Qunut dalam Shalat Witir pada Pertengahan Akhir Ramadhan

Qunut merupakan do’a yang dilakukan didalam shalat pada tempat tertentu ketika berdiri. Qunut, selain disunnahkan dilakukan pada setiap shalat shubuh dan ketika terjadi mushibah yang menimpa umat Islam (qunut nazilah), juga disunnahkan dikerjakan pada shalat witir di pertengahan terakhir bulan Ramadhan.

Imam Al-Baihaqi didalam kitabnya Ma’rifatus Sunani wal Atsar dan As-Sunanul Kubro pada “Bab Man Qaala Laa Yaqnut fil Witri Illaa Fin Nishfil Akhiri Min Ramadhan (Bab komentar Orang-orang yang tidak berqunut kecuali pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan) menyebutkan beberapa riwayat, diantaranya Imam Al-Syafi’i rahimahullah berkata :

قال الشافعي: ويقنتون في الوتر في النصف الآخر من رمضان، وكذلك كان يفعل ابن عمر، ومعاذ القاري
Mereka berqunut didalam shalat witir pada pertengahan akhir bulan Ramadhan, seperti itulah yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar dan Mu’adz Al-Qari” 

عن نافع، «أن ابن عمر كان لا يقنت في الوتر إلا في النصف من رمضان
Dari Nafi’ : Bahwa Ibnu ‘Umat tidak berqunut didalam shalat witir, kecuali pada pertengahan dari bulan Ramadhan (pertengahan akhir, penj)

أن عمر بن الخطاب «جمع الناس على أبي بن كعب، فكان يصلي لهم عشرين ليلة ولا يقنت بهم إلا في النصف الباقي» . فإذا كانت العشر الأواخر تخلف فصلى في بيته، فكانوا يقولون: أبق أبي
Sesungguhnya Umar bin Khaththab mengumpulkan jama’ah shalat tarawih pada Ubay bin Ka’ab, mereka shalat selama 20 malam, dan mereka tidak berqunut kecuali pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan. Ketika masuk pada 10 akhir Ubay memisahkan diri dan shalat dirumahnya, maka mereka mengira dengan mengatakan : Ubay telah bosan”. 

عَنْ مُحَمَّدٍ هُوَ ابْنُ سِيرِينَ، عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِهِ " أَنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ أَمَّهُمْ، يَعْنِي فِي رَمَضَانَ، وَكَانَ يَقْنُتُ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Dari Muhammad bin Sirin, dari sebagian sahabatnya, bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami mereka, yakni pada bulan Ramadhan, ia berqunut pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan” 

عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ " أَنَّهُ " كَانَ يَقْنُتُ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ مِنْ رَمَضَانَ
Dari Al-Harits, dari ‘Ali radliyallahu ‘anh, bahwa ia berqunut pada pertengahan terakhir dari bulan Ramadhan” 

عن سَلَام يَعْنِي ابْنَ مِسْكِينٍ، قَالَ: " كَانَ ابْنُ سِيرِينَ يَكْرَهُ الْقُنُوتَ فِي الْوِتْرِ إِلَّا فِي النِّصْفِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Ibnu Miskin berkata : Ibnu Sirin tidak menyukai qunut didalam shalat witir, kecuali pada pertengahan akhir shalat bulan Ramadhan 

عن قَتَادَة قَالَ: " الْقُنُوتُ فِي النِّصْفِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Dari Qatadah : qunut dilakukan pada pertengahan akhir bulan Ramadhan

Imam An-Nawawi rahimahullah didalam kitabnya Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab menjelaskan dengan panjang lebar dan adil sebagai berikut, 

“Madzhab bahwa sunnah melakukan qunut pada raka’at terakhir shalat witir pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan adalah pendapat masyhur didalam madzhab Syafi’iyah dan Imam Al-Syafi’i telah menyatakan hal tersebut; Pada satu pendapat disebutkan bahwa disunnahkan pada seluruh bulan Ramadhan dan itu madzhab Imam Malik, dan satu pendapat pula dikatakan bahwa disunnahkan didalam shalat witir sepanjang tahun dan pendapat ini juga ada pada 4 ulama besar kami yakni Abdullah Az-Zubairiy, Abul Walid Al-Nasaiburiy, Abul Fadll bin ‘Abdan dan Abu Manshur bin Mahran, pendapat yang ini dikuatkan didalam dalil hadits Al-Hasan bin ‘Ali radliyallahu ‘anhuma yang telah berlalu penjelasannya pada masalah qunut, akan tetapi yang masyhur didalam madzhab Syafi’iyah adalah pendapat yang sebelumnya yakni bahwa disunnahkan berqunut pada pertengahan akhir bulan Ramadhan, inilah yang dipegang oleh jumhur ulama Syafi’iyah. Bahkan Imam Al-Rafi’I berkata ; dhohir perkataan Imam Al-Syafi’I rahimahullah adalah makruh berqunut pada selain pertengahan akhir dibulan Ramadhan, sehingga seandainya meninggalkannya maka disunnahkan sujud sahwi, namun jika langsung berqunut seketika itu maka tidak disunnahkan sujud syahwi. Al-Ruyani menghikayatkan sebuah pendapat bawha berqunut sepanjang tahun (dalam shalat witir) tidak makruh dan tidak perlu sujud sahwi bila meninggalkannya pada selain pertengahan akhir bulan Ramadhan, ia mengatakan, inilah yang hasan, dan inilah pendapat yang dipilih oleh para masyayikh Thabaristan”.

