Hukum-hukum Islam adalah ajaran yang dibangun atas
argumentasi dan landasan yang jelas dan kokoh. Terbentuknya hukum Islam
tidaklah semata olah akal manusia, namun di dalamnya terbangun sinergitas
antara kehendak langit dan pengetahuan akal manusia. Di mana kedua hal tersebut
merupakan bagian dari hidayah atau petunjuk yang Allah berikan kepada manusia
sebagai bekal dalam menjalani kehidupannya di dunia.
Sebagai ajaran yang memiliki landasan dan dasar, para
ulama sepakat bahwa dasar pokok dari ajaran Islam adalah al-Qur’an. Di mana
istilah dasar ini, kemudian lebih dikenal dengan istilah dalil. Dan dalil yang
menjadi dasar hukum Islam disebut dengan dalil syar’iy.
Secara Bahasa, dalil syar’iy (الدليل الشرعي) terdiri
dari dua kata yaitu dalil (دليل) dan syar’iy (شرعي). Secara etimologis, dalil berasal dari
bahasa Arab yang bermakna petunjuk atas sesuatu yang hendak dituju (al-mursyid
ila al-mathlub). Sedangkan penambahan kata syar’iy yang artinya sesuatu yang
bersifat ke-syariahan, untuk membedakannya dengan dalil-dalil lain yang tidak
dikatagorikan syar’iy seperti dalil logika, dalil matematika, dalil sains, dan
dalil-dalil lainnya.
Sedangkan secara terminologi ilmu Ushul Fiqih, dalil
syar'iy didefinisikan sebagaimana berikut:
ما يُستدل بالنَّظر الصَّحيح فيه على حكمٍ شرعيٍّ
عمليٍّ على سبيل القطعِ أو الظَّنِّ.
“Setiap sesuatu yang dijadikan petunjuk dengan
pengamatan yang benar atas hukum syariah yang bersifat amali/praktis, baik
dengan jalan yang qath'i atau zhanni.”
Apakah Dalil Syar’i Hanya al-Qur’an dan Sunnah?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah di
dalam ajaran Islam khususnya dalam aspek hukum praktis (fiqih), yang
dikatagorikan sebagai dalil hanyalah al-Qur’an dan Sunnah semata?
Sebenarnya pertanyaan ini muncul disebabkan munculnya
pemahaman yang “keliru” terkait dengan istilah “kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah”. Sebab pembatasan dalil syar’i hanya kepada dalil al-Qur’an dan Sunnah
adalah pembatasan yang bertentangan dengan kesepakatan para ulama, sebagaimana
termaktub dalam kitab-kitab Ushul Fiqih. Imam Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H)
berkata:
وكان الأئمة أجمعوا على أن الأدلة لا تنحصر فيها، وأنه
ثم دليل شرعي غيرها...
“Dan para imam mazhab sepakat bahwa dalil-dalil
syariat tidak terbatas pada keempat dalil tersebut (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’,
dan Qiyas), di mana terdapat dalil syariat lainnya…”
Sebagaimana pembatasan dalil hanya pada al-Qur’an
semata, pernah muncul pada masa Imam asy-Syafi’i. Di mana pada masa beliau,
muncul sekelompok orang yang menamakan diri mereka dengan al-Qur’aniyyun, yang
bermakna orang-orang yang menisbatkan diri kepada al-Qur’an. Kelompok ini
muncul – terlepas beragam motivasi yang melatar belakanginya – dengan membawa
jargon “Dasar hukum Islam hanya al-Qur’an” dalam rangka menolak Sunnah sebagai
dasar hukum.
Hal mana, pemikiran yang sama pernah muncul pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib ra, yang dikemudian hari disebut dengan sekte
Khawarij. Di mana mereka menolak ijtihad para shahabat dalam permasalahan yang
memang terbuka peluang adanya ijtihad, sembari menyorakkan jargon “Tidak ada
hukum kecuali hukum Allah swt.” Mendengar ini, lantas Ali bin Abi Thalib ra
berkata, “Kalimat haq yang dimaksudkan untuk kebatilan.”
Di sinilah permasalahannya, di mana jargon untuk kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah – sebagaia seruan yang ideal –, kemudian dapat
menimbulkan pemahaman dan persepsi yang keliru serta menyesatkan, jika
dimaksudkan untuk menolak sumber atau dalil hukum Islam lainnya. Termasuk dalam
hal ini, produk ijtihad para ulama terkait manhaj dalam berijtihad (metode
istinbath hukum), maupun terkait produk fiqih.
Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, para ulama
sepakat bahwa dalil atau sumber hukum dalam Islam tidaklah semata al-Qur’an dan
Sunnah. Namun, syariat juga melegitimasi dalil lain yang dapat dijadikan
sandaran dalam menetapkan hukum Islam, seperti ijma’ dan qiyas.
Al-Qur’an Sebagai Pondasi Setiap Dalil
Pada dasarnya, dalil hukum Islam yang pokok dan
hakiki hanyalah al-Qur’an. Sebagaimana yang berhak untuk menetapkan hukum atas
manusia hanyalah Allah swt, yang kemudian titahnya ini secara langsung
termaktub dalam al-Qur’an. Penyusun al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
menulis :
الْقُرْآنُ هُوَ الأْصْل الأْوَّل مِنْ أُصُول
الشَّرْعِ، وَهُوَ حُجَّةٌ مِنْ كُل وَجْهٍ لِتَوَقُّفِ حُجِّيَّةِ غَيْرِهِ مِنَ
الأْصُول عَلَيْهِ لِثُبُوتِهَا بِهِ، فَإِنَّ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُخْبِرُ عَنِ اللَّهِ تَعَالَى، وَقَوْل الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا صَارَ حُجَّةً بِالْكِتَابِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى:
{وَمَا أَتَاكُمُ الرَّسُول فَخُذُوهُ} (الحشر: 7)، وَكَذَا الإْجْمَاعُ
وَالْقِيَاسُ.
“Al-Qur’an adalah dasar pertama dari dasar-dasar
syariat lainnya. Dan ia merupakan hujjah (wajib diamalkan) dari berbagai sisi,
sebab dasar-dasar lainnya bersifat legal oleh sebab legitimasi al-Qur’an. Oleh
Karena Rasulullah saw menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah swt, dan
sebab itulah perkataan Rasulullah saw (Sunnah) menjadi hujjah pula atas dasar
legitimasi al-Kitab (al-Qur’an). Berdasarkan firman-Nya, “Apapun yang dibawa
oleh Rasul maka ambillah.” (QS. Al-Hasyr: 7). Demikian pula (legitimasi
al-Qur’an) terhadap Ijma’ dan Qiyas.”
Namun yang patut dipahami, meskipun al-Qur’an
merupakan satu-satunya dalil pokok, namun al-Qur’an juga telah melegitimasi
banyak dalil sebagai sumber hukum Islam. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa
Allah adalah satu-satunya yang berhak menetapkan hukum atas manusia, namun
Allah swt juga telah memberikan legitimasi kepada manusia untuk menetapkan
hukum.
Secara praktis, entitas Allah swt sebagai penetap
hukum yang haqiqi kemudian tewujud dalam firman-Nya yaitu al-Qur’an. Sedangkan
legitimasi Allah diberikan kepada dua pihak. Pertama, kepada Rasulullah saw
yang terwujud dalam Sunnah-sunnahnya. Dan kedua, para ulama yang terwujud dalam
ijtihad mereka.
Adapun landasan ketentuan di atas adalah hadits
berikut, yang menceritakan dialog antara Rasulullah saw dengan Muadz bin Jabal
ra, saat Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli/hakim.
كيْف تقْضيِ إِذا عُرِض لك قضاء؟ قال: أقْضِي بكِتابِ
اللهِ. قال: فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ كتِابِ اللهِ؟ قال: فبِسُنّةِ رسُولِ اللهِ. قال:
فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ سُنّةِ رسُولِ الله ولا فيِ كتِابِ الله؟ قال: أجْتهِدُ رأْيِ
ولا آلو. فضرب رسُولُ اللهِ صدْرهُ وقال: الحمْدُ لِلّه الّذِي وفق رسُولُ رسُولِ
اللهِ لِما يرْضي رسُوْلُ اللهِ.
Dari Muaz bin Jabal ra berkata: bahwa Nabi bertanya
kepadanya, “Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?”
Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan kitab
Allah.”
Nabi bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau
temukan dalam kitab Allah?”.
Muadz menjawab, “Saya akan putuskan dengan sunnah
Rasulullah.”
Rasulullah bertanya kembali, “Jika tidak engkau
dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?”
Muazd menjawab, ”Saya akan berijtihad dengan akal
saya dan saya tidak akan lalai.”
Lalu Rasulullah saw menepuk dadanya seraya bersabda,
”Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan taufiq-Nya kepada utusan
Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah. (HR. Abu Daud).
Dan juga firman Allah swt berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ
وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيل
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan
ta'atilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu (ulama). Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS.
An-Nisa : 59).
Klasifikasi Dalil-dalil Syar’i
Lalu apa saja dalil atau sumber hukum dalam Islam?.
