Kisah Keberkahan Sedekah

Islam adalah agama yang mengutamakan amal, derma, kebaikan, kemurahan hati, dan tolong-menolong. Dan sedekah merupakan elemen utama dalam hal ini.

Kata shadaqah disebut­kan dalam Al-Qur’an sebanyak 15 kali dan semuanya turun pasca-hijrah, yakni di Madinah. Sedekah berasal dari kata sha­daqah, yang berarti “benar”. Menurut pengertian istilah syari’at, sedekah ber­arti “segala pemberian amal derma di jalan Allah”. Pengertian sedekah lebih luas dari­pada infak. Infak berkaitan dengan materi, sedang sedekah juga menyangkut hal yang non-materi. Dari segi makna syar’i, hampir tidak ada perbedaan makna antara sedekah dan zakat. Bahkan, Al-Qur’an sering meng­gunakan kata sedekah dalam pe­ngertian zakat.

Allah SWT berfirman, “Ambillah sede­kah (zakat) dari sebahagian harta me­reka. Dengan zakat itu kamu member­sihkan dan menyucikan mereka dan ber­doalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” — QS At-Taubah (9): 103.

“Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengu­rus-pengurus zakat, para mualaf yang di­bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) bu­dak, orang-orang yang berutang, untuk ja­lan Allah, dan untuk mereka yang se­dang dalam perjalanan, sebagai suatu ke­tetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” — QS At-Taubah (9): 60.

Rasulullah SAW dalam hadits pun sering menyebut sedekah dengan makna zakat, seperti dalam haditsnya, “Harta yang kurang dari lima watsaq tidak ada kewajiban untuk membayar sedekah (zakat).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Begitu juga dalam hadits yang meng­isahkan pengiriman Mu’adz bin Jabal RA ke Yaman. Rasulullah SAW memberi pe­rintah, “Beri tahu mereka bahwa Allah me­wajibkan atas mereka untuk mengeluar­kan sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka....”

Dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniy­yah bab 11, Imam Al-Mawardi mengata­kan, sedekah itu adalah zakat dan zakat itu adalah sedekah.
Suatu ketika Rasulullah SAW bersab­da, “Tiap muslim wajib bersedekah.”
Sahabat bertanya, “Jika tidak bisa?”
“Hendaklah dia bekerja dengan ke­dua tangannya yang berguna bagi dirinya dan dia dapat bersedekah.”
“Jika tidak bisa?”
“Bantulah orang yang sangat butuh pertolongan.”
“Jika tidak bisa?”
“Menganjurkan kebaikan.”
“Jika tidak bisa?”
“Menahan dirinya dari kejahatan, maka itu sedekah untuk dirinya sendiri.”

Dari penjelasan hadits di atas, sede­kah tidak harus dengan mengeluarkan se­jumlah materi atau uang. Tetapi semua amal kebajikan yang dilakukan seorang muslim, seperti menjaga kebersihan ling­kungannya, bersopan-santun, bahkan se­kadar memberikan senyuman pun, ter­golong sedekah. Termasuk membaca tas­bih, takbir, tahmid, tahlil, hingga ber­senggama dengan istri, adalah sedekah.

Sedekah harus menjadi makanan po­kok dalam hidup kita, baik dalam keadaan kaya maupun miskin. Jangan jadikan kemiskinan sebagai tembok penghalang untuk bersedekah. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyatakan bahwa Allah menyukai orang kaya yang dermawan, namun Allah lebih menyukai orang miskin yang dermawan.
Banyak kisah, baik dalam kitab-kitab maupun pengalaman pada masa kini, yang telah menceritakan keberkahan yang melimpah setelah seseorang ber­sedekah.

Keteladanan para Sahabat
Sahabat-sahabat Rasulullah menjadi teladan dalam bersedekah. Abdurrahman bin Auf menyumbangkan sebahagian be­sar kekayaannya untuk membantu kaum Muhajirin saat tiba di Madinah, hingga ia sendiri hanya memakai satu-satunya pa­kaian terbaiknya dan sepetak tanah untuk berteduh. Begitu pun dengan Sayyidina Ali RA.

Suatu hari Sayyidina Ali mendapati ke­dua anaknya, Al-Hasan dan Al-Husain, jatuh sakit. Ia berupaya mencari pengo­batan untuk kedua buah hatinya.
Lama belum ada hal yang menun­juk­kan kesembuhan, Sayyidina Ali ber­nadzar, “Ya Allah, jika kedua putraku ini sembuh, aku akan berpuasa selama tiga hari.”

