Ad Dailami meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Said ra, ia berkata
bahwa Rasulullah saw berkata, “Kemurkaan Allah swt amat besar kepada
orang yang menyakitiku dengan cara menyakiti keturunanku.”
Dalam al Ausath, Ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Hasan
bin Ali ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pertahankanlah rasa cinta
kalian kepada ahlul bait, karena barang siapa yang berjumpa dengan Allah
swt sementara ia mencintai kami, maka ia akan masuk surga dengan
syafaat kami. Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, ketahuilah bahwa
perbuatan seorang hamba tidak akan berguna baginya kecuali ia mengetahui
hak kami.”
Ad Dailami meriwayatkan sebuah hadits dari Ali ra, ia berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda: “4 golongan yang akan aku tolong kelak di hari
kiamat adalah orang yang memuliakan keturunanku, orang yang berusaha
memenuhi kebutuhan mereka, orang yang berusaha membantu segala urusan
mereka ketika terdesak, serta para pecinta mereka dengan hati &
lisannya.”
Abu Na’im meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Utsman bin Affan ra, ia
berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa berbuat baik kepada
salah seorang dari bani Muthalib di dunia, sementara salah seorang dari
mereka (bani Muthalib) tidak mampu membalasnya, maka akulah yang akan
membalasnya kelak di hari Kiamat.”
Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits
dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah
aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul
baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”
Para ahlul bait dan para sahabat ra memang bukan ma’sum
(Terpelihara), tetapi mereka itu mahfuzh (Dipelihara) dengan
pemeliharaan Allah swt terhadap orang-orang soleh.
Mungkin saja, secara syariat, mereka terjatuh ke dalam kesalahan dan
dosa. Akan tetapi, Allah swt memelihara mereka dengan pemeliharaan
dari-Nya. Dengan demikian, tidaklah salah bagi kaum muslimin untuk
mencintai keluarga & keturunan baginda Nabi saw dengan sepenuh
hatinya.
Meskipun begitu, menurut Al Habib Salim bin Abdullah Asy Syathiri,
pengasuh Rubat Tarim Hadramaut, apabila kita menemukan dari keturunan
Rasul ada yang menyimpang, sebagai bentuk rasa cinta kasih kita kepada
kereka, kita wajib ber amar ma’ruf nahi munkar.
Riwayat singkat kedua cucu baginda Nabi Muhammad saw.
Sayyidina Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib ra.
Sayyidina Hasan bin Ali bin abi Thalib ra, bersama adiknya Sayyidina
Husein bin Ali bin abi Thalib ra adalah cucu dan buah hati Baginda
Rasulullah saw dari putri tercinta beliau saw, yaitu Siti Fathimah az
zahra ra. Sayyidina Hasan ra, yang dilahirkan di Kota Madinah pada
tanggal 15 Ramadhan tahun 3 Hijriah, merupakan cucu pertama baginda Nabi
saw. Putra Imam Ali karamallahu wajhah ini sangat mirip dengan
Rasulullah saw. Namun kebersamaan Rasulullah saw bersama Al Hasan dan
saudara Al Husein tidak berlangsung lama, karena ketika Al Hasan masih
berumur 7 tahun, Rasulullah saw meninggal dunia.
Kesedihan yang dirasakan oleh Siti Fathimah ra dan Imam Ali
karamallahu wajhah atas wafatnya Rasulullah saw, juga dirasakan oleh Al
Hasan. Maklum beliau sangat dekat dengan datuknya. Namun tidak lama
kemudian, kira-kira enam bulan setelah Rosululloh SAW wafat, ibu
tercintanya yaitu Siti Fathimah ra. meninggal dunia.
Sayyidina Hasan ra memegang tampuk pemerintahan sesudah ayahnya
(Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra) wafat syahid terbunuh dipukul dengan
pedang oleh Abdurahman bin Muljam, berdasarkan pembai’atan yang
dilakukan oleh penduduk Kota Kufah. Beliau memerintah selama enam bulan
dan beberapa hari, sebagai pemimpin yang benar, adil dan jujur.
