Puasa Ramadhan, Syarat Wajib, Rukun & Sunnah Puasa serta yang Membatalkannya

Kata puasa dalam bahasa Arab adalah “Shiyam atau shaum”, keduanya merupakan bentuk masdar, yang bermakna menahan. Sedangkan  secara istilah fiqh berarti menahan diri sepanjang hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat tertentu, menahan dari segala sesuatu yang menyebabkan batalnya puasa bagi orang islam yang berakal, sehat, dan suci dari haid dan nifas bagi seorang muslimah.

Puasa ramadhan hukumnya wajib untuk semua muslim yang memenuhi syarat untuk melakukannya. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan berdasarkan nash al-Qur’an yang sifatnya qot’i dalam kajian ilmu fiqh.

يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ...
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagimu ibadah puasa, sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa...(QS. al-Baqarah, 2: 183)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى اَنْزَلَ فِيْهِ الْقُرْاَنُ هُدًى للِّنَّاسِ وَبَيِنَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ... 

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,..(QS. al-Baqarah, 2:185)

Syarat Wajib & Rukun Puasa Ramadhan
Syarat Wajib adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebelum melaksanakan suatu ibadah. Seseorang yang tidak memenuhi syarat wajib, maka gugurlah tuntutan kewajiban kepadanya. Sedangkan rukun adalah hal-hal yang harus dilakukan dalam sebuah ibadah.

Adapun Syarat pertama seseorang itu diwajibkan menjalankan ibadah puasa, khususnya puasa Ramadhan, yaitu ia seorang muslim atau muslimah. Karena puasa adalah ibadah yang menjadi keharusan atau rukun keislamannya, sebagaimana termaktub dalam hadits yang diriwayat kan oleh Imam Turmudzi dan Imam Muslim:

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ

Dari Abi Abdurrahman, yaitu Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab r.a, berkata: saya mendengar Rasulullah s.a.w, bersabda: Islam didirikan dengan lima hal, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, didirikannya shalat, dikeluarkannya zakat, dikerjakannya hajji di Baitullah (Ka’bah), dan dikerjakannya puasa di bulan Ramadhan. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 7 dan Muslim: 19)

Syarat yang kedua seseorang itu berkewajiban menjalankan ibadah puasa ramadhan, yaitu ia sudah baligh, dengan ketentuan ia pernah keluar mani dari kemaluannya baik dalam keadaan tidur atau terjaga, dan khusus bagi perempuan sudah keluar haid. Dan syarat keluar mani dan haid pada batas usia minimal 9 tahun.

Dan bagi yang belum keluar mani dan haid, maka batas minimal ia dikatakan baligh pada usia 15 tahun dari usia kelahirannya. Dengan syarat ketentuan baligh ini, menegaskan bahwa ibadah puasa ramadhan tidak diwajibkan bagi seorang anak yang belum memenuhi cirri-ciri kebalighan yang telah disebutkan di atas.

Syarat yang ketiga bagi seorang muslim dan baligh itu terkena kewjiban menjalankan ibadah puasa, apabila ia memiliki akal yang sempurna atau tidak gila, baik gila karena cacat mental atau gila disebabkan mabuk.

Seseorang yang dalam keadaan tidak sadar karena mabuk atau cacat mental, maka tidak terkena hukum kewajiban menjalankan ibadah puasa, terkecuali orang yang mabuk dengan sengaja, maka ia diwajibkan menjalankan ibadah puasa dikemudian hari (mengganti di hari selain bulan ramadhan).

رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظُ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتّى يُفِيْقَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ
Tiga golongan yang tidak terkena hukum syar’i: orang yang tidur sapai ia terbagngun, orang yang gila sampai ia sembuh, dan anak-anak sampai ia baligh. (Hadits Shahih, riwayat Abu Daud: 3822, dan Ahmad: 910. Teks hadits riwayat al-Nasa’i)

Syarat keempat adalah kuat menjalankan ibadah puasa. Selain islam, baligh, dan berakal, seseorang harus  mampu dan kuat untuk menjalankan ibadah puasa. Dan apabila tidak mampu maka diwajibkan mengganti di bulan berikutnya atau membayar fidyah. Untuk keterangan lebih detailnya akan dijelaskan pada fasal selanjutnya yang insyaallah akan diterangkan pada pasal permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan ibadah puasa.

