Banyak kita jumpai dan dengar
sebagian para da’i atau penceramah di media massa/TV/online/Radio, dll, dengan
suara lantang mengeluarkan pernyataan sangat tendensius, yang intinya mereka
mengatakan diantaranya sebagai berikut:
“Percuma saja disebut lembaga
ulama klu ketika azan sudah dikumandangkan tidak segera menghentikan
acara/Ta’lim malah meneruskannya, apa artinya mereka itu ulama yang paham hukum
Islam, mereka tak ubahnya seperti orang yang munafiq tidak mengutamakan Shalat
berjamaah tepat pada waktunya”, dll.
Mensikapi statmen tsb, melalui
tulisan ini saya kan mencoba utk mengulasnya.
Berikut ini ulasannya:
Pada dasarnya menunda berjamaah
karena Ta’lim atau acara, jumhur ulama sepakat membolehkannya terutama Madzhab
Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Perlu dipahami bahwa menunda
berjamaah bukan berarti tidak berjamaah (meninggalkan shalat berjamaah).
Menunda berjamaah bukan berarti melambat-lambatkan waktu shalat fardhu sampai
waktunya habis.
Jika sengaja menunda shalat
berjamaah ataupun tidak berjamaah (shalat sendirian) tanpa ada uzur sampai
waktu shalat habis sehingga masuk waktu shalat Fardhu berikutnya, maka Ijma’
ulama hukumnya adalah “Haram”, dan shalat yang ditinggalkan tersebut menurut
jumhur ulama tetap wajib dilakukan atau di Qadha (menurut Madzhab Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal, Alfiqhul Islami
Wa-Adillatuhu, Prof.Dr. Wahbah)
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah
orang yang sengaja meninggalkan shalat Fardhu tidak perlu di Qadha, dia sudah
termasuk orang yang fasiq dan berdosa karena sengaja meninggalkannya. Jika ia
ingin tobat cukup hanya memperbanyak istighfar, dan amalan shalat sunat saja,
tidak perlu mengqadhanya.
Pada kesempatan kali ini saya
akan mencoba terangkan persoalan di atas tentang ” Hukum Menunda Shalat
Berjamaah Sebab Ta’lim Atau Acara ” dengan bahasan beberapa poin diantaranya:
Hukum Shalat Berjama'ah
Menurut Madzhab Imam Hanafi dan
Imam Malik hukum shalat fardhu berjamaah selain shalat Jum’at adalah “Sunnah
Muakkad” bagi laki-laki, yang berakal, ada kemampuan yang tidak terhalang karena
udzur. Mereka berlandaskan Hadis Nabi Muhammad Saw,
صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بخمس و عشرين درجة , أو
بسبع وعشرين درجة (الحديث , ص : 1168 / ج : 2 الفقه الإسلامي وأدلته للوهبة
الزهيلي)
“Shalat berjamaah lebih baik dari shalat sendirian dengan dua
puluh lima derajat atau dua puluh tujuh derajat”(Alhadis).
Hadis di atas menurut Madzhab
Hanafi dan Madzhab Imam Malik menunjukkan hukumnya “Mandub; sunnah” melakukan
shalat berjamaah.
Sedangkan menurut Madzhab Imam
Syafi’I dalam Qaul Ashahnya hukum shalat fardhu berjamaah bagi laki-laki yang
merdeka, yang menetap adalah “Fardhu Kifayah” artinya jika ada orang lain yang
telah mendirikan shalat berjamaah maka terlepaslah kewajiban yang lainnya.
Karena shalat berjamaah ini adalah dipandang sebagai syi’ar yang harus
ditegakkan di tengah-tengah umat Islam dan melihat betapa pentingnya manfaat
berjamaah (Mughni Almuhtaj, Almuhadzab, Almajmu’, dll). Pendapat ini
berlandaskan dalil Hadis Rasulullah Saw,
…… فعليك بالجماعة فإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية (رواه أبو
داود و النسائي و صححه إبن حبان و الحاكم)
"........maka kamu tegakkanlah jamaah, karena hanyasannya
serigala itu memakan seekor domba yang menjauh (terpisah yang keluar dari
gerombolannya)” (HR. Abu Dawud, Annasa’I, dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban dan
Alhakim)
Namun sebagian golongan madzhab
Imam Syafi’I berpendapat hukum shalat berjamaah adalah “Sunnah Muakkad” lihat
kitab Attanbih oleh Imam Assairazi Fairuz Alabadi.
