Berkumpul di
suatu tempat untuk berdzikir bersama hukumnya adalah sunnah dan merupakan jalan
untuk mendapatkan pahala dari Allah, jika memang tidak dibarengi dengan
perkara-perkara yang diharamkan. Hadits-hadits yang menunjukkan kesunnahan
tentang ini sangat banyak, di antaranya: (Lihat an-Nawawi, Riyadl ash-Shalihin,
hal. 470-473)
Rasulullah
bersabda:
لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى إِلاَّ حَفَّتْهُمُ
الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ
وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم)
“Tidaklah sekelompok orang
berkumpul dan bardzikir menyebut Nama-nama Allah kecuali mereka dikelilingi
oleh para Malaikat, diliputi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah
sebut mereka di kalangan para Malaikat yang mulia”. (HR. Muslim)
Al-Imam
Muslim dan al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ
أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: مَا يُجْلِسُكُمْ ؟ قَالُوْا: جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ
وَنَحْمَدُهُ، فَقَالَ: إِنَّهُ أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ اللهَ
يُبَاهِيْ بِكُمْ الْمَلاَئِكَةَ (أخرجه مسلم والترمذيّ)
“Suatu ketika Rasulullah keluar
melihat sekelompok sahabat yang sedang duduk bersama, lalu Rasulullah bertanya:
Apa yang membuat kalian duduk bersama di sini? Mereka menjawab: Kami duduk
berdzikir kepada Allah dan memuji-Nya, kemudian Rasulullah bersabda: “Sungguh
Aku didatangi oleh Jibril dan ia memberitahukan kepadaku bahwa Allah
membanggakan kalian di kalangan para Malaikat”. (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)
Dalam hadits
lain Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لاَ يُرِيْدُوْنَ بِذَلِكَ إِلاَّ وَجْهَهُ تَعَالَى إِلاَّ نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ (أخرجه الطّبَرانِيّ)
“Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk
berdzikir, dan mereka tidak berharap dengan itu kecuali untuk mendapat ridla
Allah maka Malaikat menyeru dari langit: Berdirilah kalian dalam keadaan sudah
terampuni dosa-dosa kalian”. (HR. ath-Thabarani)
Sedangkan dalil yang menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara umum, di antaranya adalah hadits Qudsi: Rasulullah bersabda:
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ، فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ، وَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ (متّفق عليه)
“Allah berfirman: “Aku Maha kuasa
untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadap-Ku”, dan Aku senantiasa
menjaganya dan memberikan taufiq serta pertolongan terhadapnya jika ia menyebut
nama-Ku. Jika ia menyebutku dengan lirih maka Aku akan memberinya pahala dan
rahmat secara sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebut-Ku secara berjama’ah atau
dengan suara keras maka Aku akan menyebutnya di kalangan para Malaikat yang
mulia”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Makna “Aku Maha kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadap-Ku” artinya; "Jika hamba tersebut berharap untuk diampuni maka akan Aku (Allah) ampuni dosanya, jika ia mengira taubatnya akan Aku terima maka Aku akan menerima taubatnya, jika ia berharap akan Aku kabulkan doanya maka akan Aku kabulkan, dan jika ia mengira Aku mencukupi kebutuhannya maka akan Aku cukupi kebutuhan yang dimintanya". Demikian penjelasan ini seperti tuturkan oleh al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki.
Makna “Aku Maha kuasa untuk berbuat seperti harapan hambaku terhadap-Ku” artinya; "Jika hamba tersebut berharap untuk diampuni maka akan Aku (Allah) ampuni dosanya, jika ia mengira taubatnya akan Aku terima maka Aku akan menerima taubatnya, jika ia berharap akan Aku kabulkan doanya maka akan Aku kabulkan, dan jika ia mengira Aku mencukupi kebutuhannya maka akan Aku cukupi kebutuhan yang dimintanya". Demikian penjelasan ini seperti tuturkan oleh al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki.
