Tradisi Masyarakat Bisa Menjadi Dalil Dalam Agama?

Belakangan ini sering muncul perdebatan antar sesama muslim tentang apa yang menjadikan landasan mereka terhadap suatu perbuatan, ibadah, transaksi dan lain-lainnya, lebih tepatnya polemik seputar dalil. Hal ini sah saja dijadikan perdebatan dan bahan diskusi, namun ironisnya adalah tatkala obrolan sekelas ini sampai kepada kalangan awam yang belum mengerti apa itu dalil dan apa saja macamnya, dimana secara umum masyarakat hanya tau bahwa dalil itu hanyalah Qur’an dan Sunnah saja.

Padahal seiring perkembangan zaman, muncul pula perkara-perkara anyar dalam lingkup komunitas tertentu yang tidak ditemukan dalil-dalinya baik dalam nushus (qur’an dan sunnah) ataupun Ijma’ dan qiyas. Hal ini membuat sebagian besar orang melirik kepada dalil al mukhtalaf fiiha (dalil yang menjadi polemik antar ulama), dimana lebih difokuskan kepada urf atau kebiasaan yang berlaku kepada sebagian besar masyarakat.


Hal ini menarik untuk dikaji, bagaimana para ulama bisa menjadikan adat atau kebiasaan masyarakat menjadi dalil dalam agama, bagaimana rambu-rambunya sehingga tidak terjadi tabrakan antara urf dengan dalil syar’i lainnya.

Dalil itu apa saja?
Seluruh ulama sepakat bahwa dalil syar’i terbagi kepada dua jenis yakni Al-adillah al muttafaq ‘alaih (dalil-dalil yang disepakati) yang terdiri dari empat hal, yakni: Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Kemudian yang ke dua yakni Al-adillah al-mukhtalaf fiihaa (dalil-dalil kontroversial yang dipakai oleh satu madzhab dan bisa jadi tidak dipakai oleh madzhab yang lain, atau sama teknisnya namun berbeda penamaanya) yang terdiri dari: Istihsan, Istishab, syariat orang-orang terdahulu, madzhab para sahabat, urf atau adat istiadat, maslahat mursalah, dll.

Tidak sedikit dari sejumlah perkara baru yang kita temui di masyarakat yang mana hal tersebut berdasarkan kebiasaan yang disepakati oleh sebagian besar orang-orang, seperti adat bertukar makanan menjelang bulan Muharram, atau kebiasaan mengaji bergantian seusai shalat tarawih yang biasa dikenal dengan tadarus, hingga adat menggelar kajian dan dzikir bersama pada momen-momen besar Islam.

Pengertian urf
Secara bahasa, urf berasal dari kata ‘arafa dengan masdar al ma’ruf yang bermakna dikenal, bisa juga bermakna kebaikan karena lawan kata dari ma’ruf adalah munkar [1] . Kemudian dalam makna istilah, Syekh Abdul Wahhab Khollaf merangkum sejumlah definisi dari para ulama menjadi:

العُرف هو ما تعارفه الناس وساروا عليه، من قول، أو فعل، أو ترك
Urf adalah apa-apa yang dikenal orang banyak dan kemudian dibiasakan baik dari perkataan, perbuatan, hingga kebiasaan meninggalkan dan mengerjakan sesuatu[2].

Para ulama sepakat tidak ada perbedaan yang signifikan antara urf dan adat kecuali bahwa adat lingkupnya lebih luas daripada urf yang hanya menekankan pada kebiasaan sebuah komunitas.

Pendapat Para Ulama Terkait Kehujjahan Urf
Secara garis besar, para ulama sepakat tentang menjadikan urf sebagai dalil dalam syari’at. Namun mereka hanya berbeda dalam menjadikannya dalil yang bisa berdiri sendiri tanpa nushus atau tidak:

1. Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Ibnu Qayyim al Jauziyah dari Hanabilah berpendapat bahwa urf bisa menjadi dalil yang berdiri sendiri tanpa harus bersandar kepada maksud nushus. Mereka berdalil dari surat al a’raf ayat 199, dimana dalam kitab majmuah fawaid bahiyyah dikatakan:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين (الأعراف: 911)، فالأمر بالعرف في الآية يدل على وجوب الرجوع إلى عادات الناس، وما جرى تعاملهم به، وهذا يدل على اعتبار العادات في الشرع بنص الآية. قال ابن الفرس في كتابه: "أحكام القرآن": المقصود بقوله: {وأمر بالمعروف} أي: المعروف عند الناس، الذي لا يخالف الشرع 

Dari surat al a’raf 199, maka perintah dengan urf dalam hal ini bermakna pada kewajiban menjadikan adat manusia sebagai sandaran, dan apa-apa yang menjadi kebiasaan dalam muamalat mereka, maka ini secara eksplisit melegitimasi penggunaan urf sebagai landasan. Kemudian Ibnu Faras dalam kitabnya ahkamul qur’an berkata: maksud dari firman Allah “wa’mur bil urf” yakni ma’ruf menurut sebagian banyak orang, yang tidak bertentangan dengan syara’[3]

Kemudian dengan Atsar dari Abdullah bin Mas'ud:

"ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند اللَّه حسن"
“segala hal yang dianggap oleh kaum Muslim sebagai sesuatu yang baik maka menurut Allah hal itu adalah baik pula” (HR. Ahmad)”

Dari sini ulama Hanafiah berpendapat:

يدل الحديث أن الأمر المتعارف عليه تعارفًا حسنًا بين المسلمين يعتبر من الأمور الحسنة
التي يقرها اللَّه تعالى، وما أقره الله تعالى فهو حق وحجة ودليل، ولذا يعتبر الحنفية أن الثابت العرف ثابت بدليل شرعي، وأن المعروف عرفًا كالمشروط شرطً.
Hadist ini bermakna bahwa hal yang sama-sama diketahui oleh muslimin dan dianggap sebagai perkara yang baik maka dianggap baik dan disetujui pula oleh Allah, dan apa-apa yang disetujui oleh Allah maka itu adalah haq dan menjadi hujjah serta dalil, maka daripada itu ulama Hanafiah menganggap bahwa ketetapan dengan urf seperti halnya ketetapan dalam dalil syar’i, dan bahwa hal baik yang menjadi urf posisinya seperti yang disyaratkan menjadi syarat[4]

2. Madzhab Syafi’iyah: Urf bisa menjadi dalil asalkan tetap bersandar kepada prinsip nushus, Ijma, dan Qiyas, serta tidak boleh berdiri sendiri[5].

Rambu-rambu Berdalil dengan Adat
Ada sejumlah syarat dimana urf bisa dikategorikan sebagai urf yang benar untuk dijadikan dalil dalam syariat:

1. Urf tidak boleh bertentangan dengan Nushus, Ijma’ dan Qiyas Syar’i.
2. Harus dikenal dan berlaku oleh masyarakat umum, bukan kebiasaan individu atau kelompok kecil.
3. Urf tersebut harus masih tetap eksis,tidak diperkenankan berdalil dengan urf yang sudah tidak lagi berlaku oleh masyarakat di tempat tersebut.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat luas bisa dijadikan landasan dalam syariat. Seperti halnya madzhab Malikiyah yang tak sedikit berdalil dengan kebiasaan penduduk Madinah dan menjadikannya lebih kuat dari khabar ahad. Bahkan Madzhab Hanafiah dalam berdalil dengan Istihsan menjadikan adat dan kebiasaan masyarakat lebih kuat posisi dalilnya dibandingkan dengan dalil dari redaksi ayat dan hadist yang berkonotasi umum.

Berbeda dengan madzhab Syafi’iyah dimana beliau menempatkan urf sohih sebagai pijakan setelah 4 dalil muttafaq (Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas). Maka secara garis besar, para ulama telah sepakat tentang posisi urf Shahih sebagai dalil syar’i.

Lantas, bagaimana dengan kaidah :

الأصل في العبادة التحريم إلا ما دلّ الدليل على جوازه
“hukum asal dari Ibadah adalah haram, hingga ada dalil yang membolehkannya”

          Dalam hal ini perlu kita fahami lagi apa itu definisi dan kriteria Ibadah. Dan jika memang ada hal baru dalam ibadah yang muncul dari adat masyarakat. Maka tak bisa dipungkiri hal tersebut bisa menjadi dalil atas kebolehannya, selama adat yang diapakai sesuai dengan rambu-rambu yang telah disepakati oleh para ulama salaf.

Berdasarkan hal inilah muncul kaidah lain dari madzhab Hanafiah terkait kuatnya adat atau kebiasaan masyarakat yang bisa menjadi dalil juga:

الثابت بالعرف كالثابت بالنص
“Yang telah ditetapkan berdasarkan urf, sama halnya seperti yang telah ditetapkan berdasarkan nash (Quran dan Hadist)[6]

            Kesimpulannya adalah bahwa adat masyarakat selama masih dalam koridor yang tidak bertentangan dengan prinsip yang ada pada nushus serta mengikuti rambu-rambu yang telah disepakati oleh jumhur ulama, maka boleh dijadikan landasan berdalil apalagi hanya dalam perihal furu’ yang sangat memungkinkan sekali terjadi perbedaan dalam aplikasinya.

Wallahu a’lam bishhowab






[1] Muhammad Musthofa al-Zuhaily. al-Wajiz fi al-Ushul al-fiqh. Jil. 1. (Damaskus: Dar al-Khair. 2006). 265.
[2] Abdul Wahab Kholaf. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. (Kairo: Dar al-Ghod al-Jadid. 2014). 93.
[3] Abu Muhammad al-Asmariy al-Qahtaniy. Majmuat al-Fawaid al-Bahiyyah ala mandzumat al-Qawaid al-Fiqhiyyah. (Saudi Arabia: Dar al-Sumaiy’iy. 2000). 95.
[4] Op.cit. al-Wajiz fi al-Ushul al-Fiqh. 267.
[5] Hasan bin Muhammad bin Mahmud al-Atthor. Hasyiyat al-Atthor ala syarhi jalal al-Mahlliy ala jam’i al-Jawami’. Jil. 2. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 395.
[6] Ibnu-l-Hummam Al Hanafi. Fathul Qodir. 8/32



Komentar