Beberapa hari yang lalu, publik
sempat dihebohkan oleh pernyataan saudara kita di dalam sebuah acara TV
Swasta yang mengatakan bahwa menbaca Surat Alfatihah untuk ahli kubur itu
tidak ada dalilnya, untuk itu kali ini kami akan membawakan beberapa dalil yang
sudah kami himpun dari berbagi sumber yang menjadi dasar sampainya pahala
bacaan Alquran termasuk alfatihah kepada ahli kubur.
Hadis
membaca surat Al Fatihah untuk yang meninggal dunia
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ
أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ
عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ
الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب
رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
“Diriwayatkan
dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika
diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah
dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran
(Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di
kuburnya” (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu’ab
al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Main 4/449)[2]
Al-Hafidz
Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ
أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184)
“HR
al-Thabrani dengan sanad yang hasan” (Fath al-Bari III/184)
Surat
Fatihah Adalah Doa
Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah
singgah di sebuah kabilah, yang kepala sukunya terkena gigitan hewan berbisa.
Lalu sahabat melakukan doa ruqyah dengan bacaan Fatihah (tanpa ada contoh dan
perintah dari Nabi). Kepala suku pun mendapat kesembuhan dan sahabat mendapat
upah kambing. Ketika disampaikan kepada Nabi, beliau tersenyum dan berkata:
وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَصَبْتُمُ اقْسِمُوا
وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
“Dari
mana kalian tahu bahwa surat Fatihah adalah doa? Kalian benar. Bagikan dan beri
saya bagian dari kambing itu” (HR al-Bukhari dan Muslim, redaksi diatas
adalah hadis al-Bukhari)
Di hadis
ini sahabat membaca al-Fatihah untuk doa ruqyah adalah dengan ijtihad, bukan
dari perintah Nabi. Mengapa para sahabat melakukannya, sebab hal ini tidak
dilarang oleh Rasulullah. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam al-Hasyr: 7
“… Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah…”
Yang harus
ditinggalkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah! Dalam masalah al-Fatihah ini tidak ada satupun
hadis yang melarang membaca al-Fatihah dihadiahkan untuk mayit!
Bahkan
membaca al-Fatihah untuk orang yang telah wafat juga telah diamalkan oleh para
ulama, diantara ulama ahli Tafsir berikut:
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا
فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي
وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ
بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ
فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي
: مفاتيح الغيب 18 / 183)
“(al-Razi
berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar
secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta
mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan
doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri melakukan hal tersebut” (Tafsir al-Razi 18/233-234)
Imam
al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi’iyah tentang membaca al-Quran
di kuburan:
وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ
الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ
الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي
5 / 311)
“Dan
dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan
mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh
al-Syafi’i dan disepakati oleh ulama Syafi’iyah” (al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab V/311)
Di bagian
lain Imam Nawawi juga berkata:
قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ
يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا
الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع للشيخ النووي
5 / 294)
“Imam
Syafi’i dan ulama Syafi’iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari
al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran
keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus” (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu’
V/294)
Murid Imam
Syafi’i yang juga kodifikator Qaul Qadim[3], al-Za’farani, berkata:
وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي
سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ
بِهَا (الروح لابن القيم 1 / 11)
“Al-Za’farani
(perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii tentang
membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa”
Ibnu
Hajar mengulas lebih kongkrit:
ِلأَنَّ الْقُرْآنَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ وَالذِّكْرُ
يَحْتَمِلُ بِهِ بَرَكَةٌ لِلْمَكَانِ الَّذِي يَقَعُ فِيْهِ وَتَعُمُّ تِلْكَ
الْبَرَكَةُ سُكَّانَ الْمَكَانِ وَأَصْلُ ذَلِكَ وَضْعُ الْجَرِيْدَتَيْنِ فِي
الْقَبْرِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ فَائِدَتَهُمَا أَنَّهُمَا مَا دَامَتَا
رَطْبَتَيْنِ تُسَبِّحَانِ فَتَحْصُلُ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِهِمَا لِصَاحِبِ
الْقَبْرِ … وَإِذَا حَصَلَتِ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِ الْجَمَادَاتِ
فَبِالْقُرْآنِ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ مِنَ اْلآدَمِيِّ الَّذِي هُوَ
أَشْرَفُ الْحَيَوَانِ أَوْلَى بِحُصُوْلِ الْبَرَكَةِ بِقِرَاءَتِهِ وَلاَ
سِيَّمَا إِنْ كَانَ الْقَارِئُ رَجُلاً صَالِحًا وَاللهُ أَعْلَمُ (الإمتاع
