“Jika
cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau
akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.”
Syaikh Ahmad bin
Muhammad bin Mukhtar At-Tijani (1150 H/1737 M) adalah imam besaar yang diyakini
sebagai seorang wali quthb. Sejak usia tujuh tahun Syaikh At-Tijani telah hafal
Al-Qur’an. Kemudian pada usia dua puluh tahun ia telah mendalami berbagai cabang
ilmu; baik ilmu ushul, ilmu furu’, maupun ilmu adab. Menginjak usia
tiga puluh satu tahun, Syaikh At-Tijani mendalami ilmu tasawuf dan terjun dalam
dunia sufi sampai memasuki usia empat puluh enam tahun. Ia membersihkan jiwa,
tenggelam dalam mengamalkan amalan thariqah dibarengi kunjungan kepada para
wali besar di berbagai belahan daerah, seperti Tunisia, Mesir, Makkah,
Madinah, Fez (Maroko), dan Abu Samghun. Kunjungan kepada wali-wali besar itu
dalam upaya silaturahim dan menapaki hikmah-hikmah kewalian secara lebih luas.
Pada saat itu para wali besar telah melihat dan mengakui bahwa Syaikh At-Tijani adalah wali besar, bahkan lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Ungkapan kesaksian demikian karena di dunia sufi diakui bahwa derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang hakikatnya berasal dari Allah SWT. Derajat wali, semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah.
Proses panjang
Syaikh At-Tijani menapaki hikmah-hikmah kewalian melalui perjalanan panjang
mengunjungi para awliya’ besar, berakhir di sebuah padang sahara bernama Abu
Samghun di wilayah Aljazair. Syaikh At-Tijani mengunjungi daerah Abu
Samghun pada tahun 1196 H/1782 M. Di tempat inilah ia mencapai anugerah al-fath
al-akbar (pembukaan besar) dari Allah.
Pada saat al-fath
al-akbar ini Syaikh At-Tijani mengaku berjumpa dengan Rasulullah SAW
secara yaqzhah, sadar lahir dan bathin. Pada saat itu ia mendapat
talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah SAW berupa istighfar
100 kali dan shalawat 100 kali. Empat tahun
kemudian, pada tahun 1200 H/1786 M, wirid itu disempurnakan lagi oleh
Rasulullah SAW dengan bacaan dzikir Hailalah (La ilaha illallah)
100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW melalui
perjumpaan secara yaqzhah inilah yang menjadi awal mula berdirinya Thariqah
At-Tijaniyah.
Penggalan kisah
perjalanan ruhani Syaikh At-Tijani di atas hingga bertemu dengan Rasulullah SAW
dalam keadaan sadar lahir bathin adalah anugerah Ilahiyah hasil dari
perjalanan panjang yang tidak setiap orang dapat melakukannya, kecuali mereka
yang terpilih sebagai kekasih-kekasih Allah.
Bertemu dengan
Rasulullah SAW seperti yang dialami oleh Syaikh At-Tijani hanyalah satu dari
berjuta lembaran riwayat yang mencatatkan perjumpaan terindah antara sang
kekasih dengan tumpuan hatinya, antara perindu dengan kekasih tercintanya, dan
antara umat yang teramat sayang dan rindu kepada nabinya, insan termulia,
manusia pilihan, kekasih Tuhan semesta alam, habibuna Muhammad
Rasulullah SAW.
Diriwayatkan,
seorang waliyullah diberikan kecintaan lebih kepada Allah. Wali itu bernama
Syaikh Balwas. Dinamakan “Syaikh Balwas” karena kelebihan cintanya itu
kepada Allah.
Ia melakukan
hijrah ke sebuah gua, yang akhirnya ia dicerca dan dibenci oleh keluarganya,
saudaranya, lingkungannya. Mirip yang dialami oleh Nabi Ayub AS.
