Kamilah raja sejati, bukan yang lain. Demi Allah, selain kami, tak
diketemukan raja lain. Kekuasaan pada raja hanyalah istilah belaka.
Namun mereka bangga dan membuat kerusakan di dunia. Kemuliaan tanpa
Allah adalah kehinaan sejati. Dan merasa mulia dengan Allah adalah
kemuliaan yang hakiki.”
(Syeikh Abu Bakar bin Salim – Aurad al-Awliya’)
(Syeikh Abu Bakar bin Salim – Aurad al-Awliya’)
Syeikh
Abu Bakar bin Salim adalah syeikh Islam dan teladan manusia. Pemimpin
alim ulama. Hiasan para wali. Seorang yang amat jarang ditemukan di
zamannya. Da’i yang menunjukkan jalan Illahi dengan wataknya.
Pembimbing kepada kebenaran dengan perkataannya. Para ulama di
zamannya mengakui keunggulannya. Beliau telah menyegarkan berbagai
warisan pendahulu-pendahulunya yang sholeh. Titisan dari Hadrat Nabawi.
Cabang dari pohon besar Alawi. Alim Rabbani. Imam kebanggaan Agama, Abu
Bakar bin Salim Al-’Alawi, semoga Allah meredhainya.
Beliau lahir di Kota Tarim yang makmur, salah satu kota di Hadramaut,
pada tanggal 13 Jumadi Ats-Tsani, tahun 919 H. Di kota itu, beliau
tumbuh dengan pertumbuhan yang sholeh, di bawah tradisi nenek moyangnya
yang suci dalam menghafal Al-Quran.
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi meriwayatkan bahwa wali lainnya yang
telah meramalkan keberadaan Syeikh Abubakar adalah Habib Muhammad bin
Ahmad Jamalullail, ia berkata, “Akan ada disini (Inat) salah seorang
dari anak-anak kami yang akan termasyhur dengan keagungan dan kewalian,
dan Qubahnya akan berada dan didirikan di kota ini”.
Orang-orang terpercaya telah mengisahkan; manakala beliau mendapat
kesulitan menghafal Al-Quran pada awalnya. Ayahnya mengadukan halnya
kepada Syeikh Al-Imam Syihabuddin bin Abdurrahman bin Syeikh Ali. Maka
Syeikh itu bertutur: “Biarkanlah dia! Dia akan mampu menghafal dengan
sendirinya dan kelak dia akan menjadi orang besar. Maka menjadilah dia
seperti yang telah diucapkan Syeikh itu. Serta-merta, dalam waktu
singkat, dia telah mengkhatamkan Al-Quran.
Kemudian beliau disibukkan dengan menuntut ilmu-ilmu bahasa Arab dan
agama dari para pembesar ulama dengan semangat yang kuat, kejernihan
batin dan ketulusan niat. Bersamaan dengan itu, beliau memiliki semangat
yang menyala dan ruh yang bergelora. Maka tampaklah tanda-tanda
keluhurannya, bukti-bukti kecerdasannya dan ciri-ciri kepimpinannya.
Sejak itu, sebagaimana diberitakan Asy-Syilly dalam kitab Al-Masyra’
Ar-Rawy, beliau membolak-balik kitab-kitab tentang bahasa Arab dan agama
dan bersungguh-sungguh dalam mengkajinya serta menghafal pokok-pokok
dan cabang-cabang kedua disiplin tersebut. Sampai akhirnya, beliau
mendapat langkah yang luas dalam segala ilmu pengetahuan.
Beliau telah menggabungkan pemahaman, peneguhan, penghafalan dan
pendalaman. Beliau alim handal dalam ilmu-ilmu Syariat, mahir dalam
sastra Arab dan pandai serta kokoh dalam segenap bidang pengetahuan.
Dalam semua bidang tersebut, beliau telah menampakkan kecerdasannya yang
nyata. Maka, menonjollah karya-karyanya dalam mengajak dan membimbing
hamba-hamba Allah menuju jalan-Nya yang lurus.
Guru-guru Beliau
Para guru beliau antara lain; Umar Basyeban Ba’alawi, ahli fiqih yang sholeh, Abdullah bin Muhammad Basahal Bagusyair dan Faqih Umar bin Abdullah Bamakhramah. Pada merekalah dia mengkaji kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Syeikh Ma’ruf bin Abdullah Bajamal Asy-Syibamy dan Ad-Dau’any juga termasuk guru-guru beliau.
Para guru beliau antara lain; Umar Basyeban Ba’alawi, ahli fiqih yang sholeh, Abdullah bin Muhammad Basahal Bagusyair dan Faqih Umar bin Abdullah Bamakhramah. Pada merekalah dia mengkaji kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Syeikh Ma’ruf bin Abdullah Bajamal Asy-Syibamy dan Ad-Dau’any juga termasuk guru-guru beliau.
