isa di Kota Lask. Dalam pada itu, setiap malamnya di berangkat berziarah ke makam di Tarim dan sholat di masjid-masjid kota itu. Di masjid Ba’isa tersebut, beliau selalu sholat berjamaah. Menjelang wafat, beliau tidak pernah meningalkan sholat Dhuha dan witr.

Beliau selalu membaca wirid-wirid thoriqoh. Beliau pribadi mempunyai beberapa doa dan sholawat. Ada sebuah amalan wirid besar miliknya yang disebut “Hizb al-Hamd wa Al-Majd” yang dia diktekan kepada muridnya sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.

Ziarah ke makam Nabi Allah Hud a.s adalah kelazimannya yang lain. Sehingga Al-Faqih Muhammad bin Sirajuddin mengabarkan bahawa ziarah beliau mencapai 40 kali. Setiap malam sepanjang 40 tahun, beliau beranjak dari Lask ke Tarim untuk sholat di masjid-masjid kedua kota tersebut sambil membawa beberapa tempat minum untuk wudhu, minum orang dan hewan yang berada di sekitar situ.

Ada banyak pengajaran dan kegiatan ilmiah yang beliau lakukan. Beliau membaca kitab Al-Ihya’ karya Al-Ghazzali sebanyak 40 kali. Beliau juga membaca kitab Al-Minhaj-nya Imam Nawawi dalam fiqih Syafi’i sebanyak tiga kali secara kritis. Kitab Al-Minhaj adalah satu-satunya buku pegangannya dalam fiqih. Kemudian dia juga membaca Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah di depan gurunya, Syaikh Umar bin Abdullah Bamakhramah.

Karya-karyanya
Antara lain:
  • Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau tulis sebelum usianya melampaui 17 tahun.
  • Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.
  • Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 bulan Dzul-Hijjah.
  • Ma’arij At-Tawhid
  • Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.

Kata Mutiara dan Untaian Hikmah
Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:

Pertama:
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.

Kedua:
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.

Ketiga:
Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.

Keempat:
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.

Kelima:
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.

Keenam:
Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.

Ketujuh:
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat – kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.

Kedelapan:
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.

Kesembilan:
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.

Kesepuluh:
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya”.

Kesebelas:
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.

Keduabelas:
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).
Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.

Manaqib (Biografi) tentang Beliau
Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar. Antara lain:
  • Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.
  • Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib ‘Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib.
  • Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-’Alawy mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja’ Al-Khatib.
Dari kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi
Sesungguhnya dalam kalam Habib Ali yang ditulis oleh Habib Umar bin Muhammad Mulakhela ini banyak sekali kisah yang berhubungan dengan Syeikh Abubakar bin Salim, tetapi dalam kesempatan ini hanya dikutip 4 kisah saja. 

Dalam kalam Habib Ali juga disebutkan bahwa diantara murid-murid Syeikh Abubakar bin Salim yang banyak itu terdapat 7 orang yang dipersiapkan dan dibina sendiri oleh Syeikh Abubakar, dan dari 7 orang itu terdapat 3 habaib yang tidak asing lagi bagi kita, yaitu: Habib Yusuf bin ‘Abid Al-Hasni Al-Maghribi, Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Jufri, dan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi.

Kisah Pertama
Syeikh Abubakar bin Salim meninggal dalam pangkuan Yusuf bin ‘Abid, salah seorang murid kesayangannya. Menjelang ajal gurunya, Yusuf bin ‘Abid mengulang-ulang ayat: falammâ qodhô zaidun minhâ wathoron, dengan harapan bahwa gurunya akan menyambut ucapannya itu dengan ayat lanjutannya: zawwajnâkahâ, yang maksudnya, sang Syeikh bersedia menurunkan seluruh ilmunya kepada Habib Yusuf bin Abid. 
Namun Syeikh Abubakar berkata, “Wahai Yusuf, semua ilmu yang telah kuajarkan kepadamu penuh dengan keberkahan, adapun mengenai sirku, andaikata tak dapat kutemukan seseorang yang pantas untuk menerimanya dari kalangan anak cucuku, maka ilmu itu akan kutanam di padang pasir ‘Inat.” (hal. 74)

Kisah Kedua
Beberapa orang yang saleh berpendapat bahwa setiap anak Syeikh Abubakar bin Salim telah mencapai setengah dari kewalian berkat doa orang tuanya.
Kewalian dapat dicapai dengan takholli (membersihkan diri dari segala dosa) dan tahalli (membekali diri dengan berbagai amal saleh). Anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim telah meraih takholli dan mereka tinggal melaksanakan tahalli. Karenanya, dengan tingkat tawajjuh yang paling rendah, mereka akan berhasil meraih cita-cita mereka. (hal. 534)