Allah mendengar nadzarnya hingga Allah memberikan kesembuhan bagi kedua cucu Rasulullah SAW itu.
Sayyidina Ali dan istrinya, Sayyidah Fathimah, pun berpuasa untuk meme­nuhi nadzar itu.

Singkat cerita, menjelang berbuka puasa di hari pertama puasa nadzar itu, mereka hanya memiliki dua kerat roti ke­ring. Saat akan berbuka, belum lagi di­santapnya roti itu, datanglah seorang fakir miskin yang kelaparan dan meminta to­long keduanya. Maka roti itu diberikan seluruhnya, melihat keadaan si peminta-minta yang sangat membutuhkan uluran itu. Urunglah keduanya menyantap ma­kanan berbuka.

Pada hari kedua, mereka punya se­potong roti yang dipersiapkan untuk di­santap saat berbuka. Ketika tiba saat berbuka, lagi-lagi datang seseorang yang membutuhkan uluran tangan keduanya. Kali itu seorang anak yatim yang kurus meminta sesuap makanan, sehingga Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah pun memberikannya. Keduanya pun berbuka hanya dengan air putih.

Demikian juga saat hari ketiga. Ketika waktu berbuka, datang seorang tawanan yang baru dibebaskan dan membutuhkan makanan dari keduanya. Mereka berdua pun akhirnya merelakan satu-satunya roti kering yang mereka persiapkan untuk berbuka.
Sebuah pelajaran yang amat meng­harukan dari keluarga Rasulullah Mu­hammad SAW, yang penyantun dan pe­nyabar. “Idza da’ahul miskinu ajabahu ijabatan mu`ajjalah (Jika orang miskin menyerunya, dijawabnya sesegera mung­kin).” Demikian untaian kata Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dalam uraian Maulid Nabi karyanya, Simthud Durar.

Kisah Sayyidina Ali ini Allah Ta’ala abadikan dalam surah Al-Insan (76): 8-10, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan ke­padamu hanyalah untuk mengharap­kan keridhaan Allah, kami tidak meng­hen­daki balasan dari kamu dan tidak pula (ucap­an) terima kasih. Sesung­guhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.”

Sudah menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Tidak dipungkiri, banyak sau­dara muslim yang memperoleh ke­luasan dan kemudahan atas ikhtiarnya itu. Sementara di sisi lain, ada sebahagi­an saudara yang hidup sebatas cukup, bahkan di bawah standar kecukupan. Dan Islam pun telah mengatur skema dan me­kanisme sedekah dan jenis-jenisnya, seperti zakat, infak, hibah, sehingga ke­hidupan sosial berjalan sesuai titian yang ditunjukkan Allah SWT.

Bersedekah merupakan aktivitas se­orang muslim yang memiliki sifat keuta­maan, karena ketinggian derajat seorang muslim sangat ditentukan oleh sebesar dan sejauh mana ia memiliki kepedulian dan kepekaan sosial kepada muslim lain­nya.

Harta bukan untuk ditumpuk dan di­nikmati sendiri. Seorang muslim harus ingat bahwa ada kewajiban yang harus di­tunaikan terhadap harta itu, karena di dalamnya juga ada hak orang lain. Se­sungguhnya, bersedekah bukan hanya untuk kepentingan orang lain, tapi juga terlebih untuk kepentingan kita sendiri, sebagai bekal, baik di dunia maupun di akhirat.

Kisah Ustadz Yusuf Mansur
Ustadz Yusuf Mansur dalam sebuah kolom Kuliah online yang diasuhnya di se­buah situs menulis kisah nyata:
“Satu hari saya jalan melintas di satu daerah..dan saya tertidur di dalam mobil. Saat terbangun, ada tanda pom bensin yang sebentar lagi saya lalui. Saya pesan ke supir saya, ‘Nanti di depan, ke kiri ya!’.
‘Masih banyak, Pak Ustadz’, kata si supir. Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan. Saya kepengen pipis. Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti memanggil saya, ‘Pak Ustadz!’ Dari jauh ia melambai dan mendekati saya.
Saya menghentikan langkah. Me­nunggu beliau.

‘Pak Ustadz, alhamdulillah nih, bisa ke­temu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya melihat di TV saja….’
Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah, he he he.
‘Saya ke toilet dulu ya.’
‘Nanti saya pengen ngobrol, boleh Ustadz?’
‘Saya buru-buru loh. Tentang apa an sih?’
‘Saya bosen jadi satpam, Pak Ustadz.’
Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang berhentiin langkah saya di sini. Lagi enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh, nemu pom bensin. Akhirnya ketemu sekuriti ini. Berarti barangkali saya kudu bicara de­ngan dia. Sekuriti ini barangkali target operasi dakwah hari ini. Begitu pikir saya.

