Detik-detik Wafatnya Rasulullah SAW



www.majalah-alkisah.comWahai Saudaraku, bagaimana hati kita tidak tergetar dan semakin merasakan kerinduan kepada Rasulullah SAW? Bagaimana hati kita tidak terkesan dengan Beliau? Bagaimana kita dapat melupakan perintah untuk mencintai Beliau? Bagaimana hati kita tidak terikat untuk senantiasa merindukan Beliau? Bagaimana hati kita tidak tersentuh kala pribadi Beliau diperdengarkan?

Dalam haji wada’nya (haji perpisahan), Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan sekitar 120.000 orang, “Wahai manusia, dengar dan per­ha­tikan­lah, sesungguhnya aku tidak akan ber­temu lagi dengan kalian selepas tahun ini.”

Semuanya terdiam, sambil terus mende­ngarkan kata demi kata yang diucapkan Rasulullah SAW. Beliau menasihati dan berwasiat ke­pada mereka tentang keterikatan mereka dengan Tuhan dan agama mereka. Ke­tika itu Allah menurunkan ayat, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam men­jadi agama kalian.


Allah menghidupkan makna kehidup­an yang dahsyat di tengah-tengah me­reka, dalam suasana perpisahan dengan Rasulullah SAW. Saat itu, perpisahan de­ngan Beliau adalah sebuah sisi kehidupan bagi umatnya setelah itu.

Kemudian Ra­sulullah SAW pun pulang ke kota Madi­nah.

Bulan Rabi’ul Awwal tiba.
Di awal bulan itu, tubuh Rasulullah SAW terasa lemah. Beliau terserang sakit demam. Tubuhnya pun disirami air sejuk. Beliau bersabda, “Siramilah aku dengan air supaya aku dapat keluar untuk meng­ucapkan salam perpisahan dengan para sahabatku.” Baginda pun disirami air itu, yang membuat tubuhnya terasa lebih segar.

“Sahabat Teragung”
Kemudian Beliau keluar rumah, me­langkahkan kakinya dengan diiringi ke­dua sepupunya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidina Fadhl bin Abbas, radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menemui para sahabat.

Saat melihat hadirnya Rasulullah SAW di tengah-tengah mereka, tampak betapa kegembiraan menyemburat dari wajah para sahabat. Kemudian Rasulullah SAW duduk di atas mimbarnya. Para sahabat terdiam, bersiap untuk mendengarkan segala apa yang akan diucapkan Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW pun berkhutbah, khut­bah perpisahan. Beliau bersabda, “Se­seorang telah diberi pilihan, antara kehidupan di dunia atau menjumpai Ar-Rafiqul A’la (“Sahabat Teragung”, Allah SWT).”

Rasulullah SAW pun kemudian meng­ulang-ulang kata itu, “Ar-Rafiqul A’la, Ar-Rafiqul A’la, Ar-Rafiqul A’la…”

Wahai orang yang berakal, adakah kehidupan Allah akan berakhir? Adakah hubungan dengan Allah akan menemui titik penghabisan? Hubungan dengan Ar-Rafiqul A’la itu sesungguhnya merupakan kehidupan itu sendiri. Ucapan Rasulullah SAW itu menandakan bahwa ia memilih ke­hidupan yang sejati.

Hati sahabat Sayyidina Abubakar r.a tersentuh. Ia pun berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, biar­lah ruh-ruh kami, anak-anak kami, dan sanak keluarga kami, serta harta-har­ta kami, sebagai tebusan bagimu.

Melihat Sayyidina Abubakar RA mengatakan itu, sahabat Sayyidina Abu Sa’id Al-Khudri RA berkata, “Ada apa dengan orang tua ini? Apakah ia (Abubakar) sudah pikun?”. Rasulullah SAW telah menceritakan ihwal lelaki ini (Abubakar RA), yaitu se­orang yang telah meyakini penuh bahwa diri Beliau sebagai utusan Allah SWT (saat yang lain banyak yang menging­kari­nya). Kelak Sayyidina Abu Sa’id mengatakan, “Se­lepas wafatnya Rasulullah SAW, Aku baru tahu, perkataan Abubakar itu per­kataan yang tepat.”

Rasulullah SAW memandang Sayyidina Abu­bakar RA. Pandangan yang penuh mak­na. Kemudian Beliau berkata, “Biarkanlah sahabatku berkata kepadaku. Orang yang paling percaya kepadaku adalah Abubakar. Sekiranya aku memilih kawan dekat, niscaya aku akan memilih Abu­bakar. Tutuplah pintu rumah kalian yang menuju masjidku, kecuali pintu rumah Abubakar.”

Wasiat-wasiat Rasulullah
Ya Rasulullah, berwasiatlah kepada kami,” ujar para sahabat. Kala itu, di antara yang diwasiatkan Ra­sulullah SAW, “Berwasiatlah kalian ter­hadap para wanita dengan kebaikan.” Wasiat ini menyimpan makna yang luar biasa yang Beliau katakan di saat Beliau hendak mengucapkan salam perpi­sah­an kepada sekalian umatnya. Makna­nya, agar kita mewujudkan hubungan yang baik sesama kita sepeninggal Beliau, yang dengannya kehidupan akan berjalan harmonis. Beliau mewasiatkan ini agar kita dapat menggapai kehidupan yang sebe­narnya, yaitu tatkala kita men­jalani ke­hidupan ini dengan penuh ke­baikan.

