
Dalam kasus ‘wudhu’
misalnya: ahli ibadah yang tidak mengerti syariah tidak mampu membedakan
mana anggota tubuh yang wajib diusap/dibasuh, dan mana yang sekedar
sunnah untuk dibasuh. Ia juga tidak mengerti mana syarat dan mana yang
rukun. Akhirnya, semua itu bercampur aduk dalam benaknya, dan
seringkali merasa was-was dalam melaksanakan ibadahnya.
Namun di sisi lain, ahli
syariah juga tidak selalu menjadi ahli ibadah. Artinya, bisa jadi ia
mengerti hitam-putih suatu hukum syariat, akan tetapi belum tentu getol
beribadah dan tidak terlalu mementingkan kualitas ibadah. Sehingga yang
terjadi adalah ‘ibadah serba minimalis’: minimal
sudah menggugurkan kewajiban, dan minimal sudah sah ibadahnya. Tidak
terlalu penting apakah shalatnya khusyu' atau tidak. Mungkin juga tidak
merasa harus berpuasa senin-kamis, karena jika tidak dilakukanpun, toh tidak akan berdosa karena itu sunnah hukumnya, dan bukan wajib.
Lalu idealnya bagaimana?
Tentu gabungan dari keduanya. Seorang ahli ibadah yang mengerti
syariah akan mengerti betul bagaimana melaksanakan ibadahnya. Ia tidak
hanya getol beribadah, tapi juga mengerti betul standar sah dan tidak sahnya suatu ibadah.
Maka ketika ia shalat,
ia tidak akan mengejar jumlah rakaat shalat tahajjud yang berpuluh-puluh
rakaat, jika itu akan membuat shalat shubuhnya esok hari terbengkalai.
Kemudian, jika ia menjadi imam shalat maghrib, maka ia tidak akan
memanjangkan surah yang dibaca dengan alasan mengejar target muraja’ah
hafalan Qur’an-nya, karena ia tahu bahwa sebagian makmumnya terdiri
dari orang tua renta dan anak kecil.
Demikian pula
ahli syariah yang ahli ibadah akan lebih memperhatikan mutu ibadahnya,
baik secara kualitas maupun kuantitas. Sehingga ia meyakini bahwa
ibadah adalah sesembahan dari dirinya yang akan dipersembahkan pada
Allah. Persembahan pada Dzat tertinggi yang seharusnya diberikan dengan
kualitas yang sebaik-baiknya. Baginya, kualitas ibadah akan menentukan kualitas dirinya di hadapan Sang Khaliq.
Maka ketika ia shalat
misalnya, ia tidak hanya memperhatikan syarat dan rukunnya, melainkan
diperhatikan pula waktu pelaksanaannya, yakni di awal waktu dan dengan
berjamaah misalnya. Agar
ibadah shalat tak hanya disadari untuk menjadi ritual ragawi semata
yang tidak ada ‘ruh’-nya. Shalat akan dijadikannya momen untuk
menenangkan hati karena di dalamnya ia banyak berdzikir dan memuji
Allah Ta’ala. Bukankah dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang?
alaa bidzikrillahi tathma’innul qulub.
Kisah Imam Ahmad Yang Ahli Syariah Juga Ahli Ibadah
Dikisahkan bahwa suatu hari saat Imam Ahmad Bin Hambal (Pendiri Mazhab Hambali) sedang keluar rumah menuju masjid, ia bertemu seorang pemuda yang ujung gamisnya kotor sebab terkena tanah dan debu tebal. Padahal ia sedang menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.
Saat ia resah karena ragu, apakah boleh menunaikan shalat dengan keadaan pakaian sedemikian rupa, ia meminta fatwa pada Imam Ahmad Bin Hambal. Sang Imam mengatakan bahwa ia boleh-boleh saja melaksanakan shalat dengan keadaan pakaiannya yang kotor terkena tanah. Sebab debu dan tanah bukan termasuk najis yang bisa membuat shalatnya tidak sah. Si pemuda pun bersyukur dalam hati seraya melanjutkan langkahnya menuju masjid tanpa ragu.
Di lain kesempatan, saat Imam Ahmad Bin Hambal keluar rumah lagi untuk menunaikan shalat, tiba-tiba ujung pakaian beliau terkena tanah sehingga membuat pakaiannya tampak kotor dan tak indah dipandang. Lalu dengan tergesa beliau berbalik langkahnya menuju rumah dan berganti pakaian.
Melihat tindakan beliau ini, orang-orang yang melihatnya nampak heran. Bukankah beberapa waktu lalu Sang Imam berfatwa bahwa tanah itu bukan najis yang menghalangi sahnya shalat? Lalu untuk apa beliau pulang dan berganti pakaian?
Dengan perasaan ingin tahu, mereka kemudian menghampiri Sang Imam dan menanyakan hal yang membuat mereka terheran-heran. Imam Ahmad Bin Hambal pun menjawab: ”Dzaaka fatwa, wa hadza taqwa.”
Yakni bahwa apa yang beliau sampaikan pada pemuda kemarin merupakan fatwa yang boleh saja dilakukan dan diambil hukum yang ada padanya. Sedangkan apa yang beliau (Imam Ahmad) lakukan hari ini merupakan sikap Taqwa. Sang Imam tidak ingin sekedar menghadap Allah dalam keadaan suci saja, tapi juga ingin mempersembahkan shalat pada-Nya dalam keadaan mengenakan pakaian terbaiknya yang bersih tanpa noda. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenakan pakaian terbaik setiap kali memasuki masjid? ”khudzuuu ziinatakum inda kulli masjid.”
Imam Ahmad Bin Hambal tidak hanya mengerti syariat dan ketentuan dasar suatu ibadah, tapi juga sangat berhati-hati dan memperhatikan kualitas ibadahnya pada Sang Khaliq.
Subhanallah...Betapa tinggi tingkat ketaqwaan Imam Ahmad Bin Hambal. Masih berapa tangga lagi-kah yang harus kita lewati untuk mencapai kualitas taqwa seperti ini? Ya Allah, perkenankanlah Imam Ahmad Bin Hambal (Allah yarham) untuk menghuni satu dari sekian banyak istana termegah-Mu di syurga. Amin
Penulis : Aini Aryani, Lc.
Komentar
Posting Komentar