Bid’ah
adalah perkara teramat buruk dalam agama, yang Rasul telah mewanti- wanti kita
jangan sampai terjerumus ke dalamnya. Demikian pula para ulama’ al waritsatul
anbiya, sepanjang usia umat ini, terus mengingatkan dan membentengi umat dari
bid’ah yang amat tercela. Dan seharusnya masalah penting ini wajib untuk selalu
disampaikan dan diingatkan ketenah-tengah umat, mengingat besarnya bahaya
bid''ah dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Namun
masalahnya menjadi lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin –
yang mereka terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ah
kepada saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’ yang
mereka hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai pemancang bid’ah
ditengah-tengah umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan
pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda tentang apa
itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir
begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya
ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian,
ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan pengertiannya
ini menjadi krusial.
Lain halnya
bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama
baik salaf maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy, Aliran
nyeleneh Ahmad Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang sial, atau
ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus lantang dalam
menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah yang merupakan
perbuatan yang sangat tercela.
Namun, jika
suatu masalah dirumuskan berbeda oleh para ulama’ yang satu berkata A sedangkan
yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya bila kita saling menuding dan
saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan musibah yang lebih
besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita menjadi pencaci, pembenci dan
pengumpat kepada orang-orang yang justru Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita
untuk memuliakan mereka. Kita demikian mudah menistakan segolongan kaum
muslimin bahkan ulama’-ulama’ hanya karena mereka berbeda definisi dalam
masalah bid’ah.
Sehingga
melalui tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah penting
ini, agar jangan mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada saudaranya.
Sebenarnya, masalah ini telah diterangkan oleh ulama salaf dan khalaf sepanjang
perjalanan usia umat ini. Semoga Allah memudahkan kita menerima kebenaran,
ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita, dan kita semoga Allah mengumpulkan
kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya kelak. Amin
PENGERTIAN
BID’AH
Arti Bid’ah
Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah
(Jama‘nya; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh
terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau „mubdi’“[1]
Dalam
al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya
tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah)
Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah
Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun
mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah
melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita
simak pendapat-pendapat ulama berikut.
Ibnu Hajar
al-Asqalani
Beliau
berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah
sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil
khusus maupun umum."[2]
Ibnu
Taimiyyah
Beliau
berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa
dalil syar'i.[3]
Muhammad
Rasyid Ridha
Beliau
berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW,
yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan
Definisi
Dari
beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki
landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan
batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk
meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi
diatas.
Jika
dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan
syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan
syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela?
Jika kita
menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita
perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan
syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari
sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan
penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua
pertanyaan berikut.
- Dinamakan
apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika
Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status
Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk
menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM
BID’AH
Setelah
nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita
memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang
memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Imam Syafi’i
RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ
فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ
مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu
ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah
(syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah
bid’ah tercela.”[5]
Atau
penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ
أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ
الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan
Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua,
perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan
salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah
tercela’.
Dari
penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak
sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai
syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan
syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut
Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut
Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut
Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian
juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas
statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama,
Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib
hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang
kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita
masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar
dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut:
“Pada
dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang
bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya,
apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka
iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap
buruk oleh syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia
termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan
hukum-hukum Islam yang lima”.[6]
Al-Imam
an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam:
1. Wajib.
Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang
menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga
kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan
baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah
dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan lain-lain.
2. Mandub
(disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat
Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.
3. Haram
(sesat). Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung
sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk
merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.
4. Makruh.
Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5. Mubah.
Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan
hukum agama.
Demikianlah
arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat
Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan
satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]
Coba
perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi beberapa
klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya
menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa
berstatus wajib atau mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan,
bisa berupa haram atau sekedar makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan
lebih bijaksana apabila dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah
merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.
Dengan
demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang
yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah
Dhalalah.
Bid’ah
Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan
Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW telah
memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita
untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah
Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin
adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Bila kita
menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan
membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran
pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukan
keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para
Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW
justru pernah melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.
Buku Hadits,
seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul pada zaman
Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap
membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan
Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya peralatan tulis yang
semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat
Hadits Nabi.
Demikian
pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah
Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk
Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan
memahami al-Qur’an dan Hadits.
Demikian
pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah
meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa
para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak
memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang
dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.
Demikian
pula dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada
hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah
Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum
muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita
tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak
dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran
masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang
hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena
semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian
pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan
membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu
Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah
Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.