Beliau (Sayyidna Hasan ra) membuat perjanjian damai dengan
pemberontak Mu’awiyyah. Dengan terjadinya penyerahan kekuasaan dari
Sayyidina Hasan ra ke Muawiyah yang terjadi pada pertengahan bulan
Jumadil Awal tahun 41 Hijriyah, maka kekhalifahan selanjutnya dipegang
oleh Sahabat Muawiyah. Usia Muawiyah saat itu 66 tahun, sedang usia
Sayyidina Hasan adalah 38 tahun. Dalam sejarah Islam, tahun dimana
terjadi perdamaian antara Sayyidina Hasan ra dan Muawiyah ini, disebut
‘Aamul Jama’ah, karena pada saat itu kaum muslimin bersatu dibawah satu
komando.
Selanjutnya beliau (Sayyidina Hasan ra) dan seluruh keluarganya
segara meninggalkan Kufah dan kembali menetap di Madinah. Hampir 10
tahun Sayyidina Hasan ra tinggal di Madinah, dan waktunya banyak beliau
habiskan dalam beribadah dan mengamalkan ilmunya. Apabila beliau selesai
sholat subuh, beliau selalu mampir ketempat istri istri Rasulullah saw.
Dan terkadang memberi mereka hadiah. Namun apabila beliau selesai
sholat dhohor, beliau tetap duduk di Mas’jid mengajar, dan terkadang
menambah ilmu dari para Sahabat Rasulullah saw yang masih ada.
Akhirnya, pada tanggal 28 Shafar tahun 50 Hijriyah, Sayyidina Hasan
ra berpulang ke rahmatullah dalam usia 47 tahun dan dimakamkan di
pemakaman umum Baqi’. Dalam kitab Al-Ishaabah, Al-Waqidi bercerita:
“Pada hari (penguburan Sayyidina Hasan ra) orang-orang yang
menghadirinya sangat banyak. Sekiranya jarum dilemparkan di atas mereka,
niscaya jarum tersebut akan jatuh di atas kepala mereka dan tidak akan
menyentuh tanah.”
Mengenai kematian Sayyidina Hasan ra ini, para ahli sejarah
mengatakan, bahwa beliau wafat karena diracun. Saudaranya yaitu
Sayyidina Husein ra, tatkala mengetahui sang kakak telah diracun,
memaksanya agar memberitahu siapa pelakunya, namun beliau (Sayyidina
Hasan ra) menolak.
Abul Faraj Al-Ishfahani dalam bukunya Maqatiluth Thalibiyin menulis:
“Mu’awiyah ingin mengambil bai’at untuk putranya, Yazid. Demi
merealisasikan tujuannya ini ia tidak melihat penghalang yang besar
melintang kecuali Sayyidina Hasan ra dan seorang sahabat ra Sa’d bin Abi
Waqqash. Dengan demikian, ia membunuh mereka berdua secara diam-diam
dengan racun.”
As Sibth bin Jauzi meriwayatkan dari Ibnu Sa’d dalam kitab
At-Thabaqat dan ia meriwayatkan dari Al-Waqidi bahwa Sayyidina Hasan ra
ketika sedang menghadapi sakaratul maut pernah berwasiat: “Kuburkanlah
aku di samping kakekku Rasulullah saw”. Akan tetapi, Bani Umaiyah,
Marwan bin Hakam dan Sa’d bin Al-’Ash sebagai gubernur Madinah kala itu
tidak mengizinkannya untuk dikuburkan sesuai dengan wasiatnya.Akhirnya,
jenazah Sayyidina Hasan ra diboyong menuju ke pekuburan Baqi’ dan
dikuburkan di samping kuburan neneknya (Ibunda dari Sayyidina Ali bin
abi Thalib ra), yaitu Fathimah binti Asad.
Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Tadzkirah Al-Khawas menukil dari Abu
Sa’id dalam Thabaqat-nya menyebutkan putra putri Sayyidina Hasan ra
adalah: Muhammad Al-Ashghar, Ja’far, Hamzah, Muhammad Al-Akbar, Zaid,
Hasan Al-Mutsana, Fatimah, Ummul Hasan, Umul Khair, Ummu Abdurrahman,
Ummu Salmah, Ummu Abdullah, Ismail, Ya’qub, Abubakar, Thalhah dan
Abdullah.
Muhammad Ali Shabban dalam bukunya ‘Teladan Suci Keluarga Nabi’ mengatakan keturunan Sayyidina Hasan ra yang sahih yang ada sekarang adalah Zaid dan Hasan Al-Mutsana. Zaid lebih tua dari saudaranya Hasan Al-Mutsana. Sesudah pamannya (Sayyidina Husein ra) meninggal, ia membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Menurut salah satu pendapat, Zaid hidup selama seratus tahun.
Muhammad Ali Shabban dalam bukunya ‘Teladan Suci Keluarga Nabi’ mengatakan keturunan Sayyidina Hasan ra yang sahih yang ada sekarang adalah Zaid dan Hasan Al-Mutsana. Zaid lebih tua dari saudaranya Hasan Al-Mutsana. Sesudah pamannya (Sayyidina Husein ra) meninggal, ia membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Menurut salah satu pendapat, Zaid hidup selama seratus tahun.
Sedangkan Hasan Al-Mutsana, ikut pamannya (Sayyidina Husein ra) di
Karbala, dan mendapat luka-luka dalam perang melawan pasukan Yazid
Muawiyyah. Ketika pihak musuh hendak mengambil kepalanya, mereka dapati
ia masih bernafas, lalu Asma bin Kharijah Al-Fazzari berkata: ‘Biarkan
dia kubawa!” Kemudian dibawanya ke Kufah dan diobati sampai sembuh.
Setelah itu, Hasan Al-Mutsana kembali ke Madinah.
Habib Ali Zainal Abidin Assegaf, pengurus Naqobatul Asyrof Al-Kubro
(lembaga pemeliharan, penelitian, sejarah dan pencatatan silsilah
Alawiyin) mengungkapkan mayoritas habib (sayyid) di Indonesia yang
ber-fam Al-Hasani berasal dari putra Sayyidina Hasan yang bernama Hasan
Al-Mutsana. Pemilik fam Al-Hasani, kata dia, tak sebanyak jumlah fam di
keluarga Bani Alawi yang merupakan keturunan Sayyidina Husein ra.
“Al-Hasani itu mastur (tidak banyak, langka dan tersembunyi, red),” ujar
Chaidar.
Al-Hasani memang mastur, tapi diantara yang sedikit itu saat muncul
ke permukaan sangat masyhur (sangat terkenal). Beberapa figur ternama
yang memiliki fam Al-Hasani adalah Sulthanul Awlia (Pemimpin Para Wali)
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Syekh Saman Al-Madani (pendiri Tarekat
Sammaniyah), Abul Hasan Asy-Syadzili (Sufi besar asal Maroko), Sayyid
Alwi bin Abbas Al-Maliky dan putranya Al Imam As Sayyid Muhammad bin
Alwi Al-Maliky al Hasani.
Beliau, Al Imam As Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasani
(wafat dan di makamkan di pemakaman Ma’la, Makkah Al Mukarromah pada 15
Ramadhan 1425H / 29 Oktober 2004), adalah seorang Muhaddits & tokoh
Ulama Sunni abad ini, seorang mufassir yang ahli dalam ilmu Fiqh,
Aqidah, Tasawwuf, dan Sirah. Diantara kitab karya monumental beliau yang
telah mendapat sambutan tidak kurang dari 40 ulama besar dunia. adalah :
Mafahim Yajibu An Tushahhah (Pemahaman-pemahaman yang harus
diluruskan).
