KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, Kyai Betawi Yang Bersahaja

Masjidil Haram. Medio 1950-an. Seorang santri asal Malaysia menawarkan posisi tinggi kepada sang guru yang masih lajang: Mufti Malaysia. Menggiurkan? Sayang, tidak baginya. Ia menolaknya dengan tegas. Alasanya cuma satu: ia masih betah di Tanah Suci, masih suka belajar dan mengajar di tempat yang mulia itu. Namun, tidak lama kemudian, ketika ibunya [Hj. Zuhriah] meminta pulang, ia tidak bisa menampik. Ia taat. Ia patuh, serupa batu es yang meleleh menjadi air. Rupanya, ia menyadari tidak ada yang mampu menandingi panggilan orangtua. Dan dia adalah KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary. Fragmen tersebut penulis nukil dari salah satu muridnya, KH. Fachruddin MA., yang konon pernah dikisahkan almarhum saat ta’lim selepas Shubuh di pesantren yang didirikanya: Pondok Pesantren Annida Al-Islamy Bekasi.

Memang, di Mekkah, kala itu KH. Muhammad Muhadjirin bukanlah nama asing. Ia bahkan salah satu murid kesayangan Syekh Yasin Al-Fadani, seorang ulama masyhur asal Padang, guru para ulama dari pelbagai negara, yang mendirikan Madrasah Darul Ulum di sana. Tentu saja, bukan seperti durian runtuh bila KH. Muhadjirin tetiba mengajar. Amanah itu ia dapatkan setelah beliau mukim dan belajar lama di sana. Terlebih, KH. Muhadjirin memiliki bekal ilmu agama mumpuni sebelum memilih Tanah Haramayn [Mekkah dan Madinah] sebagai tempat belajarnya memperdalam ilmu agama Islam. Selama belajar di Tanah Suci, selain Syekh Yasin Al-Fadhani, guru-guru KH. Muhammad Muhadjirin adalah Syekh Muhammad Ahyad [pengajar di Masjidil Haram kala itu], Syekh Hasan Muhammad al-Masyyath, Syekh Zaini Bawean, Syekh Muhammad Ali bin Husain Al-Maliki, Syekh Mukhtar, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Syekh Ibrahim Fathani, Syekh Muhammad Amin Al-Khutbi, dan lain-lainya.

Konon, sebelum menuntut ilmu di Mekkah, KH. Muhadjirin yang lahir di Kampung Baru Cakung, Jakarta Timur pada 10 November 1924 ini sudah mempelajari pelbagai ilmu agama—Al-Quran, Hadits, Tauhid, Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqih, Fiqih, Balaghah, Falak, Mantiq, Arudh, Tashawuf dan sebagainya–kepada ulama-ulama Betawi dan Banten. Guru-guru beliau antara lain: Guru Asmat, H.Mukhoyyar, H.Ahmad, KH.Hasbialloh, H.Anwar, H.Hasan Murtaha, Syekh Muhammad Thohir, Syekh Ahmad bin Muhammad, KH.Sholeh Makmun, Syekh Abdul Majid, Sayyid Ali bin Abdurrahman al Habsyi dan lain sebagainya. Di antara sekian banyak guru tersebut yang paling mempengaruhi pola pikirnya adalah Syekh Muhammad Thohir, menantu dari Syekh Marzuki (Guru Marzuki), seorang ulama karismatik yang memiliki banyak murid dan pengikut. Kepada duo mertua dan menantu itu, ia mulai memahami ilmu-ilmu agama. Hal ini dapat diketahui dengan seringnya kedua nama tersebut dijadikan rujukan oleh KH.Muhammad Muhadjirin saat memberikan penjelasan kepada murid-muridnya. Guru lainnya yang kerapkali disebut dalam penjelasan ta’lim-nya adalah Syekh Abdul Majid (Guru Majid) Pekojan.

Menuntut ilmu, bagi kyai yang akrab dipangil Kyai Jirin ini, seperti sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Tidak bisa dipisahkan. Hal ini tampak–sebagaimana termaktub dalam manaqib singkat yang penulis peroleh dari putranya, KH. Dhiyaz Muhajirin dan KH. M. Aiz Muhajirin, bahwa beliau bersetia melakoni mengayuh sepeda dari Kampung Baru menuju majelis-majelis ilmu para gurunya. Putra H. Amsar, seorang pedagang telor di Mester [Pasar] Jatinegara, ini tidak gentar dengan segenap rintangan yang menghalangi jalannya. Suatu kali, misalnya, ia pernah dihadang seekor buaya saat hendak menyeberangi sungai (kali) Cipinang untuk menuntut ilmu. Namun, dengan kebesaran hati dan kemantapan tekad, rintangan tersebut pupus. Spirit thalabul’ilmi-nya tidak lemah hanya karena seekor hewan buas.