Kisah Ketiga
Pada suatu saat Syeikh Abubakar bin Salim berniat belajar kepada Syeikh Ma’ruf yang tinggal di Syibam. Beliau terpaksa harus berhenti di pinggir kota Syibam, karena Syeikh Ma’ruf Ba Jammal belum berkenan menemuinya. Setiap kali dikatakan kepada Syeikh Ma’ruf, “Anak Salim bin Abdullah meminta izin untuk menemuimu.” Jawabnya selalu, “Katakan kepadanya bahwa aku belum berkenan menerimanya.” 
Meskipun ayah beliau adalah seorang yang dihormati karena kesalehannya, Syeikh Abubakar bin Salim tetap bersabar di bawah teriknya matahari dan dinginnya angin malam. Beliau menguatkan hati dan mengendalikan nafsunya demi memperoleh asrar. 
Baru setelah lewat 40 hari beliau menerima kabar bahwa Syeikh Ma’ruf bersedia menemuinya. Syeikh Ma’ruf hanya memerlukan beberapa saat saja untuk menurunkan ilmu kepada beliau. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh Ma’ruf, beliau mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan kedatangan beliau, “Selamat wahai Ibn Salim, selamat wahai Ibn Salim.” 
Mereka berbuat demikian dengan harapan mendapatkan sesuatu dari beliau. Beliau pun segera menyadari hal ini dan kemudian mendoakan agar mereka mendapatkan suami yang setia. 
Menurut Habib Ali hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami yang setia. Ketika Habib Ali ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh Abubakar bin Salim?” Beliau menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli syeikhnya, dan kita ahlil bait, jika ber-tawajjuh untuk menuntut asrôr, akan berhasil dengan waktu lebih singkat. Yang menyebabkan kita tertinggal adalah karena kita menelantarkan diri kita, Barang siapa menelantarkan dirinya, ia akan hilang tersesat. Semoga Allah membimbing kita ke jalan para salaf kita yang saleh dan mengembalikan barokah dan asrôr mereka kepada kita. (hal. 104)

Kisah Keempat
Pada suatu kesempatan Syeikh Faris Ba Qais bersama para muridnya pergi ke Tarim. Ikut dalam rombongan Syeikh Faris 300 pemegang rebana yang mengiringi perjalanan itu dengan tabuhan rebananya. 
Setibanya di Tarim beliau bersama pengikutnya mengunjungi Habib Syeikh Alaydrus dan makan siang di sana dengan hidangan ala kadarnya. Setelah dilahap begitu banyak orang, hidangan yang sedikit ini ternyata masih tersisa + 25%-nya. 

Habib Syeikh bertanya kepada tamunya, “Sesungguhnya bagaimana adat kebiasaan penduduk Du’an dalam menjamu tamu?” “Adat kami adalah siapa yang menjamu makan siang, ia juga menjamu makan malam,” jawab Syeikh Faris. Setelah memohon keberkahan dari Allah, pada jamuan makan malam, Habib Syeikh dapat menjamu tamunya yang sangat banyak itu dengan sisa-sisa makanan siang yang tinggal sedikit saja.

Keesokan harinya Syeikh Faris berniat untuk menziarahi makam Nabiyullah Hud, beliau berkata kepada sejumlah habaib, “Ya habaib, kami membutuhkan seorang pengantar darimu, terus terang kami takut jika dalam perjalanan nanti ilmu kami dicuri orang.” 
Para Habaib menyanggupi, “Jangan khawatir, kami cukup mempunyai banyak orang berilmu disini, lagi pula mencuri ilmu bukanlah kebiasaan kami.” 
Syeikh Faris berkata, “Sesungguhnya yang kami takutkan adalah Syeikh Qudami, Ba Syuaib dan Ba Qu Syair. Dan nanti aku sendiri yang akan memilih pengantar itu.” Jawab para habaib, “Pilihlah siapa saja yang kamu sukai.” 
Mulailah Syeikh Faris mencari-cari orang yang dianggap mampu mengawal dia dan para pengikutnya, sampai akhirnya ia melewati Syeikh Abubakar bin Salim yang saat itu masih berusia 4 tahun, sedang bermain-main di jalan bersama teman sebayanya. “Aku pilih anak ini,” kata Syeikh Faris sambil menunjuk si kecil Abubakar bin Salim.