Hijrahnya dari Tarim
Beliau beranjak dari Kota Tarim ke kota lain bertujuan untuk
menghidupkan pengajian. memperbarui corak dan menggalakkan dakwah
Islamiyah di jantung kota tersebut. Maka berangkatlah beliau ke kota
‘Inat, salah satu negeri Hadramaut. Beliau menjadikan kota itu sebagai
kota hijrahnya. Kota itu beliau hidupkan dengan ilmu dan dipilihnya
sebagai tempat pendidikan, pengajaran dan pembimbingan. Tinggallah di
sana hingga kini, masjid yang beliau dirikan dan pemakaman beliau yang
luas. Syahdan, berbondong-bondonglah manusia berdatangan dari berbagai
pelosok negeri untuk menimba ilmunya. Murid-murid beliau mengunjunginya
dari beragam tempat: Hadramaut, Yaman, Syam, India, Indus, Mesir,
Afrika, Aden, Syihr dan Misyqash.
Para murid selalu mendekati beliau untuk mengambil kesempatan merasai
gambaran kemuliaan dan menyerap limpahan ilmunya. Dengan merekalah
pula, kota ‘Inat yang kuno menjadi berkembang ramai. Kota itu pun
berbangga dengan Syeikh Imam Abu Bakar bin Salim Al-’Alawi. Karena
berkat kehadiran beliaulah kota tersebut terkenal dan tersohor, padahal
sebelumnya adalah kota yang terlupakan.
Tentang hal itu, Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Katsiry bersyair:
Ketika kau datangi ‘Inat, tanahnya pun bedendang
Dari permukaannya yang indah terpancarlah makrifat
Dahimu kau letakkan ke tanah menghadap kiblat
Puji syukur bagi yang membuatmu mencium tanah liatnya
Kota yang di dalamnya diletakkan kesempurnaan
Kota yang mendapat karunia besar dari warganya
Dengan khidmat, masuklah sang Syeikh merendahkan diri
Duhai, kota itu telah terpenuhi harapannya.
Dari permukaannya yang indah terpancarlah makrifat
Dahimu kau letakkan ke tanah menghadap kiblat
Puji syukur bagi yang membuatmu mencium tanah liatnya
Kota yang di dalamnya diletakkan kesempurnaan
Kota yang mendapat karunia besar dari warganya
Dengan khidmat, masuklah sang Syeikh merendahkan diri
Duhai, kota itu telah terpenuhi harapannya.
Akhlak dan Kemuliaannya
Beliau adalah seorang dermawan dan murah hati, menginfakkan hartanya tanpa takut menjadi fakir. Beliau memotong satu dua ekor unta untuk para peziarahnya, jika jumlah mereka banyak. Dan betapa banyak tamu yang mengunjungi ke pemukimannya yang luas.
Beliau amat mempedulikan para tamu dan memperhatikan keadaan mereka.
Tidak kurang dari 1000 kerat roti tiap malam dan siangnya beliau
sedekahkan untuk fuqara’. Kendati beliau orang yang paling ringan
tangannya dan paling banyak infaknya, beliau tetap orang yang paling
luhur budi pekertinya, paling lapang dadanya, paling sosial jiwanya dan
paling rendah hatinya. Sampai-sampai orang banyak tidak pernah
menyaksikannya beristirahat.
Syeikh ahli fiqih, Abdurrahman bin Ahmad Bawazir pernah berkata:
“Syeikh Abu Bakar selama 15 tahun dari akhir umurnya tidak pernah terlihat duduk-duduk bersama orang-orang dekatnya dan orang-orang awam lainnya kecuali untuk menanti didirikannya sholat lima waktu (yaitu duduk seperti tahiyat akhir).”.
“Syeikh Abu Bakar selama 15 tahun dari akhir umurnya tidak pernah terlihat duduk-duduk bersama orang-orang dekatnya dan orang-orang awam lainnya kecuali untuk menanti didirikannya sholat lima waktu (yaitu duduk seperti tahiyat akhir).”.
Syeikh sangat mengasihani orang-orang lemah dan berkhidmat kepada
orang-orang yang menderita kesusahan. Beliau memperlihatkan dan
menyenangkan perasaan mereka dan memenuhi hak-hak mereka dengan baik.
Pada suatu ketika Syeikh Abubakar berniat belajar kepada salah seorang
gurunya, Syeikh Makruf Bajamal yang tinggal di kota Syibam. Namun ia
terpaksa berhenti di pinggir kota, karena Syeikh Makruf Bajamal belum
berkenan menemuinya. Setiap kali dikatakan kepada Syeikh Makruf, “Anak
Salim bin Abdullah meminta izin untuk menemuimu.” Jawabnya selalu,
“Katakan kepadanya bahwa aku belum berkenan menerimanya”, meskipun ayah
beliau adalah seorang yang dihormati karena kesalehannya. Syeikh
Abubakar bin Salim tetap bersabar di bawah teriknya matahari dan
dinginnya angin malam. Ia menguatkan hati dan mengendalikan nafsunya
demi memperoleh asrar.
Baru setelah lewat 40 hari ia menerima kabar bahwa Syeikh Makruf bersedia menemuinya. Syeikh Makruf hanya memerlukan beberapa saat saja untuk menurunkan ilmu kepadanya. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh Makruf, ia mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan kedatangannya, “Selamat wahai Ibnu Salim, selamat wahai Ibnu Salim.” Mereka berbuat demikian dengan harapan mendapatkan sesuatu darinya. Iapun segera menyadari hal ini dan kemudian mendoakan agar mereka mendapatkan suami yang setia. Menurut Habib Ali hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami yang setia. Ketika Habib Ali ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh Abubakar bin Salim?” Ia menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli syeikhnya”.
