Imam Syafi’i rahimahullah
meriwayatkan dari Ibrahim bin Muhammad, ia pernah mengatakan bahwa Tsaur bin
Yazid mengabarkan dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Ad-Darda’, ia berkata :
من قام ليلة العيد محتسبا لم يمت قلبه حين تموت القلوب
“Barangsiapa yang menegakkan
(menghidupkan) malam hari raya dengan penuh keikhlasan, niscaya hatinya tidak
akan pernah mati ketika semua hati mati”
Imam Syafi’i rahimahullah juga pernah mengatakan bahwa do’a dikabulkan pada 5 malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya kurban (lailatul Adlhaa), malam ‘Idul Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam pertengahan bulan Sya’ban”.
Selain itu, Muhammad bin Ibrahim
mengabarkan kepada Imam Syafi’i, ia berkata : “Aku menyaksikan para syaikh
(ulama) besar penduduk Kota Madinah menampakkan kemeriahan malam hari raya di
Masjid Nabawi, mereka semua berdo’a dan melakukan dzikir-dzikir kepada Allah hingga
waktu malam pun berlalu (semalam suntuk)”.
Telah sampai juga riwayat kepada
Imam Syafi’i bahwa Ibnu Umar menghidupkan malam perkumpulan, dan malam
perkumpulan yang dimaksudkan adalah malam hari raya. Imam Syafi’i pun berkata :
“Aku menganjurkan semua yang
telah aku ceritakan (riwayatkan) tentang amalan malam-malam tersebut, namun
tanpa menjadikannya sebagai kewajiban (hukumnya sunnah bukan wajib)”.
Dari semua yang tuturkan oleh Imam Al-Syafi’i rahimahullah, nampak sekali bahwa menghidupkan malam hari raya bukan sekedar amaliyah biasa, melainkan telah menjadi kebiasaan para generasi terbaik umat Islam yaitu generasi salafush shaleh. Maka, memang sangat tepat kebiasaan salafush shaleh ini juga telah menjadi kebiasaan, ditradisikan umat Islam dimasa sekarang.
Imam Al-Nawawi rahimahullah
didalam kitabnya, Al-Majmu, mengatakan : “Ashhab kami (ulama Syafi’iyah
kami) berkata, dianjurkan menghidupkan malam dua hari raya dengan shalat atau
amaliyah-amaliyah ketaatan yang lainnya, ulama kami berhujjah dengan hadits Abi
Umamah dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam “barangsiapa yang menghidupkan
malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika matinya semua hati”. Dan
didalam riwayat Imam Al-Syafi’i serta Imam Ibnu Majah, “Barangsiapa yang
menghidupkan malam dua hari raya dengan penuh keikhlasan karena Allah, niscaya
hatinya tidak akan mati ketika matinya semua hati”
Menurut Imam Nawawi, Imam Syafi’i
beserta ashhab (ulama Syafi’iyah) menganjurkan menghidupkan malam hari raya,
meskipun haditsnya tergolong dloif, namun hadits-hadits fadla’il ditolerir
dalam hal tersebut dan ditolerir beramal dengan tingkat kedloifannya. Hal ini
juga pernah disebutkan oleh Imam Nawawi didalam kitabnya yang lain, Al-Adzkar :
“Ketahuilah bahwa disunnahkan (dianjurkan)
menghidupkan malam kedua hari raya dengan dzikir kepada Allah, shalat dan
amaliyah lainnya berupa amaliyah-amaliyah keta’atan, berdasarkan hadits yang
warid tentang hal tersebut, “barangsiapa menghidupkan malam hari raya, hatinya
tidak akan pernah mati pada matinya semua hati”. dan diriwayatkan juga
“barangsiapa yang menegakkan malam-malam hari-raya karena Allah dengan penuh
keikhlasan, hatinya tidak akan pernah mati ketika matinya semua hati”, seperti
itu juga yang ada dalam riwayat Imam asy-Syafi’i dan Imam Ibnu Majah, dan itu
adalah hadits dlaif yang kami meriwayatkannya dari riwayat Abi Umamah secara
marfu’ juga mauquf, sedangkan perkataan keduanya adalah lemah, tetapi
hadits-hadits fadlail ditolerir sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya diawal
kitab ini”.