Beliau juga berwasiat, “Dan berwa­siatlah kalian dengan baik terhadap ke­luargaku.” Beliau ingin kita dapat terus hidup berkesinambungan dengan Beliau.Kenapa Beliau mengatakan “ke­luarga” yang dinisbahkan sebagai ke­luarga Beliau, “keluargaku”. Hal itu di­sebabkan Beliau ingin mengajarkan ke­pada kita bahwasanya perpindahan Beliau dari alam dunia tidak dimaksudkan se­bagai terputusnya hubungan umat de­ngan Beliau. Seakan Beliau mengatakan, “Hubungan kalian denganku tak akan ter­putus selagi kalian berhubungan dengan ke­luargaku.”

Wasiat Beliau lainnya, “Janganlah ka­lian menjadi kafir selepas kepergianku dan janganlah kalian berperang satu sama lain.” Beliau pun terus berwasiat kepada para sahabat dengan wasiat-wasiat lain yang Beliau berikan kepada mereka.

Sebagian di antara mereka menga­takan, “Ya Rasulullah, jika engkau wafat, siapakah yang akan memandikanmu?”. Beliau menjawab, “Seseorang di an­tara ahlul baytku.” Hati mereka amat tersentuh dengan perpisahan yang akan mereka lalui, per­pisahan antara mereka dengan Ra­sul­ullah SAW.

Kemudian mereka berkata lagi, “De­ngan apa engkau akan kami kafankan?”. Saat melihat rasa gundah melanda hati para sahabatnya, air mata Rasulullah SAW pun berlinang. Beliau menjawab, “(Bahan) dalam pakaianku ini, atau kain dari Yaman, atau jubah dari Syam, atau kapas dari Mesir.”

Sayyidina Abubakar r.a Mengimami Shalat
Mereka terus bertanya kepada Ra­sulullah SAW dengan beberapa perta­nyaan lainnya. Setelah banyaknya pertanyaan seba­gai persiapan bagi para sahabat bila se­waktu-waktu Rasulullah SAW wafat dan meninggalkan mereka, Rasulullah SAW pun menangis. Lalu Beliau bersabda, “Ber­laku lembutlah kepada nabi kalian.”

Kemudian Beliau berdiri, melangkah pulang, dan memasuki rumah Beliau. Beliau pun merebahkan diri di pembaringan.

Di saat yang sama, rasa bimbang semakin menggelayuti hati para sahabat. Kemudian mereka meninggalkan peker­jaan dan urusan mereka dan berkeliling di sekitar rumah Rasulullah SAW dan masjid Beliau. Mereka ingin mengetahui perkembangan berita tentang Rasulullah SAW. Sampai tiba pada waktu shalat, se­dangkan imam mereka (Rasulullah SAW) tidak kunjung keluar untuk shalat ber­sama mereka. Para sahabat pun semakin bertambah bimbang.

Kemudian Rasulullah SAW berkata ke­pada Sayyidatuna Aisyah RA, “Perintahkan Abu­bakar untuk mengimami shalat.”. Sayyidatuna Aisyah RA (putri Abubakar RA) ber­kata kepada Beliau, “Ayahku seorang yang kurus dan aku khawatir ia akan me­nangis dan tak sanggup berdiri. Mintalah dari Umar, ya Rasulullah.”

Rasulullah SAW menjawab, “Kalian se­perti sahabat Nabi Yusuf AS. Perintah­kanlah Abubakar untuk mengimami shalat.”

Sayyidina Abubakar RA pun bangkit mengimami jama’ah shalat fardhu yang pertama dan shalat-shalat berjama’ah berikutnya.

Salam Perpisahan
Senin waktu shalat Subuh, 12 Rabi’ul Awwal. Rasulullah SAW menyingkap tabir kain dari pintu rumah Beliau. Pan­dangannya mengarah kepada para sa­habat. Tampak mereka tengah shalat de­ngan khusyu’ dan tunduk di hadapan Allah SWT, di bawah pimpinan Sayyidina Abubakar RA.

Segala puji bagi Allah, saat Rasulullah SAW memperhatikan para sahabatnya itu, masjid pun bercahaya dengan ke­munculan Beliau. Sampai  sebagian saha­bat mengatakan, “Hampir saja kami ter­lalaikan dari shalat kami ketika Rasulullah muncul.”

Sayyidina Abubakar RA hampir saja mundur dari pengimaman, sementara para saha­bat yang lainnya hampir saja memaling­kan pandangannya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menunjuk dengan tangan Beliau, “Tetaplah di tempat kalian.” Kemudian Beliau menutup kembali tirai di pintu masuk rumah Beliau itu.

Para sahabat mengatakan, “Itulah saat terakhir Rasulullah SAW meman­dangi para sahabatnya.” Sayyidina Abdullah bin Mas’ud RA, pembantu Rasulullah SAW, mengatakan, ketika Rasulullah SAW melihat mereka, Beliau mengatakan, “Allah memelihara kalian, Allah memberkahi kalian, Allah menguat­kan kalian, Allah menolong kalian, Allah membantu kalian.”