Baru setelah lewat 40 hari ia menerima kabar bahwa Syeikh Makruf bersedia menemuinya. Syeikh Makruf hanya memerlukan beberapa saat saja untuk menurunkan ilmu kepadanya. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh Makruf, ia mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan kedatangannya, “Selamat wahai Ibnu Salim, selamat wahai Ibnu Salim.” Mereka berbuat demikian dengan harapan mendapatkan sesuatu darinya. Iapun segera menyadari hal ini dan kemudian mendoakan agar mereka mendapatkan suami yang setia. Menurut Habib Ali hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami yang setia. Ketika Habib Ali ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh Abubakar bin Salim?” Ia menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli syeikhnya”.
Diantara sekian banyak akhlaknya yang mulia itu adalah kuatnya
kecintaan, rasa penghormatan dan kemasyhuran nama baiknya di kalangan
rakyat. Selain murid-murid dan siswa-siswanya, banyak sekali orang
berkunjung untuk menemuinya dari berbagai tempat; baik dari Barat
ataupun Timur, dari Syam maupu Yaman, dari orang Arab maupun non-Arab.
Mereka semua menghormati dan membanggakan beliau.
Ibadah dan Pendidikannya
Masa muda Syeikh Abubakar bin Salim dipenuhi dengan rutinitas
pendidikan, selain didikan orang tuanya, juga tercatat beberapa ulama
besar yang menjadi gurunya, antara lain, Syeikh Umar Basyeiban Ba’alawi,
Syeikh Abdullah bin Muhammad Baqusyair, Syeikh Muhammad bin Abdullah
Bamakhramah, Imam Ahmad bin Alwi Bajahdab, Syeikh Makruf Bajamal dan
Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah.
Syeikh Abubakar bin Salim mempelajari Risalatul Qusyairiyah yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf di bawah bimbingan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah. Disebutkan dalam Kitab Tadzkirun Naas, sekali waktu Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas shalat ashar di masjid Syeikh Abdul Malik Baraja di Kota Seiwun, ia menunjukkan sebidang tanah sambil berkata : “Ini adalah sebidang tanah yang mana pernah terjadi satu peristiwa antara Syeikh Umar Bamakhramah dan Syeikh Abubakar bin Salim. Tatkala itu Syeikh Abubakar sedang belajar dan membaca kitab tasawwuf yang terkenal Risalah Al-Qusyairiyah, tatkala sedang membahas kekeramatan para wali, Syeikh Abubakar bin Salim bertanya kepada gurunya “Kekeramatan itu seperti apa ?”, dijawab oleh Syeikh Umar, “Contoh kekeramatan itu adalah engkau tanam biji kurma ini kemudian ia langsung tumbuh dan berbuah pada saat itu juga” Kemudian Syeikh Umar yang kala itu memang sedang memegang biji kurma, melemparkan biji kurma tersebut ke tanah dan kemudian langsung tumbuh dan berbuah, sehingga orang-orang yang hadir saat itu dapat memetik dan memakan buahnya. Orang-orang yang hadir pada saat itu berkata pada Syeikh Abubakar bin Salim “Kami menginginkan lauk pauk darimu yang ingin kami makan bersama kurma ini”. Tersirat dalam perkataan ini seolah-olah mereka bertanya kepada Syeikh Abubakar apakah ia mampu melakukan seperti yang telah dilakukan oleh Syeikh Umar. Lalu Syeikh Abubakar bin Salim berkata, “Pergilah kalian ke telaga masjid, lalu ambillah apa yang kalian temui disana”. Kemudian mereka pergi ke telaga masjid dan mendapati ikan yang besar disana. Lalu mereka ambil dan makan sebagai lauk pauk yang mereka inginkan.
Syeikh Abubakar bin Salim mempelajari Risalatul Qusyairiyah yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf di bawah bimbingan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah. Disebutkan dalam Kitab Tadzkirun Naas, sekali waktu Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas shalat ashar di masjid Syeikh Abdul Malik Baraja di Kota Seiwun, ia menunjukkan sebidang tanah sambil berkata : “Ini adalah sebidang tanah yang mana pernah terjadi satu peristiwa antara Syeikh Umar Bamakhramah dan Syeikh Abubakar bin Salim. Tatkala itu Syeikh Abubakar sedang belajar dan membaca kitab tasawwuf yang terkenal Risalah Al-Qusyairiyah, tatkala sedang membahas kekeramatan para wali, Syeikh Abubakar bin Salim bertanya kepada gurunya “Kekeramatan itu seperti apa ?”, dijawab oleh Syeikh Umar, “Contoh kekeramatan itu adalah engkau tanam biji kurma ini kemudian ia langsung tumbuh dan berbuah pada saat itu juga” Kemudian Syeikh Umar yang kala itu memang sedang memegang biji kurma, melemparkan biji kurma tersebut ke tanah dan kemudian langsung tumbuh dan berbuah, sehingga orang-orang yang hadir saat itu dapat memetik dan memakan buahnya. Orang-orang yang hadir pada saat itu berkata pada Syeikh Abubakar bin Salim “Kami menginginkan lauk pauk darimu yang ingin kami makan bersama kurma ini”. Tersirat dalam perkataan ini seolah-olah mereka bertanya kepada Syeikh Abubakar apakah ia mampu melakukan seperti yang telah dilakukan oleh Syeikh Umar. Lalu Syeikh Abubakar bin Salim berkata, “Pergilah kalian ke telaga masjid, lalu ambillah apa yang kalian temui disana”. Kemudian mereka pergi ke telaga masjid dan mendapati ikan yang besar disana. Lalu mereka ambil dan makan sebagai lauk pauk yang mereka inginkan.