Dalam hal ini, dalil dapat diklasifikasikan sebagaimana dijelaskan dalam
definisinya di atas; apakah berdasarkan jenisnya yang disimpulkan dari kata
“setiap sesuatu”, atau berdasarkan kualitasnya yang disimpulkan dari kata
“jalan yang qath’i atau zhanni”.
a. Klasifikasi Dalil Berdasarkan Kualitasnya
Maksud dari kualitas dalil adalah sifat dalil dari
aspek qath’i dan zhanni-nya dalil. Dalam Ushul Fiqih, istilah qath’i-zhanni
digunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil. Kata qath’i adalah
sinonim dari kata-kata dharuri, yakin, pasti, absolut, dan mutlak. Sedangkan
kata zhanni adalah sinonim dari kata-kata hadari, dugaan, relatif, dan nisbi.
Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf
mendefinisikan dalil qath’i sebagaimana berikut:
ما دل على معنى متعين فهمه منه ولا يحتمل تأويلا ولا
مجال لفهم معنى غيره منه.
“Dalil yang menunjukkan kepada suatu makna tertentu
yang harus dipahami dari teks (ayat al-Qur’an atau hadits), dan tidak
mengandung kemungkinan ta’wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna
lain, serta tidak ada peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan
oleh teks.”
Contoh dari dalil yang dipahami secara qath’i,
seperti firman Allah swt yang menjelaskan bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal
wafat suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Maka makna angka 4 bulan 10 hari, hanya
bisa dipahami secara qath’i dengan angka tersebut. Sebagaimana firman-Nya:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234)
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari). Kemudian apabila telah
habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.” (QS.
al Baqarah: 234).
Sedangkan definisi dari dalil zhanni sebagaimana
berikut:
ما دل على معني ولكن يحتمل أن يؤول ويصرف عن هذا المعنى
ويراد منه معني غيره.
“Dalil yang menunjukkan makna tertentu yang harus
dipahami dari teks al-Qur’an dan hadits yang mengandung kemungkinan ta’wil atau
pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta masih adanya peluang untuk
memahami makna lain selain makna yang ditunjukkan oleh teks.”
Contoh dari dalil yang dipahami secara zhanni,
seperti firman Allah yang menjelaskan tentang najisnya orang-orang musyrik,
apakah najis yang dimaksud adalah najisnya badan mereka secara hakiki, atau
najisnya akidah yang mereka yakini. Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا
الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ
هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ
شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة: 28)
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al
Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah
nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
at Taubah: 28).
b. Klasifikasi Dalil Berdasarkan Sifatnya
Adapun dari aspek sifatnya, setidaknya dalil dapat
dibedakan menjadi dua: dalil naqli dan dalil ’aqli. Di mana dari setiap dalil
dengan dua sifat tersebut, ada yang disepakati legalitasnya (muttafaq ’alaihi)
dan adapula yang diperselisihkan (mukhtalaf fihi).
Maksud dari dalil naqli (دليل
نقلي) adalah dalil-dalil yang
diterima melalui proses periwayatan seperti al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Syara’
man qablana, dan ’Urf.
Sedangkan yang dimaksud dengan dalil ’aqli (دليل عقلي)
adalah dalil-dalil yang digunakan untuk mengistinbath hukum yang dasarnya
adalah akal seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan Sadd Zari’ah.
Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang
disepakati adalah bahwa semua ulama dari berbagai mazhab atau mayoritas di
antara mereka sepakat untuk menggunakan dalil tersebut sebagai sumber dalam
melakukan penggalian hukum. Dalil-dalil syara’ yang telah disepakati itu ada
empat, yaitu: (1) al-Quran, (2) Sunnah, (3) Ijma', dan (3) Qiyas.
Sedangkan yang dimaksud dengan dalil-dalil yang tidak
disepakati adalah dalil-dalil syara’ selain al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Disebut mukhtalaf (diperselisihkan) karena tidak semua mujtahid menjadikan
dalil-dalil ini sebagai rujukan dalam berijtihad.
Namun patut dicatat disini, bahwa sekalipun para
ulama berbeda pendapat terkait legitimasi dalil-dalil yang diperselisihkan
tersebut, namun dalam aplikasinya, mereka kadangkala menggunakannya dengan
kadar yang berbeda atau bersepakat dalam suatu hukum, namun berbeda dalam
penisbatan dalil atas masalah tersebut. Itu sebabnya sebagian ulama menyebut
dalil yang diperselisihkan tersebut juga dengan istilah dalil sekunder (adillah
tab’iyyah).