Bagaimana Menghidupkan Malam Hari
Raya
Sebagaimana yang telah disebutkan
diatas, bahwa menghidupkan hari raya dapat dilakukan dengan memperbanyak do’a
dan dzikir kepada Allah, memperbanyak shalat sunnah, dan amaliyah-amaliyah yang
bersifat keta’atan lainnya. Amaliyah keta’atan atau ibadah-ibadah lainnya
tentunya sangat banyak, seperti membaca Al-Qur’an, menyemarakkan dengan
shalawat, syiar-syiar Islam, dan lain sebagainya.
Abdurrahman Al-Jaziriy didalam Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah mengatakan “Dianjurkan menghidupkan malam dua hari raya dengan keta’atan kepada Allah berupa dzikir, tilawah al-Qur’an, dan semisal yang demikian, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, “barangsiapa yang menghidupkan malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idul Adlha dengan penuh keikhlasan, hatinya tidak akan mati ketika matinya semua hati”, diriwayatkan oleh Ath-Thabraniy. Dan sudah hasil (memperoleh fadlilah menghidupkan malam tersebut) dengan melakukan shalat ‘Isya dan shalat shubuh secara berjama’ah”.
Zainuddinn Zakariyya Al-Anshoriy dalam Asnal Matholib mengatakan “Dan sudah hasil (telah memperoleh fadlilah) menghidupkan malam hari raya dengan mengagungkan malamnya, seperti halnya mabid di muzdalifah, dikatakan hanya dengan sesaat saja, sedangkan pendapat dari ‘Ibnu Umar ; dengan melakukan shalat ‘Isya berjama’ah dan bertekad melakukan shalat shubuh berjama’ah ”
Menurut Imam Nawawi, “Yang shahih, bahwa fadlilah menghidupkan malam hari raya ini tidak akan diperoleh kecuali minimal dengan mengagungkan malamnya (dengan ibadah), dikatakan juga dapat diperoleh hanya dengan sesaat saja (beribadah), dan ditekankan sebagaimana dinukil oleh Imam Syafi’i pada guru-guru besar (masyayikh) kota Madinah yakni dengan berdo’a dan dzikir semalaman. Di naql dari Al-Qadli Husain, dari Ibnu Abbas, bahwa menghidupkan malam hari raya dilakukan dengan shalat Isya’ berjama’ah dan bertekad menyambung untuk shalat Shubuh berjama’ah pula, dan pendapat yang dipilih adalah yang sebelumnya, Wallahu A’lam”
Diantara Komentar Ulama
Syaikh Sulaiman bin Umar bin
Mashur Al-Jummal (w 1204 H):
“Disunnahkan (yustahabb)
menghidupkan malam hari raya dengan ibadah, dan walaupun itu malam Jum’ah
(sebab Jum’ah juga dianggap sebagai hari raya, penj), seperti melakukan shalat
dan berbagai ibadah-ibadah lainnya, berdasarkan khabar {“Barangsiapa yang
menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua
hati”}, adapun yang dimaksud dengan mautul quluub (matinya hati) adalah sangat
tergila-gila dengan cinta dunia, pengertian ini diambil dari hadits, sabda
Rasulullah {“Janganlah kalian masuk golongan orang-orang yang mati. Rasulullah
ditanya, siapakah mereka wahai Rasulullah ?. Rasulullah menjawab, al-Aghniyaa’
(orang-orang kaya)”}. Pendapat lain mengatakan, mautul quluub maksudnya adalah
kekufuran, pengertian ini diambil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’alaa surah
Al-An’am ayat 122 : {“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami
hidupkan”} yakni kafir kemudian diberi petunjuk. Pendapat lain juga mengatakan,
mautul quluub artinya ketakutan (panik dan cemas) pada hari qiyamat, pengertian
ini diambil dari hadits {Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam
keadaan tidak beralas kaki, tidak berbusana, dan tidak berkhitan. Umma Salamah
berkata, apakah laki-laki melihat aurat wanita dan sebaliknya. Nabi menjawab,
sungguh pada hati itu sangat sibuk hingga tidak seorang laki-laki tidak
mengetahui dirinya laki-laki, demikian juga wanita”}”.