Sebagai ulama asli Betawi, KH. Muhadjirin populer menguasai sejumlah ilmu agama: Nahwu, Fiqih, Hadits, Falak (Astronomi), hingga Tafsir. Hal ini bisa dilihat dari karya-karyanya yang berjumlah 34. Rincianya sebagai berikut: Ilmu Lughah (6 kitab), Balaghah ( 2 kitab), Tauhid ( 2 kitab), Ushul Fiqh ( 7 kitab), Ushul Hadits ( 3 kitab), Mantiq (2 kitab), Faraidh (1 kitab), Tarikh ( 4 kitab ), Qowaidh Fiqh ( 1 kitab ), Ushul Tafsir ( 2 kitab), Adab al-Bahats ( 1 kitab ), Wadha’ ( 1 kitab ), Fiqh hadits (1 kitab), Tasawuf (1 kitab). Istimewanya, karya-karya itu semua ditulis dalam bahasa Arab. Semula, ia menulisnya demi kepentingan mengajar santri-santrinya. Namun kini, kitab-kitab itu ada yang dipakai di pelbagai pesantren murid-muridnnya yang rata-rata ulama disegani di daerah masing-masing. Bahkan, salah satu buah penanya yang boleh jadi masterpiece-nya, Kitab Misbahzhulam [Syarah Bulughul Maram] sebanyak 4 jilid sudah diterbitkan secara komersil di Penerbit Darul Hadits. Sayang, hingga kini, tidak ada riwayat ihwal proses produktif dan kreatifnya tersebut.

Berkat keikhalasannya belajar dan mengajar, banyak murid-muridnya yang menjadi ulama. Untuk menyebutkan beberapa nama: KH. Mahfuzh Asirun [Mudir Ponpes Al-Itqon], KH. Syarifuddin Abdul Ghani MA [Mudir Ponpes Al-Hidayah], alm. KH. Alawi Zein, KH. Kamal Yusuf, KH. Zamakhsari dan lain-lainya. Barangkali, ini yang disebut keberkahan sejati: bermanfaat dengan kelipatan faedah yang tak pernah kering hingga kini, bahkan hingga Hari Akhir kelak.

Kyai Bersahaja dan Demokratis
Kyai yang menikahi putri KH. Abdurrahman Shodri, Hj. Hannah, dan dianugerahi Allah 4 putra dan 4 putri ini populer dengan sikap bersahajanya. Hal ini tampak dari gaya berbusannya sehari-hari yang tidak ingin tampil “mencolok” sebagaimana lazimnya ustadz-ustadz. Bahkan, boleh dibilang, ia terkesan ”slebor” dalam berpakaian untuk ukuran seorang ulama yang telah diakui eksistensinya. Agaknya, kesederhanaan dan kebersahajaan itu justru menjadi ”daya tarik” atau kekhasan sosok KH. Muhammad Muhadjirin.

Cara KH. Muhadjirin mendidik anak-anaknya pun tidak otoriter. Beliau, misalnya, sebagaimana diungkap putra sulungnya, KH. Ihsan Muhajirin, tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk memilih bidang pendidikan yang harus sama dengan ayahnya. Ia sepenuhnya membebaskan pada minat dan kemauan sang anak.

Sementara dalam urusan politik, ia tidak tergiur sama sekali. Dalam gegap gempita politik di masa Orde Lama, misalnya, ia sebetulnya memiliki kans besar bergabung dalam Partai Masyumi, tapi ia memilih netral. Pasalnya, kala itu, Partai Masyumi dan Partai NU pasca pemilu 1955 adalah sarana atau kendaraan politik yang strategis bagi sebagian ulama. Khusus di Bekasi saat itu, hampir menjadi basis utama dari Partai Masyumi. Bahkan mertua dari KH.Muhammad Muhadjirin, yakni KH.Abdurrahman bin Shodri merupakan salah satu petinggi Partai Masyumi di Bekasi. Istri KH.Muhammad Muhadjirin sendiri pun adalah kader muda Partai Masyumi di zaman itu. Meski demikian, tidak lantas KH.Muhammad Muhadjirin terbawa arus untuk berpartai. Keinginannya lebih pada jalur netral, tanpa harus terkotak-kotak dalam kelompok tertentu. Dalam keyakinannya yang sering terungkap, baik langsung maupun tidak langsung, dalam kesempatan pengajian, KH Muhadjirin kerap menyatakan independensi ulama sangatlah penting dalam melihat sebuah masalah atau fenomena masyarakat. Atau dalam bahasa KH. Ihsan, “Kecintaan beliau lebih pada mengajar dan menulis. Menurutnya, politik hanya akan menjauhkan almarhum dari kedua hal tersebut.”

Ya, saat ini ulama shaleh, produktif, dan bersahaja yang lebih memilih mengajar dan menulis seperti KH. Muhammad Muhadjirin memang sudah langka. Kini, KH. Muhadjirin yang ‘allamah dan slebor itu sudah tiada. Beliau menghadap Ilahi pada tarikh 31 Januari 2003 dengan jejak amal tak terkira, dengan PR besar buat generasi selanjutnya: bisakah melanjutkan “jihad” ilmiahnya?

Lahu Al-Faatihah

Sumber : Ust Abdul Muaz via muidkijakarta.or.id

Komentar