Syarat kelima Mengetahui Awal Bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan diwajibkan bagi muslim yang memenuhi persyaratan yang telah diuraikan di atas, apabila ada salah satu orang terpercaya (adil) yang mengetahui awal bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal secara langsung dengan mata biasa tanpa peralatan alat-alat bantu. Dan persaksian orang tersebut dapat dipercaya dengan terlebih dahulu diambil sumpah, maka muslim yang ada dalam satu wilayah dengannya berkewajiban menjalankan ibadah puasa. Dan apabila hilal tidak dapat dilihat karena tebalnya awan, maka untuk menentukan awal bulan Ramadlon dengan menyempurnakan hitungan tanggal bulan sya’ban menjadi 30 hari.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad s.a.w, yang diriwayatkan oleh Imam Buchori, r.a:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُواعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ 

Berpuasa dan berbukalah karena melihat hilal, dan apabila hilal tertutup awan maka sempurnakanlah hitungannya bulan menjadi 30 hari (H.R. Imam Buchori)

عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ اَعْرَبِيُّ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اِنِّي رَاَيْتُ اْلهِلَالَ فَقَالَ: اَتَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلّاَ اللهَ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَتَشْهَدُ اَنْ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: يَا بِلَالُ اَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا 
Dari ‘ikrimah, ia dapatkan dari Ibnu Abbas, berkata: datanglah orang Arab Badui menghadap Nabi s.a.w, ia berkata: sesungguhnya aku telah melihat hilal. Nabi menjawab: apakah kamu akan bersaksi (bersumpah) “sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah”, orang Arab Badui tadi menjawab; “ia”. Lalu Nabi bertanya lagi: apakah kamu akan bersaksi (bersumpah) “ sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah”, dan Orang Arab Badui menjawab “ia”. Lalu Nabi bersabda; “wahai Bilal perdengarkanlah adzan ditengah-tengah kerumunan manusia, dan perintahkanlah mereka untuk mengerjakan puasa pada esok hari” (Hadits Shahih diriwayatkan oleh lima Imam, kecuali Ahmad)

Adapun Rukun puasa hanya dua, pertama Niat. Niat puasa Ramadhan merupakan pekerjaan ibadah yang diucapkan dalam hati dengan persyaratan dilakukan pada malam hari dan wajib menjelaskan kefarduannya didalam niat tersebut, contoh; saya berniat untuk melakukan puasa fardlu bulan Ramadhan, atau lengkapnya dalam bahsa Arab, sebagai berikut:

نـَوَيْتُ صَوْمَ غـَدٍ عَـنْ ا َدَاءِ فـَرْضِ شـَهْرِ رَمـَضَانِ هـَذِهِ السَّـنـَةِ لِلـّهِ تـَعَالىَ
Saya niat mengerjakan ibadah puasa untuk menunaikan keajiban bulan Ramadhan pada tahun ini, karena Allah s.w.t, semata.

Sedangkan dalil yang menjelaskan niat puasa Ramadhan dilakukan pada malam hari adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w, sebagai berikut:

 مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ 

Siapa yang tidak membulatkan niat mengerjakan puasa sebelum waktu fajar, maka ia tidak berpuasa. (Hadits Shahih riwayat Abu Daud: 2098, al-Tirmidz: 662, dan al-Nasa’i:2293).

Adapun dalil yang menjelaskan waktu mengucapkan niat untuk puasa sunnah, bisa dilakukan setelah terbit fajar, yaitu:


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَلَّيَّ رَسُولُ اللهِ صَلِّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَيْءٍ ؟ فَقُلْنَا لَا فَقَالَ: فَاِنِّي اِذًنْ صَائِمٌ. ثُمَّ اَتَانَا يَوْمًا اَخَرَ، فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ اُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: اَرِيْنِيْهِ فَلَقَدْ اَصْبَحْتُ صَائِمًا فَاَكَلَ 
Dari Aisyah r.a, ia menuturkan, suatu hari Nabi s.a.w, datang kepadaku dan bertanya, “apakah kamu punya sesuatu untuk dimakan?”. Aku menjawab, “Tidak”. Maka Belaiu bersabda, “hari ini aku puasa”. Kemudian pada hari yang lain Beliau dating lagi kepadaku, lalu aku katakana kepadanya, “wahai Rasulullah, kami diberi hadiah makanan (haisun)”. Maka dijawab Rasulullah, “tunjukkan makanan itu padaku, sesungguhnya sejak pagi aku sudah berpuasa” lalu Beliau memekannya. (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu Daud: 2099, al-Tirmidzi; 666, al-Nasa’i:2283, dan Ahmad:24549)

