Betawi kerapkali dijadikan bahan kajian dan diskusi yang menarik dari
dulu hingga kini, karena diskursus mengenai Betawi mengandung estetika
tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual
bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian sosial politik dan
kebudayaan Betawi.
Kendati demikian, corak keislaman dan sejarah sosial intelektual
Islam di Betawi belum banyak dikaji, karena perhatian baru difokuskan
kepada sejarah sosial, politik, keseniaan dan kebudayaan serta
kepurbakalaan. Padahal sejarah sosial intelektual Islam di Betawi telah
memiliki peran yang signifikan dalam perubahan di masyarakat Betawi.
Para pelaku sejarah intelektual Islam di Betawi adalah para ulama Betawi
pada abad ke 19 dan 20 yang menimba ilmu di Timur Tengah selama
bertahun-tahun.
Setelah mereka menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan
Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Betawi. Di sinilah mereka
menjadi penyebar utama tradisi intelektual keagamaan Islam di Makkah dan
Madinah ke Betawi.
Penelitian ini mencoba menelusuri jaringan ulama Betawi yang belajar
langsung kepada ulama Timur Tengah pada abad ke-19 dan 20 serta upaya
transmisi keagamaan di Betawi. Kajian ini mencoba mengembangkan teori
Azyumardi Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya keterkaitan
intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan Madinah dan
upaya reformasi yang dilakukan sekembalinya mereka ke tanah air.
Perbedaan hanya terletak pada dimensi ruang dan waktu.
Penelitian ini juga mencoba menelusuri perkembangan Islam di Betawi
mulai masa Jayakarta hingga Batavia dan menelusuri corak keberagamaan
Islam di Betawi. Terlepas dari perdebatan asal usul komunitas etnis
Betawi, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki
ketaatan yang fanatik terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang
kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan
abad ke-19 itu dapat disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang
semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi
terkemuka yang telah berhasil dalam memberikan pemahaman tentang Islam.
Islam dan Betawi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
sebutan “Betawi” hanya bisa digunakan oleh penduduk asli Jakarta yang
beragama Islam. Sedangkan penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen
secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti
penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan
Mardijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan penduduk
asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda
Depok. Penduduk asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan
Orang Selam yang agaknya merupakan pengucapan setempat untuk Islam.
sebagaimana Srani untuk kata “Nasrani”.
Hamka menemukan bukti tentang kuatnya orang Betawi memegang agama
Islam. Selama 350 tahun dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar
anak Betawi yang masuk Kristen. Kendati orang Betawi hidup dalam
kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi jika masuk Kristen
adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan mudah menjadi
kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali menjadi
kafir.
Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna eksistensial akan
keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir, ratib,
pembacaan manakib Syaikh Saman, maulid Barjanji serta Diba. Semuanya
merupakan ekpresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri
isyhadû bi annâ muslimûn (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang
Islam). Suatu ekpresi teologis yang nyaris sepi dari politik, kendati
demikian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik.
Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal
ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab
Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih
toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh
karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam modernis dan Organisasi
Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi
karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC
(tahayul, bid’ah dan khurafat). Kecaman tersebut dalam banyak hal
tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang dalam beberapa hal
bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan khurafat.
Deskripsi tentang kuatnya masyarakat Betawi dalam memegang teguh
ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin
meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi
terkemuka dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ulama-ulama
Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena
menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan
penyebaran keislaman di Nusantara terutama di Betawi.
Azra mengungkapkan bahwa penyebaran keilmuan Islam di Nusantara
sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang terlibat jaringan
intelektual dengan ulama Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah
(Haramain). Penulis berkeinginan untuk mengembangkan teori yang telah
dikemukakan oleh Azra tersebut.
Keilmuan Islam yang berlangsung di pusat dunia Islam (Haramain) saat
itu memiliki karakteristik yang jelas, yaitu gagasan pembaharuan sebagai
rekontruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Pembaharuan ini menekankan
pada ketaatan terhadap syariat atas tasawuf dari Masyarkat Muslim.
Penerimaan ulama Haramain terhadap tasawuf kala itu adalah tasawuf yang
telah diperbaharui dan sejalan dengan tuntutan syari’at sebagaimana yang
diajarkan oleh Al-Ghazali.
