“Aku ini orang munafik. Aku sudah melakukan kemunafikan,”
demikian keluh seorang sahabat bernama Handzalah al-Asidi suatu ketika kepada
Abu Bakar ash-Shiddiq. “
“Ketika aku bertemu Rasulullah, bersama beliau. Beliau
mengingatkanku tentang surga dan neraka. Sampai-sampai aku seolah melihat keduanya.
Surga seolah satu jengkal di hadapanku. Hingga aku termotivasi beramal. Neraka
seakan satu jengkal di hadapanku. Hingga aku tak bergeming melakukan dosa. Tapi
begitu aku pulang ke rumah. Aku bertemu anak-anak dan istriku. Aku lupa dengan
surga dan neraka. Aku bermain dan bercanda dengan mereka. Aku telah melakukan
kemunafikan,” panjang lebar Handzalah berkata dan tetap dengan raut tampak
salah dan penuh penyesalan.
Merekapun sepakat mengadukan masalah ini kepada Rasulullah
SAW. Setelah mendengarkan perkataan Handzalah, Rasulullah SAW tersenyum, beliau
berkata, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, “Kalau kalian selalu dalam
keadaan seperti ketika bersamaku itu, atau selalu dalam dzikir, niscaya
malaikat akan terus menemani kalian diatas tempat tidur maupun di jalanan. Akan
tetapi wahai Handzalah, segala sesuatu ada waktunya. Kata “Segala sesuatu ada
waktunya” sampai diulang tiga kali untuk menekankan urgensinya.”
Saudara-saudaraku yang baik, benar kita ini diperintahkan untuk
melakukan ibadah. Berbuat demi surga yang kita tuju, berusaha menjauhi neraka.
Namun manusia adalah bukan malaikat, yang setiap perkataan harus zikir, setiap
gerak adalah ibadah. Karena manusia memiliki fitrah, hati dan kecenderungan
sebagai manusia. Iya butuh relaksasi, butuh hiburan.
Karena itu Rasulullah SAW pun ketika menghadapi keluhan
Handzalah, beliau menyatakan “semua ada waktunya”. Dalam arti tidak tepat jika
saat kembali ke rumah, berkumpul dengan anak istri, tapi pembahasan yang
dikedepankan adalah tentang neraka yang mengerikan. Justru bersenda gurau,
bermain dengan mereka adalah waktunya saat itu. Dan itupun bagian dari ibadah
yang juga dicontohkan oleh Rasul saw. Demikian saat bersama dengan teman-teman,
dalam acara perkumpulan, tentu lebih tepat mengurai rasa kangen dan bercanda
untuk mengokohkan hati.
Rasul SAW adalah sosok yang cerdas dalam bergaul dengan
sesama. Beliau kerap memasukan canda dan hiburan dalam interaksi dengan sesama.
Dengan keluarga pun beliau bercanda untuk menghangatkan suasana. Inilah di
antara metode dakwah Rasul saw demikian mengukir kuat di hati dan begitu indah
untuk diikuti. Rasulullah SAW melakukan senda gurau untuk sebuah maslahat,
yaitu menyenangkan hati lawan bicara dan beramah tamah dengannya. “Sesungguhnya
aku juga bercanda namun aku tidak berkata kecuali yang benar.” (HR.
ath-Thabrani)
Suatu hari seorang perempuan datang kepada beliau lalu
berkata, “Ya Rasulullah, naikkan saya ke atas unta”, katanya.
“Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta”, kata
Rasulullah.
“Ia tidak mampu”, kata perempuan itu. “Tidak, aku akan
naikkan engkau ke atas anak unta”.”Ia tidak mampu”.Para sahabat yang berada di
situ berkata, “Bukankah unta itu juga anak unta?”
Saudaraku yang baik, Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata, “Hati
itu bisa bosan, maka hiburlah hati dengan sebijaksana mungkin.” Dalam
perkataannya yang lain, “Hiburlah dalam perkataan dan perbuatan kalian, jangan
sampai seperti makanan tanpa garam.” Garing, kering, tidak ada hiburan.
Demikian dalam dunia dakwah, dalam menyeru kepada sesama butuh adanya daya
tarik, daya pikat, untuk lebih menghantarkan makna. Karena banyak hati yang
susah ditembus dengan kecuali dengan adanya hiburan ada relaksasi.
Saudaraku yang baik, momentum mudik, pulang kampung, bertemu
dengan keluarga dan teman tentu tidak lepas dari hari raya Idul Fitri. Kita
diperintahkan untuk senang, menghibur diri. Gunakanlah dengan baik. Islam hanya
memberikan batasan, yaitu pertama tidak berlebihan, kedua tidak dengan yang
bertentangan dengan syariat Islam. Imam al-Ghazali berpesan, “Bergurau,
bercanda berlebih-lebihan maka akan menyebabkan banyak tertawa. Dan banyak
tertawa itu mematikan hati dan mewarisi kedengkian pada setengah keadaan. Dan
menjatuhkan kehebatan diri dan kemuliaan. Dan apa yang terlepas dari hal-hal
tersebut, maka tidak tercela.”
SUMBER
Komentar
Posting Komentar