Inilah salam perpisahan dari seorang yang merindukan para sahabatnya. Para sahabat pun memberi salam ke­pada Rasulullah SAW dan keluar dari masjid. Dikatakan, para sahabat bergembira saat mendapati Rasulullah SAW mem­per­hatikan mereka dari pintu rumah Beliau. Mereka menyangka kondisi kese­hatan Rasulullah SAW telah berangsur pulih. Karenanya, sebagian dari mereka ke­mudian beraktivitas lagi seperti sedia kala, dan mereka menyangka bahwa itu ada­lah rahmat Allah SWT terhadap mereka.

Berita Kematian yang Menggembirakan
Sayyidatuna Aisyah RA berkata, “Rasulullah SAW meminta izin dari sekalian istri Beliau un­tuk dirawat di rumahku, lalu mereka meng­izinkan. Saat hari Senin itu, hari wafatnya Rasulullah SAW, tiba, ruh Beliau diambil di rumahku sedangkan Beliau ada dalam de­kapanku.”

Ia berkisah, “Ketika kami semua se­dang duduk, datanglah Fathimah sambil menangis. Cara berjalannya mirip cara berjalan ayahandanya, Rasulullah SAW.”

Kemudian Beliau mendekap dan me­ng­ecupnya. Lalu Beliau membisikkan sesuatu di telinganya. Sesaat kemudian Fathimah meng­angkat kepalanya. Ia menangis. Kemudian Rasulullah memberi isya­rat kepadanya, Beliau ingin membisikkan lagi sesuatu kepada Fathimah. Fathimah mendekati ayahnya dan Rasulullah kemudian berbisik kepadanya. Sesaat setelah itu Fathimah kembali mengangkat kepalanya dengan penuh rasa gembira yang merona di wajahnya.

Aku tidak pernah melihat tangisan yang kemudian disusul dengan tertawa seperti itu.” Sayyidatuna Aisyah RA pun bertanya kepada Fa­thimah RA, “Apa yang dibisikkan Ayahandamu kepadamu?”

Sayyidatuna Fathimah RA menjawab, “Jangan eng­kau hiraukan hal itu, karena aku tak mau membuka rahasia ini selagi Beliau masih hidup.”

Kelak setelah Rasulullah SAW wafat, Sayyidatuna Aisyah bertanya lagi tentang hal itu. Sayyidatuna Fathimah mengatakan, “Ya, ketika aku mendekati ayahku, Beliau berbisik kepadaku, ‘Wahai Fathimah, sekali dalam setahun Jibril mendatangiku untuk mem­bacakan Al-Qur’an kepadaku dan pada tahun ini ia telah mendatangiku dua kali. Dan Allah telah memberi pilihan kepada ayahmu, antara dunia dan Ar-Rafiqul A’la.’ Ayahku memilih Ar-Rafiqul A’la. Dan aku diberi tahu bahwa nyawanya akan di­cabut pada hari itu. Lalu aku pun me­nangis.Kemudian Beliau memanggilku lagi dan membisikkan kepadaku, ‘Apakah eng­kau suka bahwa engkau menjadi peng­hulu wanita sekalian alam dan men­jadi orang yang pertama kali akan me­nyusulku?’.Aku pun bergembira dengan berita dari ayahku itu.”

Kematian adalah sesuatu yang me­nyedihkan. Bagaimana dengan kabar kematianmu ini, wahai Zahra?
Fathimah mengatakan, “Berita ke­ma­ti­anku ini mempercepat pertemuanku dengan orang yang aku kasihi, dan inilah kehidupan yang sesungguhnya bagiku.”

Dialog dengan Malaikat Maut
Sayyidatuna Aisyah melanjutkan kisahnya, “Sebe­lum itu kami mendengar ada sesuatu yang bergerak di balik pintu. Dan itu ada­lah Jibril. Jibril meminta izin Rasulullah untuk masuk. Beliau mengizinkannya.

Kemudian aku mendengar Rasulullah berkata kepadanya, “Wahai Jibril, Ar-Rafiqul A’la…, Ar-Rafiqul A’la… Kami tahu bahwa sangkaan kami adalah tepat

Kemudian aku bertanya kepada Ra­sulullah SAW, “Apa yang telah terjadi, wahai Rasulullah?”. Rasulullah SAW menjawab, ‘Itulah Jibril yang datang dan berkata: Malaikat maut telah berada di depan pintu dan meminta izin. Dan tidaklah malaikat maut meminta izin kepada seorang pun baik se­belum dan sesudahmu. Dan ia (Jibril) mengatakan: Allah me­nyampaikan salam kepadamu dan Dia telah merindukanmu.”

Maka, wahai orang-orang yang ber­akal, apakah perpindahan kepada Tuhan yang merindukannya merupakan suatu kematian? Bukan. Kehidupan yang sebenarnya adalah perpindahan kepada Allah, Yang Maha Hidup.

Kemudian malaikat maut mengata­kan kepada Rasulullah SAW, “Jikalau engkau berkenan, aku akan mencabut ruhmu untuk menemui Ar-Rafiqul A’la. Na­mun jika engkau tak berkenan, aku akan biarkan mengikuti berlalunya masa sampai tempo waktu yang engkau ingin­kan.
Rasulullah memilih Allah Ta’ala. Ya, Beliau memilih Sahabat Yang Teragung. Kemudian malaikat maut pun masuk dan mengucapkan salam kepada Rasul­ullah SAW. Ia berkata lagi, “Wahai Ra­sulullah, apakah kau mengizinkanku?”