Seringkali beliau melakukan ibadah dan riyadhah. Sehingga suatu
ketika beliau tidak henti-hentinya berpuasa selama beberapa waktu dan
hanya berbuka dengan kurma muda berwarna hijau dari Jahmiyyah di kota
Lisk yang diwariskan oleh ayahnya. Di abnar, beliau berpuasa selama 90
hari dan selalu sholat Subuh dengan air wudhu Isya’ di Masjid Ba’isa di
Kota Lask. Dalam pada itu, setiap malamnya di berangkat berziarah ke
makam di Tarim dan sholat di masjid-masjid kota itu. Di masjid Ba’isa
tersebut, beliau selalu sholat berjamaah. Menjelang wafat, beliau tidak
pernah meningalkan sholat Dhuha dan witr.
Beliau selalu membaca wirid-wirid thoriqoh. Beliau pribadi mempunyai
beberapa doa dan sholawat. Ada sebuah amalan wirid besar miliknya yang
disebut “Hizb al-Hamd wa Al-Majd” yang dia diktekan kepada muridnya
sebelum fajar tiba di sebuah masjid. Itu adalah karya terakhir yang
disampaikan ke muridnya, Allamah Faqih Syeikh Muhammad bin Abdurrahman
Bawazir pada tanggal 8 bulan Muharram tahun 992 H.
Ziarah ke makam Nabi Allah Hud a.s adalah kelazimannya yang lain.
Sehingga Al-Faqih Muhammad bin Sirajuddin mengabarkan bahawa ziarah
beliau mencapai 40 kali. Setiap malam sepanjang 40 tahun, beliau beranjak dari Lask ke Tarim
untuk sholat di masjid-masjid kedua kota tersebut sambil membawa
beberapa tempat minum untuk wudhu, minum orang dan hewan yang berada di
sekitar situ.
Ada banyak pengajaran dan kegiatan ilmiah yang beliau lakukan. Beliau
membaca kitab Al-Ihya’ karya Al-Ghazzali sebanyak 40 kali. Beliau juga
membaca kitab Al-Minhaj-nya Imam Nawawi dalam fiqih Syafi’i sebanyak
tiga kali secara kritis. Kitab Al-Minhaj adalah satu-satunya buku
pegangannya dalam fiqih. Kemudian dia juga membaca Ar-Risalah
Al-Qusyairiyyah di depan gurunya, Syaikh Umar bin Abdullah Bamakhramah.
Antara lain:
- Miftah As-sara’ir wa kanz Adz-Dzakha’ir. Kitab ini beliau tulis sebelum usianya melampaui 17 tahun.
- Mi’raj Al-Arwah membahas ilmu hakikat. Beliau memulai menulis buku ini pada tahun 987 H dan menyelesaikannya pada tahun 989 H.
- Fath Bab Al-Mawahib yang juga mendiskusikan masalah-masalah ilmu hakikat. Dia memulainya di bulan Syawwal tahun 991 H dan dirampungkan dalam tahun yang sama tangal 9 bulan Dzul-Hijjah.
- Ma’arij At-Tawhid
- Dan sebuah diwan yang berisi pengalaman pada awal mula perjalanan spiritualnya.
Kata Mutiara dan Untaian Hikmah
Beliau memiliki banyak kata mutiara dan untaian hikmah yang terkenal, antara lain:
Pertama:
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.
Paling bernilainya saat-saat dalam hidup adalah ketika kamu tidak lagi menemukan dirimu. Sebaliknya adalah ketika kamu masih menemukan dirimu. Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa engkau takkan mencapai Allah sampai kau fanakan dirimu dan kau hapuskan inderamu. Barang siapa yang mengenal dirinya (dalam keadaan tak memiliki apa pun juga), tidak akan melihat kecuali Allah; dan barang siapa tidak mengenal dirinya (sebagai tidak memiliki suatu apapun) maka tidak akan melihat Allah. Karena segala tempat hanya untuk mengalirkan apa yang di dalamnya.
Kedua:
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.