Saya katakan pada sekuriti yang mu­lia ini, ‘Ok, ntar habis dari toilet ya.’
‘Jadi, pegimana? Bosen jadi sat­pam? Emangnya ga gajian?’ tanya saya membuka percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini. Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart-nya yang dilengkapi fasilitas ngopi-ngopi ringan.
‘Gaji mah ada, Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?’
‘Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang udah begitu. Disetel ka­yak apa juga, agak susah buat nge­ru­bahnya.’
‘Wah, Ustadz langsung nembak aja nih.’
Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama ada perkataan saya yang sa­lah. Tapi umumnya begitulah manusia. Riz­ki mah mau banyak, tapi sama Allah ga mau mendekat. Rizki mah mau nam­bah, tapi ibadah dari dulu ya begitu-begitu saja.
‘Udah shalat Ashar?’
‘Barusan, Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya ga? Ya saya pikir sama saja.’
‘Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ adalah juga ibadah?’
Sekuriti itu senyum aja. Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Arti­nya, sekuriti itu bisa benar-benar meng­anggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga. Cuma sebatas omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita ibadah, apa yang kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan sebagai ibadah.

Tapi, itu ada syaratnya. Apa syarat­nya? Yakni kalau ibadah wajibnya, tetap nomor satu. Kalau ibadah wajibnya no­mor tujuh belas, ya disebut bohong dah tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita sebagai ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bu­kan hanya boleh. Tapi kemudian kita me­nerima tamu sementara Allah datang. Arti­nya kita menerima tamu pas waktu shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka yang demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi kalau kemu­dian hasil kerjaan dan hasil usaha, buat Allah-nya lebih sedikit ketimbang buat kebutuhan-kebutuhan kita. Kayak­nya per­lu dipikirin lagi tuh sebutan-sebut­an ibadah.

‘Di sebut barusan itu maksudnya jam setengah lima-an ya? Saya kan baru jam 5 nih masuk ke pom bensin ini,’ saya mengejar.
‘Ya, kurang lebih dah.’

Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang ‘alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu. Aqimish shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk meng­ingat-Ku. Lalu, kita bersantai-santai da­lam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan sekuriti yang entahlah saya me­rasa he is the man yang Allah sedang ber­kenan mengubahnya dengan mem­pertemukan dia dengan saya.

‘Gini ya, Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk mengejar ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu setengah jam, andai Ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila dalam sehari semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak aqil baligh, sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak keter­tinggalan kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam sebulan, dan sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita telat. Itu baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau ke­lupa­an, atau yang lebih bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, ma­kin jauh saja mestinya kita dari senang’.

Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut muka­nya, nampaknya ia paham. Saya katakan pada dia. Jika dia alumni SMU, yang se­lama ini telat shalatnya, maka kawan-kawan selitingnya mah udah di mana, dia masih seperti diam di tempat.
Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, ‘Terus, mau berubah?’
‘Mau, Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalo gak serius?’
‘Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah-nya.’
‘Ngebut gimana?’
‘Satu, benahin shalatnya. Jangan se­tengah lima-an lagi shalat Asharnya. Pan­tangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah. Jangan sampe keduluan Allah.’

Si sekuriti mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum adzan udah stand­by di atas sajadah. Kita ini pengen rizki­nya Allah, tapi ga kenal sama Yang Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-peker­ja di tanah air ini. Kan aneh. Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran Allah memanggil, sedang Allah-lah Tuhan yang sejatinya menjadi­kan seseorang bekerja, malah kelakuan­nya seperti ga menghargai Allah. Ne­muin klien, rapih, wangi, dan persiap­annya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit pakaiannya, ga ada per­siapan, dan tidak segan-segan menun­jukkan wa­jah dan fisik lelahnya. Ini namanya ga ke­nal sama Allah.