Menurut Imam Al-‘Imraniy, seorang ulama Syafi'i, didalam kitabnya Al-Bayan, mengatakan bahwa dalil qunut didalam shalat witir pada pertengahan akhir bulan Ramadhan adalah berdasarkan ijma para sahabat, 

“Dalil kami adalah ijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi), bahwa Khalifah ‘Umar bin Khaththab mengumpulkan jama’ah tarawih untuk bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab, mereka shalat tarawih selama 20 malam, dan tidak berqunut kecuali pada pertengahan terakhir (kedua) Ramadhan, kemudina ia shalat sendirian di rumahnya, maka dikatakan : “Ubay telah bosan”. Kejadian ini dengan dihadiri (disaksikan) oleh para sahabat, dan tidak ada satu pun sahabat yang mengingkarinya”.

Imam Ahmad Al-Mahamiliy didalam Al-Lubab berkomentar mengenai qunut didalam shalat witir tersebut, 

“Tidak ada qunut didalam shalat witir, kecuali ada pertengahan terakhir bulan Ramadhan, adapuan pada shalat Shubuh, berqunut selamanya, apabila Imam berqunut maka orang yang mengikutinya meng-amin-kannya”.

Imam Al-Qaffal Al-Faquriy didalam Hilyatul ‘Ulama’ fiy Ma’rifati Madzahibil Fuqaha’ 

“Sunnah melakukan qunut pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan didalam shalat witir, ini juga pendapat yang dipegang oleh Imam Malik, namun riwayat yang lain darinya menyatakan tidak disunnahkan pada bulan Ramadhan. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat disunnahkan qunut didalam shalat witir sepanjang tahun, ini juga qaul Abdullah Az-Zubairy dari ulama kami, namun posisinya setelah ruku’. Dari ulama kami juga ada yang menyatakan bahwa tempatnya qunut pada shalat witir adalah sebelum ruku’ berbeda dengan shalat shubuh. Akan tetapi yang dipegang didalam madzhab Syafi’i adalah yang pertama”

Terkait tempat dilakukan qunut pada shalat witir, menurut Imam An-Nawawi adalah dilakukan setelah ruku’ berdasarkan pendapat yang masyhur dan shahih, serta tanpa melakukan takbir.

Dan lafadznya pun sebagaimana qunut pada shalat shubuh yakni 

اللَّهُمَّ اهدني في من هديت وعافني في من عافيت، وتولني في من تَوَلَّيْتَ، وبَارِكْ لِي في ما أَعْطَيْتَ، وَقِني شَرَّ ما قَضَيْتَ، فإنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ولا يعز من عاديت تَبَارَكْتَ رَبَّنا وَتَعالَيْتَ
Redaksi ini berdasarkan hadits hasan, dan Imam Al-Turdmizi berkata “kami tidak mengetahui redaksi qunut yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang lebih bagus dari ini”. Lafadz “wa laa Ya’izzu Man ‘Adaiyt” merupakan kombinasi yang berdasarkan riwayat yang lain. Dianjurkan pula mengiringi qunut diatas dengan shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam karena hukumnya sunnah.

Atau boleh juga sebagaimana qunut Sayyidina ‘Umar bin Khaththab berikut ini, 

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ؛ اللَّهُمَّ إيَّاكَ نعبدُ، ولَكَ نُصلي وَنَسْجُد، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بالكُفَّارِ مُلْحِقٌ. اللَّهُمَّ عَذّبِ الكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ، ويُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقاتِلُونَ أوْلِيَاءَكَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ للْمُؤْمِنِينَ والمؤمنات والمسلمين والمُسْلِماتِ، وأصْلِح ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِم الإِيمَانَ وَالحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ على مِلَّةِ رسولِك صلى الله عليه وسلم، وَأَوْزِعْهُمْ أنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذي عاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ على عَدُّوَكَ وَعَدُوِّهِمْ، إِلهَ الحَقّ، وَاجْعَلْنا منهم
Bahkan boleh dengan do’a apa saja bila tidak hafal redaksi do’a qunut diatas, dan itu sudah hasil sebagai qunut. Hal ini, menurut Imam Nawawi adalah pendapat yang mukhtar (yang dipilih dalam madzhab Syafi’iyah). Dianjurkan juga bersamaan antara imam dan makmum dalam mengucapkan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa didalam qunut, karena tidak ada "amin" pada rentan waktu tersebut sehingga mengucapkan bersamaan itu lebih utama.

Disunnahkan juga mengangkat kedua tangan ketika berqunut tanpa mengusap muka, menurut pendapat yang lebih shahih, namun tidak apa-apa bila mengusap muka, tapi sebagian ulama ada yang memakruhkan mengusap muka ketika qunut.

Qunut dianjurkan di-jahrkan (dinyaringkan) apabila shalat witir secara berjama’ah dan makmum meng-amin-kannya, sedangkan apabila sendirian maka dianjurkan di-lirihkan (sir), hal ini berdasarkan pendapat shahih yang dipilih dan banyak dipegang oleh mayoritas ulama.

Komentar