Ungkapan beliau untuk menyuruh orang bergiat dan tidak menyia-nyiakan waktu: “Siapa yang tidak gigih di awal (bidayat) tidak akan sampai garis akhir (nihayat). Dan orang yang tidak bersungguh-sungguh (mujahadat), takkan mencapai kebenaran (musyahadat). Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berjuang di jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami”. Siapa pun yang tidak menghemat dan menjaga awqat (waktu-waktu) tidak akan selamat dari berbagia afat (malapetaka). Orang-orang yang telah melakukan kesalahan, maka layak mendapat siksaan.
Ketiga:
Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.
Tentang persahabatan: “Siapa yang bergaul bersama orang baik-baik, dia layak mendapatkan makrifat dan rahasia (sirr). Dan mereka yang bergaul dengan para pendosa dan orang bejat, akan berhak mendapat hina dan api neraka”.
Keempat:
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.
Penafsirannya atas sabda Rasul s.a.w: “Aku tidaklah seperti kalian. Aku selalu dalam naungan Tuhanku yang memberiku makan dan minum”. Makanan dan minuman itu, menurutnya, bersifat spiritual yang datang datang dari haribaan Yang Maha Suci”.
Kelima:
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.
Engkau tidak akan mendapatkan berbagai hakikat, jika kamu belum meninggalkan benda-benda yang kau cintai (’Ala’iq). Orang yang rela dengan pemberian Allah (qana’ah), akan mendapt ketenteraman dan keselamatan. Sebaliknya, orang yang tamak, akan menjadi hina dan menyesal. Orang arif adalah orang yang memandang aib-aib dirinya. Sedangkan orang lalai adalah orang yang menyoroti aib-aib orang lain. Banyaklah diam maka kamu akan selamat. Orang yang banyak bicara akan banyak menyesal.
Keenam:
Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.
Benamkanlah wujudmu dalam Wujud-Nya. Hapuskanlah penglihatanmu, (dan gunakanlah) Penglihatan-Nya. Setelah semua itu, bersiaplah mendapat janji-Nya. Ambillah dari ilmu apa yang berguna, manakala engkau mendengarkanku. Resapilah, maka kamu akan meliht ucapan-ucapanku dlam keadaan terang-benderang. Insya-Allah….! Mengertilah bahawa Tuhan itu tertampakkan dalam kalbu para wali-Nya yang arif. Itu karena mereka lenyap dari selain-Nya, raib dari pandangan alam-raya melaluiKebenderangan-Nya. Di pagi dan sore hari, mereka menjadi orang-orang yang taat dalam suluk, takut dan berharap, ruku’ dan sujud, riang dan digembirakan (dengan berita gembira), dan rela akan qadha’ dan qadar-Nya. Mereka tidak berikhtiar untuk mendapat sesuatu kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk mereka”.
Ketujuh:
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat – kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.
Orang yang bahagia adalah orang yang dibahagiakan Allah tanpa sebab (sebab efesien yang terdekat, melainkan murni anugerah fadhl dari Allah). Ini dalam bahasa Hakikat. Adapun dalam bahasa Syari’at, orang bahagia adalah orang yang Allah bahagiakan mereka dengan amal-amal saleh. Sedang orang yang celaka, adalah orang yang Allah celakakan mereka dengan meninggalkan amal-amal saleh serta merusak Syariat – kami berharap ampunan dan pengampunan dari Allah.
Kedelapan:
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.
Orang celaka adalah yang mengikuti diri dan hawa nafsunya. Dan orang yang bahagia adalah orang yang menentang diri dan hawa nafsunya, minggat dri bumi menuju Tuhannya, dan selalu menjalankan sunnah-sunnah Nabi s.a.w.
Kesembilan:
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.
Rendah-hatilah dan jangan bersikap congkak dan angkuh.
Kesepuluh:
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya”.
Kemenanganmu teletak pada pengekangan diri dan sebaliknya kehancuranmu teletak pada pengumbaran diri. Kekanglah dia dan jangan kau umbar, maka engkau pasti akn menang (dalam melawan diri) dan selamat, Insya-Allah. Orang bijak adalah orang yang mengenal dirinya sedangkan orang jahil adalah orang yang tidak mengenal dirinya. Betapa mudah bagi para ‘arif billah untuk membimbing orang jahil. Karena, kebahagiaan abadi dapt diperoleh dengan selayang pandang. Demikian pula tirai-tirai hakikat menyelubungi hati dengan hanya sekali memandang selain-Nya. Padahal Hakikat itu juga jelas tidak erhalang sehelai hijab pun. Relakan dirimu dengan apa yang telah Allah tetapkan padamu. Sebagian orang berkata: “40 tahun lamanya Allah menetapkan sesuatu pada diriku yang kemudian aku membencinya”.
Kesebelas:
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.
Semoga Allah memberimu taufik atas apa yang Dia ingini dan redhai. Tetapkanlah berserah diri kepada Allah. Teguhlah dalam menjalankan tatacara mengikut apa yang dilarang dan diperintahkan Rasul s.a.w. Berbaik prasangkalah kepada hamba-hamba Allah. Karena prasangka buruk itu bererti tiada taufik. Teruslah rela dengan qadha’ walaupun musibah besar menimpamu. Tanamkanlah kesabaran yang indah (Ash-Shabr Al-Jamil) dalam dirimu. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah mengganjar orang-orang yang sabar itu tanpa perhitungan. Tinggalkanlah apa yang tidak menyangkut dirimu dan perketatlah penjagaan terhadap dirimu”.