Penyebaran pembaharuan keilmuan Islam di Betawi abad ke-19 dan 20
merupakan proses penerusan ulama Nusantara yang memiliki hubungan
intelektual dengan ulama Makkah abad sebelumnya. Mereka telah menjalin
hubungan erat dengan sejumlah tokoh penting di pusat keilmuan Makkah.
Keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan ulama Haramain dimulai pada
paruh kedua abad ke-17 yang dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri (w. 1069
H/1658 M), Abdur Rauf Singkel (1035-1105 H/1615-1693 M) dan Yusuf
al-Maqassari (1626-1699). Kemudian disusul oleh ulama abad ke-18 yaitu
Abdul Shomad al-Palimbani (1704-1788), Muhammad Arsyad al-Banjari
(1710-1812), Dawud bin Abdullah al-Fatani (1718-1847), Muhammad Nafis
al-Banjari (1735-1812) dan Abdurrahman al-Mashri al-Batawi.
Pembaharuan keagamaan secara langsung dari Makkah ke Betawi telah
terjadi pada abad ke-19 dan 20. Bahkan pada abad ke-18 sudah ada ulama
Betawi yang bernama Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi yang menimba ilmu di
Makkah. Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah teman karib Abdul Shamad
Al-Palimbani dari Sumatera Selatan (1116/1704-1203/1789) dan Muhammad
Arsyad Al-Banjari (1122/1710-1227/1812) dari Kalimantan Selatan. Kendati
informasi mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini sangat minim,
tetapi peran dan kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif secara
sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara
pada abad ke 18.
Sebelum kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan
yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan
Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri untuk
menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka,
‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara
sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup
dan dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka
tetap memutuskan pergi ke Kairo tetapi hanya untuk berkunjung bukan
untuk belajar. Mungkin sebagai tanda hubungan baik mereka dengan ‘Atha’
Allah dan kunjungan mereka ke Kairo sehingga Abdurahman Al-Batawi
menambahkan laqab “Al-Mashri” pada namanya.
Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari,
Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum ke
Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di
Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia hanya untuk
waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting
bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah
kiblatnya. Menurut perhitungannya, kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima
(Masjid Kampung Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan
secara benar menuju Ka’bah dan karenanya harus dirubah. Kontroversipun
bermunculan di kalangan para pemimpin muslim di Batavia sehingga
gubernur jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad untuk
mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan
secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan
hadiah kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga
diusulkan Abdurahman Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan
perjalanan ke sana sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi
di sana.
Ulama-ulama Betawi pada abad ke 19 pasca Abdurahman Al-Mashri
Al-Batawi adalah Syaikh Junaedi Al-Batawi. Menurut C. Snouck Hurgronje,
di Makkah pada perempatan ketiga abad ke 19 ada “sesepuh” (nestor) para
profesor Jawi yang berasal dari Betawi yang bernama Junaed yang sudah
menetap selama 50 tahun. Ketika berkunjung ke Makkah—menurut
Hurgronje—ia telah melakukan kajian-kajian mendalam di negeri asalnya
tetapi tidak pernah kembali ke negerinya. Jika Junaed sudah tiba di
Makkah 50 tahun yang lalu, maka berarti ia sudah tiba di Makkah di awal
abad ke 19 M. Junaed memiliki banyak murid di antaranya adalah KH.
Mujtaba bin Ahmad atau dikenal dengan Guru Mujtaba. Jika Guru Mujtaba
akhirnya kembali ke Betawi pada 1904, Syaikh Junaed Al-Batawi tetap
tinggal di sana. Khabarnya Junaed meninggal dunia di tanah suci akhir
abad ke 19. Kendati tidak diketahui tanggal yang pasti mengenai
wafatnya, Junaed telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi
ulama-ulama besar. Sayang sekali sampai sekarang tidak diketahui di mana
anak dan keturunan Junaed berada sekarang.
Ulama Betawi berikutnya adalah Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin
Yahya (1822-1914). Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin
Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurahman Al-Mashri
Al-Batawi.