Beliau (Abuya Al Maliki), sebagaimana diceritakan oleh Ketua
Tanfidziyah PB NU, Prof DR. KH Said Agil Siraj MA dalam majalah Sabili
No. 14 (4 Febr 2010), pernah melakukan debat terbuka dengan Syeikh Abdul
Azis bin Baz (Mufti Kerajaan Arab Saudi). Debat tsb Alhamdulillah
dimenangkan oleh Abuya Al Maliki, tapi oleh pemerintah Saudi dokumentasi
debat ini tidak boleh disebarluaskan. Akhirnya, abuya Al Maliki
menuliskan hasil debat tersebut dengan bahasa yang sudah diperhalus,
serta dengan tidak menyebutkannya sebagai hasil debat, dalam kitab
beliau: Mafahim Yajibu An Tushahhah.
Dari kediaman beliau di Makkah Al mukarromah yang juga merupakan
Majelis Ilmu dan Ribath Sunni, telah bermunculan ulama-ulama besar yang
membawa panji Rasulullah ke seluruh penjuru dunia. Murid-murid beliau
dapat kita jumpai di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika dan
terutama Asia. Di Indonesia, Haiah As Shofwah adalah wadah bagi para
alumni dari ma’had beliau.
Sayyidina Husein Bin Ali Bin Abi Thalib ra.
Sayyidina Husein ra (Abu Abdillah) adalah cucu Rasulullah saw dan
beliau adalah adik dari Sayyidina Hasan ra. Beliau ra lahir pada hari ke
5 bulan Sya’ban tahun ke 4 hijriyah. Sayyidina Husein ra gugur sebagai
syahid dalam usia 57 tahun, pada hari Jum’at, hari ke 10 (Asyura) dari
bulan Muharram, tahun 61 Hijriyah di padang Karbala, suatu tempat di
Iraq yang terletak antara Hulla dan Kuffah.
Menurut al-Amiri, Sayidina Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3
anak perempuan. Dan dari keturunan Sayyidina Husein ra yang meneruskan
keturunannya hanya Ali al-Ausath yang diberi gelar “ALI ZAINAL ABIDIN”.
Sedangkan Muhammad, Ja’far, Ali al-Akbar, Ali al-Asghar , Abdullah,
tidak mempunyai keturunan (ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya
sebagai syahid di Karbala). Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab,
Sakinah dan Fathimah.
Kaum Alawiyyin adalah keturunan dari Rasulullah saw melalui Imam Alwi
bin Ubaydillah bin AHMAD AL MUHAJIR bin Isa bin Muhammad bin Ali Al
Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin ALI ZAINAL
ABIDIN bin SAYYIDINA HUSAIN RA. Istilah Alawiyin atau Ba’alawi digunakan
untuk membedakan keluarga ini dari keluarga para Sayyid yang lain yang
sama –sama keturunan Rasulullah saw.
Prof. Dr. Hamka mengutip kata-kata mutiara dari al Imam Asy Syafi’i
saat menulis kata sambutan dalam sebuah buku karangan Al Habib Hamid Al
Husaini yang berjudul Al-Husain bin Ali Pahlawan Besar sbb: “Jika saya
akan dituduh (sebagai) orang Syiah karena saya mencintai keluarga
Muhammad saw, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin, bahwa saya
ini adalah penganut Syi’ah.”
Beliau juga pernah mengatakan : “Tidak layak untuk tidak mengetahui
bahwa Alawiyyin Hadramaut berpegang teguh pada madzhab Syafi’i. Bahkan,
yang mengokohkan madzhab ini di Indonesia, khususnya di tanah Jawa,
adalah para Ulama Alawiyin Hadramaut.”
Di beberapa negara, sebutan untuk dzurriyat rasul saw ini
berbeda-beda. Di Maroko dan sekitarnya, mereka lebih dikenal dengan
sebutan Syarif, di daerah Hijaz (Semenanjung Arabia) dengan sebutan
Sayyid, sedangkan di nusantara umumnya mereka dikenal dengan sebutan
Habib. Di Indonesia sendiri ada lembaga khusus yang berpusat di Jakarta,
bernama Rabithah Alawiyah, yang mencatat nasab (silsilah) para
Alawiyin. Sehingga benar-benar gelar Habib atau Sayyid tidak
disalahgunakan oleh seseorang.