Para habaib segera menjawab, “Anak kecil ini mana pantas mengawalmu?” Syeikh Faris berkata, “Aku adalah tamu kalian dan aku hanya menginginkan anak ini.” Para habaib kemudian mendatangi ibu Syeikh Abubakar bin Salim dan mengabarkan persoalan yang mereka hadapi. Ibu beliau berkata, “Anak ini masih kecil, cari saja yang lain.” Mereka menjawab, “Syeikh Faris hanya menginginkan anakmu.” Akhirnya sang ibu memberikan izin.

Syeikh Abubakar bin Salim kemudian digendong oleh pelayannya, Ba Qahawil, untuk mengawal Syeikh Faris dan rombongannya. Syeikh Umar Ba Makhramah, seorang wali Allah, yang ikut dalam rombongan Syeikh Faris memegang kepala Ba Qahawil sambil melantunkan syair yang diawali dengan bait-bait berikut:

Semoga Allah membahagiakan temanmu, 
hai Ba Qahawil
pohon kurma apa ini, masih kecil sudah berbuah
Mereka menanamnya di waktu Dhuha
dan sudah memanennya di waktu senja.

Kemudian Syeikh Umar mengusap kepala Syeikh Abubakar bin Salim sambil meneruskan syairnya: 
Wahai emas sejati 
dengan pandangan-Nya Allah memeliharamu
semua lembah yang luas menjadi kecil dibanding lembahmu

Habib Ali berkata, “Perhatikanlah! Sesungguhnya kehidupan yang nyaman, hanyalah kehidupan mereka, semua harta adalah harta mereka, dan seluruh perdagangan adalah perdagangan mereka.” (hal. 308)

N a s a b
Dari Mu’jamul LathiefKeturunan Syeikh Abubakar bin Salim diantaranya adalah Al-Hamid, Bin Jindan, Al-Muhdar dan Al-Haddar.

Bin Jindan
Nasab mereka bersambung kepada Ali bin Muhammad bin Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim. Kadang kala anak cucu Ali bin Muhammad disebut sebagai bin Jindan bin Syeikh Abubakar bin Salim. (hal. 74)

Al-Hamid
Mereka adalah keturunan dari Al-Hamid bin Syeikh Abubakar bin Salim. (hal. 79)

Al-Muhdhar
Mereka adalah keturunan Umar Al-Muhdhar bin Syeikh Abubakar bin Salim. Ayah beliau memberi nama Umar Al-Muhdhar karena ingin bertabarruk dengan Umar Al-Muhdhar bin Abdurrahman As-Seggaf, juga dengan harapan agar anaknya dapat meneladani dan mewarisi ilmu yang dimiliki oleh Umar Al-Muhdhar, seorang arif yang amat ia kagumi. (hal. 167)

Al Haddar
Mereka adalah keturunan Ahmad Al-Haddar bin Abdullah bin Ali bin Muhsin bin Husin bin Syeikh Abubakar bin Salim. Haddar berarti orang yang bersuara keras. Julukan ini diberikan karena beliau mempunyai kebiasaan meninggikan suara dalam berdakwah di jalan Allah. Dan ada pula yang menyebutkan bahwa sejak dalam kandungan ibunya ia telah mengeluarkan suara yang keras. Kalimat ini juga digunakan untuk menggambarkan orang yang sejak masa kanak-kanaknya telah mencapai puncak ketinggian ilmu. Orang awam sering mengibaratkan seorang yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasan dengan kalimat ‘fulan seperti telur ayam yang berkokok’. (hal. 190)
(Diringkas dari Al-Mu’jam Al-Lathief, karya Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Cet. I. 1986/1046 H, Alam Ma’rifah, Jeddah.)

Dari Syamsuz Zahirah Syeikh Abubakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman As-Seggaf, Sahib ‘Inat meninggal pada tahun 992 H. Beliau memiliki 4 orang puteri, yaitu: Fatimah, Aisyah, Alawiyah dan Thalhah. Dan 13 anak laki-laki yang masing-masing bernama Abdurrahman, Jakfar, Abdullah Al-Akbar, Salim, Al-Husin, Al-Hamid, Umar Al-Muhdhar, Hasan, Ahmad, Saleh, Ali, Syaikhan, dan Abdullah Al-Asghar. (Diringkas dari Syamsuz Zahirah, karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur, ‘Alam Ma’rifah, Jeddah, 1984/1404 H.

Sumber : pondokhabaib.wordpress.com dan sumber lainnya

Komentar