Sayyid Usman pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kemudian
belajar di sana selama 7 tahun. Dia belajar kepada ayahnya dan Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Pada tahun 1848 Sayyid Usman
berangkat ke Hadramaut dan menimba ilmu kepada Syaikh Abdullah bin
Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin
Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar. Untuk memperdalam
bermacam-macam ilmu, dia belajar juga ke Mesir, Tunis, Al Jazair,
Istambul, Persia dan Syiria.
Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdih al-Adillat
‘ala Syurûth Syuhud al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena
pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal
puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan
sebagian mulai puasa pada hari Senin. Banyak karya-karya Sayyid Usman
yang masih dibaca oleh masyarakat Betawi, di antaranya adalah Sifat Dua
Puluh. Karena keilmuan Sayyid Usman yang memadai maka diangkatlah dia
menjadi mufti Betawi oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Di antara murid Sayyid Usman adalah KH Abdul Muhgni Kuningan atau
biasa dipanggil Guru Mugni (1860-1935). Guru Mugni terhitung ulama yang
paling terkemuka di wilayah Selatan. Dalam usia 16 tahun, ia dikirim
ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun. Di
sana Guru Mugni berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh Mukhtar
Atharid, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syaikh Sa’id Al-Yamani, Syaikh
Ali Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud
At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatha.
Selama di tanah suci, ia berteman dengan sejumlah orang Betawi yang
kelak menjadi ulama Besar, seperti KH. Marzuqi (Guru Marzuqi) yang telah
menerima ijazah tarekat Al-Alawiyah dari Muhammad Umar Syatha. Guru
Mughni memiliki banyak murid yang telah menjadi ulama besar, di
antaranya adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH. Mughni Lenteng
Agung, Guru Naim Cipete, KH Hamim dan KH Raisin Cipete, Guru Ilyas Karet
dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi
Menteng Atas).
Ulama Betawi terkemuka lainnya adalah Habib Ali Abdurrahman Al-Habsy
(1869-1968). Habib Ali ditinggal wafat ayahnya, Habib Abdurrahman ketika
ia berusia 12 tahun. Ayahnya berwasiat kepada istrinya, Nyai
Salmah—seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo
(Jatinegara sekarang)—agar Habib Ali dikirim belajar ke Hadramaut dan
Makkah. Habib Ali akhirnya diberangkatkan ke Hadramaut ketika umurnya
masih 12 tahun. Di Hadramaut Habib Ali berguru kepada Habib Ali bin
Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurahman bin
Muhammad Al-Masyhur dan lain sebagainya. Setelah kembali dari Hadramaut
dan Makkah, Habib Ali kembali ke Indonesia dan menetap di Jakarta
bersama ibunya, Nyai Salmah.
Sejak masih berusia 20-an tahun Habib Ali mendirikan majelis taklim.
Sebelum di Kwitang, majelisnya berlangsung di Tanah Abang. Ia kemudian
mendirikan Masjid Al-Riyadh di Kwitang dan di dekatnya didirikan
Madarasah ‘Unwanul Falah’.
Banyak ulama Betawi yang merupakan murid dari Habib Ali dan dididik
di Madrasah ‘Unwanul Falah yang menerapkan sistem pendidikan modern. Di
antara muridnya yang sangat tekun mengikuti dan menjadi pembicara di
majelisnya adalah adalah KH Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Fathullah
Harun (1913-1989) dan KH Tohir Rohili (1920-1999). Habib Ali pun
mempersaudarakan mereka bertiga dengan putranya, Habib Muhammad
Al-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan
berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah.
Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi ulama Betawi ternama di Malaysia.
Hubungan antara Habib Ali dengan murid-muridnya cukup menarik dan
romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali kendati tidak memperlihatkan
berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya
pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas)
Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki
murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu, KH Idham
Khalid yang kerapkali datang ke masjidnya.
Murid-murid Habib Ali yang lain KH. Ahmad Thabrani Paseban
(1901-1985), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH. Muhammad Na’im
Cipete (1912-1973), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Zayadi
Muhajir (1918-1994), KH. Muhajirin (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli
(1922-2006), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami
(1931-2006), KH. Nahrawi Abdul Salam (1931-1999), KH. Abdurrazaq Makmun,
KH. Ismail dan lain sebagainya.