Dalam buku “Sejarah masuknya Islam di Timur Jauh”, Prof DR. Hamka
menyebutkan bahwa: “Gelar Syarif khusus digunakan bagi keturunan
Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husain ra apabila menjadi raja. Banyak
dari para Sultan di Indonesia adalah keturunan baginda Rasulullah saw.
Diantaranya Sultan di Pontianak mereka digelari Syarif. Sultan Siak
terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid Syarif Qasim bin Sayyid
Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Demikian pula dengan pendiri kota
Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, beliau digelari
Syarif Hidayatullah.”
Kemudian Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam sebuah hadits Rasulullah
saw bersabda, yang artinya “Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin
(sayyid) pemuda ahli surga” (Seraya menunjuk kedua cucu beliau,
Sayyidina Hasan dan Husain). Berlandaskan hadits tsb, sudah menjadi
tradisi turun temurun bahwa setiap keturunan Sayyidina Hasan ra dan
Sayyidina Husain ra digelari Sayyid.
Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah, jika ada yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak memiliki keturunan dan mengatakan
bahwa orang yang mengaku keturunan beliau adalah seorang yang berbohong.
Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang iri dan
dengki. (Seperti didalam Al Qur’an Surat Al Kautsar).
Pada sekitar abad 9 H sampai 14 H, mulai membanjirnya hijrah kaum
Alawiyin keluar dari Hadramaut. Mereka menyebar ke seluruh belahan
dunia, hingga sampailah ke nusantara ini. Diantara mereka ada yang
mendirikan kerajaan atau kesultanan yang masih dapat disaksikan hingga
kini, diantaranya: Kerajaan Al Aydrus di Surrat (India), Kesultanan Al
Qadri di Kepulauan Komoro dan Pontianak, Kesultanan Al Bin Syahab di
Siak dan Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawiyin pada masa
itu adalah Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad (Shahibur Ratib Al
Haddad). Sejarawan Hadramaut, Syaikh Muhammad Bamuthrif, mengatakan,
bahwa Alawiyin atau Qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar
jumlahnya di Hadramaut, dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan
Afrika.
Riwayat Al Imam Ahmad Al Muhajir
Beliau (Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi
bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husain ra.) adalah dzurriyat (keturunan) baginda Nabi saw yang
hijrah dari Baghdad (Iraq) menuju ke Hadramaut Yaman pada abad ke 4
Hijriah. Beliau memilih Hadramaut sebuah negeri miskin yang tandus
sebagai tempat hijrahnya, demi untuk menyelamatkan akidah dan agamanya.
Pada saat itu (abad ke 4 Hijriah), merupakan masa yang paling gelap
dalam sejarah Islam. Di kalangan muslimin, umat terpecah belah menjadi
beberapa kelompok, diantaranya: Sunnah, Syiah, Khawarij, Mu’tazilah
(Faham Rasionalisme pertama dalam Islam) dan lain – lainnya. Belum lagi
datangnya kelompok Zanji (Komunitas budak kulit hitam asal Afrika) di
kota Bashrah (Iraq), yang menjarah dan banyak menimbulkan kekacauan di
segala bidang.
Disebutkan bahwa ketika terjadi serangan dari kelompok Zanji ini,
ribuan warga Basrah terbunuh dalam tiap harinya (871 M). Ditambah lagi
kehadiran kaum Qaramitha (Kelompok ekstrim Syiah yang berniat
menumbangkan kaum Sunni) pada tahun 310 H, yang telah menjadikan kota
Basrah semakin mencekam. Pada masa itu, sejarah mencatat, bahwa pada
tahun 930 M, kaum Qaramitha masuk dan menyerang kota suci Makkah, bahkan
Hajar Aswad berhasil dijebol dan dirampok dari tempat asalnya dan
berada di tangan kaum Qaramitha selama 23 tahun. Suasana Makkah dan
Madinah saat itu sangat mencekam, pembunuhan terjadi di berbagai penjuru
kota.