Sedangkan hukum shalat berjamaah
menurut Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal adalah “Wujub Al’ain” yaitu kewajiban
yang dibebankan kepada setiap individu. Jadi setiap orang diwajibkan untuk
melakukan shalat berjamaah, dan haram hukumnya jika meninggalkan berjamaah
tanpa sebab udzur syar’i. Mazhab ini berlandaskan dalil Alqur’an dan Hadis,
diantaranya sebagai berikut,
.
وركعوا مع الراكعين (البقرة [2] : 43)
“Ruku’lah kamu bersama orang-orang yang ruku'” (QS.
Albaqarah [2] : 43).
Kalimat Amar (perintah) di dalam
ayat ini menunjukkan kepada siapa saja bukan sebagian orang atau
kelompok.Begitu juga Hadis Rasulullah Saw yang menyatakan,
وحديث أبي هريرة : أثقل صلاة على المنافقين : صلاة
العشاء و صلاة الفجر …
“Shalat yang paling berat yang dilakukan oleh orang munafik
adalah: shalat ‘Isya dan shalat Fajar (subuh)”
(Alhadis bersumber dari Abu Hurairah) .
Dalil-dalil di atas menunjukkan
wajibnya shalat berjamaah secara individu, namun kewajiban secara tersebut jika
terjamin keamanan tidak ada bencana yang menyebabkan ketakutan, dlsb. Namun
Madzhab Ahmad bin Hanbal ini juga menyatakan bahwa shalat berjamaah bukanlah
sebagai syarat sahnya shalat.
Syari’at Berjamaah
Menurut Ijma’ para sahabat dan
ulama disyari’atkannya berjamah terjadi setelah hijrahnya baginda Rasulullah
Saw. Aljama’ah (berjamaah) yaitu hasil yang diperoleh adanya hubungan antara
shalat Imam (orang yang diikuti) dan Makmum (orang yang mengikuti). Islam
mensyari’atkan berjamaah baik secara sosial maupun didalam beribadah. Ibadah
yang dianjurkan untuk berjamaah diantaranya shalat fardhu lima waktu dalam
sehari semalam, shalat fardhu Jum’at, shalat dua hari raya, shalat sunnah
gerhana bulan, matahari, wuquf di’arafah, dll. Sebagaimana Allah Swt berfirman
tentang pentingnya berjamaah,
.
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ
……..(النساء [4] : 102)
” Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu)
lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka ”
(QS. Annisa’ [4] : 102).
Begitu juga Rasulullah Saw
bersabda tentang keutamaan shalat berjamaah,
.
قوله النبي صلى الله عليه وسلم : صلاة الجماعة أفضل من
صلاة الفذ , بسبع وعشرين درجة (رواه الجماعة إلا النسائي و أبا داود عن إبن عمر)
وفي رواية : بخمس وعشرين درجة (رواية أبو هريرة ورواه البخاري عن أبي سعيد الخدري
و أحمد عن إبن مسعود)
“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan
dua puluh tujuh derajat” (HR. Jama’ah kecuali Anasa’I, dan Abu Dawud). Riwayat
lain menyebutkan : “(keutamaan shalat berjamaah) dengan dua puluh lima derajat
(lebih baik dari shalat sendirian)” (HR. Abu Hurairah, Bukhari dari
Sa’id Alkhdri, Ahmad dari Ibnu Mas’ud)
.
Menunda Shalat Berjamaah Sebab
Ta’lim Atau Acara
Menunda shalat berjamaah karena
sebab ta’lim atau acara menurut jumhur ulama diperbolehkan dengan syarat tidak
luput dari waktu shalat fardhu yang telah ditetapkan. Terkecuali shalat fardhu
Magrib waktunya tidak boleh ditunda tanpa ada udzur syar’i, karena waktu Magrib
hanya terbatas sekali berbeda dengan shalat subuh, dzuhur, ‘Asyar, dan shalat
‘Isya. Allah Swt menerangkan hakikat makna dari waktu-waktu shalat diantara,
.
إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا (النساء [4]
: 103)
“… Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman. ” (QS. Annisa’ [4] : 103).
.
Kalimat Kitaban Mauquta (كتابا موقوتا
; shalat fardhu yang ditentukan waktunya) menurut ahli ushul adalah dari sejak
awal jatuhnya waktu shalat fardhu sampai kepada akhir dari batas waktu shalat
fardhu tersebut.
Sebagaimana ulama ushul
menjabarkan tentang waktu kewajiban dalam pelaksanaan shalat fardhu apakah
wajib segera atau kewajiban tersebut memiliki waktu yang luas. Sebagaimana
kaidah dibawah ini,
“أن الأمر هل يقتضي الفعل على الفور أم لا ” (ص : 15-16 , اللمع في
أصول الفقه للإمام أبي إسحاق إبراهيم بن علي يوسف السيرازي الفيروز آبادي الشافعي
, المتوفى 476هـ)
“Apakah perintah (jatuhnya kewajiban waktu/zaman shalat fardhu)
itu segera ditunaikan atau tidak”.
Dalam melaksanakan shalat fardhu
baik berjamaah ataupun sendirian dari segi waktu dapat digolongkan kepada
beberapa waktu yang sunnah, makruh dan waktu yang haram.
Sebagai contoh, jika shalat zuhur
di Jakarta jatuh waktunya jam 12,00 dan habis waktunya jam 03.00. Maka jatuh
hukum sunnah muakkad atau wajib ‘ainnya antara jam 12 s.d jam 2.30. antara jam
2.30 s.d jam 2.45 jatuh hukumnya makruh.
Jika melaksanakannya pada pukul
2.45 sampai jam 03.00 atau sudah masuk waktu shalat fardhu ‘Asyar maka hukumnya
adalah “Haram”.
Namun shalat yang luput tersebut
tetap wajib dilaksanakan. Inilah yang dikatakan (wujub Almuwassa'; kewajiban
yang waktunya luas) artinya kewajiban atau sunnah muakkad itu terhitung dari
awal waktu azan sebagai tanda jatuhnya kewajiban shalat fardhu sampai kepada
berakhirnya waktu yang dimakruhkan atau waktu yang diharamkan.
Ini juga yang dikatakan oleh Ibnu
Qudamah yang menyebutkan di dalam kitab Mughni Assyarhul Kabir bahwa
waktu-waktu shalat itu dibagi kepada waktu Fadhilah, waktu Jawaj, dan waktu
Dharurah (lihat halaman 522 Juz pertama cetakan Dar Alhadis Cairo Mesir)
Begitulah dengan waktu shalat
fardhu lainnya terkecuali shalat Maghrib waktunya sangat terbatas, sepakat
jumhur ulama tidak boleh menundanya, jika ditunda tanpa udzur syar’i hukumya
makruh dan bisa jatuh Haram jika luput sampai masuk kepada waktu salat fardhu
‘Isya. Jumhur ulama yang memaknai tentang Alwaqtu Muwassa’ (waktu keluasan dalam
melakukan shalat baik sendirian atau berjamaah) sebagaimana kaidah di bawah ini
yang menyebutkan,
.
“… وجوب الفعل في أول الوقت وجوبا موسعا ..” (ص : 15-16 , اللمع في
أصول الفقه للإمام أبي إسحاق إبراهيم بن علي يوسف السيرازي الفيروز آبادي الشافعي
, المتوفى 476هـ)
“Kewajiban melakukan (perintah) diawal waktu (shalat) itu adalah
kewajiban yang memiliki tenggang waktu yang luas”. Artinya masa antara waktu
shalat fardhu yang satu kepada fardhu yang lainnya adalah diperbolehkan
didalamnya melakukan shalat baik berjamaah ataupun sendirian. Namun kaidah ini
bukan berarti untuk meringan-ringankan atau untuk menunda-nunda waktu shalat.
Dari kaidah ini diperbolehkannya jika kita berada dalam kondisi sedang
mengikuti/memimpin majelis Ta’lim/acara yang belum selesai, maka diperbolehkan
untuk menunda shalat berjamaah.