‘Yang kedua,’ saya teruskan. ‘Yang kedua, keluarin sedekahnya.’
Saya inget betul. Sekuriti itu tertawa.
‘Pak Ustadz, pegimana mau sedekah, hari gini aja nih, udah pada habis belanja­an. Hutang di warung juga terpaksa di­buka lagi, alias udah mulai ngambil dulu bayar belakangan.’
‘Ah, ente-nya aja kali yang kebanyak­an beban. Emang gajinya berapa?’
‘Satu koma tujuh, Pak ustadz.’
‘Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran sekuriti, yang orang sering sebut orang kecil, itu udah gede.’
‘Yah, pan kudu bayar motor, bayar kon­trakan, bayar susu anak, bayar ini, bayar itu. Emang ga cukup, Pak Us­tadz.’
‘Itu gaji  bisa gede, emang udah lama kerjanya?’
‘Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama kerjanya. Saya ini kerjanya pagi, siang, sore, malem, Ustadz.’
‘Kok bisa?’
‘Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos pegimana gitu sampe ketemu angka 1,7 juta.’
‘Terus, kenapa masih kurang?’
‘Ya itu, sebab saya punya tanggung­an banyak.’
‘Secara dunianya, lepas aja itu tang­gungan. Kayak motor. Ngapain juga ente kredit motor? Kan ga perlu?’
‘Pengen kayak orang-orang, Pak Ustadz.’
‘Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang, motornya. Bukan ilmu dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot...’
Sekuriti ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya 900 ribu. Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh dari mana dia nutupin kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik. Kalo ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.
‘Ya udah, udah keterlanjuran ya? Oke, shalatnya gimana? Mau diubah?’
‘Mau, Ustadz. Saya benahin dah.’
‘Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sendal, lakukan berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin. Ikutan semuanya ngebenahin shalat.’
‘Siap, Ustadz.’
‘Tapi sedekahnya tetap kudu loh.’
‘Yah, Ustadz, kan saya udah bilang, ga ada.’
‘Sedekahin aja motornya. Kalo eng­ga, apa aja kek....’
‘Jangan, Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya. Tabungan juga ga ada. Emas juga ga punya.’
Sekuriti ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia ha­nya betulin shalatnya saja, tapi sede­kah­nya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berke­hen­dak lain. Ya lain soal itu mah.
Sebentar kemudian saya bilang sama ini sekuriti, ‘Kang, kalo saya unjukin bah­wa situ bisa sedekah, yang besar lagi se­dekahnya, situ mau percaya?’
Si sekuriti mengangguk.
‘Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau ngejalanin?’
Sekuriti ini ngangguk lagi. ‘Selama saya bisa, saya akan jalanin,’ katanya, dengan mantap.
‘Gajian bulan depan masih ada ga?’
‘Masih. Kan belum bisa diambil?’
‘Bisa. Dicoba dulu.’
‘Entar bulan depan saya hidup pegimana?’
‘Yakin ga sama Allah?’
‘Yakin.’
‘Ya kalo yakin, titik. Jangan koma. Jangan pake kalau.’
Sekuriti ini saya bimbing untuk kas­bon. Untuk sedekah. Sedapetnya. Tapi usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga perubah­annya berasa. Dia janji akan ngebenahin mati-matian shalatnya. Termasuk dia akan laksanain shalat Taubatnya, shalat Hajatnya, shalat Dhuha, dan Tahajjud­nya. Dia juga janji akan rajinin di waktu senggang untuk baca Al-Qur’an.

Perasaan udah lama banget dia emang ga lari kepada Allah. Shalat Jum’at aja nunggu iqamah, sebab dia sekuriti. Wah, susah dah. Dan itu dia aminin. Itulah barangkali yang sudah membuat Allah mengunci mati dirinya hanya menjadi se­kuriti sekian tahun, padahal dia sarjana akuntansi!
Ya, rupanya dia ini sarjana akuntansi. Pantesan juga dia ga betah dengan po­sisi­nya sebagai sekuriti. Ga kena di hati. Ga sesuai sama rencana. Tapi ya begitu dah hidup. Apa boleh buat. Yang penting kerja dan ada gajinya.

Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu ke­inginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan ga apa-apa juga me­mimpikan sesuatu yang belom kesam­paian sama kita, asal....
Asal apa? Asal kita barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarin aja harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri, agar mau me­nambah ibadah-ibadahnya. Jangan ma­lah berleha-leha. Akhirnya hidup ke­makan dengan tingginya harga, ga ke­bagian, malahan stress.
Sekuriti ini kemudian maju ke atasan­nya, mau kasbon. Ketika ditanya buat apa, dia nyengir ga jawab. Tapi ketika di­tanya berapa, dia jawab, pol. Satu koma tujuh. Semuanya.
‘Mana bisa?’ kata komandannya.
‘Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru ini saya berani.’
Komandannya terus mengejar, buat apa. Akhirnya mau ga mau sekuriti ini ja­wab dengan menceritakan pertemuan­nya dengan saya.
Singkat cerita, sekuriti ini direkomen­dasikan untuk ketemu langsung sama owner-nya ini pom bensin. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet kasbonan cuma 30% aja, itu pun belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya menyetujui. Sebab komandannya ini ikutan merayu. ‘Buat sedekah katanya, Pak,’ begitu kata komandannya.