Di samping itu, adapula yang menyebutnya dengan
istilah istidlal. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zarkasyi dalam syarahnya atas
kitab Jam’u al-Jawami’ karya Tajuddin as-Subki (w. 771 H):
الكتاب الخامس: في الاستدلال: وهو دليل ليس بنص ولا
إجماع ولا قياس ...(ش): لما انتهى الكلام في الكتاب والسنة والإجماع والقياس، وكان
الأئمة أجمعوا على أن الأدلة لا تنحصر فيها، وأنه ثم دليل شرعي غيرها، واختلفوا في
تشخيصه من استصحاب واستحسان، وغيرها، عقد هذا الكتاب لذلك.
“Kitab yang kelima: Istidlal. Yaitu setiap dalil selain
nash (al-Qur’an dan Sunnah), Ijma’, dan qiyas…(penjelasan az-Zarkasyi):
“Setelah as-Subki selesai menjelaskan masalah terkait al-Kitab (al-Qur’an),
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, dan para imam mazhab sepakat bahwa dalil-dalil syariat
tidak terbatas pada keempat dalil tersebut, di mana terdapat dalil syariat
lainnya. Hanya saja mereka berbeda dalam penyebutan (tasykhish) dalil tersebut,
ada yang menyebutnya Istishhab, Istihsan, dan lainnya. Baru kemudian as-Subki
memulai pembahasan ini (istidlal).”
Demikian pula dijelaskan secara gamblang oleh
Saifuddin al-Amidi (w. 631 H), melalui definisinya atas istilah Istidlal:
عِبَارَةٌ عَنْ دَلِيلٍ لَا يَكُونُ نَصًّا وَلَا
إِجْمَاعًا وَلَا قِيَاسًا.
“(Istidlal) adalah ungkapan untuk menunjuk setiap
dalil selain nash (al-Qur’an dan Sunnah), Ijma’, dan Qiyas.”
Pendapat inilah yang masyhur di tengah ulama, bahwa
makna istidlal secara khusus (ma’na ‘urfi) adalah setiap dalil selain ke-empat
dalil yang disepakati. Sebagaimana istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh
imam al-Juwaini, dan diperjelas oleh ulama setelahnya seperti al-Ghazali (w.
505 H) dan al-Amidi.
Hanya saja, terkait berapa jumlah pasti dalil-dalil
yang diperselisihkan ini, para ulama tidak satu suara. As’ad al-Kafrawi dalam
disertasinya, al-Istidlal ‘inda al-Ushuliyyin, menyimpulkan setidaknya terdapat
8 istidlal yang masyhur di kalangan ulama, atau dapat pula disebut 8 dalil lain
di luar dalil al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan Ijma’. Ke-delapan dalil tersebut
adalah: (1) al-Adillah al-‘Aqliyyah, (2) ’Urf, (3) Mazhab Shahabi, (4) Syara’
man qablana, (5) Istihsan, (6) Istishlah, (7) Sadd Zhari’ah, dan (8) Istishhab.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalil atau sumber hukum dalam Islam tidaklah semata al-Qur’an dan Sunnah, namun
termasuk juga setiap dalil yang dilegitimasi oleh al-Qur’an dan Sunnah.
Berdasarkan ini pula, jika seorang ulama mujtahid menetapkan
suatu hukum yang tidak kita temukan landasannya dari al-Qur’an dan Sunnah,
tidak serta merta pendapatnya tersebut ditolak. Apalagi dianggap tidak perlu
diamalkan, dengan anggapan mereka adalah manusia yang bisa benar dan salah.
Sebab bisa jadi, mereka memiliki argumentasi atau dalil lain yang telah
dilegitimasi oleh al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri.
Itu sebabnya, pendapat mujtahid bagi umat (awam),
pada dasarnya merupakan dalil yang juga dilegitimasi oleh syariat. Imam Abu
Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H) berkata:
فإنه إذا كان فقد المفتي يسقط التكليف فذلك مساو لعدم
الدليل؛ إذ لا تكليف إلا بدليل، فإذا لم يوجد دليل على العمل سقط التكليف به؛
فكذلك إذا لم يوجد مفت في العمل؛ فهو غير مكلف به، فثبت أن قول المجتهد دليل
العامي، والله أعلم
“Jika tiada mufti disebuah tempat maka tiada pula
taklif/beban syariat, sebab hal tersebut seperti ketiadaan dalil. Di mana tiada
taklif tanpa dalil, dan jika tiada dalil maka tiada amal. Demikian pula jika
tiada mufti, maka orang awam tidaklah ditaklif untuk melakukan sesuatu.
Berdasarkan hal ini, maka disimpulkan bahwa pendapat mujtahid adalah dalil bagi
orang awam. Wallahua’lam.”
Isnan Ansory, Lc., M.A
Peneliti Rumah Fiqih Indonesia (RFI)
As
BalasHapus