Rindunya kepada
Rasulullah SAW berapi-api hingga suatu ketika Allah mengilhamkan bacaan
shalawat kepadanya, yang ternyata kelebihannya luar biasa bagi yang
mengamalkannya. Syaikh Balwas merenungkan ayat Allah tentang kejadian manusia
yang diumpamakan seekor burung kepada Nabi Ibrahim AS. Burung tersebut
dipotong menjadi beberapa bagian, kemudian dihidupkan kembali.
“Ya Allah, semua
orang adalah faqir (tidak punya). Nabi Khidhir juga faqir. Hanya Engkaulah Yang
Mahakaya. Maka aku ingin bertemu dengan Rasulullah SAW secara yaqzhah,” ujar
Syaikh Balwas suatu ketika.
Maka seluruh apa
yang dimilikinya diberikan kepada orang lain. Termasuk istrinya, diserahkan
kepada pihak kesultanan.
“Dan aku ini budak
siapa pun,” kata Syaikh Balwas. Maka setiap ada yang meminta bantuannya karena
Allah, ia menyerahkan dirinya untuk membantunya. Perilaku ini mirip dengan
apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS.
Kemudian,
datanglah Rasulullah SAW menjumpai Syaikh Balwas dalam keadaan sadar. Beliau
memberikan bacaan shalawat kepadanya. Rasulullah SAW memerintahkan kepada
Syaikh Balwas untuk membacanya sebanyak 20.000 kali.
Berkata Syaikh
Balwas, “Aku mengerjakannya dalam sehari semalam.”
Lalu datanglah
seseorang membawakan uang 20.000 dinar kepadanya.
Syaikh Balwas
hidup pada masa Syaikh Samman Al-Madani. Ia adalah orang yang tidak mengetahui
bahwa dirinya adalah seorang wali Allah. Kisah ini termasyhur di kalangan
pengikut Thariqah Idrisiyah.
Syaikh Yusuf bin
Ismail An-Nabhani, dalam kitabnya Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat,
menukil riwayat dari Syaikh Ahmad Al-Mubarak dalam kitab Al-Ibriz,
meriwayatkan ihwal gurunya, Syaikh Al-Ghawts Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang
menceritakan bahwa Nabi Khidhir AS memberinya satu wiridan, pada masa awal
perjalanan kewaliannya, untuk diamalkan setiap hari dengan membacanya sebanyak
7000 kali. Wiridan itu berupa doa yang berbunyi, “Ya Allah, ya Tuhanku, dengan
kedudukan penghulu kami, Nabi Muhammad bin Abdullah, kumpulkanlah aku bersama
Nabi Muhammad di dunia sebelum di akhirat.”
Syaikh Abdul Aziz
kemudian mendawamkan wirid ini sebagaimana dianjurkan oleh Nabi Khidhir AS
hingga ia bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dalam pertemuan
itu, Syaikh Abdul Aziz menanyakan kepada Nabi SAW berbagai permasalahan.
Kemudian Nabi pun menjawab berbagai permasalahan yang diajukan tersebut dengan
jawaban yang tidak satu pun bertentangan dengan penjelasan yang disebutkan
oleh para imam, padahal Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang ummi, tidak dapat membaca
ataupun menulis.
Selain itu, Syaikh
Yusuf An-Nabhani mengisahkan juga perjumpaannya dengan Syaikh Mahmud Al-Kurdi
di makam Nabi SAW. Syaikh Kurdi menyatakan, dirinya selalu berjumpa dengan Nabi
SAW dan berdialog dengan beliau. Pernah juga Syaikh Kurdi datang ke makam Nabi
SAW dan dikatakan kepadanya bahwa beliau SAW sedang berkunjung kepada pamannya,
Hamzah bin Abdul Muththallib. Syaikh Kurdi juga menceritakan berbagai hal yang
dialaminya bersama Rasulullah SAW selama itu. “Dan aku meyakini hal itu dan
membenarkan apa yang diceritakannya itu, karena beliau termasuk salah satu
ulama shadiqin,” kata Syaikh Yusuf menegaskan.