Dan rukun kedua adalah Menahan Diri Dari Segala Sesuatu Yang Membatalkan Puasa. Untuk detailnya apa-apa yang membatalkan puasa akan dijelaskan pada pasal sesuatu yang membatalkan puasa.

...فَاْلئَنَ باَشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ ثُمَّ اَتِّمُوْا الصِّيَامَ اِلَى اللَّيْلِ...
“…maka sekarang campurilah, dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, serta makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai waktu malam tiba...(QS. al-Baqarah, 2: 187) 

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa
Adapun beberapa hal yang membatalkan Puasa, sebagaimana yang harus dihindari dalam rukun puasa adalah:

1. Memasukkan Suatu Benda Dengan Sengaja ke Dalam Lubang Sesuatu yang membatalkan puasa adalah makan, minum dan segala sesuatu yang masuk melalu lubang pada anggota tubuh yang berkesinambungan (mutasil) sampai lambung, dan memasukannya dengan unsur sengaja, artinya apabila perbuatan tersebut dilakukan tanpa kesengajaan atau lupa, maka tidak membatalkan puasa.

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ......
...makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam... (QS. al-Baqarah, 2: 187)
 Sedangkan dalil yang menjelaskan makan dan minum karena ketidaksengajaan (lupa) itu tidak membatalkan puasa:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَاَكَلَ وَاشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ 

Siapa yang lupa keadaannya sedang berpuasa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberikan makanan dan minuman itu”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1797 dan Muslim: 1952)

2. Melakukan Hubungan Seksual dengan Sengaja. Hubungan seksual baik dilakukan pasangan suami isteri atau bukan dapat menyebabkan batalnya puasa dengan ketentuan melakukannya dalam keadaan sadar dan sengaja. Suatu perbuatan dapat dikatakan hubungan seksual dengan batas minimal masuknya khasafah ke dalam farji (vagina), dan apabila kurang dari itu maka tidak dikatagorikan hubungan seksual dan tidak membatalkan puasa.

Barang siapa melakukan hubungan seksual dengan sengaja pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, sedangkan malam harinya ia berniat menjalankan puasa, maka orang tersebut berdosa dengan alasan telah merusak ibadah puasa, oleh karena itu ia diwajibkan untuk mengqadla dan membayar kifarat (memerdekakan budak perempuan mu’min) sebagai hukumnya.

Jika tidak menemukan seorang budak untuk dimerdekakan atau tidak mampu untuk memerdekakannya dari segi pembiayaan, maka menggantinya dengan berpuasa dua bulan secara berurut-urut di bulan selain bulan Ramadhan, dan apabila ia tidak mampu juga maka diwajibkan membayar fidyah untuk 60 orang fakir atau miskin. Dan bagi tiap-tiap orang miskin mendapatkan satu mud dari makanan yang mencukupi untuk zakat fitrah.

Apabila ia tidak mampu semuanya, maka kafarat tersebut tidak gugur dan tetap menjadi tanggungannya. Dan pada saat ia ada kemampuan untuk membayar dengan cara mencicil, maka lakukan saja dengan segera.

جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ: وَمَا اَهْلَكَكَ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَاَتِى فِى رَمَضَانَ قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ:لَا،قَالَ: هَلْ تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لَا،قَالَ:هَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا قَالَ:لَا،ثُمَّ جَلَسَ فَاُءتِيَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ قَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَاقَالَ: فَهَلْ اَعْلَى اَفْقَرَ مِنَّا؟ فَوَاللهِ مَا بَيْنَ لَا بَتَيْهَا اَهْلُ بَيْتٍ اَحْوَجُ اِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ اَنْيَابُهُ وَقَالَ:اذْهَبْ فَاطْعِمْهُ اَهْلَكَ 