Ulama Betawi dari wilayah Timur yang paling berpengaruh adalah KH Ahmad
Marzuqi yang akrab dipanggil Guru Marzuqi (1293-1352 H/1876-1934 M).
Ayahnya bernama Ahmad Mirshad adalah keturunan keempat dari Sultan
Laksana Melayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani
di Muangthai Selatan. Ketika berusia 16 tahun, Marzuqi berangkat ke
Makkah dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di Makkah ia menimba ilmu
kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Ali al-Maliki, Syaikh Umar
Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Umar Sumbawa, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh
Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan banyak lagi.
Guru Marzuqi di Makkah juga mendalami tasawuf dan memperoleh ijazah
untuk menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syatha
yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.
Setelah kembali ke Betawi, ia diminta oleh Sayid Usman Banahsan untuk
mengajar di masjid Rawabangke (Rawa Bunga) selama lima tahun kemudian
pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah Guru Marzuqi merintis
berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Di antara para
murid-muridnya yang kelak menjadi ulama besar adalah KH Abdul Jalil
Tambun, KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Tambih
Bekasi (1907-1977), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH Muhtar
Thabrani Kaliabang Bekasi (1912-1971), KH. Muhammad Na’im Cipete
(1912-1973)), KH Abdullah Syafi’i Kampung Bali Matraman, KH Nur Ali
Bekasi (1913-1992) dan KH Aspas Cilincing. Di antara putera Guru Marzuqi
yang melajutkan perjuangannya adalah KH Abdul Malik (Guru Malik), KH
Muhammad Baqir Rawabangke, KH Abdul Mu’thi Buaran Bekasi dan KH Abdul
Ghofur Jatibening Bekasi.
Dari pusat kota Jakarta tepatnya di Kampung Sawah Jembatan Lima
muncul ulama Betawi terkemuka yang bernama KH. Muhammad Mansur atau
akrab dipanggil Guru Mansur (1878-1967). Ia dan Guru Mughni disebut oleh
masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” Hal ini membuktikan bahwa
keulamaan dan ketokohan mereka tidak diragukan lagi.
Guru Mansur lahir pada tahun 1878 di Kampung Sawah, Jembatan Lima,
Jakarta Barat yang dahulu masih termasuk kawasan hunian orang-orang asal
Kepulauan Banda. Ayahnya bernama KH Abdul Hamid bin Damiri bin Imam
Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Tjakra Jaya (Tumenggung Mataram).
Abdul Muhit adalah orang alim yang membangun Masjid Kuno di Kampung
Sawah pada tahun 1717 M (sekarang bernama Masjid Al-Mansur). Guru Mansur
merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al- Batawi karena KH. Abdul
Hamid, ayah Guru Mansur adalah adik kandung Syaikh Junaid Al-Batawi.
Guru Mansur pertama kali belajar agama kepada ayahnya dan sesudah
ayahnya meninggal, ia belajar dari kakak kandungnya KH Mahbub bin Abdul
Hamid dan kakak misannya yang bernama KH Thabrani bin Abdul Mugni.
Selain kepada mereka, Guru Mansur juga pernah belajar kepada seorang
ulama dari Meester Cornelis (Jatinegara) bernama H. Mujtaba bin Ahmad.
Di Makkah ia juga memperdalam ilmunya dengan Tuan Guru Umar Sumbawa yang
kelak mengangkatnya sebagai Katib (sekretaris) karena tertarik pada
tulisan Guru Mansur yang rapi.
Setelah menimba ilmu di Makkah selama empat tahun, Guru Mansur
kembali ke tanah air melalui beberapa negara yang disinggahinya, seperti
Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Setelah
sampai di tanah air, Guru Mansur membantu ayahnya mengajar di madrasah
Kampung Sawah (sekarang Chairiyah Mansuriyah). Mulai tahun 1907, ia
mengajar di Jamiatul Khair bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya
seperti Ahmad Surkati dan KH Ahmad Dahlan.