Rasulullah SAW menjawab, “Terse­rah apa yang akan kau lakukan, wahai ma­laikat maut. Dan berlaku lembutlah sewaktu mencabut ruhku.”

“Hhhhhhhhh………..” (Desis suara Rasulullah SAW menahan rasa sakit).

Rasulullah SAW kembali mengatakan kepada malaikat maut, “Berlaku lembut­lah kepadaku, wahai malaikat maut.”

Perhatikanlah (meski dicabut dengan se­lembut-lembutnya pencabutan ruh yang pernah dilakukan malaikat maut), Rasulullah SAW pun merasakan sakitnya sakaratul maut. Maka bagaimana (yang akan dirasakan) oleh orang yang lalai de­ngan kematian dalam kehidupan mere­ka? Mereka tidak merenungi saat-saat ketika nyawa dicabut pada saat sakaratul maut.

“Beratkan bagiku, Ringankan bagi Umatku”
Maka menanjak naiklah ruh mulia Ba­ginda Rasulullah SAW, yang ditandai de­ngan sentakan kedua kaki Beliau. Peluh pun bercucuran dari dahi Baginda. Peluh yang bagaikan butiran permata berbau kesturi.
Rasulullah SAW menyapu peluhnya itu dengan tangannya dan kemudian me­letakkan tangannya pada sebuah wadah di tepinya untuk menyejukkan tubuhnya.

Kembali suara berdesis dari lisan suci Beliau, “Hhhhhhhh……” Lantaran rasa sa­kit yang ia alami pada saat sakaratul maut. Beliau pun mengatakan, “Sesung­guh­nya maut itu amatlah berat. Ya Allah, ringankan beratnya maut terhadapku.

Maka para malaikat dari langit pun turun kepada Beliau. Mereka berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah me­nyam­paikan salam atasmu dan Dia me­ngatakan bahwa sesungguhnya perihnya sakaratul maut 20 kali lipat (dalam riwayat lain 70 kali lipat) dari rasa sakit akibat pedang yang menusuk tubuh.”

Rasulullah SAW pun menangis de­ngan tangisan yang tiada tangisan lain yang lebih menyedihkan bagi kalian se­mua. Beliau berdoa, “Ya Allah, berat­kan­lah (sa­karatul maut) ini atasku, tapi ri­ngankanlah atas umatku.

Wahai saudaraku, bagaimana hati kita tidak ter­getar dan semakin merasakan kerinduan kepada Rasulullah SAW? Bagaimana hati kita tidak terkesan dengan Rasulullah SAW? Bagaimana kita dapat melupakan perintah untuk mencintai Beliau? Bagai­mana hati kita tidak terikat untuk senan­tiasa merindukan Beliau? Bagaimana hati kita tidak tersentuh kala pribadi Beliau diperdengarkan?

Pesan Terakhir
Sayyidatuna Aisyah RA berkata, “Saudaraku, Abdurrahman bin Abubakar, masuk dan ia sedang membawa sebatang kayu si­wak yang ujungnya belum dilembutkan. Aku lihat Rasulullah memandang ke arah­nya dan adalah Rasulullah SAW menyu­kai bersiwak.

Maka, apakah kalian menyukai apa yang Beliau suka dari sunnah-sunnah Beliau? Adalah Rasulullah SAW menyukai bersiwak. Sayyidatuna Aisyah mengatakan, “Aku berta­nya kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, apa­kah engkau menginginkannya (siwak)?’

Rasulullah, di saat Beliau sudah tak dapat lagi berkata-kata dan kami pun tak dapat mendengar sesuatu pun darinya, memberi isyarat dengan menganggukkan kepala Beliau, pertanda Beliau meng­ingin­kan untuk bersiwak. Dan perkara yang terakhir Beliau katakan adalah, ‘Ash-shalah…. ash-shalah… ash-shalah…’ – ‘Shalat… shalat… shalat....’

Maka, apakah yang kalian lakukan terhadap wasiat Nabi kalian di saat-saat akhir dari kehidupannya di dunia ini? Shalat adalah hubungan kalian dengan Tuhan, agar terjalin hubungan yang hakiki dengan-Nya.

Wahai orang yang mendahulukan pe­kerjaan dunianya dan hawa nafsunya se­belum shalat, yang mendahulukan keter­lenaannya dibanding shalatnya, ingatlah, wasiat yang terakhir dituturkan oleh kekasih kalian di akhir usianya adalah, ’Ash-shalah…. ash-shalah… ash-sha­lah…’, di samping ‘Berwasiatlah dengan kebaikan terhadap para wanita’, dan juga, ‘Aku berwasiat kepadamu dengan ke­baikan terhadap keluargaku.’

Sesaat kemudian, lidah Rasulullah SAW tampak kaku. Tapi, ruh Beliau belum tercabut. Beliau masih berkata-kata.”
Sayyidina Anas bin Malik r.a. berkata: “Ketika ruh Rasulullah SAW telah sampai di dada Beliau telah bersabda: “Aku wasiatkan kepada kamu agar kamu semua menjaga shalat dan apa-apa yang telah diperintahkan ke atasmu.” 