Keduabelas:
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).
Dunia ini putra akhirat. Oleh karena itu, siapa yang telah menikahi (dunia), haramlah atasnya si ibu (akhirat).
Masih banyak lagi ucapan beliau r.a. yang lain yang sangat bernilai.
Manaqib (Biografi) tentang Beliau
Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar. Antara lain:
Banyak sekali buku-buku yang ditulis mengenai biorafi beliau yang ditulis para alim besar. Antara lain:
- Bulugh Azh-Zhafr wa Al-Maghanim fi Manaqib Asy-Syaikh Abi Bakr bin Salim karya Allamah Syeikh Muhammad bin Sirajuddin.
- Az-Zuhr Al-Basim fi Raba Al-Jannat; fi Manaqib Abi Bakr bin Salim Shahib ‘Inat oleh Allamah Syeikh Abdullah bin Abi Bakr bin Ahmad Basya’eib.
- Sayyid al-Musnad pemuka agama yang masyhur, Salim bin Ahmad bin Jindan Al-’Alawy mengemukakan bahawa dia memiliki beberapa manuskrip (naskah yang masih berbentuk tulisan tangan) tentang Syeikh Abu Bakar bin Salim. Di antaranya; Bughyatu Ahl Al-Inshaf bin Manaqib Asy-Syeikh Abi Bakr bin Salim bin Abdullah As-Saqqaf karya Allamah Muhammad bin Umar bin Shalih bin Abdurraman Baraja’ Al-Khatib.
Dari kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi
Sesungguhnya dalam kalam Habib Ali yang ditulis oleh Habib Umar bin Muhammad Mulakhela ini banyak sekali kisah yang berhubungan dengan Syeikh Abubakar bin Salim, tetapi dalam kesempatan ini hanya dikutip 4 kisah saja.
Sesungguhnya dalam kalam Habib Ali yang ditulis oleh Habib Umar bin Muhammad Mulakhela ini banyak sekali kisah yang berhubungan dengan Syeikh Abubakar bin Salim, tetapi dalam kesempatan ini hanya dikutip 4 kisah saja.
Dalam kalam Habib Ali juga disebutkan bahwa diantara murid-murid
Syeikh Abubakar bin Salim yang banyak itu terdapat 7 orang yang
dipersiapkan dan dibina sendiri oleh Syeikh Abubakar, dan dari 7 orang
itu terdapat 3 habaib yang tidak asing lagi bagi kita, yaitu: Habib
Yusuf bin ‘Abid Al-Hasni Al-Maghribi, Habib Abdurrahman bin Muhammad
Al-Jufri, dan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi.
Kisah Pertama
Syeikh Abubakar bin Salim meninggal dalam pangkuan Yusuf bin ‘Abid,
salah seorang murid kesayangannya. Menjelang ajal gurunya, Yusuf bin
‘Abid mengulang-ulang ayat: falammâ qodhô zaidun minhâ wathoron, dengan harapan bahwa gurunya akan menyambut ucapannya itu dengan ayat lanjutannya: zawwajnâkahâ, yang maksudnya, sang Syeikh bersedia menurunkan seluruh ilmunya kepada Habib Yusuf bin Abid.
Namun Syeikh Abubakar berkata, “Wahai Yusuf, semua ilmu yang telah
kuajarkan kepadamu penuh dengan keberkahan, adapun mengenai sirku,
andaikata tak dapat kutemukan seseorang yang pantas untuk menerimanya
dari kalangan anak cucuku, maka ilmu itu akan kutanam di padang pasir
‘Inat.” (hal. 74)
Kisah Kedua
Beberapa orang yang saleh berpendapat bahwa setiap anak Syeikh
Abubakar bin Salim telah mencapai setengah dari kewalian berkat doa
orang tuanya.
Kewalian dapat dicapai dengan takholli (membersihkan diri dari segala dosa) dan tahalli (membekali diri dengan berbagai amal saleh). Anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim telah meraih takholli dan mereka tinggal melaksanakan tahalli. Karenanya, dengan tingkat tawajjuh yang paling rendah, mereka akan berhasil meraih cita-cita mereka. (hal. 534)
Kewalian dapat dicapai dengan takholli (membersihkan diri dari segala dosa) dan tahalli (membekali diri dengan berbagai amal saleh). Anak-anak Syeikh Abubakar bin Salim telah meraih takholli dan mereka tinggal melaksanakan tahalli. Karenanya, dengan tingkat tawajjuh yang paling rendah, mereka akan berhasil meraih cita-cita mereka. (hal. 534)
Kisah Ketiga
Pada suatu saat Syeikh Abubakar bin Salim berniat belajar kepada
Syeikh Ma’ruf yang tinggal di Syibam. Beliau terpaksa harus berhenti di
pinggir kota Syibam, karena Syeikh Ma’ruf Ba Jammal belum berkenan
menemuinya. Setiap kali dikatakan kepada Syeikh Ma’ruf, “Anak Salim bin
Abdullah meminta izin untuk menemuimu.” Jawabnya selalu, “Katakan
kepadanya bahwa aku belum berkenan menerimanya.”