Rasulullah
SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau
menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru
terkadang juga menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah
Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam
urusan agama dan masalah bid’ah.
PENJELASAN
HADITS-HADITS TENTANG BID’AH
Ketika
sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah
Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti
al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih
lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu
dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.
Penah
terjadi dialog menarik. Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka
dan “B” untuk wakil kami.
A : Kami tidak
menjelaskan pendapat kami berdasarkanpikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’
salaf juga.
B : Ulama’
salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’
semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah
telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu
Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh
definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya
rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti
Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda
tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas
Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang
tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu
bukan bid’ah
B : Lantas
di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status
hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud
dan ketinggalan zaman.
A : (Diam)..
Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa
yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan
Bid’ah Dunia.
B : Nah,
memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yangmembagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’
semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih
tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits
tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui
Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti
seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia
sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak
usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan
pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah
pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama
salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda
mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok
agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa
bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu
Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam
tidak menjawab.
B : Kami
rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai
merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan
ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran
berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat
lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf
demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda
justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
Orang yang
gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak
pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak
ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan
tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan
mendahului kita.”
Mereka juga
berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni
mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa
justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu
yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf?
Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah
seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai
perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk
melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap
setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram,
munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah
atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan
seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau
awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau
para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa
semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah
Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena
tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman
amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu
membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah
mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan
sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam
pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama
salaf.
Al-Imam Ibnu
Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan
antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang
pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian
maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan
benar).”
Ketika kita
mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa
Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira
bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan
berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah
bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah,
mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja
apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya
berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
HADITS
PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah
SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang
diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu
Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam
An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata:
“Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa
yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan
Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian
juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana
firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء
رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami
jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta
Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka
tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid :
27)
Berkatalah
KH. Ali Badri Azmatkhan:
Dalam ayat
itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga
perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi.
Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga,
Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka
berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak
diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT
memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu
bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun
Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua
alasan:
Pertama,
Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya,
yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau
bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan
kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan
kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang
sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
Kedua, Allah
SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan
berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini
mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak
diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan
tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah
mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian
meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka
untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan
kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian
orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana
mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada
yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak
membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ
النَّبِيِّ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara
Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka
menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang
itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang
sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin
shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong
Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits
beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah
dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia
dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang
menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang
belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama
salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam.
Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam
perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat,
seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin
mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa
Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti
semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu”
akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT
berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ
شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا
هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun
membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS.
al-An’am : 44)
Meskipun
Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan
tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan
jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli
syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT
berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ
أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun
perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud
merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil
semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun
Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap
ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan
dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja
membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah
berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ
مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang
menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka
tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka.
Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf :
25)
Meskipun
Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada
pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
Allah
berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya
aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23)
Meskipun
Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada
pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali,
sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat
diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa
berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan
bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf
semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu
bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat
pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain itu,
banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna
umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa
dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena
terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa.
Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud
tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita
simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah
berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang
siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu
semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari
pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh
mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu
disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak
ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba
perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ
لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin,
tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8)
Ternyata
ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta
orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua
hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah
untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama,
nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan
tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah
milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang
mengatakan demikian.
2. Allah SWT
berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ
لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya
kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar)
neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini
menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama
sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat
yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk
neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu
juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap
sebagai tuhan-tuhan mereka.
3.
Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang
menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak
akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini
menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka.
Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits
yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun
tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya
biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali
mati”[10].
Para
mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits
ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah
“banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan
habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu
yang berarti semua).
HADITS KEDUA
TENTANG BID’AH
Rasulullah
SAW bersabda:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه
البخاري و مسلم)
“Barang
siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak
bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita
telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi
membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda
perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut,
kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua
kalimat berikut ini:
1. “Barang
siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak
bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang
siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia
tertolak.”
KH. Ali
Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila
kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa
hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan
nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’
itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa
memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah
Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli
(perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan
Sahabat).
Kemudian,
ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru
yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari
syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari
syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa
yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang
bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang
tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari
syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama
ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai
kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak
ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi,
namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at.
Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi,
misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif
(memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan
menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak
sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para
sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya
berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang
bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab
syarah/tafsir Hadits).