Menunda bukan berarti
meninggalkan berjamaah. Menunda bukan berarti luput sampai kepada waktu fardhu
berikutnya. Penundaan ini bukan termasuk udzur syar’I, penundaan ini adalah
penundaan yang bersifat mubah/boleh artinya kita boleh mengambil atau
menggunakan dari jarak waktu-waktu shalat fardhu yang telah ditentukan
batasan-batasannya tersebut.
Pembahasan tentang waktu muwassa’
(waktu yang luas) dan alwaqat Mudhayya’ (waktu yang sempit) dalam melaksanakan
shalat fardhu berjamaah atau sendirian dapat dilihat secara luas didalam kitab
: Alluma’ Fi Ushulil Fiqh oleh Imam Assairazi, Alminhaj Ma’a Syarah Alisnawi
wa Albadakhsyi, Syarah Albadakhsyi, Syarah Aljalal ‘Ala Jam’in Aljawami’,
Almughni As-Syarhulkabir Ibu Qudamah, dll. Ulama-ulama besar Al Washliyah
seperti Syekh Mahmud Syihabuddin, Syekh Arifin Isya Alazhari (1914-1999M),
Syekh Hamdan Abbas, KH. Thalib Alrawi, KH.Syahrin Pohan, maupun ulama Al
Washliyah lainnya
Sedangkan waktu untuk shalat
‘Isya ada keutamaan tersendiri diantara shalat lima waktu lainnya. Shalat ‘Isya
jika diakhirkan waktunya dapat membawa kebaikan seperti jemaah yang banyak,
atau dapat melakukan qiyamullail maka waktu shalat ‘Isya itu lebih utama
(mustahabbah/sunnah) di akhirkan ketimbang di awal waktu. Sebagaimana
Rasulullah Saw bersabda,
.
وقول النبي صلى الله عليه وسلم : لولا أن أشق على أمتي
لأمرتهم أن يؤخروا العشاء إلى ثلث الليل أو نصفه (أخرجه أبو داود و الترمذي و
النسائي و أحمد و الحاكم وذكره الباني ف صحيح الجامع) .
Rasulullah Saw bersabda:
“Jikakalaulah tidak memberatkan kepada umatku akan aku perintahkan mereka
mengakhirkan shalat ‘Isya sampai kepada sepertiga malam atau seperdua malam ” (HR.
Abu Dawud, Atturmudzi, Annasa’I, Ahmad, Alhakim).
Keterangan Hadis ini dapat
dilihat di dalam kitab Syarhulkabir Mughni Almuhtaj oleh Ibnu Qudamah (hal 530
– 531 Juz 1)
Hadis di atas menunjukkan sunnah
hukumnya mengakhirkan waktu shalat ‘Isya jika membawa kemaslahatan atau ingin
mencari fadhilah dari qiyamullail. Namun jika dikhawatirkan shalat ‘Isyanya
kelewatan, maka shalat ‘Isya di awal waktu itu tetap lebih baik.
KESIMPULAN
Shalat diawal waktu itu adalah
lebih baik agar kita tidak mudah lalai atau terjerumus dari sifat kemalasan
yang menyebabkan menjadi orang yang pemalas. Namun jangan sampai kewajiban
shalat dan waktu-waktu maupun batasan-batasannya yang telah ditentukan oleh
syar’i baik dari segi kemudahan dan keutamaannya jangan sampai menyebabkan kita
terjebak kepada pemikiran yang kaku dan saklek. Kita sering terjebak dengan
pemahaman yang keras sehingga sifat Tasyaddud; keras tersebut justru malah
memenjarakan diri kita sendiri. Allah dan Rasulnya sangat murka kepada umatnya
yang begitu terlalu keras atau saklek dalam memahami dan menjalankan agamanya.
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda,
قال النبي صلى الله عليه وسلم : من شق على أمتي شق الله
عليه (أخرجه مسلم)
“Nabi Saw bersabda: Barangsiapa yang memecah belah (memberatkan)
umatku, Allah Swt akan memecah belahnya (memberatkannya di dunia dan di
akhirat)” (HR. Muslim).
Wallahua’lam
KH
Komentar
Posting Komentar