Dan majelis ini, kata Habib Ali, adalah salah satu kenyataan yang menggambar­kan keadaan ruh Rasulullah SAW.

Kalaulah tidak karena kehidupan Ra­sulullah SAW yang wujud dalam diri kita, niscaya kita tidak tersentak saat disebut perihal kisah wafatnya Rasulullah SAW. Bergetarnya hati kalian saat disebutkan perihal kejadian-kejadian pada saat wa­fatnya Rasulullah SAW adalah sebagian dari petunjuk yang nyata bahwa kemati­an Beliau adalah sebuah kehidupan. Adakah kematian yang dapat mengge­rak­kan banyak hati?

Sejahteralah Jasad Beliau
Kemudian, Sayyidatuna Aisyah melanjutkan, “Ra­sulullah SAW memberikan isyarat lewat anggukan kepalanya, sebagai pertanda keinginannya. Maka aku berikan kepada Beliau kayu siwak yang belum dilembutkan itu.

Tapi kemudian aku mengambilnya dari tangan Beliau ketika kulihat siwak itu tak dapat Beliau gunakan karena keras, be­lum dilembutkan. Lalu aku melembut­kannya dengan mulutku.Aku bangga, karena, di kalangan para sahabat, benda terakhir yang masuk ke mulut Beliau adalah air liurku.

Lalu aku meletakkannya dalam mulut Beliau. Beliau pun memegangnya dengan ta­ngan Beliau sendiri. Sakaratul maut yang dialami Rasul­ullah semakin mendalam. Cahaya me­mancar dari wajah Beliau, dan cahaya itu meliputi keluarganya.

Waktu terus berjalan. Ruh mulia Ra­sulullah SAW telah sampai pada kerong­kongannya. Beliau membuka kedua ke­lopak bola matanya. Kemudian Beliau me­nunjukkan isyarat dengan jari telun­juknya sebagai kesaksian atas keesaan Sang Pencipta, yaitu isyarat ketauhid­an­nya.

Sayyidna Ali radhiyallahu anhu berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW ketika menjelang saat-saat terakhir, telah mengerakkan kedua bibir Beliau sebanyak dua kali, dan saya meletakkan telinga saya dengan Rasulullah SAW berkata: “Umatku, Umatku, Umatku.” 

Tak lama kemudian, Beliau pun meng­embuskan napas terakhir.

Sejahteralah jasad Beliau yang agung setelah melalui hari-hari yang melelah­kan, lantaran segala hal ia baktikan demi keselamatan kita.

Sejahteralah jasad Beliau setelah pe­rutnya kerap kali diikat dan diganjal batu karena kelaparan, demi pengorbanannya kepada kita.

Sejahteralah jasad Beliau, yang per­nah dilempari batu hingga melukai Beliau, demi dakwahnya kepada kita.

Sejahteralah jasad Beliau, yang ge­rahamnya pernah dipatahkan, lantaran kesungguhan Beliau dalam membela agama yang akan menyelamatkan kita.

Sejahteralah jasad Beliau, yang dahi­nya pernah dilukai sampai mengalir darah dari dahinya yang mulia itu, lalu Beliau menahannya dengan tangan Beliau agar darah suci Beliau tak sampai jatuh ke ta­nah, sebagai rahmat bagi mereka, kaum yang memerangi Beliau, dan bagi kita, dari kemurkaan Allah SWT.

Sejahteralah jasad Beliau, yang mata panah pernah menembus daging pipinya, demi kita.

Sejahteralah jasad Beliau, yang kaki­nya sampai bengkak disebabkan peng­ab­dian Beliau kepada Allah SWT dan demi dakwah kepada kita.

Sejahteralah jasad yang telah memi­kul kesukaran, keletihan, kesakitan, dan kelaparan karena kita.

Ketika para penghuni rumah itu menyaksikan kepergian Rasulullah SAW, yaitu setelah ruh beliau meninggalkan jasad beliau, tangis pun meledak menyelubungi seisi rumah.

Wahai Nabi Allah….! Wahai Rasul­ullah…! Wahai kekasih Allah….!

Saat kesedihan menyelubungi rumah itu, seketika, suasana penuh haru me­nyemburat di wajah para sahabat yang ada di dalam masjid. Tak lama kemudian, berita wafatnya Rasulullah pun kemudian menyebar begitu cepat ke segenap penjuru kota Madinah.

Musibah Terberat
Kembali lagi sejenak pada apa yang dialami Sayyidina Ali bin Abu Thalib KW pada detik-detik yang sangat bersejarah itu. Saat itu, ia tengah duduk di sisi tubuh mulia Rasulullah SAW.

Ketika ia melihat guncangan ruh be­liau, ia melihat Sayyidatuna Aisyah RA me­nangis. Maka kemudian ia mengang­kat tubuh Rasulullah SAW dan meletak­kannya di kamar beliau. Setelah meletakkan tubuh nan suci itu, di saat ruh Rasulullah SAW hampir ter­lepas dari jasadnya, Sayyidina Ali pun terjatuh dan kemudian tak kuasa untuk berdiri.