Rasa nasionalisme Guru Mansur tidak diragukan lagi. Hal ini terbukti
ketika Jakarta berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada tahun
1948, Guru Mansur terpaksa harus berurusan dengan Hoofd Bureau
Kepolisian Gambir karena ulahnya yang memasang bendera merah putih di
menara Masjid Kampung Sawah. Kendati Guru Mansur berada di bawah ancaman
senjata Nica, ia tetap mempertahankan bendera merah putih tetap
berkibar di menara mesjid itu. Guru Mansur pun berujar “Islam tidak mau
ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”.
Selama hidupnya, Guru Mansur telah menghasilkan beberapa karya
ilmiah, di antaranya Sullamun nairain, Khulâsatul jadawil, Kaifiyatul
amal ijtima, khusûf wal kusûf dan lain sebagainnya. Di antara
murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama adalah KH. Muhammad Amin
Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Radjiun Kebon Sirih (1916-1982) yang
pernah menjadi ketua Masjid Pekojan dan KH Muhammad yang mendalami ilmu
Falaq dan kemudian diangkat menantu dan meneruskan usaha mertuanya
mengembangkan Madrasah Al-Mansuriyyah (yang masih berdiri hingga kini).
Ahli falaq lain didikannya yang cukup berhasil adalah KH Muhajirin Amsar
Ad-Dary (1921-2003), Pimpinan Perguruan Islam An-Nida, Bekasi.
Masih banyak para ulama Betawi yang memiliki jaringan ulama ke
Makkah, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti KH. Mahmud
Ramli Menteng (1866-1959), KH. Ahmad Kholid Gondangdia (1874-1946), KH.
Abdul Madjid Pekojan (1887-1947), KH. Najihun (1897-1984), KH. Muhammad
Amin (1901-1965), KH. Ahmad Thabrani (1901-1985), KH. Muhammad Tambih
(1907-1977), KH. Ali Alhamidi (1909-1985), KH. Abdul Hadi (1909-1998),
KH. Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Muchtar Thabrani (1912-1971), KH.
Muhammad Na’im (1912-1973), KH. Nur Ali Bekasi (1913-1992), KH.
Hasbiyallah (1913-1982), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH.
Fathullah Harun (1913-1989), KH. Mursyidi Klender (1915-2003), KH.
Muhammad Radjiun (1916-1982), KH. Zayadi Muhajir Klender (1918-1994),
KH. Thohir Rohili Bukit Duri (1920-1999), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary
(1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Abdul Hannan Sa’id
(1923-2000), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami
(1931-2006) dan Dr. KH. Ahmad Nahrawi Abdul Salam Al-Indunisi
(1931-1999) yang akan diuraikan biografinya dalam bab tersendiri di buku
ini.
Ulama-ulama Betawi yang disebutkan di atas adalah ulama terkemuka
dari Betawi yang pernah menetap dan menuntut ilmu di Timur Tengah
terutama di Makkah dan Madinah pada abad ke 19 dan 20 atau berguru
kepada Ulama Betawi yang pernah menuntut ilmu di Timur Tengah sehingga
pantas diperkirakan bahwa ada jaringan ulama Betawi yang meneruskan
pembaharuan keagamaan ulama Timur Tengah dengan kitab-kitab karya
mereka. Kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama Betawi atau yang
diajarkan oleh ulama Betawi kepada para murid-muridnya mencerminkan
bagaimana ulama Betawi berhubungan dengan tradisi ulama Timur Tengah.
Muatan muatan kitab kuning tersebut mengkaitkan pada tradisi ortodoks
(klasik) universal yaitu aqidah Al-Asy’ari, fiqih As-Syafi’i dan tasawuf
Al-Ghazali.
Fenomena ulama Betawi yang belajar di Timur Tengah pada abad ke-19
dan ke-20 membuktikan bahwa teori Azra dan Martin van Bruinessen tentang
adanya hubungan ulama Makkah dan Nusantara juga terjadi di Betawi.
Sehingga dirasa penting melakukan penelitian untuk menggungkapkan
jaringan ulama Betawi yang belajar di Makkah serta bagaimana subtansi
pengajaran pembaharuan yang disebarkan pada abad ke-19 dan ke-20.
di daerah pasar jumat tepat nya di sekopol
BalasHapusada Guru Godzali
biasa di panggil guru jali
ada kah informasinya.