Setelah diselamatkan oleh Allah dari kobaran api Raja
Namrud karena meruntuhkan berhala-berhala, Nabi Ibrahim as menjadi teladan
pejuang penegak Tauhid. Puluhan tahun berikutnya adalah masa-masa menyebarkan
ajaran Islam bagi Khalilullaah,
Sang Kekasih Allah. Puluhan atau
bahkan ratusan tahun menyeru kepada agama Allah di tengah kejahilan manusia
merupakan tugas yang diemban ‘sendirian’ oleh Nabi Ibrahim as.
Ketika usianya telah menua, keinginan dan harapan
untuk memperoleh keturunan semakin besar. “Rabbii hablii minash shalihiin.”
Ya Tuhanku, karuniakanlah untukku anak
yang shalih, demikian pinta dan doa Nabi Ibrahim as.
Di luar dugaan, karena beliau dan istrinya telah
sama-sama berusia lanjut, Allah mengabulkan permohonan tersebut. “Maka kami
sampaikan berita gembira kepadanya berupa anak yang shabar.” Bagi Nabi Ibrahim
as, Ismail bukanlah sembarang putra, ia adalah jawaban dari bertahun-tahun
pengharapan, balasan dari berabad penderitaan, cahaya mata, dan mimpi jadi
kenyataan.
Sedikit banyak, Ismail menjadi harapan besar dan
curahan cinta dari Nabi Ibrahim as. Seluruh jiwanya seakan terpatri kepada
putra semata wayangnya ini.
Tetapi Allah tidak membiarkan keadaan seperti itu
berlangsung lama. Nabi Ibrahim as akan diuji kembali: menyembelih putra satu-satunya yang teramat sangat ia cintai.
Mengapa Nabi Ibrahim as diuji kembali. Ia yang membaktikan
hampir seluruh umurnya untuk berjuang menegakkan agama Allah, menghilangkan
kebodohan dan membangun pondasi ketauhidan, mengapa harus menerima ujian lagi?
Apakah karena manusia tak boleh berhenti? Apakah
karena manusia tak boleh tertipu oleh ratusan tahun perjuangan dan kemenangan?
Apakah karena ia tak boleh menganggap dirinya tanpa kelemahan? Apakah karena
semua yang menjadi pusat perhatian kita di dunia ini akan membutakan jiwa kita?
Dan akhirnya apakah karena semakin tinggi tingkat keimanan kita, maka semakin
besar pula bahayanya jika kita jatuh?
Sepertinya tak ada kata yang bisa melukiskan bagaimana
tanggapan dan perasaan Nabi Ibrahim as ketika menerima perintah mengurbankan
Ismail. Betapa besar sakit, pilu, dan kesedihan jiwanya. Tak tergambarkan.
Bagaimana mungkin ia akan meletakkan Ismail, cahaya
matanya, pujaan hatinya, harapan jiwanya, ke tanah dan menempelkan pisau ke
lehernya?
Jika saja dirinya yang harus dikurbankan, itu lebih
ringan. Tetapi tidak, Ismail yang muda harus mati, dan Ibrahim as yang renta
harus tetap hidup. Hati Nabi Ibrahim as tentu telah tercabik-cabik oleh peperangan cinta, antara Allah dan Ismail.
Siapa yang Nabi Ibrahim as pilih? Cinta Allah atau
cinta pribadi? Kenabian atau kebapakan? Kesetiaan kepada Allah atau kepada
keluarga? Keimanan atau perasaaan? Kebenaran atau kenyataan? Kesadaran atau
hawa nafsu? Kewajiban atau kesenangan? Tugas atau hak? Tauhid atau syirik? Maju
terus atau diam saja? Dan akhirnya Allah ataukah Ismail?
Setan pun memanfaatkan kebimbangan dan perseteruan di
dalam jiwa ini.
Ketika kebenaran itu menambah kenikmatan kehidupan di
dunia ini, manusia akan berbondong-bondong menjadi pencari kebenaran. Tetapi
ketika kebenaran itu menhilangkan kenikmatan dan menghasilkan permasalahan,
kerugian atau bahaya, para pencari kebenaran ini hanya sedikit.
Dari kisah yang menjadi latar belakang hari raya Idul Adha ini, kita
mengetahui bahwa Nabi Ibrahim as memilih
cinta kepada Allah dan merelakan Ismail. Nabi Ibrahim as mengajarkan
kepada kita untuk memilih kenabian di atas kebapakan, memilih kesetiaan kepada
Allah di atas kepada keluarga, memilih keimanan di atas perasaan, memilih
kebenaran di atas kenyataan, memilih kesadaran di atas hawa nafsu, mengutamakan
kewajiban di atas kesenangan, dan mengutamakan Tauhid di atas kesyirikan.
Demikianlah Nabi Ibrahim as menghadapi ujian cinta
dari Allah ta’ala. Bagaimana dengan kita?
Siapakah Ismail kita? Mungkin ia adalah putra-putri kita?
Mungkin istri kita? Orang yang menjadi tambatan hati? Mungkin gelar kesarjanaan
kita? Pangkat dan jabatan? Tabungan dan harta kita yang melimpah? Obsesi dan
ide-ide kita? Kecantikan paras kita? Kegagahan tubuh kita? Prestasi dan
keterampilan? Kekuatan kita? Atau bahkan kebanggaan akan keimanan dan
keshalihan amal kita?
I
tulah ujian cinta yang besar. Semoga kita bisa
mengambil pelajaran.
Wallahu A'lam
Komentar
Posting Komentar