Jangan Meremehkan Sejarah Orang Sholeh

Habib Hasan bin Husein BSA Ketitang pernah suatu hari dimintai tolong oleh seorang wanita asal Tegalsari. Sambil terisak mengeluarkan air matanya wanita tersebut menceritakan bahwa puteranya yang bekerja di pelayaran (mayang) dipenjara di Jepang karena difitnah sebuah kasus berat menurut negara itu.

Habib Hasan kemudian berikhtiar dengan membacakan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di majelisnya, MT al-Hikmah Ketitang Talang Tegal. Dengan sedekah dari orang tua ini sebesar Rp. 125.000, sekitar akhir tahun 90-an, Habib Hasan menggelar manaqib.

Beberapa waktu berlalu, konon seorang jendral Jepang menjemput anak itu dari penjara dan diantarnya langsung ke Bandara bahkan naik pesawat bersamanya. Mereka pun turun di bandara Jakarta, kemudian jenderal tersebut mengantarkannya sampai di terminal Pulogadung. Akhirnya anak itu pulang ke rumahnya di Tegal dengan disambut haru keluarga.

Ini kedahsyatan membaca Manaqib, sejarah orang shaleh, lalu bagaimana dengan membaca Maulid, sejarah Nabi Saw.?

Adalah Kyai Abu Ubaidah, Pengasuh PP Attauhidiyah Giren Talang Tegal, pernah dimintai untuk menyolatkan seseorang dari sebuah wilayah di Tegal. Sebab para kyai sekitar tidak mau menyolatinya, dengan alasan si mayyit tidak pernah melakukan shalat, selalu berbuat maksiat dan masyarakat tidak pernah melihat kebaikan darinya sedikitpun.

Tapi semasa hidupnya, saat datang bulan Maulid, ia merasa bergembira. Banyak cepon brekat (hidangan) yang ia keluarkan untuk dihidangkan di masjid. Hal ini dilakukan dalam rangka gembira menyambut datangnya bulan Maulid (kelahiran) Nabi Saw.

Dengan berhusnudzan bahwa orang ini membawa iman seperti didawuhkan oleh Sayyidina Ali, akhirnya Kyai Ubaidah pun berangkat menyolati jenazah tersebut.

Sayyid Muhammad al-Maliki dalam kitabnya menjelaskan bahwa, Abu Lahab pernah sekali bergembira ketika Rasulullah Saw. lahir. Sayyidina Ibn Abbas (paman Rasul) berkisah, sebab itulah Abu Lahab yang ditakdirkan abadi di neraka setiap hari Senin diberi minum dan diringankan siksanya. Lalu bagaimana dengan orang yang bergembira dengan hari Senin, membaca Maulid dan shalawat serta pernah merasakan haru karena membaca sejarah Rasulullah? Bagaimana kita bisa membayangkan ganjarannya.

Habib Umar bin Hafidz menuliskan dalam kitab Maulidnya, Dhiyaul Lami':

هذا مع الكفر فكيف بفرحة من ذي فؤاد امتلاء إيمانا"
(Diringankan siksanya berkat gembira pada hari kelahiran Rasulullah Saw.) 

ini telah dialami oleh orang yang kafir (Abu Lahab). Lalu bagaimana dengan kegembiraan dari orang yang hatinya terdapat iman?" 

(Budi Mulyawan, disunting oleh Sya'roni Assamfuriy)

Komentar