Meskipun ayah beliau adalah seorang yang dihormati karena
kesalehannya, Syeikh Abubakar bin Salim tetap bersabar di bawah teriknya
matahari dan dinginnya angin malam. Beliau menguatkan hati dan
mengendalikan nafsunya demi memperoleh asrar.
Baru setelah lewat 40 hari beliau menerima kabar bahwa Syeikh Ma’ruf
bersedia menemuinya. Syeikh Ma’ruf hanya memerlukan beberapa saat saja
untuk menurunkan ilmu kepada beliau. Sewaktu keluar dari kediaman Syeikh
Ma’ruf, beliau mendapati sekumpulan kaum wanita yang mengelukan-elukan
kedatangan beliau, “Selamat wahai Ibn Salim, selamat wahai Ibn Salim.”
Mereka berbuat demikian dengan harapan mendapatkan sesuatu dari
beliau. Beliau pun segera menyadari hal ini dan kemudian mendoakan agar
mereka mendapatkan suami yang setia.
Menurut Habib Ali hingga saat ini kaum wanita Syibam memiliki suami
yang setia. Ketika Habib Ali ditanya, “Apakah Syeikh Ma’ruf juga
termasuk salah satu dari guru-guru Syeikh Abubakar bin Salim?” Beliau
menjawab, “Ya, akan tetapi beliau kemudian mengungguli syeikhnya, dan
kita ahlil bait, jika ber-tawajjuh untuk menuntut asrôr,
akan berhasil dengan waktu lebih singkat. Yang menyebabkan kita
tertinggal adalah karena kita menelantarkan diri kita, Barang siapa
menelantarkan dirinya, ia akan hilang tersesat. Semoga Allah membimbing
kita ke jalan para salaf kita yang saleh dan mengembalikan barokah dan asrôr mereka kepada kita. (hal. 104)
Kisah Keempat
Pada suatu kesempatan Syeikh Faris Ba Qais bersama para muridnya
pergi ke Tarim. Ikut dalam rombongan Syeikh Faris 300 pemegang rebana
yang mengiringi perjalanan itu dengan tabuhan rebananya.
Setibanya di Tarim beliau bersama pengikutnya mengunjungi Habib
Syeikh Alaydrus dan makan siang di sana dengan hidangan ala kadarnya.
Setelah dilahap begitu banyak orang, hidangan yang sedikit ini ternyata
masih tersisa + 25%-nya.
Habib Syeikh bertanya kepada tamunya, “Sesungguhnya bagaimana adat
kebiasaan penduduk Du’an dalam menjamu tamu?” “Adat kami adalah siapa
yang menjamu makan siang, ia juga menjamu makan malam,” jawab Syeikh
Faris. Setelah memohon keberkahan dari Allah, pada jamuan makan malam,
Habib Syeikh dapat menjamu tamunya yang sangat banyak itu dengan
sisa-sisa makanan siang yang tinggal sedikit saja.
Keesokan harinya Syeikh Faris berniat untuk menziarahi makam
Nabiyullah Hud, beliau berkata kepada sejumlah habaib, “Ya habaib, kami
membutuhkan seorang pengantar darimu, terus terang kami takut jika dalam
perjalanan nanti ilmu kami dicuri orang.”
Para Habaib menyanggupi, “Jangan khawatir, kami cukup mempunyai
banyak orang berilmu disini, lagi pula mencuri ilmu bukanlah kebiasaan
kami.”
Syeikh Faris berkata, “Sesungguhnya yang kami takutkan adalah Syeikh
Qudami, Ba Syuaib dan Ba Qu Syair. Dan nanti aku sendiri yang akan
memilih pengantar itu.” Jawab para habaib, “Pilihlah siapa saja yang
kamu sukai.”
Mulailah Syeikh Faris mencari-cari orang yang dianggap mampu mengawal
dia dan para pengikutnya, sampai akhirnya ia melewati Syeikh Abubakar
bin Salim yang saat itu masih berusia 4 tahun, sedang bermain-main di
jalan bersama teman sebayanya. “Aku pilih anak ini,” kata Syeikh Faris
sambil menunjuk si kecil Abubakar bin Salim.
Para habaib segera menjawab, “Anak kecil ini mana pantas mengawalmu?”
Syeikh Faris berkata, “Aku adalah tamu kalian dan aku hanya
menginginkan anak ini.” Para habaib kemudian mendatangi ibu Syeikh
Abubakar bin Salim dan mengabarkan persoalan yang mereka hadapi. Ibu
beliau berkata, “Anak ini masih kecil, cari saja yang lain.” Mereka
menjawab, “Syeikh Faris hanya menginginkan anakmu.” Akhirnya sang ibu
memberikan izin.
Syeikh Abubakar bin Salim kemudian digendong oleh pelayannya, Ba
Qahawil, untuk mengawal Syeikh Faris dan rombongannya. Syeikh Umar Ba
Makhramah, seorang wali Allah, yang ikut dalam rombongan Syeikh Faris
memegang kepala Ba Qahawil sambil melantunkan syair yang diawali dengan
bait-bait berikut:
Semoga Allah membahagiakan temanmu,
hai Ba Qahawil
pohon kurma apa ini, masih kecil sudah berbuah
Mereka menanamnya di waktu Dhuha
dan sudah memanennya di waktu senja.