Kepada
siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan
Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca
semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana
ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor
yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari
pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan
sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan
Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan
satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari
upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak
meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi
meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk
memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu
mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius
ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]
Agar lebih
jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil
baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan
bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru
Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU
(Tidak Ada Di Zaman Nabi ) SUMBERNYA *
Mengumpulkan
Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum
muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi
titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
Ibid
Membaca
doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin
Palestina) Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia
sujud, maka perbanyaklah doa.”
Menyusun
Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah
dalam bahasa setempat
Hadits,
“berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
Mengumpulkan
muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi
dsb.
Jelas banyak
dalilnya.
Membuat
Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum
muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi
gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb.
Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang
disukai
*Diantaranya
saja
Amalan Baru
Yang Tidak Memiliki Dalil
Atau
Bertentangan Dengan Syari’at
>>>Melakukan
shalat karena adanya bulan purnama
Tidak ada
sumbernya
>>>Adzan
dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll
Tidak ada
sumbernya
>>>Shalat
dengan mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
>>Shalat
dengan berbahasa selain bahasa arab Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan
dengan Hadits-hadits shalat
HADITS
KETIGA
Rasulullah
SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ
عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan
barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut
mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi)
Dalam Hadits
diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata
‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila
merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan
kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun
demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti
menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai
penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َ فَانْتَهُوا ۚ
‘Apa saja
yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh
Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba
perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah
apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah
apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak
dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa
saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah
(mengerjakannya).”
Juga dalam
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku
menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu
melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan,
dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila
sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi,
pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang
diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat
perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar,
karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits
yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas
inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah
(prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya
sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21),
serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh
syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat
dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu
sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan
sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa
yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits
yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau
ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili
sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang
sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak
perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa
saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan
masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
_______________________________________
[1]
“Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho
Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir
al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh
an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8]
An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali
Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10]
Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim,
at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali
Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ“
BalasHapusArtinya: Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’ Jika Hadits ini shohih, maka hadits ini sudah sangat tegas melarang untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Nabi shollallahu 'alaihi wassalam, lantas mengapa kita masih melakukan perkara yang tidak dicontohkan oleh beliau shollallahu 'alaihi wassalam. Contohnya tahlilan, pernahkah Rasulullah shollallahu 'alaihi wassalam mengerjakannya??? Tidak mungkin hadits yang satu dengan hadits atau ayat lainnya bertentangan!! Hati2 dalam menyampaikan urusan agama, jangan mempermainkan ayat2 Allah Ta'ala, Hadits2, dan perkataan ulama sehingga dipaksakan untuk menyesuaikan ke perkara hawa nafsu kita, pemahaman kita, kelompok kita!! Na'udzubillah mindzalik
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
HapusJuga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
ini saya copas kembali aoa yang di kutip penulias,akhii abi habii
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ bukan lah hadist,yang hadis setahu saya yang atasnya
KUTIPAN ARTIKEL DI ATAS:
BalasHapus"Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Sungguh KUTIPAN DI ATAS pemahaman yang menyesatkan, maka penjelasan dari kami:
1. dalam ayat انْتَهُوْ (Al-Hasyr : 7) di atas yang anda tulis saja sudah mengurangi huruf 'fa", seharusnya فَانْتَهُوا, silahkan buka Al-Qur'an kembali
2. فَانْتَهُوا artinya: "maka berhentilah kalian (mengerjakannya)!!!". Seseorang yang mempelajari bahasa arab dengan baik dan benar, maka ia akan mengetahui bahwa فَانْتَهُوا adalah kata perintah. Disini Allah Ta'ala memerintahkan kita : "maka berhentilah kalian (mengerjakannya)!!!". Contoh: jika seorang presiden memerintahkan bawahannya mengerjakan sesuatu, maka bawahannya tersebut akan segera mengerjakannya, karena takut akan sanksi yang akan dijatuhkan Presiden kepadanya. Apalagi Allah Ta'ala yang memerintahkan kita. Apakah kita tidak takut dengan Azab-Nya yang AMAT PEDIH????????
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
Hapusوَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َ فَانْتَهُوا ۚ
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
ini juga saya copas dari artikel penulis juga sudah menggunakan fa' ??mohon koreksi
Mari kita perhatikan HADITS-HADITS Nabi shollallahu 'alaihi wassalam yang sangat tegas MELARANG perbuatan BID'AH:
BalasHapus1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru(BID'AH) dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867). Hadits ini dengan tegas mengatakan tidak ada bid'ah hasanah(bid'ah yang baik), karena hadits ini menyebutkan: setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, SETIAP BID'AH adalah kesesatan.