Dalam kitab yang
sama, Syaikh Yusuf juga menukilkan riwayat dari Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami,
menghikayatkan dari Syaikh Ibnu Abi Jumrah, Syaikh Al-Bazi, Syaikh Al-Yafi,
dan yang lainnya dari kalangan tabi‘in dan juga generasi sesudah mereka, bahwa
mereka telah bertemu Nabi SAW dalam mimpi dan kemudian bertemu dengan beliau
dalam keadaan sadar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang perkara-perkara
yang ghaib dan beliau pun menjawabnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah
seperti apa yang dikhabarkan oleh Nabi SAW.
Syaikh Ibnu Abi
Jumrah mengatakan, “Hal tersebut adalah bagian dari karamah awliya’, sehingga
orang-orang yang mengingkarinya mestilah terjatuh ke dalam jurang pengingkaran
terhadap karamah para awliya.”
Mungkinkah
Bertemu Nabi?
Dapatkan seseorang
bertemu, berbincang, bahkan berdialog dengan Nabi SAW, yang sudah wafat
berabad-abad yang lalu, dalam keadaan sadar? Masalah ini memang menimbulkan
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Karena ada banyak aspek yang jawabnya
pun akan beragam pula berdasarkan aspek yang dimaksudkan dan ditanyakan.
Apakah pertanyaan
itu menyangkut aspek syari’at dan tetapnya kemungkinan melihat Nabi SAW dengan
dalil-dalil syari’at? Apakah pertanyaan itu berkaitan dengan makna melihat dan
kapan terjadinya? Dan siapakah yang layak melihat Nabi SAW jika hal itu
termasuk mungkin menurut syari’at?
Sesungguhnya
permasalahan tentang melihat Nabi SAW secara nyata dan sadar telah disebutkan
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam Shahih
Al-Bukhari, diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam
keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.”
Imam Ibnu Hajar
dalam kitabnya Fath al-Bary menukilkan bahwa hadits ini diriwayatkan
dengan tiga lafazh yang berbeda, yakni: pertama dengan lafazh “niscaya akan
melihatku dalam keadaan sadar”, kedua dengan lafazh “maka seakan-akan ia telah
melihatku dalam keadaan sadar”, dan ketiga dengan lafazh “maka sungguh ia
telah melihatku”.
Berkenaan dengan
hadits ini, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan lafazh yang paling
kuat di antara ketiga riwayat tersebut, meskipun mereka tidak berbeda pendapat
dalam keshahihannya. Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menentukan makna
dari ketiganya, terutama pada riwayat yang menyatakan, “Barang siapa
melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar.”
Untuk mengetahui
apakah mungkin bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar, menurut pandangan
syari’at tidaklah dapat disimpulkan berdasarkan hadits ini. Melainkan berdasarkan
hadits-hadits lain yang kedudukannya mendekati mutawatir (derajat
tertinggi keshahihan hadits). Yakni, antara lain, hadits-hadits yang
menjelaskan mungkinnya melihat arwah yang tidak lagi berada pada jasad
duniawinya. Hal itu telah dialami oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam riwayat
yang menjelaskan ihwal peristiwa Isra dan Mi‘raj.
Nabi SAW
dipertemukan oleh Allah dengan arwah para nabi sebelumnya, yang menyerupai
bentuk jasad mereka semasa di dunia, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits-hadits yang shahih.
Dari riwayat
tentang peristiwa Isra dan Mi‘raj yang dialami oleh Rasulullah SAW, dapat
dipahami adanya kemungkinan melihat arwah menurut syari’at yang menjadi
pembahasan kita kali ini, dengan tidak memandang kepada siapa yang mengalami
peristiwa tersebut, yakni Rasulullah SAW. Hal itu tidak lain adalah mukjizat
Nabi SAW.
Kalangan ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam masalah karamah awliya’ berpandangan bahwa
segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk
menjadi karamah bagi wali, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan
kekhususannya bagi Nabi SAW.
Pandangan ini
telah dijelaskan oleh para imam, di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarh
Muslim. Demikian itu karena karamah dan mukjizat, keduanya adalah sama-sama
perkara yang di luar adat kebiasaan manusia yang datang dari Allah SWT.