Maka kemudian, tatkala suara tangis­an memenuhi ruangan rumah itu, terde­ngarlah suara yang tidak terlihat siapa yang mengatakannya. Mereka mende­ngar suara yang mengatakan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Ahlal Bait, a’zhamallahu ajrakum. Ishbiru wahtasibu mushibatakum. Fa inna Rasulallah fara­thukum fil jannah.” – Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Wahai penghuni rumah, semoga Allah membesarkan ganjaran pahala kalian. Bersabarlah dan bermuhasabah­lah dengan musibah yang kalian alami ini. Maka sesungguhnya Rasulullah men­dahuluimu sekalian di surga.”

Ketika suara itu terdengar, mereka pun terdiam dan menjadi tenang. Setelah suara itu berhenti, mereka pun menangis lagi.

Demi Allah, Dzat Yang Disembah, ka­lian tidak pernah diberi musibah seperti mu­sibah yang mereka rasakan. Tiada satu rumah pun yang pernah merasakan ke­hilangan seperti yang mereka rasakan.

Kabar itu tersiar cepat di kota Madi­nah. Para sahabat merasa kebingungan. Ketika dikatakan kepada mereka “Wahai para sahabat, tidakkah kalian tahu, Ra­sulullah SAW adalah manusia, dan se­ba­gai manusia beliau pun pasti menga­lami kematian?”, mereka mengatakan, “Ya, tapi kehidupan beliau kekal dalam diri kami dan telah menjadi cambuk dah­syat pada jiwa kami.”

Hati para sahabat terus bergetar.
Kala itu, Sayyidina Umar bin Khath­thab menghunuskan pedangnya sambil mengibas-ngibaskannya di jalan. Karena rasa sedih yang begitu mendalam, ia ber­teriak, “Sekelompok dari golongan muna­fik berkata bahwa Rasulullah telah mati. Rasulullah SAW tidak wafat. Akan tetapi be­liau menjumpai Tuhannya sebagai­mana perginya Musa AS. Dan beliau kem­bali kepada kita. Siapa yang me­nga­ta­kan Rasulullah telah mati akan ku­tebas dengan pedangku ini.”

Setelah sampai kabar kepada Sayyidina Abdul­lah bin Zaid RA, ia menangis, kemudian menengadahkan tangannya dan berdoa, “Ya Allah, ambillah penglihatanku ini, se­hingga aku tak dapat melihat seorang pun lagi selepas kepergian Rasulullah SAW.

Maka, ia pun kehilangan penglihatan pada saat itu juga.

Sahabat yang lain, ketika mendengar berita tentang Abdullah bin Zaid RA, ber­teriak, “Ya Allah, ambillah ruhku, dan tiada lagi kehidupan setelah wafatnya Rasul­ullah SAW.” Tiba-tiba ia terjatuh. Allah mengambil nyawanya seketika itu juga.

Sementara itu, Sayyidina Utsman RA membisu. Ia tidak dapat berkata apa-apa.

Hidup dan Mati dalam Kebaikan
Ketika pikiran mereka terganggu, me­reka kebingungan, maka telah sampai be­rita kepada Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiq RA, dan ia pun berada dalam ke­adaan yang menyedihkan itu. Dari arah rumahnya, ia menuju ke Masjid Nabawi dan memasukinya. Ia mendapati Sayyidina Umar dan para sahabat yang lain tengah dalam ke­bingungan.

Kemudian ia melintasi masjid itu dan sampai di rumah Rasulullah. Ia meminta izin dari penghuni rumah untuk dapat ma­suk ke rumah dan ia diizinkan untuk masuk.

Periwayat kisah ini mengatakan, Sayyi­dina Abubakar RA masuk dalam keadaan dadanya berdebaran dan tam­pak ia penuh keluh kesah, seakan-akan nyawanya pun akan dicabut pada saat itu.

Ia menangis. Kemudian terdengar dari­nya suara bagaikan bergolaknya air yang tengah mendidih. Ia memalingkan wajahnya, sementara air matanya terus bercucuran. Saat itu, jasad mulia Rasulullah SAW diselimuti kain. Lalu ia membuka kain se­limut yang menutupi jasad mulia Rasul­ullah SAW, demi menatap wajah paling mulia itu.
Ia memandang wajah Rasulullah SAW dan mendekatkan wajahnya. Di­kecupnya kening dan pipi Rasulullah SAW. Lalu, sambil menangis ia menga­takan, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, betapa mulianya kehidupan dan wafatmu. Allah SWT tidak akan menimpakan dua kali wafat untukmu. Jikalau tangisan itu bermanfaat bagimu, niscaya kami akan biarkan air mata ini terus berlinang. Tetapi, tiada tempat mengadu selain kepada Allah SWT. Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kita akan kembali. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan se­lain Allah dan aku bersaksi bahwa eng­kau, ya Muhammad, adalah utusan Allah. (Aku bersaksi bahwa) engkau telah menunaikan risalah dan menyampaikan amanah. Dan engkau meninggalkan kami di atas jalan yang bersih.”

Sayyidina Abubakar tenggelam da­lam kesedihan. Napasnya pun terse­ngal-sengal. Ia pandangi kembali wajah Ra­sulullah SAW seraya berkata, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muham­mad.”

