Ziarah Kubur

Ada asumsi yang keliru di kalangan sebagian masyarakat, bahwa kaum Wahabi melarang ziarah kubur secara mutlak dengan tujuan apapun, sehingga ketika ada seorang tokoh Wahabi yang mengatakan ziarah kubur boleh atau sunnah, maka seketika tokoh tersebut dianggap telah menjadi sunni dan keluar dari Wahabi. Ini jelas asumsi yang keliru dan perlu diluruskan. Beberapa waktu yang lalu, ketika ada seorang tokoh parpol yang berhaluan Wahabi, melakukan ziarah ke makam seorang auliya’, serta merta ziarah tersebut dianggap sebagai bukti bahwa ia telah keluar dari Wahabi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Ziarah kubur termasuk persoalan krusial yang membedakan antara mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan kaum Wahabi. Tetapi bukan berarti kaum Wahabi melarang ziarah kubur secara mutlak. Karena tujuan ziarah kubur itu bermacam-macam. Para ulama, seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki dan lainnya menyebutkan, bahwa tujuan ziarah kubur itu ada empat macam.



Pertama, ziarah yang dilakukan karena tujuan mengambil pelajaran dari kematian, agar kita selalu ingat mati dan kehidupan akhirat. Ziarah dengan tujuan demikian, cukup dengan melihat suatu makam atau kuburan, tanpa mengetahui identitas orang-orang yang ada di makam tersebut. Ziarah kubur dengan tujuan tersebut hukumnya sunnah berdasarkan hadits berikut ini:
  
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : - قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ( زُوْرُوا الْقُبُوْرَ . فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ اْلآَخِرَةَ ) . رواه ابن ماجه
Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berziarahlah kalian ke kuburan, karena sesungguhnya hal itu dapat mengingatkan kalian pada kehidupan akhirat.” (HR. Ibnu Majah [1569]).

Hadits di atas memberikan penjelasan bahwa ziarah kubur dapat mengingatkan seseorang pada kehidupan akhirat, yang memang dianjurkan dalam agama. Seseorang apabila melihat kuburan, akan mengingat kematian dan fase-fase kehidupan sesudahnya. Dalam hal tersebut ia akan mengambil nasehat dan pelajaran bagi dirinya. Sudah barangtentu ziarah dengan tujuan tersebut, tidak dilarang oleh kaum Wahabi, asal dilakukan tanpa bepergian jauh, atau ziarah kuburan di sekitar rumah.

Kedua, ziarah kubur yang dilakukan dengan tujuan mendoakan ahli kubur kepada Allah agar dosa-dosa mereka diampuni.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتَهَا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ مِنْ آَخِرِ اللَّيْلِ إِلىَ الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ : اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ ، وَأَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ ، غَدًا مُؤَجَّلُوْنَ ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Apabila pada malam bersama Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada akhir malam menuju makam Baqi’, lalu beliau berkata: “Salam sejahtera atas kalian di kampung kaum yang beriman. Telah datang apa yang dijanjikan kepada kalian dan besok akan ditunaikan. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah orang-orang di makam Baqi’ al-Gharqad ini.” (HR. Muslim [974]).

عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّهَا قَالَتْ : كَيْفَ أَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ تَعْنِيْ فِيْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ، قَالَ : قُوْلِيْ : اَلسَّلاَمُ عَلىَ أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنْكُمْ وَمِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ، وَإِناَّ إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata: “Bagaimana yang harus aku ucapkan wahai Rasulullah, yaitu dalam ziarah kubur?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah, salam sejahtera pada penduduk makam ini dari kaum beriman dan muslimin. Semoga Allah mengasihi orang-orang yang terdahulu dari kalian dan kami serta orang-orang yang terkemudian. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul bersama kalian.” (HR. Muslim [974]).

Hadits di atas memberikan penjelasan tatacara ziarah ke makam umat Islam, yaitu mendoakan mereka agar dikasihi dan diampuni oleh Allah. Ziarah kubur dengan tujuan mendoakan ahli kubur, disunnahkan ke makam siapapun dari umat Islam. Ziarah dengan tujuan kedua ini, juga tidak dilarang oleh kaum Wahabi, asal ziarahnya tidak ke tempat yang jauh dengan menaiki kendaraan.

Ketiga, ziarah kubur dengan tujuan tabaruk atau mencari berkah dari ahli kubur, apabila ahli kubur yang diziarahi adalah orang-orang shaleh dan ahli melakukan kebaikan, seperti para nabi dan para wali. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64)
Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’ : 64).

Dalam ayat ini Allah menuntun kita apabila kita menganiaya diri dengan melakukan perbuatan dosa, dan kita hendak bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka kita mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik ketika beliau masih hidup atau sudah meninggal, lalu kita memohon ampun kepada Allah serta ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar dimohonkan ampun kepada Allah. Al-Hafizh Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut berkata:

وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى،
Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:

Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan

Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).

Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain. Keterangan tersebut, memberikan kesimpulan bahwa ketika kita punya hajat, seperti ingin diampuni oleh Allah atau hajat lainnya, maka kita melakukan ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para wali dan orang-orang shaleh, lalu kita berdoa di sana. Ziarah dengan tujuan tabaruk di atas, jelas dilarang dan dianggap syirik oleh kaum Wahabi, meskipun dalilnya dari al-Qur’an dan pengamalan ulama salaf yang shaleh.

Keempat, ziarah kubur dengan tujuan menunaikan hak ahli kubur. Orang-orang yang berhak kita perlakukan dengan baik ketika mereka masih hidup seperti orang tua, para ulama dan lain-lain, berhak pula mereka ziarahi setelah mereka meninggal dunia, dengan tujuan memuliakan dan berbakti kepada mereka.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ فَزُوْرُوا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ. رواه مسلم
Abu Hurairah berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berziarah ke makam ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitar beliau juga menangis. Lalu beliau bersabda: “Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampunan bagi ibuku, tetapi Tuhan tidak memberiku izin. Dan aku meminta izin untuk berziarah ke makamnya, lalu aku diberi izin. Lakukanlah ziarah kubur, karena demikian itu dapat mengingatkan pada kematian. (HR. Muslim [976]).

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berziarah ke makam ibunya. Ziarah tersebut beliau lakukan sebagai penghormatan dan kebaktian seorang anak kepada orang tua. Lebih-lebih orang yang meninggal dunia pasti merasa senang dengan ziarah orang yang masih hidup.

عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: آَنَسُ مَا يَكُوْنُ الْمَيِّتُ فِيْ قَبْرِهِ إِذَا زَارَهُ مَنْ كَانَ يُحِبُّهُ فِي الدُّنْيَا.
Kesenangan yang paling dirasakan oleh mayit di dalam kuburnya adalah ketika diziarahi orang yang ia cintai ketika di dunia. (Al-Subki, Syifa’ al-Siqam hlm 244-245, al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummal juz 15 hlm 656).

Paparan di atas memberikan kesimpulan, bahwa tujuan ziarah kubur itu ada empat macam, dan kesemuanya disunnahkan oleh Ahlussunnah Wal-Jama’ah berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Ziarah ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para wali dan orang-orang shaleh dapat diniati dengan keempat tujuan tersebut. Wallahu a’lam

Oleh : Ustadz Muhammad Idrus Ramli

Komentar