Dari Abu Hurairah r.a, menceritakan, seorang pria dating kepada Rasulullah s.a.w, ia berkata: “celaka aku wahai Rasulullah”, Nabi s.a.w, bertanya: “apa yang mencelakakanmu?”, pria itu menjawab: “aku telah bercampur dengan isteriku pada bulan Ramadhan”, Nabi s.a.w, menjawab: “mampukah kamu memerdekakan seorang budak?”, ia menjawab: “tidak”. Nabi s.a.w, betanya padanya: “mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?”, pria itu menjawab: “tidak mampu”. Rasulullah s.a.w, bertanya lagi: apakah kamu memiliki makanan untuk member makan enam puluh orang miskin?”, ia menjawab; “tidak”, kemudian pria itu duduk. Lalu Nabi diberi satu keranjang besar berisi kurma, dan Rasulullah s.a.w, berkata kepadanya : “bersedekahlah dengan kurma ini”. Pria itu bertanya: “Apakah ada orang yang lebih membutuhkan dari kami?, tidak ada keluarga yang lebih membutuhkan kurma ini selain dari keluarga kami”. Nabi s.a.w. tertawa, sehingga terliuat gigi taringnya, dan Beliau bersabda: “kembalilah ke rumahmu dan berikan kurma itu pada keluargamu”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1800 dan Muslim: 1870).

3. Mengobati Kemaluan dan Dhubur. Pengobatan yang dilakukan pada salah satu dari dua jalan (kemaluan dan dhubur) atau kedua-duanya, bagi orang yang sakit, maka pengobatan yang seperti itu dapat membatalkan puasa

4. Muntah Disengaja. Muntah-muntah dengan disengaja, dan apabila tanpa disengaja atau karena sakit, maka tidak membatalkan puasa seperti keterangan di atas.

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ ذَرَعَهُ اَلْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ 

Dari Abu Hurairah r.a, menuturkan, sesungguhnya Nabi s.a.w, bersabda: “siapa yang tidak sengaja muntah, maka ia tidak diwajibkan untuk mengganti puasanya, dan siapa yang sengaja muntah maka ia wajib mengganti puasanya”. (Hadits Hasan Gfarib, riwayat al-Tirmidzi: 653 dan Ibn Majah: 1666)

5. Keluar Air Mani Sebab Bersentuhan. Keluarnya air mani disebabkan bersentuhan (tanpa hubungan seksual) maka menyebabkan batalnya puasa, baik keluar dengan usaha tangan sendiri (mastur basi) atau menggunakan tangan seorang isteri yang halal. Dengan kata lain, apabila keluar air mani tanpa bersentuhan semisal bermimpi basah maka puasanya tidak batal.

6. Haid. Haid, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang sudah menginjak usia batas minimal 9 tahun. Dengan waktu haid paling cepat selam 24 jam, ghalibnya (keumuman) keluar darah selama satu minggu,paling lama selama 15 hari, dan jarak antara kedua masa haid batas minimal 15 hari.Darah yang keluar dari kemaluan perempuan dengan cirri-ciri seperti di atas, apabila keluar di saat seorang perempuan sedang menjalankan ibadah puasa maka puasanya batal.

 فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ 
 “kami (kaum perempuan) diperintahkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, tetapi tidak diperintahkan untuk mengganti shalat yang ditinggalkan”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 508) 

7. Nifas. Nifas, yaitu darah yang keluar dari kemaluannya perempuan setelah proses melahirkan dengan rentang waktu sampai dua bulan (ukuran maksimal) juga dapat menyebabkan batalnya puasa, apabila keluar di saat sedang berpuasa.

8. Gila. Gila yang terjadi ketika seseorang sedang mengerjakan ibadah puasa, maka puasanya batal.

9. Murtad. Murtad, sesuatu hal yang menyebabkan seseorang keluar dari islam dengan (semisal) melakukan pengingkaran akan keberadaan Allah SWT sebagai dzat tunggal, disaat ia sedang melaksanakan ibadah puasa, maka puasanya batal.