Dzikir
Berjama’ah Setelah Shalat Dengan Suara Keras
Para ulama
telah sepakat akan kesunnahan berdzikir setelah shalat (Lihat an-Nawawi dalam
al-Adzkar, h. 70). Al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan bahwa suatu ketika
Rasulullah ditanya: “Ayyuddu’a Asma’u?”. (Apakah doa yang paling mungkin
dikabulkan?). Rasulullah menjawab:
جَوْفُ اللَّيْلِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ، قال الترمذيّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ
“Doa di tengah malam, dan seusai
shalat fardlu”. (at-Tirmidzi mengatakan: Hadits ini Hasan)
Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjama’ah setelah shalat secara khusus. Di antaranya hadits dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas, bahwa ia berkata:
Dalil-dalil berikut ini menunjukkan kesunnahan mengeraskan suara dalam berdzikir secara berjama’ah setelah shalat secara khusus. Di antaranya hadits dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas, bahwa ia berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Aku mengetahui selesainya shalat
Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)”. (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Dalam hadits riwayat al-Imam Muslim disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Abbas berkata:
كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ بِالتَّكْبِيْرِ (رواه مسلم)
“Kami mengetahui selesainya shalat
Rasulullah dengan takbir (yang dibaca dengan suara keras)” (HR. Muslim)
Kemudian ‘Abdullah ibn ‘Abbas berkata:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Mengeraskan suara dalam berdzikir
ketika orang-orang telah selesai shalat fardlu sudah terjadi pada zaman
Rasulullah”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat lain, juga diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim, bahwa Ibn ‘Abbas berkata:
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Aku mengetahui bahwa mereka telah
selesai shalat dengan mendengar suara berdzikir yang keras itu”. (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Hadits-hadits ini adalah dalil akan kebolehan berdzikir dengan suara keras, tentunya tanpa berlebih-lebihan dalam mengeraskannya. Karena mengangkat suara dengan keras yang berlebih-lebihan dilarang oleh Rasulullah dalam hadits yang lain. Dalam hadits riwayat al-Bukhari dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari bahwa ketika para sahabat sampai dari perjalanan mereka di lembah Khaibar, mereka membaca tahlil dan takbir dengan suara yang sangat keras. Lalu Rasulullah berkata kepada mereka:
اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّمَا تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا ...
“Ringankanlah atas diri kalian
(jangan memaksakan diri mengeraskan suara secara berlebihan), sesungguhnya
kalian tidak meminta kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang
ghaib, kalian meminta kepada yang maha mendengar dan maha “dekat” …”. (HR.
al-Bukhari)
Hadits ini bukan melarang berdzikir dengan suara yang keras. Tetapi yang dilarang adalah dengan suara yang sangat keras dan berlebih-lebihan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa boleh berdzikir dengan berjama’ah, sebagaimana dilakukan oleh para sahabat tersebut. Yang dilaraang oleh Rasulullah dalam hadits ini bukan berdzikir secara berjama’ah, melainkan mengeraskan suara secara berlebih-lebihan.
Rasulullah bersabda:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فَدَعَا بَعْضٌ وَأَمَّنَ الآخَرُوْنَ إِلاَّ اسْتُجِيْبَ لَهُمْ (رواه الحاكم في المستدرك من حديث مسلمة بن حبيب الفهري)
“Tidaklah suatu kaum berkumpul, lalu
sebagian berdoa dan yang lain mengamini, kecuali doa tersebut akan dikabulkan
oleh Allah”. (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Maslamah ibn Habib
al-Fihri).
Hadits ini menunjukkan kebolehan berdoa dengan berjama’ah. Artinya, salah seorang berdoa, dan yang lainnya mengamini. Termasuk dalam praktek ini yang sering dilakukan oleh banyak orang setelah shalat lima waktu, imam shalat berdoa dan jama’ah mengamini.
Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Minhaj al-Qawim Syarh al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, menuliskan sebagai berikut
[وَيُسِرُّ بِهِ] الْمُنْفَرِدُ وَالْمَأْمُوْمُ خِلاَفًا لِمَا يُوْهِمُهُ
كَلاَمُ الرَّوْضَةِ (إِلاَّ الإِمَامُ الْمُرِيْدُ تَعْلِيْمَ الْحَاضِرِيْنَ
فَيَجْهَرُ إِلَى أَنْ يَتَعَلَّمُوْا) وَعَلَيْهِ حُمِلَتْ أَحَادِيْثُ الْجَهْرِ
بِذَلِكَ، لَكِنْ اسْتَبْعَدَهُ الأَذْرَعِيُّ وَاخْتَارَ نَدْبَ رَفْعِ
الْجَمَاعَةِ أَصْوَاتَهُمْ بِالذِّكْرِ دَائِمًا
“Orang yang
shalat sendirian dan seorang makmum agar memelankan bacaan dzikir dan doa
seusai shalatnya, -ini berbeda dengan yang dipahami dari tulisan ar-Raudlah-,
kecuali seorang Imam yang bermaksud mengajari para jama’ah tentang
lafazh-lafazh dzikir dan doa tersebut, maka ia boleh mengeraskannya hingga
jama’ah mengetahui dan hafal dzikir dan doa tersebut. Dengan makna inilah
dipahami hadits-hadits mengeraskan bacaan dzikir dan doa setelah shalat. Namun
al-Imam al-Adzra’i tidak menerima pemahaman seperti ini dan beliau memilih
pendapat bahwa sunnah bagi para jama’ah hendaknya selalu mengeraskan suara
mereka dalam membaca dzikir (Sesuai zhahir hadits-hadits di atas)” (al-Minhaj
al-Qawim, h. 163).
Sumber : Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah
Komentar
Posting Komentar