Perbedaan keduanya tidak terletak pada kemungkinan terjadinya, melainkan pada
kedudukan mukjizat sebagai bukti nyata yang tidak dapat diingkari kebenarannya
dan sebagai bukti kebenaran kenabian. Adapun karamah tidaklah demikian,
melainkan sebagai karunia dan kemuliaan yang Allah berikan bagi siapa pun yang
dikehendaki-Nya dari para kekasih Allah.
Karamah-karamah
tersebut banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, dengan
tidak adanya batasan tertentu, selain bahwa hal itu mungkin terjadinya dengan
kudrat Allah SWT dengan bentuk yang berbeda-beda berdasarkan situasi dan
kondisi yang dialami oleh masing-masing pelakunya. Seperti pertemuan dan dialog
antara Maryam dan Jibril AS, pemindahan istana Bilqis dalam sekejap mata oleh
salah seorang pengikut Nabi Sulaiman AS yang dikaruniai ilmu dari Al-Kitab, dan
sebagainya.
Berdasarkan
riwayat yang menetapkan bertemunya Nabi SAW dengan arwah para nabi dalam
peristiwa Isra dan Mi‘raj, sebagai mukjizat bagi beliau, dapat dikatakan, sah
pula bahwa arwah dapat dilihat oleh wali siapa pun dengan jalan di luar adat
kebiasaan manusia, sebagai penghormatan dan kemuliaan dari Allah SWT. Karena
bertemu dan melihat arwah tidaklah termasuk khushushiyah (sesuatu yang
dikhususkan) bagi Nabi SAW semata, sehingga hal itu berlaku dalam konteks umum.
Pendapat yang
mengatakan bahwa segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW,
sah pula untuk menjadi karamah bagi wali, ini bersandarkan pada dasar-dasar
yang kuat. Yakni bahwa pembahasan dalam masalah terjadinya perkara apa pun
membutuhkan dua dalil, yaitu al-imkan ‘aqlan (mungkin terjadinya
secara akal) dan ats-tsubut naqlan (ketetapan berdasarkan nash-nash
syari’at).
Mungkin terjadinya
secara akal, yakni tidak termasuk mustahil secara akal, yaitu sesuatu yang
tidak mungkin tergambar oleh akal wujudnya, seperti pernyataan bahwa benda
bergerak dan diam pada satu waktu yang bersamaan, tempat yang sama, dan arah
yang sama pula. Dan mukjizat para nabi dan karamah para awliya’ termasuk
perkara yang jaiz, mungkin terjadinya, menurut akal. Karena perkara yang
mustahil secara akal, mustahil pula terjadinya meski sekadar dalam khayalan.
Menghidupkan orang
yang sudah mati, sebagaimana terjadi pada Nabi Isa AS, misalnya, telah
dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan penetapan
terjadinya peristiwa itu menurut nash syari’at, yang mana menghidupkan orang
yang sudah mati termasuk mukjizat yang paling agung. Akan tetapi, tidak adanya
riwayat yang menyebutkan terjadinya hal itu bagi selain Nabi Isa AS tidaklah
menunjukkan bahwa hal itu mustahil terjadinya pada selain Nabi Isa AS.
Di sana terdapat
perbedaan antara apa yang mungkin terjadi dan apa yang belum terjadi
berdasarkan ketetapan nash-nash syari’at. Tidak ada riwayat shahih yang
menetapkan bahwa Nabi SAW menghidupkan orang yang mati padahal beliau lebih
dekat dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dibanding Nabi Isa AS. Namun
Imam Syafi‘i berkata, “Tidaklah seorang nabi diberi mukjizat oleh Allah SWT
kecuali Nabi SAW diberi mukjizat sejenisnya yang lebih agung darinya.”