Sunnah Puasa
Yang dimaksud dengan sunnah puasa adalah segala perbuatan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad s.a.w (disunnahkan) ketika sedang melakukan ibadah puasa, diantaranya:

Pertama, Menyegerakan Berbuka Puasa Ketika waktu magrib telah tiba atau waktu diperbolehkannya untuk berbuka puasa bagi semua muslim yang menjalankannya, maka dianjurkan untuk segera berbuka puasa didahulukan dari pada menjalankan ibadah-ibadah yang lainnya, termasuk diantaranya menjalankan ibadah sholat maghrib.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوااْلفِطْرَ. 
Diceritakan dari Sahal Ibn Sa’ad, Rasulullah s.a.w, bersabda:”manusia selamanya dalam kebaikan, selama ia menyegerakan berbuka puasa” (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Kedua, Membaca Do’a Berbuka Puasa. Membaca do’a berbuka puasa sebelum membatalkan puasa itu perbuatan yang dianjurkan oleh nabi Muhammad s.a.w, sebagai mana sabdanya:


عَنِ ابْنِ عَمْرٍ كَانَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا اَفْطَرَ قَالَ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ اَفْطَرْتُ ذَهَبَ الظَّمْاءُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْاَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ 

Diceritakan dari Ibnu Umar; Rasulullah s.a.w, apabila berbuka buasa, ia berdo’a: “wahai Tuhanku, karena Engkau aku berpuasa, dan atas rizkimu aku berbuka, maka sirnahlah rasa dahaga dan urat-uratku sekarang jadi basah, dan semoga pahala puasanya tetap kalau Engakau menghendaki. (Hadits Shahihm riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Ketiga, Berbuka dengan Makan Buah Kurma atau Minum Air Putih. Berbuka puasa diawali dengan memakan buah kurma, dan apabila tidak menemukan buah kurma atau tidak memilikinya, maka dianjurkan untuk meminum air putih terlebih dahulu sebelum memakan dan minum yang lainnya.

عَنْ اَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ اَنْ يُصَلِّيَ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمْرَاتٍ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ 
Dari Anas r.a; “Nabi s.a.w, apbila ia berbuka puasa denga kurma gemading, sebelum Beliau shalat, apabila tidak ditemukannya, ia berbuka dengan kurma biasa, kalau tidak ditemukannya, Beliau berbuka dengan beberapa teguk dari air putih”. ( Hadits Shahih, riwayat Abu Daud dan al-Tirmidzi)

Keempat, Makan Sahur Sesudah Tengah Malam. Makan sahur sesudah tengah malam, dengan maksud supaya menambah kekuatan ketika puasa.

عَنْ اَنَسٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَسَحَّرُوا فَاِنَّ فِى السُّحُوْرِ بَرَكَةٌ 
Dari Anas r.a; Rasulullah s.a.w, bersabda: “makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terkandung berkah”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Kelima Mengakhirkan Sahur.  Sahur atau memakan sesuatu di malam hari dengan tujuan memperkuat diri untuk dapat menjalankan ibadah puasa keesokan harinya, maka dianjurkan mengakhirkannya sebelum waktu shubuh tiba.

عَنْ اَبِي ذَرٍّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَزَالُ اُمَّتِي بِخَيْرٍ مَااَخَّرُوا السَّحُوْرَ وَعَجَّلُوْا اَلْفِطْرَ 
Dari Abu Dzar r.a: Rasulullah s.a.w, bersabda: tidak akan hilang sifat kebaikan pada diri manusia, selama ia mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka puasa”. (Hadits Shahih, riwayat Ahmad)

Keenam, Meninggalkan Perkataan Jelek dan Jorok. Di saat menjalankan ibadah puasa, seorang muslim dianjurkan untuk tidak berkata-kata yang tidak bermanfaat, apalagi perkataan jelek dan jorok. Semisal berbohong, menghina orang lain, menggunjing kejelekan orang lain, memfitnah orang lain dsb.

Dan apabila ia dicaci maki oleh orang lain, maka ia dianjurkan untuk mengatakan “saya sedang berpuasa” sampai dua, tiga kali ucapan, menurut Imam Nawawi dalam kitab adzkarnya. Sedangkan menurut Imam Rafi’i, ia dianjurkan untuk mangatakannya dalam hati saja sebagai pengingat agar tidak terpancing emosi.

Semoga bermanfaat.
Wallahu A'lam

Komentar