Dalam keadaan seperti itulah, Al Imam Ahmad Al Muhajir meninggalkan
tanah kelahirannya untuk menyelamatkan akidahnya, serta bagi generasi
keturunan berikutnya. Ketika masuk ke Hadramaut, beliau menggunakan
metode dakwah dengan akhlak yang lembut dan luwes. Menurut sumber
sejarah yang shahih, dikatakan bahwa madzhab Khawarij merupakan madzhab
yang paling banyak dianut masyarakat di Hadramaut kala itu. Mereka
saling berebut pengaruh dengan kelompok Zaidiyah (Penganut Syiah yang
ajarannya mendekati Ahlussunnah).
Namun dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian Al
Imam Ahmad Al Muhajir beliau berhasil mengajak para pengikut Khawarij
untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih dan Ahlus Sunnah wal jama’ah
dalam akidah. Tidak sedikit dari kaum Khawarij yang dulunya bersifat
brutal, akhirnya menyatakan taubat di hadapan beliau. Dan sebelum abad 7
H berakhir, madzhab Khawarij telah terhapus secara menyeluruh dari
Hadramaut, dan Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah diterima oleh seluruh
penduduknya.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah
Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi
kiblat kaum sunni yang “ideal” terutama bagi kaum Alawiyin, karena
kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya. Ini dapat
dilihat bagaimana amalan mereka dalam bidang ibadah, yang tetap
berpegang pada madzhab Syafi’i, seperti pengaruh yang telah mereka
tinggalkan di Nusantara ini. Dalam bidang Tasawuf, meskipun ada nuansa
Ghazali, namun di Hadramaut menemukan bentuknya yang khas, yaitu Tasawuf
sunni salaf Alawiyin yang sejati.
Dari Hadramaut inilah, anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor
dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan
Melayu dan Indonesia. Saat ini negeri muslimin terbesar di dunia adalah
Indonesia , dan yang membawa Islam ke Indonesia adalah penduduk Yaman
(yang datang pada abad ke – 16 dari Hadramaut dan juga ada yang melalui
Gujarat), dari keluarga Al Hamid, As Saggaf , Al Habsy dan As Syathiry,
Assegaf dan lain lain (masih banyak lagi para keluarga dzurriyat baginda
Nabi saw, yang sampai kini masih terus berdakwah membimbing ummat di
bumi Indonesia seperti: Al Aydrus, Al Attas, Al Muhdhor, Al Haddad, Al
Jufri, Al Basyaiban, Al Baharun, Al Jamalullail, Al Bin Syihab, Al Hadi,
Al Banahsan, Al Bin Syaikh Abu Bakar, Al Haddar, Al Bin Jindan, Al
Musawa, Al Maulachila, Al Mauladdawilah, Al Bin Yahya, Al Hinduan, Al
Aidid (–bukan Aidit–), Al Ba’bud, Al Qadri, Al Bin Syahab, dan lain
lain) termasuk juga para Wali Songo, yang menyebar ke pedalaman –
pedalaman Papua , Sulawesi, Pulau Jawa , mereka rela berdakwah dengan
memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan
berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa
pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada
yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar.
Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya
yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Khusus para Wali Songo, menurut Al Habib Salim bin Abdullah Asy
Syathiri (pengasuh Rubat Tarim Hadramaut), silsilah mereka sampai kepada
Paman dari Al Faqih Al Muqaddam, yaitu Al Imam Alwi bin Muhammad Shahib
Marbad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi Alawiyin bin Ubaydillah
bin Imam Ahmad Al Muhajir.
Mereka (para Wali Songo) selalu berpegang teguh kepada para
leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi’i secara Fiqih, dan secara aqidah
mereka menganut teologi Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi,
sedangkan manhaj dakwah mereka mengikuti thariqah Ba’alawi.