Subhanallah, satu pom bensin itu me­nyaksikan perubahan ini. Sebab cerita si sekuriti ini sama komandannya, yang me­rupakan kisah pertemuannya dengan saya, menjadi kisah yang dinanti the end story-nya. Termasuk dinanti oleh bosnya.
‘Kita coba lihat, berubah ga tuh si se­kuriti nasibnya’, begitulah pemikiran ka­wan-kawannya yang tahu bahwa si se­kuriti ini ingin berubah bersama Allah me­lalui jalan shalat dan sedekah.
Hari demi hari, sekuriti ini dilihat sama kawan-kawannya rajin betul shalatnya. Te­pat waktu terus. Dan lumayan istiqa­mah ibadah-ibadah sunnahnya.
Bosnya yang mengetahui hal ini, se­nang. Sebab tempat kerjanya jadi ke­cip­ratan berkah dengan adanya orang yang mendadak jadi shalih begini. Apalagi ke­nyataannya si sekuriti ga mengurangi ke­disiplinan kerjaannya. Bahkan, malah tam­bah cerah mukanya.

Sekuriti ini mengaku dia mengalami pen­cerahan, sebab dia menunggu janji­nya Allah. Dan dia tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang le­dekan kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal de­ngan catatan dia berhasil dulu.

Saya ketawa mendengar dan menu­liskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa, saya demen ama yang begini. Sebab, insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si sekuriti. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswah hasanah (teladan yang baik) bagi yang belum punya iman. Dan saya pun ter­senyum dengan keadaan ini, sebab Allah pasti tidak akan mempermalu­kan­nya juga, sebagaimana Allah tidak akan mempermalukan si sekuriti.
Suatu hari bosnya berkata, ‘Kita li­hatin nih dia. Kalo dia ga kasbon saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka kelihatannya dia gagal. Sebab buat apa se­dekah sebulan gaji di depan yang di­ambil di muka kalau kemudian kasbon lagi. Percuma.’
Tapi subhanallah, sampe akhir bulan be­rikutnya, si sekuriti ini ga kasbon. Ber­hasilkah? Tunggu dulu. Kawan-kawan­nya ini ga melihat motor besarnya lagi. Jadi, tidak kasbonnya dia ini, sebab kata mereka, barangkali aman sebab jual motor. Bukan dari keajaiban mendekati Allah.
Saatnya ngumpul dengan si bos, di­tanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.
‘Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bu­lan loh. Yang lain bakalan gajian. Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren.’
Sekuriti ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau kasbon kalo ampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si sekuriti ini benar-benar bikin bengong orang pada. Sebab apa? Sebab kata si sekuriti, pas­ca-dia benahin shalatnya, dan dia se­dekah besar yang belum pernah dia laku­kan seumur hidupnya, yakni hidupnya di bulan depan yang dia pertaruhkan, terjadi keajaiban.
Di kampungnya, ada transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya ga terlibat secara fisik. Sekedar meme­diasi saja lewat SMS ke pembeli dan pen­jual. Katanya, dari transaksi ini, Allah per­sis mengganti sepuluh kali lipat, bahkan le­bih. Dia sedekah 1,7 juta gajinya, tapi Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di kampungnya sebesar 17,5 juta!. Dan itu terjadi begitu cepat. Sampe-sam­pe bulan kemaren juga belum selesai. Ma­sih tanggalan bulan kemaren, belum ber­ganti bulan.
Kata si sekuriti, sadar kekuatannya ampe kayak gitu, akhirnya dia malu sama Allah. Motornya yang selama ini dia sa­yang-sayang, dia jual! Uangnya melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin ibunya berhaji. Sub­hanallah kan? Itu jual motor, kurang. Se­bab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi dia tambahin 12 juta dari 17 juta uang cash yang dia punya. Se­hingga ibunya punya 25 juta. Tam­bah­annya dari simpenan ibunya sendiri.
Si sekuriti masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang ini, ia aman. Ga per­lu kasbon.
Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua karyawannya, dan menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang ke­berkahan yang dilaluinya selama 1 bulan setengah ini.
Apakah cukup sampe di situ perubah­an yang terjadi pada diri si sekuriti? Enggak. Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan yang lain milik si owner, dan dijadikan staf keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah, masya Allah. Berubah, berubah, berubah.
Saudara-saudaraku sekalian.. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang keajaib­an sedekah dan shalat saja. Tapi soal tauhid, soal keyakinan dan iman sese­orang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, ke­yakinan, dan imannya ini bekerja meng­gerakkan dia hingga mampu ber­buat sesuatu.
Tauhid yang menggerakkan! Begitu saya mengistilahkan. Sekuriti ini menge­nal Allah. Dan dia baru sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini di­pake sama dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan diri­nya, buat perubahan hidupnya. Subha­nallah, masya Allah.
Dan lihat juga cerita ini, seribu kali si se­kuriti ini berhasil keluar sebagai peme­nang, siapa kemudian yang mengikuti ce­rita ini? Kayaknya kawan-kawan sepom ben­sinnya pun belum tentu ada yang meng­ikuti jejak suksesnya si sekuriti ini. Barangkali cerita ini akan lebih dikenang sebagai sebuah cerita manis saja. Sete­lah itu, kembali lagi pada rutinitas dunia.
Yah, barangkali tidak semua ditak­dir­kan menjadi manusia-manusia pembela­jar. Yang lebih penting buat kita sekarang ini, bagaimana kemudian kisah ini meng­inspirasi kita semua untuk kemudian sama-sama mencontoh saja kisah ini.
Kita ngebut sekencang-kencangnya menuju Allah. Yang merasa dosanya banyak, jangan terus-terusan meratapi dosanya. Kejar saja ampunan Allah de­ngan memperbanyak taubat dan istighfar, lalu mengejarnya dengan amal shalih.