Ketika Imam
Syafi‘i ditanya perihal Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati,
ia menjawab, “Tangisan pilu batang kurma lebih agung dalam masalah ini.” Karena
menghidupkan yang sudah mati berarti mengembalikan kehidupan bagi sesuatu
yang sudah pernah hidup sebelumnya. Sedangkan tangisan pilu batang kurma
berarti memberikan kehidupan yang serupa dengan kehidupan manusia bagi sesuatu
yang tidak memiliki kehidupan seperti manusia.
Para ulama
menyatakan, hal itu merupakan mukjizat Nabi SAW, dan setiap karamah para wali
adalah mukjizat Nabi SAW, karena mereka menerima karamah tersebut dengan
sebab ittiba (mengikuti jalan) Rasulullah SAW sehingga semua karamah
yang dikaruniakan Allah kepada para wali tidak lain adalah mukjizat-mukjizat
beliau SAW.
Dari sini dapat
diketahui dengan jelas bahwa mukjizat membutuhkan al-imkanul ‘aqliy
(mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut an-naqliy (ketetapan
berdasarkan nash-nash syari’at). Demikian pula halnya dengan karamah. Hanya
saja perbedaan keduanya adalah bahwa yang pertama adalah pengakuan Nabi SAW,
sedangkan yang kedua bukan pengakuan Nabi SAW. Perbedaannya juga bahwa iman
kepada setiap mukjizat wajib hukumnya pada dzatnya; adapun karamah para wali,
wajib iman kepadanya secara umum, bukan kepada tiap-tiap karamah yang terjadi
pada masing-masing setiap wali, kecuali terhadap karamah-karamah yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.
Adapun berkaitan
dengan masalah bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar, dapat dikatakan bahwa
hal itu termasuk mumkin syar‘an wa ‘aqlan (mungkin atau boleh
terjadinya secara syari’at dan akal).
Mungkin secara
akal telah diuraikan di atas. Adapun menurut syariat, dasarnya adalah kaidah:
segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk
menjadi karamah bagi wali. Dan nash syari’at yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dalam shahihnya telah menetapkan bagi siapa pun yang bertemu Nabi SAW dalam
mimpi akan bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar.
Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dalam bab at-Ta‘bir, Nabi SAW
bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku
dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.” Kemudian Imam
Al-Bukhari menyebutkan pula secara langsung riwayat lain dari Anas RA, Nabi
SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, sungguh dia telah melihatku,
karena sesungguhnya setan tidak dapat menyerupai diriku. Dan mimpi seorang
mukmin adalah bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”
Selanjutnya,
sebagian ulama menjelaskan bahwa lafazh hadits ini menggunakan kata “fasayarani”.
Huruf sin yang menunjukkan arti “akan” bila dimasukkan dalam fi`il
mudhari`(kata kerja bentuk kedua yang menunjukkan makna kini dan akan
datang), dalam kaidah bahasa Arab, digunakan untuk menunjukkan jarak waktu yang
dekat. Berbeda dengan kata sawfa, yang bermakna “niscaya akan”,
digunakan untuk masa yang jauh. Dan Nabi SAW tidak berkata-kata dari hawa
nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang datangnya dari Allah SWT. Itulah
sebabnya, ucapan yang keluar dari lisan beliau adalah ucapan yang paling kuat,
yang tidak ada kerancuan padanya atau sesuatu yang mendatangkan keraguan.
Bila yang dimaksud
“melihat” dalam hadits tersebut adalah melihat kelak pada hari Kiamat, niscaya
beliau berkata “sawfa yarani” (niscaya akan). Sedangkan ulama sepakat
bahwa semua orang mukmin akan bertemu dengan Nabi SAW pada hari Kiamat. Lalu di
mana perbedaan dan keistimewaan bagi orang yang mimpi bertemu Nabi di dunia,
atau apakah hanya orang yang bertemu Nabi dalam mimpi yang akan bertemu beliau
kelak pada hari Kiamat?