Wahai para sahabat yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah SAW. (Dan untukmu Sayyidina Abubakar) wa­hai sahabat Rasulullah ketika di Gua Tsur. Jadi, engkau memahami bahwa perpindahan Rasulullah SAW itu adalah suatu kehidupan baru bagi Rasulullah SAW. Sehingga, kalian mengatakan, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muhammad.”

Makna “Siapa Menyembah Muhammad…”
Sayyidina Abubakar mengusap air mata dari kedua matanya yang mulia itu dengan tangannya. Lalu ia kembali menyelimuti kain penutup wajah mulia Rasulullah SAW.

Ia pun kemudian beranjak kepada keluarga Rasulullah SAW dan berusaha untuk menenangkan mereka.

Pada saat ia menangis dan mengata­kan kepada Rasulullah SAW bahwa beliau hidup dan wafat dalam kebaikan, saat itu para wanita seisi rumah itu pun menangis. Sayyidina Abubakar RA kemudian keluar dan ia melihat kembali betapa seisi masjid berada dalam kepiluan.

Kemudian ia menaiki mimbar keka­sihnya, tuannya, dan pemimpinnya, Ra­sulullah SAW. Langkah kakinya telah mem­bawanya ke mimbar itu. Maka, setelah memuji Allah SWT, bershalawat atas Nabi, ia pun mengutip firman Allah SWT, “Setiap jiwa akan men­dapatkan kematian.” Ia juga membaca­kan ayat, “Dan tidaklah Muhammad itu kecuali sebagai rasul dan telah berlalu para rasul sebelumnya.” Dan ayat, “Se­sungguhnya engkau mati dan mereka juga mati.

Ia berkata lagi, “Siapa yang menyem­bah Muhammad, Muhammad telah wa­fat. Siapa yang menyembah Allah, Allah itu hidup dan tidak mati.”

Kalimat ini mengandung pemahaman yang dalam. Pemahamannya bukanlah seperti pemahaman mereka yang jahil pada saat ini, yang memahami kata-kata “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat” sebagai putus­nya hubungan dengan Nabi SAW.

Demi Allah, Tuhan Yang Disembah, makna kalimat itu adalah siapa yang mengaitkan dirinya dengan kehidupan Rasulullah SAW di dunia saja, kehidupan Rasulullah SAW telah berakhir. Rasul­ullah SAW telah wafat. Namun siapa yang menjadikan hubungannya dengan Rasulullah SAW sebagai hubungannya dengan Allah SWT, Allah itu Maha Hidup dan tidak mati.

Jadi, dengan pengertian bahwa hu­bungan kalian dengan Rasulullah SAW tidak akan pernah berakhir. Karena, hu­bungan dengan Rasulullah SAW memiliki kaitan erat dengan hubungan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup. Kaitan ini adalah kaitan yang hidup dan tidak per­nah mati.

Kemudian Sayyidina Abubakar ber­paling kepada Sayyidina Umar, meng­hiburnya dari kebimbangan yang ia rasa­kan.

Aroma Kesturi
Di rumah Rasulullah SAW, Sayyidina Ali pun telah bangun setelah terjatuh lan­taran kesedihan. Ia bersama Sayyidina Abbas mengurus jenazah Rasulullah SAW. Kemudian, turut pula bersama itu kedua putra Sayyidina Abbas, yaitu Abdullah dan Fadhl.

Dibantu oleh mereka, Sayyidina Ali KW memandikan jasad mulia Rasul­ullah SAW dengan pakaian yang masih beliau kenakan tanpa membuka aurat beliau sedikit pun.

Sayyidina Ali KW mengatakan, “Kami memandikan beliau dan beliau masih mengenakan pakaiannya. Saat kami hendak memiringkan be­liau ke kanan, beliau menghadap ke ka­nan dengan sendirinya. Ketika kami hen­dak memiringkan beliau ke kiri, beliau menghadap ke kiri dengan sendirinya. Kami tidak mendapati seorang pun yang membantu kami untuk memandikan be­liau, kecuali jasad beliau sendiri yang ber­ubah kedudukannya.”

Katanya lagi, “Ketika kami meman­di­kan beliau, angin yang sejuk dan nyaman bertiupan ke arah kami seakan-akan kami merasakan para malaikat masuk dan bersama dengan kami pada saat itu, ikut memandikan jasad mulia Rasulullah SAW. Tidaklah ada air yang jatuh dari jasad mulia Baginda Rasulullah, melainkan ia lebih wangi dari aroma kesturi. Kemudian, kami kafankan jasad be­liau.”

Salah Satu Taman Surga
Di tempat lain, para sahabat saling bertanya, “Di manakah akan kita makam­kan jasad Rasulullah SAW ?”

Sebagian dari mereka ada yang me­ngatakan agar jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Baqi’. Imam Muslim da­lam kitab Ash-Shahih-nya menyatakan, se­bagian sahabat mengatakan agar be­liau dimakamkan di sisi mimbarnya, yaitu di dalam masjidnya, Masjid Nabawi.