Saya Abu Nawas... Udaaaaah ora usah ribu ribut. Ngko dikamplengi karo setan toli uwis. Sing arane bid'ah aja di utak atik... Sing Ora seneng meneng.
HapusPengurus Yth, Dalam forum ini kalau boleh saya minta tolong informasinya tentang dasar-dasar hukum di NKRI yg berkaitan dengan pembentukan Pengurus Majelis Ta'lim. Hal ini penting bagi saya utk membuat SK tentang Majelis Ta'lim tsb.
BalasHapusTerima kasih sblm dan sesudahnya.
anda tinggal mendatangi kantor pemerintahan dlingkungan sekitar, mungkin mereka lebih kredibel dalam menjawab
HapusSaya mau tanya.apakah kalau mlaksanakan tahlilan,atau maulid nabi itu tidak boleh?
BalasHapusSedangkan Isi di dalam tahlilan itu kan mendo'akan,sedangkan mendo'akn orang yang tlah mninggal itu d d haruskan apa lagi untuk orang tua.
mohon penjelasanya pnting bagi sayah trima kasih......
Tahlilan, nuju bulan,slametan,cukur rambut bayi baru lahir,..
HapusItu adalah budaya indonesia yg di islam islamkan ..hukumnya jaiz/boleh ..dikerjakan gpp ga juga gpp
CMIIW syukron
(Al-Baqarah):170 - Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
HapusKedatangan nabi dan turunnya wahyu tujuannya adalah untuk menghapus tradisi nenek moyang yg tanpa ilmu,meski tradisi itu di islam islamkan tetap saja itu bkn syariat islam.
jd tambah bingun nih ane semakin membaca semakin bingun tentang bid'ah banyak skali artikel yang menentang bid'ah dan banyak pula yg membagi nya menjadi 2 yaitu bid'ah dhalalah dan khasanah, klo saya sendiri dari membaca hadis yg slalu d paparkan tidak pernah ada hadits yg membaginya menjadi bid'ah khasanah.yang ane mw petunjuk aja nih apakah tahlilang, maulid nabi, dan zhikir berjamaah itu bid'ah
BalasHapusitu bid'ah tapi bid'ah hasanah... pelajari baik2 bertanya lah pada gurumu..bukan hanya mencari tau lewat internet yg tak bisa kau tanya saat kau bingung
Hapuskalo pengen tahu dalil pembagian bid'ah aji dlo manteknya.
HapusHadits-Hadits Tentang Bid’ah
BalasHapusBanyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.
Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Hadits 2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)
Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049).
anda membagi bid'ah menjadi hasanah dan dholalah,,,bidah hasanah contohnya seperti tahlilan,maulid nabi,yasinan,,,coba anda contohkan kalau bid'ah dholalah contohnya seperti apa???
BalasHapusAssalamualaikum saya mau tanya apakah penjahat merampok dan membunuhnya dan penjahat itu mati ditembak polisi bisa lepas dari siksa kubur dan masuk syurga bila keluarganya mengadakan tahlilan kematian selama tiga hari, tujuh hari dan empat puluh hari. Ditunggu jawabannya terimakasih
BalasHapusuntuk menafsirkan quran dan hadist masih perlu ilmu alat seperti mantek,nahwu,shorof,dan lainnya.
BalasHapusKalo anda masih heran terhadap bid'ah yang hasanah seperti apa, coba aji dulu kitab manteknya.
Jangan asal mengharamkan bid'ah aja.
Contohkan BID'AH dholalah itu seperti apa?
HapusKatanya berilmu.. 👏
Sholat subuh 3 rokaat, gitu aja tanya
Hapus“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017
BalasHapusSaya sependapat dengan Muhibbiin, jangan kita cepat mudah menyalahkan org yg melakukan bid'ah khasanah semantara ilmu kita baru setitik debu, belajarlah pada banyak guru dan kitab. Saya sarankan baca buku rangkuman dari HABIB MUNDZIR AL MUSAWA " kenalilah aqidahmu" cetakan thn 2009.
BalasHapusGini gini semua statement tentang bid 'ah semua ada dasarnya..mulai dari perkataan sampai perbuatan baginda rosulullah dijadikan sbgai panutan.
BalasHapusCuma yg menggelikan adalah dgn gampangnya memvonis suatu kegiatan yg tidak rosul kerjakan adalah sesuatu yg bid ah tnpa mempelajari,meneliti,menganalisis lebih dalam statement2 yg rosul berikan
Pokonya! Rosul kita tidak mengerjakan ini, haram dilakukan!!