Kisah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
Lain Ustadz Yusuf Mansur, lain lagi kisah Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa. Habib Munzir punya cerita unik lainnya tentang sedekah, yang dikutip dalam sebuah kisah yang termaktub dalam Shahih Al-Bukhari. Sedekah ini dilaku­kan secara sembunyi-sembunyi oleh sang pelaku sedekah. Habib Munzir sebelum­nya menjelaskan, ada tiga ma­cam sede­kah: sedekah secara sem­bunyi-sem­bunyi, sedekah secara terang-terangan, dan sedekah dengan mem­berikan maaf.

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, salah seorang mengumpulkan hartanya yang banyak untuk bersedekah sembunyi-sembunyi. Ia kumpulkan uang sampai berjumlah sekian ribu dinar dalam setahun.

Sesudah uangnya terkumpul, ia pergi keluar rumahnya pada malam hari.
Dilihatnya ada seorang wanita tidur di jalanan.
“Wah, ini orang susah,” begitu kira-kira ia berpikir. Dan, sambil menutup wa­jahnya, agar tidak diketahui, ia memberi­kan bungkusan uang itu dan lari, supaya tidak diketahui.

Pagi hari gempar di kampung. Ada pelacur mendapat bungkusan uang yang diberikan oleh orang tak dikenal.
Maka orang itu pun bergumam, “Sub­hanallah! Salah beri, aku kira dia wanita susah, ternyata pelacur.”
“Ya Rabb, setahun kukumpulkan uang untuk dapat pahala sedekah yang sembunyi-sembunyi, ternyata uangku hanya untuk pelacur.”

Tapi ia tidak putus asa. Dikumpul­kannya lagi uang sampai setahun yang jumlahnya sekian ribu dinar.
Kali itu ia tidak mau tertipu. Pada suatu malam, kembali ia beraksi. Dilihat­nya seorang laki-laki yang sedang duduk diam di suatu tempat yang gelap. “Ini pasti orang susah,” gumamnya. Dilemparlah bungkusan uang sedekah itu ke si laki-laki itu, lalu ia bergegas lari.

Pada pagi harinya terdengar kabar gempar. Si laki-laki yang dikenal sebagai pencuri mendapatkan sebungkus uang. Malam itu ia tengah menyusun strategi sen­dirian untuk mencuri. Nyatanya, be­lum sempat melakukan aksinya, ia malah mendapat uang dengan jumlah yang besar.
“Ya Rabb, dua tahun aku bekerja khusus untuk memberi nafkah orang yang susah dengan sembunyi-sembunyi. Tahun lalu yang dapat seorang pelacur. Eh, tahun ini seorang pencuri.”

