Persiapan itu bukan dimulai di usia dewasa atau remaja, tapi sejak
lahir, bahkan sebelum lahirnya. Tahun kelahiran Nabi Muhammad saw adalah ‘âmul fîl, tahun kesyukuran Arab Mekah yang selamat dari ancaman invasi pasukan Gajah. Ia lahir senin, 12 rabîul awwal.
Saat Abrahah menyerbu Mekah dengan enam puluh ribu pasukannya, ia
meminta tim intelijennya untuk meneliti tokoh yang paling berpengaruh di
Mekah. Dan ia adalah Abdul Muthallib, kakek Nabi Muhammad saw. Saat Abdul
Muthallib menghadapi Abrahah yang agung di atas gajah terbesarnya,
Abrahah gamang. Yang dihadapinya ternyata tidak hanya disegani Quraisy,
tapi diseganinya juga. Ia yang biasanya percaya diri sekarang bingung,
ia yang biasanya sombong sekarang tidak bisa tidak untuk menghormatinya.
Tapi tidak mungkin mendudukkannya di atas gajah juga. Akhirnya ia
sendiri yang turun dari gajahnya, wibawa raja luntur, ditelan kharisma
lelaki di depannya.
Abdullah anak lelakinya pun paling terhormat di sana yang kemudian
menikah dengan wanita paling terjaga kesuciannya, Aminah. Setiap detik
kehidupan Nabi Muhammad saw, Sang Da’i penuh perencanaan Allah. Sempurna, agar
umat setelahnya bisa mengkaji kesempurnaan alur pertumbuhan Nabi Muhammad
saw bayi menuju dewasanya. ‘‘Allah memilih Kinânah di antara keturunan
Ismâ’îl, dan memilih Quraisy dari Kinânah, dan memilih dari Quraisy itu
bani Hâsyim, dan memilihku dari banî Hâsyim’’ kata Rasulullah saw suatu hari.
Garis keturunan ini penting, karena manusia pada fitrahnya
menghormati silsilah yang terhormat. Di manapun itu, terlebih di Amerika
Serikat saat ini. Mereka mencengkeram keyakinan blue blood
atau darah biru. Merekalah yang dianggap lapisan paling luhur dari
masyarakat, yaitu WASP [White, Anglo, Saxon, Protestant]. Mereka
haruslah berkulit putih, berasal dari Inggris golongan Saxon, dan
bermazhab Kristen Protestan.
Garis keluhuran nasab pada dasarnya tidak menjadi ruang
pertanggungjawaban muslim dalam Islam, karena ia bukan usaha manusia,
tapi pilihan Allah. Namun manusia memang lebih menghormati jika seorang
pemimpin mempunyai keluhuran nasab. Dan Nabi Muhammad saw, disiapkan untuk
menjadi pemimpin para pemimpin, sehingga nasabnya bukan sekadar bersih,
tapi garis luhur para pemimpin di kaumnya.
Poin yang menjadi kaidah dakwah bahwa pencetakan generasi masa depan,
generasi pemimpin bukanlah dimulai dari pendidikan anak, tapi dari
keagungan orang tua, bahkan dari kesucian masa muda mereka. Mungkin
generasi baru itu tumbuh dan memukau tetapi dalam beberapa kondisi
rusaknya reputasi keluarga bisa menjadi fitnah besar dalam kehidupan
dakwah seorang dai kecuali jika ia sudah maksimal dalam usaha perbaikan
itu.
Mental kepemimpinan Nabi Muhammad saw bahkan dibangun saat ia dalam gendongan
kakeknya. Dalam rapat-rapat resmi tetua kaum, dalam momen-momen
diplomasi politik. Saat beberapa pembesar Quraisy memprotes kebiasaan
Abdul Muthallib membaca Muhammad kecil ke forum-forum resmi, dengan
ringan ia beralasan “biarkan anakku ini, karena demi Allah, ia akan memikul urusan besar’’.
Pengalaman-pengalaman rutin ini membangun mental kepemimpinan seorang
da’i. Ia melihat momen-momen para pembesar kaum itu berbicara dan
berdebat, berdiplomasi dan bersiasat, menerima tamu dan merencanakan
perang, berbisnis bahkan bertarung. Pengalaman-pengalaman itu hidup
dalam darah dan daging, bukan sekadar visual seperti membaca, atau
auditorial dalam mendengar cerita. Nabi Muhammad saw muda memahami sejak kecil
bahwa ada urusan besar dalam hidup manusia, sehingga otaknya tidak
disibukkan dengan bermain.
Akumulasi ini yang membangun mental kepemimpinan. Ia bukan pelajaran
yang dihafal tapi motivasi yang terus ditiupkan dan disimulasikan dalam
pengalaman harian. Seperti saat Mu’awiyyah kecil didoakan seseorang
untuk menjadi pemimpin Quraisy, ibunya marah membentak ‘‘celakalah kamu, dia tidak dilahirkan untuk memimpin Arab, tapi dunia’’. Atau seperti Muhammad al-Fâtih kecil yang selalu dibacakan hadits Rasulullah ‘‘Kota Konstantinopel akan dibebaskan, pemimpin terbaik adalah pemimpin yang membebaskannya…’’.
Dan tiba-tiba saja ide-ide di ruang pikiran itu mengejawantah di medan
kenyataan di masa dewasa mereka. Daulah Umawiyyah yang didirikan
Mu’awiyyah dan Daulah Ustmâniyyah yang akhirnya beribu kota
Konstantinopel di zaman Muhammad al-Fâtih wilayahnya mencakup tiga benua
dan menjadi imperium terkuat di zaman mereka.
Hal ini mengajari kita bahwa di balik para pemimpin besar, ada obsesi
luhur yang membara sejak mereka kecil. Obsesi yang tidak rela dengan
kondisi zamannya yang hina, obsesi yang ingin mengembalikan kemanusiaan
manusia. Dan sejak kecil hingga remaja Muhammad merasakannya. Hanya saat
itu ia belum tahu harus memulai dari mana. Dan terlebih ia tidak tahu,
bahwa ada rencana Allah yang menanti untuk mendidiknya menjadi pemimpin
umat.
Komentar
Posting Komentar