(Kitab Futuhal Al-Wahab bi-taudlih syarh Minhaj ath-Thullab atau Hasyiyah al-Jummal)
Syamsuddin Muhammad bin Abul
‘Abbas Ar-Ramli Al-Syafi’i (w 1004 H) berkata :
“Disunnahkan menghidupkan
malam-malam hari raya dengan ibadah kepada Allah, meskipun itu malam Jum’at,
berupa melakukan shalat dan berbagai ibadah-ibadah lainnya, berdasarkan khabar
{“barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika
saat matinya semua hati “}.” (Kitab Nihayatul Muhtaj ilaa
Syarhi Al-Minhaj)
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al-Khathib Asy-Syabiniy Al-Syafi’i (w 977 H)
“Disunnahkan menghidupkan malam
hari raya dengan ibadah seperti shalat dan ibadah-ibadah lainnya berdasarkan
khabar “barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati
ketika saat matinya semua hati”. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthniy secara
mauquf. Imam Nawawi berkomentar didalam Al-Majmu, sanad-sanadnya dloif alias
lemah, bersamaan dengan hal tersebut ulama mensunnahkan tetap menghidupkan
malam hari raya, sebab hadits dloif tetap diamalkan didalam hal fadloil a’mal
sebagaimana telah berulang-ulang diisyaratkan kebolehan hal ini, dan diambil
dari hal tersebut sebagaimana perkataan Al-Adzra’iy ketiadaan penekanan anjuran
(kesunnahan biasa, tidak sangat ditekankan, penj)”.
(Kitab Mughniy Al-Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’aniy Alfadh Al-Minhaj)
Syaikhul Islam Imam Ibnu Hajar
Al-Haitamiy (w 974 H)
“Dan disunnahkan menghidupkan dua
malam hari raya yakni malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idul Adlha dengan
ibadah-ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur’an dan dzikir, berdasarkan riwayat
yang warid dengan sanad-sanad yang dloif : “barangsiapa yang menghidupkan malam
hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua hati”, dan sudah
memperoleh fadlilah keutamaan menghidupkan malam hari raya dengan menghidupkan
keagungan malamnya”. (Kitab Al-Minhajul Qawiim)
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
Al-Syafi’i (w 505 H)
“Kedua (disunnahkan) menghidupkan
malam hari raya. Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam bersabda : “barangsiapa
yang menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya
semua hati””. (Kitab Al-Wasith fil Madzhab)
Al-‘Allamah Muhammad Az-Zuhriy Al
Ghumrawiy (w 1337 H)
“Dan disunnahkan menghidupkan
malam dua hari raya dengan ibadah dan do’a didalamnya, serta pada malam Jum’at,
malam pertama bulan Rajab dan malam nishfu Sya’ban”.
(Kitab As-Sirajul Wahaj)
Syaikh Sulaiman Al-Bujairamiy Al-Mishriy (w 1221 H)
“Dan disunnahkan (yundabu)
menghidupkan dua malam hari raya dengan beribadah, dan sudah memperoleh
fadlilah menghidupkan malam hari raya dengan menghidupkan keagungan malamnya”
(Kitab Tuhfatul Habib ‘alaa Syarhi Al-Khothib)
Syaikh Ahmad Salamah Al Qalyubiy
“Disunnahkan menghidupkan malam 2
hari raya dengan dzikir atau shalat, dan yang lebih utama adalah melakukan
shaalt tasbih. Namun sudah cukup mengagungkan malam hari raya minimal melakukan
shalat Isya’ berjama’ah dan disambung dengan shalat shubuh berjama’ah. Seperti
itu juga pada malam nishfu Sya’ban, malam awal bulan Rajab dan malam Jum’at,
sebab malam-malam tersebut merupakan tempat diijabahnya do’a”.