Namun ia tetap tak putus asa. Ia kumpulkan lagi uang sedekah sampai setahun berikutnya. “Ya Rabb, ini yang terakhir. Kalau sedekah ini masih saja tidak tertuju kepada mustahiq, selesailah, ya Rabb. Aku tidak mampu lagi.”

Pada waktu yang telah dipersiap­kan­nya, kembali ia melaksanakan niatan baik­nya untuk yang ketiga kalinya. Malam itu, ia melihat seorang orang tua tengah jalan sendiri dengan tongkatnya tertatih-tatih.

“Wah, ini orang yang pasti berhak atas sedekahku, malam-malam begini orang tua ini jalan malam-malam dengan tongkat. Pasti dia orang susah,” katanya dalam hati.
Dilemparnya uang itu, seraya berkata, “Ini untukmu.” Dan ia pun pergi dengan cepat sambil menutupi wajahnya.
Pagi harinya terjadi kegemparan lagi, seperti tahun-tahun yang lalu. Orang tua renta yang dikenal paling kaya dan paling kikir di kampung itu mendapat uang “kaget” semalam.

Mendengar kabar itu, si pelaku sede­kah sembunyi ini berkata, “Ya Rabb, yang pertama pelacur, yang kedua pencuri, yang ketiga orang tua paling kaya dan paling kikir di kampungnya. Ya Rabb, apa arti dari perbuatanku ini?”
Ia pun memilih diam, seraya meng­ikh­laskan apa yang telah dilakukannya.

Waktu berjalan, hingga sekian tahun kemudian, 20 tahun kemudian, Allah SWT menyampaikan kabar kepadanya ten­tang dua orang bersaudara yang men­jadi ulama besar. Murid keduanya men­capai puluhan ribu orang, dan si pelaku sedekah puluhan tahun yang lalu ter­masuk orang yang mengaji dengan ke­dua ulama adik kakak itu. Ternyata, dua ulama muda bersaudara itu adalah anak seorang perempuan pelacur yang dulu di­beri sedekah secara sembunyi-sem­bunyi itu.

Si perempuan ini melacur untuk me­nafkahi anaknya. Ketika mendapatkan se­dekah kagetan itu, ia bertaubat dan men­jadikan harta dadakan itu untuk me­nyekolahkan kedua anaknya hingga men­jadi orang alim, menjadi ulama besar.

Air mata si pelaku sedekah pun me­ngalir. Ternyata yang diberikannya puluh­an tahun yang lalu, Allah jadikan balasan yang berlipat ganda dengan lahirnya dua ulama shalih bersaudara yang diikuti oleh puluhan ribu orang yang belajar kepada keduanya. Inilah balasan keikhlasan se­seorang.
Tidak lama kemudian ia dengar lagi ada seorang wali shalih wafat, yang di­antar jenazahnya oleh ribuan orang.

Siapa wali yang shalih itu? Ternyata, waliyullah itu dulu adalah pencuri yang mendapatkan sedekah sembunyi-sem­bunyinya.
Kala itu, saat hendak mencuri, ia ber­doa kepada Allah, “Ya Rabb, beri aku ke­luhuran. Kalau aku dapat rizqi malam ini, aku taubat.”

Tatkala ada yang melemparinya bung­kusan uang itu, segera ia bertaubat, sesuai janjinya. Ia memperbaiki diri dari se­gala kesalahan yang telah diper­buat­nya, beribadah dengan setekun-tekun­nya, beristiqamah dengan ucapan dan tin­dakannya, hingga Allah Ta’ala meng­angkatnya menjadi orang yang shalih.
Si Fulan yang bersedekah itu amat ter­haru, dan ia berdoa, “Ya Rabb, tinggal yang ketiga, bagaimana dengan orang tua yang paling kaya dan kikir di kampung kami ini?”
Ternyata ia mendengar kabar, orang itu telah wafat. Semenjak kejadian se­dekah kaget itu dan sebelum wafatnya, si kikir tua itu pindah ke kampung lain dan berwasiat untuk memberikan seluruh har­tanya bagi baitul maal dan penyantunan para anak yatim. Itu dilakukan si orang tua yang kikir ini setelah ia merasa malu dan merenung bahwa, kepada dia yang kaya dan kikir, ada yang menyede­kahi­nya. Subhanallah.
Begitulah, betapa dahsyatnya arti se­dekah. Betapa hebatnya amal berbagi. Allah SWT menjadikannya mata rantai ke­berkahan.