Maka benarlah sabda Baginda Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu :
أَتَاكُمْ أَهْلَ اْليَمَن هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوْبًا اَلْإِيْمَانُ يَمَانٌ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ
“ Datang kepada kalian penduduk Yaman, mereka lebih ramah perasaannya
dan lebih lembut hatinya, iman adalah pada penduduk Yaman, dan hikmah
kemuliaan ada pada penduduk Yaman .” ( Shahih Al Bukhari )
Para ulama ahlu Yaman sejak berabad –abad tahun yang lalu didakwahi
pertama kali oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib kw dan sayyidina Mu’adz
bin Jabal ra . Sayyidina Mu’adz bin Jabal ke Yaman Utara dan sayyidina
Ali bin Abi Thalib ke Yaman Selatan, Hadramaut . Demikian dakwah kedua
shahabat ini membuka Yaman menjadi wilayah muslimin , dan disabdakan
oleh Rasul yang berdoa:
اَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ يَمَنِنَا
“ Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk wilayah Syam, Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk Yaman “
Syam adalah wilayah Jordan dan sekitarnya , mengapa Rasulullah
mendoakan keberkahan untuk wilayah yaman ? , karena beliau mengetahui
bahwa nanti stelah beliau wafat akan ada Al Imam Ahmad Al Muhajir
keturunan beliau hijrah ke Yaman dari Baghdad dan kemudian terus
menyebar Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany di dalam Fathul Bari bisyarh
Shahih Al Bukhari menjelaskan hadits ini , beliau berkata bahwa hadits
ini terikat pada kaum Anshar karena ternyata kaum Anshar itu adalah
keturunan orang –orang Yaman , yang mana Rasulullah telah bersabda :
مَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُمُ اللهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُمُ اللهُ
“ Barangsiapa yang mencintai Anshar maka ia dicintai Allah , dan siapa yang membenci Anshar maka ia dibenci Allah “
Anshar adalah keturunan orang Yaman , bahkan Hujjatul Islam
wabarakatul anam Al Imam An Nawawy alaihi rahmatullah menjelaskan bahwa
penduduk Makkah pun ketika di masa datangnya Siti Hajar ‘alaihassalam
yang ditinggalkan oleh nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang ketika itu
sayyidah Hajar bersama putranya yaitu nabi Ismail alaihissalam ditinggal
di Makkah, ketika itu datang kafilah dari Bani Tihamah dari Yaman ,
jadi penduduk Makkah pun asal muasalnya dari Yaman juga , ternyata
Makkah dan Madinah awalnya juga dari Yaman, demikian pula muslimin yang
sampai ke Indonesia awalnya juga dari Yaman. Maka benarlah sabda Baginda
Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan kemuliaan ahlu
Yaman. Subhanallah.
(Diolah dari berbagai sumber)
Daftar Rujukan:
- 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia; Abdul Qadir Umar Mauladawilah.
- Petunjuk Monogran Silsilah Berikut Biografi dan Arti Gelar Masing-masing Leluhur Alawiyin; Al Habib Muhammad Hasan Aidid.
- 60 Hadits tentang Ahlul Bait Nabi saw; Al Imam al Hafizh Jalaluddin as Suyuthi.
- Katakan Inilah Jalanku; Ceramah Al Habib Jindan bin Novel bin salim bin Jindan.
- Kemuliaan Ahlu Yaman, Ceramah Al Habib Munzir Al Musawa, 8 Februari 2010.
- Mutiara Ahlul Bait dari Tanah Haram; Al habib Muhsin bin Ali Hamid Ba’alawi
- Petunjuk Monogran Silsilah Berikut Biografi dan Arti Gelar Masing-masing Leluhur Alawiyin; Al Habib Muhammad Hasan Aidid.
- 60 Hadits tentang Ahlul Bait Nabi saw; Al Imam al Hafizh Jalaluddin as Suyuthi.
- Katakan Inilah Jalanku; Ceramah Al Habib Jindan bin Novel bin salim bin Jindan.
- Kemuliaan Ahlu Yaman, Ceramah Al Habib Munzir Al Musawa, 8 Februari 2010.
- Mutiara Ahlul Bait dari Tanah Haram; Al habib Muhsin bin Ali Hamid Ba’alawi
Komentar
Posting Komentar