Pokonya! Rosul tidak melakukan itu, haram dijalankan!!
Lha??!! Klo ada orng yg seperti ini kan konyol nm'a..benar2 sempit sekali pemikirannya..pdhal ilmu Allah itu maha luas walaupun lautan adl tintanya ..ilmu Allah tdk akan habis.
Jika berfikir seperti itu...tidak akan ada orng yg bernama montir,pilot,dokter bedah,bidan,tukang cukur rambut,tukang tambal ban,tukang reparasi listrik dan tukang2 lainnya dizaman sekarang ini..
Ini logikanya kemana ini orng2 seperti ini...hanya bermodal 1 atau 2 dalil langsung vonis bid'ah..tanpa kajian lebih dalam CMIIW syukron kashiron
Setuju bg john
HapusSetuju bg john
HapusBanyak yang menyimpulkan, yang tidak mengakui bid`ah hasanah ternyata dari pihak yang hanya tahu “satu- dua” hadist tentang hokum-hukum agama. Sebaliknya, seandainya mereka hafal atau tahu ribuan atau bahkan ratusan ribu hadis yang lain tentu akan berpendapat lain. Ia akan seperti Imam Syafii, Imam Bukhori, An Nawawi, Ibnu Hajar , Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dll – karena sudah menghubungkannya dengan hadits-hadits lain dan ayat-ayat lain dalam Al-Quran. Bahkan para periwayat haditsnya itu pun juga tidak pukul rata dalam memahami agama “semua sesat” itu. Mereka lebih tahu, mereka lebih dulu, mereka lebih dekat – dengan masa nabi.
BalasHapusUmumnya pemahaman yang menolak bidah hasanah dan bidah serba sesat itu “lahir belakangan” sekitar abad 19 an kalau jujur dengan sejarahnya. Ini fakta kalau merunut sejarah. Lagi pula yang lahir generasi belakangan ini lebih suka berdalil “Quran-Hadits”, “Quran-As-Sunnah” sebagai tameng– tapi menolak orang yang merumuskannya (ulama-ulama) seperti As-Syafii dll yang sudah jelas hafal dan lebih tahu tentang ribuan hadis. Imam Bukhori sendiri juga mengikut Imam Syafii tentang hokum agama. Lalu dalil “Quran-Hadits” itu menurut pemahamannya saja, yang “sebatas pemahaman satu dua hadits yang dibaca”.
Pada hal, ini mungkin yang tidak diketahuinya, hadis-hadis itu shohih, hasan, palsu itu kan dari ULAMA YANG BIKIN CRITERIA, bukan dari nabi atau Quran. Lalu ulama-ulama yang bikin criteria hadits itu saja pemahaman tentang bidah pada zaman itu tidak seperti “serba sesat” seperti sekarang. Kamu “ambil hasil kerja kerasnya” merumuskan jadi hadist shohih, hasan dll – tapi kamu menolak orangnya. Lalu dengan gagah mengatakan “Langsung Quran-Assunnah” – ( …. Wah terlalu paling benar kesannya, tapi tidak nyadari ternyata hanya hasil orang/ulama pendahulu yang “ditafsirkannya sendiri”)
Tentang tahlilan, kalau isinya, yang dibaca, itu menurut saya ada anjurannya, itu kan bacaan (dzikir) pagi dan petang seperti dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi, yang berisi hadis tentang dzikir-dzikir. Yang betul-betul mengamalkan anjuran hadis itu ya yang baca saja, yang tidak ya blas, gak papa. Adapun klo kemudian tahlil itu dicampur-campur dengan hajatan (saya kira ada baiknya malah jadi majlis dzikir) daripada gak ada suasana dzikirnya. Tahlil itu amalan harian para ulama terdahulu yang kemudian banyak orang mengunduh dalam acara hajatan. Hanya saja kemudian ada akulturasi dengan budaya. Misalnya, pengajian setiap malam Jumat Kliwon, gak dicontohkan Nabi (Jumat=Islam, Kliwon=Hindu) jadi pengajian Jumat Kliwon, Ahad Pon, Jumat Legi, dll itu akulturasi Islam-Hindu (bila dilihat harinya, klo isinya jelas Islam), demikian juga 7 hari, 40 hari dst isinya Islam tapi meminjam tradisi Hindu dalam hari pasaran. Diluar itu semua Alloh Maha Tahu apa yang ada dalam hati dan tujuan hamba-hambanya. Bukankah ada hadis, “ Alloh tidak melihat harta, wajah kekayaanmu tapi yang dilihat apa yang ada dalam dada (hatimu)?