Menyikapi Rizqi
Keseimbangan dalam mengelola har­ta, itulah yang ditekankan Rasulullah SAW. Inilah yang terkadang berat dilaku­kan, karena menganggap bahwa harta benda yang dimiliki adalah hasil kerja ke­ras yang harus dinikmati sendiri. Bukan­kah harta benda yang dimiliki berkat kerja kerasnya juga ada campur tangan Allah?
Diceritakan, ketika Nabi Ayub AS se­dang mandi, tiba-tiba Allah SWT menda­tangkan seekor belalang emas dan hing­gap di lengan bajunya.
Nabi Ayub lalu menepis lengan baju­nya agar belalang itu pergi.

Kemudian Allah SWT berfirman ke­padanya, “Bukankah Aku lakukan begitu supaya engkau menjadi lebih kaya?”
Nabi Ayub menjawab, “Ya, benar, ya Allah. Demi keagungan-Mu, apalah mak­na kekayaan tanpa keberkahan-Mu?”
Betapa pentingnya keberkahan da­lam rizqi yang dikaruniakan Allah SWT. Kekayaan tidak membawa arti apa-apa tanpa ada keberkahan. Apa sih yang di­maksud keberkahan dalam harta ini? Yak­ni, harta yang menenteramkan. Ke­tika harta itu sedikit terasa cukup, dan ketika harta itu banyak tidak membuatnya takut kehilangan atau berkurang.

Begitulah yang tampak pada sosok Nabi Ayub AS dan Nabi Sulaiman AS. Ke­tika Nabi Sulaiman memperoleh pun­cak kenikmatan dunia, ia berkata, “Ini ada­lah bagian dari karunia Allah untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” — QS An-Naml (27): 40.
Beda halnya dengan Qarun. Ketika me­mandangi gunungan harta yang dimi­likinya, ia berkata, “Sesungguhnya harta kekayaan ini tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” — QS Al-Qashash (28): 78.

Nabi Sulaiman AS menancapkan rasa syukurnya dalam-dalam di bathin­nya. Ia memiliki apa yang tidak dimiliki ma­nusia lain, namun semua itu tidak mem­buatnya pongah, apalagi seperti Qarun itu.

Bersyukur

Syukur terbagi dalam tiga bagian: syukur i’tiqadi (bersyukur dalam bentuk keyakinan), syukur qawli (syukur dalam bentuk perkataan), dan syukur ‘amali (syukur dalam bentuk perbuatan).

Al-Imam Al-Ghazali menuturkan, un­tuk mensyukuri suatu nikmat, seorang ham­ba harus tahu untuk apa nikmat itu diciptakan dan dianugerahkan oleh Allah Ta’ala. Itulah bagian syukur i’tiqadi. Lalu dia mengucapkan dengan lisan dan ang­gota tubuh lainnya, yang mengecap anu­gerah itu, berupa pujian kepada Sang Pem­beri kenikmatan itu, maka itulah syu­kur qawli. Berikutnya, anugerah itu di­jaganya semata-mata rasa takut menya­lahgunakan dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan menebar anugerah itu bagi orang lain, sehingga semua bisa me­rasakan kebahagiaan seperti apa yang dirasakannya, maka itulah syukur amali.

Namun, masyarakat kita yang hi­dup de­ngan pola hedonisme dan konsu­meris­me hampir-hampir tidak menyadari­nya. Bagi mereka, kekayaan adalah hal yang layak mereka nikmati sendiri. Orang lain ya orang lain. Tapi bagaimanakah hati me­reka ketika di televisi ru­mahnya ter­pam­pang berita dan realitas ke­melaratan yang dipertontonkan tiap hari?

Masya Allah, fenomena kehidupan di atas merupakan kesalahan yang fatal dan benar-benar tidak mensyukuri nikmat Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Dan sung­guh sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” — QS Saba’ (34): 13.

Rizqi yang berkah adalah rizqi yang disyukuri, banyak maupun sedikit, de­ngan mendawamkan sedekah, di mana pun, kapan pun, bagaimana pun kondisi­nya. Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan yang dibawah. Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dari Abu Uma­mah Shudayy bin ‘Ajlan RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai anak Adam, sesungguhnya memberikan kele­bihan harta milikmu itu adalah lebih baik bagimu, sedangkan menahannya adalah buruk bagimu. Kamu tidaklah dicela de­ngan kesederhanaanmu. Dahulukanlah bantuan bagi orang yang menjadi tang­gunganmu. Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah.”
Sumber : http://www.majalah-alkisah.com

Komentar