(Kitab Hasyiyah Al-Qalyubiy wa ‘Umairah)
Syaikh Hasan Al-Syurunbulaliy
Al-Mishriy Al Hanafi (w 1069 H)
“Disunnahkan menghidupkan malam
dua hari raya yakni Al-Fithri dan Al-Adlhaa, berdasarkan hadits “barangsiapa
menghidupkan malam hari raya, niscaya hatinya tetap hidup ketika matinya semua
hati”, dan dianjurkan memperbanyak beristighfar dengan tulus dan juga sayyidul
Istighfar “…", dan berdoa dimalam tersebut adalah mustajab”.
(Kitab Muraqiy Al-Falah syarh Matni Nuril ‘Idlah)
Imam Ibnu ‘Abidin Ad-Dimasyqiy (w
1252 H)
“(Perkataan mushannif
“menghidupkan malam dua hari raya”) yang utama menggunakan kata “Lailata”
dengan dibaca tatsniyah : yakni malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idul Adlhaa”.
(Kitab Raddul Mukhtar ‘alaa Ad-Durril Mukhtar)
Syaikh Ibnu Nujaim Al-Mishriy (w
970 H)
“Dan diantara perkara-perkara
yang dianjurkan (disunnahkan) yaitu menghidupkan malam 10 terakhir Ramadhan dan
malam dua hari raya, malam 10 Dzulhijjah, malam nishfu Sya’ban”.
(Kitab Al-Bahr Ar-Raiq syarh Kanz Ad-Daqaiq)
Muhammad bin Yusuf Al-Gharnathiy Al-Malikiy (w 897 H)
“Dianjurkan (nudiba)
menghidupkan malam hari raya berdasarkan riwayat Abu Umamah “barangsiapa yang
menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua
hati”. (Kitab Al-Taj wa Al-‘Iklil li-Mukhtashar Kholil)
Syamsuddin Al-Hathib Ar-Ru’ayniy
(w 954 H)
“Ibnu Al-Furat berkata : aku
menganjurkan menghidupkan malam hari raya dengan dzikir kepada Allah, shalat
dan amaliyah keta’atan lainnya, berdasarkan hadits : “barangsiapa yang
menghidupkan malam hari raya, hatinya tidak akan mati ketika saat matinya semua
hati”. Diriwayatkan secara mauquf dan marfu’, dan dikomentari dloif, akan
tetapi hadits-hadits fadlo’il ditorerir dalam hal tersebut”.
(Kitab Mawahibul Jalil)
Syihabuddin An-Nafrowiy
Al-Azhariy (w 1126 H)
“Sesungguhnya disunnahkan
menghidupkan malam hari raya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alayhi
wa Sallam : barangsiapa menghidipkan malam hari raya dan malam nishfu Sya’ban,
hatinya tidak akan mati ketika matinya semua hati. Didalam disebuah hadits lain
: barangsiapa yang menghidupkan malam-malam yang empat, wajib baginya
memperoleh surge. Yakni malam Jum’at, malam ‘Arafah, malam ‘Idul Fithri dan
malam ‘Idun Nahr (Adlhaa)”. (Kitab Al-Fawakihud Dawaniy).
Imam Ash-Showiy Al-Malikiy (w 1241 H)
“Qauluhu: (dan dianjurkan
menghidupkan malam hari raya) : yakni berdasrkan sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi
wa Sallam : barangsiapa menghidupkan malam hari raya dan malam nishfu Sya’ban,
hatinya tidak akan mati ketika matinya semua hati”.
(Kitab Hasyiyah Ash-Showiy ala Asy-Syarhi Al-Shoghir)
Wallahu A'lam
Komentar
Posting Komentar