Guru Mansyur dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta
tahun 1295 Hijriah/ 1878 Masehi. Ayahnya bernama Kyai Haji Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Pada zaman
Haji Hamid ini banyak pemuda-pemudi betawi yang belajar masalah-masalah
agama kepadanya, termasuk Guru Mansur yang banyak belajar dan dididik
langsung oleh ayahnya.
Sejak kecil Guru Mansur sudah mulai
tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak, disamping ilmu-ilmu agama
lainnya. Sesudah ayahnya meninggal, Guru Mansur belajar dari kakak
kandungnya Kyai Haji Mahbub dan kakak misannya Kyai Haji Tabrani. Guru
Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester Cornelis
bernama Haji Mujtaba bin Ahmad sebelum pergi ke Mekah pada usia 16
tahun dan belajar di sana selama empat tahun. Selama di Mekah ia berguru kepada sejumlah ulama, antara lain:
* Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori
* Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
* Syekh Ali Al Maliki
* Syekh Said Al Yamani
* Syekh Umar Sumbawa, dll.
Setibanya di kampung halaman, ia mulai membantu ayahnya mengajar di
rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk seabagai pengganti sewaktu-waktu
ayahnya berhalangan. Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar
di Madrasah Jam’iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian
diangkat menjadi penasehat syar’i dalam organisasi Ijtimak-UI
Khoiriyah. Pada tahun 1915, Guru Mansur diangkat menjadi penghulu
daerah Penjaringan-Betawi dan pernah juga menjabat sebagai Rois
Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran
agama islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan
membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama. Sebagai sasaran
penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan
pesantren, serta majlis taklim.
Menurut informasi dari Kyai Haji Fatahillah (cucu Guru Mansur), tak
ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru
Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan
tulisan. Beberapa hasil karya tulisnya berkaitan dengan ilmu falak
(astronomi islam) antara lain:
- Sullamun Nayyiroin
- Khulasatul Jawadil
- Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf
- Mizanul I’tidal
- Jadwal Dawaa’irul Falakiyah
- Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal
- Rub’ul Mujayyab
- Mukhtashor Ijtima’un Nayyiroin
Ilmu Falak & Perlawanan terhadap Penjajah
Guru Mansyur mendalami ilmu falak karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan hari lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, maka pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita itu kepada mesjid terdekat. Mesjid terdekat memukul bedug bertalu-talu tanda esok lebaran tiba. Kanak-kanak yang mendengar bedug bergembira, lalu mereka berlarian ke jalan raya sambil bernyanyi lagu dalam bahasa Sunda.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan hari lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, maka pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita itu kepada mesjid terdekat. Mesjid terdekat memukul bedug bertalu-talu tanda esok lebaran tiba. Kanak-kanak yang mendengar bedug bergembira, lalu mereka berlarian ke jalan raya sambil bernyanyi lagu dalam bahasa Sunda.
Lebaran Tong lebaran
Iraha Tong iraha
Isukan Tong isukan
Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui bedug. Akibatnya lebaran dirayakan dalam waktu yang berbeda. Guru Mansyur memahami permasalahan ini. Karena itu Guru Mansyur mendalami ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab lebaran akan jatuh dua hari lagi, umpamanya.
Dalam adat Betawi Guru orang yang sangat alim, ilmunya tinggi,
menguasai kitab-kitab agama, dan menguasai secara khusus keilmuan
tertentu. Di atas Guru dato’. Dato’ lebih dari Guru, dan Dato’
menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah Guru mu’alim. Mu’alim
ilmunya masih di bawah Guru. Di bawah Mualim ustadz. Ustadz pengajar
pemula agama. Di bawah Ustadz guru ngaji. Guru ngaji mengajar mengenal
huruf Arab.
Guru Mansyur terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Ketika
Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Mansyur memerintahkan agar di
menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda
memerintahkan bendera diturunkan, Guru Mansyur menolak. Tentara Belanda
menembaki menara mesjid. Guru Mansyur tidak berubah pendirian. Melihat kekerasan hati Guru Mansyur, Belanda bertukar siasat.
Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru
Mansyur langsung menolak sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh
ngelonin kebatilan” Guru Mansyur pemberani, namun hatinya mulia.
Guru Mansyur wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenasahnya dimakamkan
di halaman mesjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan
pesannya: “Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau
sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat”.
Komentar
Posting Komentar