Hal ini menjelaskan bahwa, ketika Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud mereka, laknat tersebut bukanlah karena sujud di suatu masjid yang ada kubur di dalamnya. Se­bab, bila cara pandang seperti itu benar, niscaya para sahabatlah yang terlebih dahulu memahami akan hal tersebut, se­bagai buah dari kehidupan mereka ber­sama Rasulullah SAW.
Sampai kemudian Sayyidina Abu­bakar RA mengatakan kepada para sahabat yang lainnya, “Sesungguhnya para nabi dikuburkan di tempat mereka mengembuskan napasnya yang terakhir, sebagaimana yang aku dengar dari sabda Rasulullah SAW.

Maka digalilah lubang di dalam kamar Rasulullah SAW sebagai tempat untuk menyemayamkan jasad suci beliau. Kemudian turunlah Sayyidina Ali KW ke dalam lubang kubur Rasulullah SAW, yang, Demi Allah, tak lain merupakan sa­lah satu taman dari taman-taman surga. Selain Sayyidina Ali, ikut turun pula pem­bantu Rasulullah SAW yang bernama Sayyidina Syaqran.

Sayyidina Syaqran berkata, “Aku melihat ke atas, tempat yang pernah diduduki Ra­sulullah SAW. Hatiku pilu. Kini kami harus meletakkan jasad Rasulullah SAW dalam kuburnya. Aku melihat ke atas tempat duduk Ra­sulullah SAW. Aku mengambilnya. Aku pun berkata, ‘Ya Rasulullah, tiada satu pun yang boleh duduk di atas tempat du­duk ini selepasmu, wahai Rasulullah!’.

Sayyidina Ali pun memakamkan Ra­sulullah SAW dalam kubur beliau, ber­sama para sahabat yang terlibat saat pemakaman itu.

Sang Putri Menyusul
Ketika mereka telah bubar usai pe­makaman, datanglah Sayyidatuna Fathi­mah Az-Zahra. Dialah yang tidak ada kesedihan yang lebih mendalam melanda seseorang setelah kepergian Rasulullah SAW selain yang dialami oleh putri Ra­sulullah SAW ini.

Dalam keadaan menangis, Sayyidatuna Fathimah melihat Sayyidina Anas bin Malik RA, pembantu ayahandanya, yang besar di bawah asuhan Rasulullah SAW dan mendapat didikan Rasulullah SAW, di rumah beliau itu. Kemu­dian ia berkata ke­pada Anas, “Ya Anas, engkau sanggup me­letak­kan tanah di atas tubuh Ra­sul­ullah?”

Sayyidina Anas pun menangis, sambil mengata­kan, “Celakalah kami, cela­kalah kami, celakalah kami, wahai Fathimah. Sesung­guhnya kami tidak menyadari dengan apa yang kami lakukan. Kalaulah kami telah men­dengar terlebih dulu apa yang eng­kau katakan sekarang ini, niscaya kami tidak akan sanggup menge­bumikannya.”

Sayyidatuna Fathimah pun berlalu, seakan ia tak mengenali siapa pun yang ada di situ. Hatinya amat sedih karena musibah yang sedang menimpanya. Ia kemudian berdiri di sisi kubur ayah­andanya dan mengambil segumpal ta­nah, lalu menciumnya. Dalam tangisannya, ia berkata,

Apa yang dapat dirasakan si pen­cium tanah kubur Nabi Muhammad ini… tidak dapat dirasakan pada selainnya sepanjang masa. Aku ditimpa musibah dengan musi­bah yang jika musibah selainnya menim­paku setiap hari pun niscaya tidak mengapa.”

Tidak sampai lima bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, Sayyidatuna Fathimah pun wafat. Sayyidatuna Fathimah adalah seorang yang di­gelari Ummu Abiha, Ibu dari Ayahnya (Karena sejak meninggalnya Sayyidatuna Khadijah, istri Rasulullah SAW, Sayyidatuna Fathimah-lah yang banyak meng­urus keseharian hidup Rasulullah SAW).

“Wahai Rasulullah…”
Sekarang, bagaimanakah keadaan kalian semua, wahai para sahabat, se­lepas wafatnya Rasulullah SAW? Adakah kalian memahaminya sebagai akhir dari kehidupan Rasulullah SAW?

Demi Allah, tidak demikian. Dugaan seperti itu benar-benar meleset.

Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid kedua pada kitab Memohon Pertolongan, sebagaimana juga ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ibnu Khuzai­mah dengan sanad yang shahih,  Bilal ibn Harits Al-Muzuni, salah seorang sa­habat Nabi, datang berziarah ke makam Rasulullah SAW. Saat itu musim paceklik te­ngah melanda, yaitu pada masa peme­rintahan Sayyidina Umar RA. Ia pun ber­diri di sisi makam mulia Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah….”

Perhatikanlah baik-baik, sahabat Nabi ini mengatakan “Ya Rasulullah….” (Yaitu memanggil Rasulullah SAW secara lang­sung, atau sebagai orang kedua).

“Ya Rasulullah. Banyak yang telah binasa, mohonkanlah air kepada Allah untuk umatmu.”
Karena mereka memahami bahwa Ra­sulullah SAW hidup di dalam kubur­nya. Beliau mendengar shalawat yang di­ucapkan atas beliau, dan beliau menja­wab salam yang diucapkan kepada be­liau. Beliaulah yang telah bersabda, “Se­sungguhnya para nabi itu hidup dalam kubur mereka”.

Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in

Komentar

Posting Komentar