Sayyid Muhammad
Al-Maliki mengatakan, “Adapun bagi pihak yang mentakwilkannya dengan melihat
Nabi SAW dalam keadaan sadar di akhirat, jawaban para ulama terhadap mereka:
sesungguhnya di akhirat, setiap orang yang beriman akan melihat Baginda SAW,
sama saja yang pernah bermimpi berjumpa dengan beliau di dunia maupun yang
tidak pernah bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, seperti yang dijelaskan dalam
banyak hadist shahih yang lain. Hal ini menyebabkan, tidak ada pengkhususan
antara mereka yang pernah melihat Nabi di dalam mimpi ataupun tidak. Sedangkan
hadits tersebut menceritakan ihwal pengkhususan terhadap mereka yang pernah
bermimpi bertemu Nabi dari mereka yang tidak pernah bermimpi berjumpa Nabi,
yaitu, ‘ia akan melihatku dalam keadaan sadar’.”
Selain itu, Imam
As-Suyuthi, dalam kitab Tanwir Al-Halk fi Imkan Ra’yah An-Nabiy fi
Al-Yaqzhah wa Al-Malak, menukilkan penjelasan Imam Abu Muhammad bin Abi
Jumrah, ia berkata dalam ta’liq-nya (komentar) terhadap hadits riwayat
Al-Bukhari, “Hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa yang bertemu Nabi SAW
dalam mimpi, niscaya orang tersebut akan bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar.
Dan apakah hal ini berlaku umum pada masa Nabi hidup dan sesudah beliau
wafat, ataukah hanya pada masa hidup beliau? Kemudian apakah hal itu berlaku
bagi setiap orang yang melihat Nabi dalam mimpi, atau khusus bagi mereka yang
memiliki kemampuan tertentu dan mengikuti sunnah beliau SAW?
Lafazh hadits ini
menunjukkan keumumannya; dan barang siapa menyatakan kekhususan dengan tanpa
adanya dalil yang mengkhususkannya dari Nabi SAW, orang tersebut telah berlaku
sembrono.
Namun sebagian
orang benar-benar tidak meyakini keumuman hadits ini. Ia berkata dengan apa
yang ada dalam pikirannya, ‘Bagaimana mungkin seseorang yang sudah
meninggalkan dunia dapat dilihat oleh orang yang masih hidup di alam nyata?’
Pendapat semacam
ini mengandung dua hal yang sangat berbahaya, yaitu: pertama, tidak mempercayai
ucapan Nabi SAW, yang tidaklah mengucapkan sesuat dari keinginanya; dan yang kedua,
bodoh terhadap kekuasaan Yang Mahakuasa dan menganggapnya lemah.…”
Imam As-Suyuthi
berkata, “Ungkapan Imam Ibnu Abi Jumrah bahwa ‘Lafazh hadits ini menunjukkan
keumumannya’ tidak khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan tertentu dan
mengikuti sunnah beliau SAW, maksudnya adalah kepastian melihat Nabi SAW dalam
keadaan sadar setelah melihat beliau dalam mimpi, meskipun hanya sekali,
sebagai bukti dari janji beliau SAW yang tidak akan mungkin diingkari. Dan bagi
orang awam, hal itu banyak terjadi pada saat-saat menjelang kematian, yaitu
pada saat hadirnya sakratul maut. Yang mana ruhnya tidak akan keluar dari
jasadnya sebelum melihat Nabi SAW sebagai perwujudan dari janji beliau SAW.
Adapun bagi selain
orang-orang awam, melihat dan bertemu Nabi SAW dapat terjadi sepanjang hidup
mereka, baik itu sering ataupun jarang, tergantung dari kesungguhan dan
pemeliharaan mereka terhadap sunnah Nabi SAW. Dan melanggar sunnah Nabi SAW
merupakan penghalang yang besar untuk dapat melihat dan bertemu dengan beliau
SAW.”
Sejauh
Mana Cinta Kita
Itulah sebabnya,
bagi yang mengharapkan mendapat anugerah besar dapat mimpi dan bertemu Nabi
SAW, penting bagi kita untuk merenungi kisah berikut, sebagai muhasabah sejauh
mana kecintaan kita kepada Rasulullah SAW dan seberapa besar pula tekad dan
kesungguhan kita dalam menjalankan sunnah-sunnah beliau SAW.