Kemudian Syeikh Umar mengusap kepala Syeikh Abubakar bin Salim sambil meneruskan syairnya:
Wahai emas sejati
dengan pandangan-Nya Allah memeliharamu
semua lembah yang luas menjadi kecil dibanding lembahmu
Habib Ali berkata, “Perhatikanlah! Sesungguhnya kehidupan yang
nyaman, hanyalah kehidupan mereka, semua harta adalah harta mereka, dan
seluruh perdagangan adalah perdagangan mereka.” (hal. 308)
N a s a b
Dari Mu’jamul LathiefKeturunan Syeikh Abubakar bin Salim diantaranya adalah Al-Hamid, Bin Jindan, Al-Muhdar dan Al-Haddar.
Bin Jindan
Nasab mereka bersambung kepada Ali bin Muhammad bin Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim. Kadang kala anak cucu Ali bin Muhammad disebut sebagai bin Jindan bin Syeikh Abubakar bin Salim. (hal. 74)
Nasab mereka bersambung kepada Ali bin Muhammad bin Husein bin Syeikh Abubakar bin Salim. Kadang kala anak cucu Ali bin Muhammad disebut sebagai bin Jindan bin Syeikh Abubakar bin Salim. (hal. 74)
Al-Hamid
Mereka adalah keturunan dari Al-Hamid bin Syeikh Abubakar bin Salim. (hal. 79)
Al-Muhdhar
Mereka adalah keturunan Umar Al-Muhdhar bin Syeikh Abubakar bin Salim. Ayah beliau memberi nama Umar Al-Muhdhar karena ingin bertabarruk dengan Umar Al-Muhdhar bin Abdurrahman As-Seggaf, juga dengan harapan agar anaknya dapat meneladani dan mewarisi ilmu yang dimiliki oleh Umar Al-Muhdhar, seorang arif yang amat ia kagumi. (hal. 167)
Mereka adalah keturunan Umar Al-Muhdhar bin Syeikh Abubakar bin Salim. Ayah beliau memberi nama Umar Al-Muhdhar karena ingin bertabarruk dengan Umar Al-Muhdhar bin Abdurrahman As-Seggaf, juga dengan harapan agar anaknya dapat meneladani dan mewarisi ilmu yang dimiliki oleh Umar Al-Muhdhar, seorang arif yang amat ia kagumi. (hal. 167)
Al Haddar
Mereka adalah keturunan Ahmad Al-Haddar bin Abdullah bin Ali bin Muhsin bin Husin bin Syeikh Abubakar bin Salim. Haddar berarti orang yang bersuara keras. Julukan ini diberikan karena beliau mempunyai kebiasaan meninggikan suara dalam berdakwah di jalan Allah. Dan ada pula yang menyebutkan bahwa sejak dalam kandungan ibunya ia telah mengeluarkan suara yang keras. Kalimat ini juga digunakan untuk menggambarkan orang yang sejak masa kanak-kanaknya telah mencapai puncak ketinggian ilmu. Orang awam sering mengibaratkan seorang yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasan dengan kalimat ‘fulan seperti telur ayam yang berkokok’. (hal. 190)
Mereka adalah keturunan Ahmad Al-Haddar bin Abdullah bin Ali bin Muhsin bin Husin bin Syeikh Abubakar bin Salim. Haddar berarti orang yang bersuara keras. Julukan ini diberikan karena beliau mempunyai kebiasaan meninggikan suara dalam berdakwah di jalan Allah. Dan ada pula yang menyebutkan bahwa sejak dalam kandungan ibunya ia telah mengeluarkan suara yang keras. Kalimat ini juga digunakan untuk menggambarkan orang yang sejak masa kanak-kanaknya telah mencapai puncak ketinggian ilmu. Orang awam sering mengibaratkan seorang yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasan dengan kalimat ‘fulan seperti telur ayam yang berkokok’. (hal. 190)
(Diringkas dari Al-Mu’jam Al-Lathief, karya Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Cet. I. 1986/1046 H, Alam Ma’rifah, Jeddah.)
Dari Syamsuz Zahirah Syeikh Abubakar bin Salim bin
Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman As-Seggaf, Sahib
‘Inat meninggal pada tahun 992 H. Beliau memiliki 4 orang puteri, yaitu:
Fatimah, Aisyah, Alawiyah dan Thalhah. Dan 13 anak laki-laki yang
masing-masing bernama Abdurrahman, Jakfar, Abdullah Al-Akbar, Salim,
Al-Husin, Al-Hamid, Umar Al-Muhdhar, Hasan, Ahmad, Saleh, Ali, Syaikhan,
dan Abdullah Al-Asghar. (Diringkas dari Syamsuz Zahirah, karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur, ‘Alam Ma’rifah, Jeddah, 1984/1404 H.
Sumber : pondokhabaib.wordpress.com dan sumber lainnya
Komentar
Posting Komentar