Pada suatu ketika
seorang murid berjalan menuju rumah gurunya. Tampak di wajahnya ia sedang
menginginkan sesuatu.
Ketika sampai di
rumah sang guru, dia duduk bersimpuh dengan sangat beradab di hadapan sang
guru, yang tak bergerak sedikit pun.
Kemudian dengan
wajah dan suara yang berwibawa, bertanyalah sang guru kepada muridnya, “Apakah
yang membuatmu datang kepadaku di tengah malam begini?”
“Wahai Guru, sudah
lama aku ingin melihat nabiku SAW walau hanya lewat mimpi, tetapi keinginanku
belum terkabul juga,” jawab sang murid dengan nada sungguh-sungguh.
“Oh… itu rupanya
yang kau inginkan. Tunggu sebentar.”
Sang guru
mengeluarkan pena, kemudian menuliskan sesuatu untuk muridnya. “Ini…, bacalah
setiap hari sebanyak seribu kali, insya Allah kau akan bertemu dengan nabimu.”
Pulanglah murid
membawa catatan dari sang guru, dengan penuh harapan ia akan bertemu dengan
Rasulullah SAW.
Tetapi setelah
beberapa minggu kembalilah murid itu ke rumah gurunya, memberitahukan bahwa
bacaan yang diberikannya tidak berpengaruh apa-apa.
Kemudian sang guru
memberikan bacaan baru untuk dicobanya lagi.
Sayangnya,
beberapa minggu setelah itu muridnya kembali lagi memberitahukan kejadian
yang sama.
Setelah berdiam
beberapa saat, berkatalah sang guru, “Nanti malam engkau datang ke rumahku,
kuundang makan malam.”
Sang murid heran.
Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ingin bertemu Nabi, tetapi kok diundang makan
malam?”
Sebagai murid yang
taat, ia memenuhi undangan makan malam sang guru. Datanglah ia ke rumah
gurunya untuk menikmati hidangan malamnya.
Tenyata sang guru
hanya menghidangkan ikan asin dan segera memerintahkan muridnya untuk
menghabiskannya.
“Makan, makanlah
semua, dan jangan biarkan tersisa sedikit pun.”
Sang murid pun
menghabiskan seluruh ikan asin yang ada.
Setelah itu ia
merasa kehausan, karena memang ikan asin membuat orang haus.
Tetapi ketika
ingin meneguk air yang ada di depan matanya, sang guru melarangnya.
“Kau tidak boleh
meminum air itu hingga esok pagi, dan malam ini kau akan tidur di rumahku!”
kata sang guru.
Dengan penuh
keheranan, ia menuruti perintah sang guru.
Ketika malam
semakin larut, sang murid merasa susah tertidur, karena kehausan. Ia
membolak-balikkan badannya, hingga akhirnya tertidur juga karena kelelahan.
Dalam tidurnya ia
bermimpi bertemu gurunya membawakan satu ember air dingin lalu mengguyurkan ke
badannya. Lalu terjagalah ia karena mimpi itu, seakan-akan benar-benar terjadi
pada dirinya.
Kemudian ia
mendapati gurunya telah berdiri di hadapannya dan berkata, “Apa yang kau
impikan?”
“Guru, aku tidak
bermimpi tentang Nabi SAW. Aku bermimpi, guru membawa air dingin lalu
mengguyurkan ke badanku.”
Tersenyumlah sang
guru karena jawaban muridnya. Kemudian dengan bijaksana ia berkata, “Jika
cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau
akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.”
Menangislah si
murid, ia menyadari bahwa di dalam dirinya belum ada rasa cinta kepada
Rasulullah SAW. Ia masih lebih mencintai dunia daripada Nabi SAW. Ia menyadari
bahwa selama itu ia masih sering meninggalkan sunnah-sunnahnya, bahkan ia pun
merasa masih sering menyakiti hati umat Rasulullah SAW.
Sumber : majalah-alkisah.com
Komentar
Posting Komentar