بالأربعين المتباينة السماع للحافظ ابن حجر 1 / 86)
“Sebab
al-Quran adalah dzikir yang paling mulia, dan dzikir mengandung berkah di
tempat dibacakannya dzikir tersebut, yang kemudian berkahnya merata kepada para
penghuninya (kuburan). Dasar utamanya adalah penanaman dua tangkai pohon oleh
Rasulullah Saw di atas kubur, dimana kedua pohon itu akan bertasbih selama
masih basah dan tasbihnya terdapat berkah bagi penghuni kubur. Jika benda mati
saja ada berkahnya, maka dengan al-Quran yang menjadi dzikir paling utama yang
dibaca oleh makhluk yang paling mulia sudah pasti lebih utama, apalagi jika
yang membaca adalah orang shaleh” (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Imta’
I/86)
Dan hadis
dari Ali secara marfu’:
وَحَدِيْثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرْفُوْعًا
مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ أَحَدَ عَشَرَ
مَرَّةً وَوَهَبَ اَجْرَهُ لِلاَمْوَاتِ اُعْطِىَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ
اْلأَمْوَاتِ رَوَاهُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ السَّمَرْقَنْدِي (التفسير المظهرى 1 /
3733 وشرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور للحافظ جلال الدين السيوطي 1 / 303)
“Barangsiapa
melewati kuburan kemudian membaca surat al-Ikhlas 11 kali dan menghadiahkan
pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka ia mendapatkan pahala sesuai
bilangan orang yang meninggal. Diriwayatkan oleh Abu Muhammad al-Samarqandi”
(Tafsir al-Mudzhiri I/3733 dan al-Hafidz al-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur
I/303)
Imam Ahmad
Menganjurkan Membaca Alfatihan
Hal ini
diperkuat oleh madzhab Imam Ahmad:
(وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ
بِمَقْبَرَةٍ) قَالَ الْمَرُّوْذِيُّ سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُوْلُ إذَا دَخَلْتُمُ
الْمَقَابِرَ فَاقْرَءُوْا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ وَقُلْ
هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَاجْعَلُوْا ثَوَابَ ذَلِكَ إلَى أَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِنَّهُ
يَصِلُ إلَيْهِمْ وَكَانَتْ هَكَذَا عَادَةُ اْلأَنْصَارِ فِي التَّرَدُّدِ إلَى
مَوْتَاهُمْ يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ (مطالب أولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 9)
“(Dianjurkan
membaca al-Quran di kuburan) Al-Marrudzi berkata: Saya mendengar Imam Ahmad
berkata: Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah surat al-Fatihah, al-Falaq,
al-Nas dan al-Ikhlash. Jadikan pahalanya untuk ahli kubur, maka akan sampai
pada mereka. Seperti inilah tradisi sahabat Anshar dalam berlalu-lalang ke
kuburan untuk membaca al-Quran” (Mathalib Uli al-Nuha 5/9)
2 hal
penting:
Pertama,
Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H).
Kedua,
Membaca al-Qur’an di kuburan itu bukan hal yang dilarang, bahkan ini perbuatan
para kaum Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Hal itu
bisa kita temukan di kitab Mathalib Ulin Nuha, karangan Mushtafa bin Saad
al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama madzhab Hanbali kontemporer,
seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus sejak tahun 1212 H sampai wafat.
Kitab Mathalib Ulin Nuhaitu sendiri adalah syarah atau penjelas dari kitab
Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H).
(Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, al-A’lam, h. 7/ 234)
Bahkan
menurut Imam Ahmad hal diatas adalah konsensus para ulama:
قَالَ أَحْمَدُ الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ
مِنْ الْخَيْرِ لِلنُّصُوْصِ الْوَارِدَةِ فِيْهِ وَلأَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ
يَجْتَمِعُوْنَ فِي كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُوْنَ وَيَهْدُوْنَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ
غَيْرِ نَكِيْرٍ فَكَانَ إجْمَاعًا (كشاف القناع عن متن الإقناع للبهوتي الحنبلي 4
/ 431 ومطالب اولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 10)
“Imam Ahmad
berkata: Setiap kebaikan bisa sampai kepada mayit berdasarkan dalil al-Quran
dan hadis, dan dikarenakan umat Islam berkumpul di setiap kota, mereka membaca
al-Quran dan menghadiahkan untuk orang yang telah meninggal diantara mereka,
tanpa ada pengingkaran. Maka hal ini adalah ijma’ ulama (Kisyaf al-Qunna’ IV/
431 dan Mathalib Uli al-Nuha V/10)
PENDAPAT
ULAMA SALAFI WAHABI
Ibnu
Taimiyah
Syaikh
Abdullah al-Faqih
Bahkan
ulama Salafi yang bernama Syaikh Abdullah al-Faqih berfatwa berpendapat
bahwa al-Fatihah bisa sampai kepada orang yang telah wafat,:
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، سَوَاءٌ الْفَاتِحَةُ أَوْ
غَيْرُهَا وَإِهْدَاءُ ثَوَابِ قِرَاءَتِهَا إِلَى الْمَيِّتِ جَائِزٌ
وَثَوَابُهَا يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ –إِنْ شَاءَ اللهُ- مَا لَمْ يَقُمْ
بِالْمَيِّتِ مَانِعٌ مِنَ اْلاِنْتِفَاعِ بِالثَّوَابِ وَلاَ يَمْنَعُ مِنْهُ
إِلاَّ الْكُفْرُ (فتاوى الشبكة الإسلامية معدلة رقم الفتوى 18949 حكم قراءة
الفاتحة بعد صلاة الجنازة 3 / 5370)
“….
Membaca al-Quran baik al-Fatihah atau lainnya, dan menghadiahkan bacaannya
kepada mayit, maka akan sampai kepadanya –Insya Allah- selama tidak ada yang
menghalanginya, yaitu kekufuran (beda agama).” (Fatawa al-Islamiyah 3/5370)
Syeikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)
Beliau
mengatakan bahwa bacaan al-Quran itu sampai dan boleh.
القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ
القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبا أو غير قريب.
والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت
Pendapat
kedua, adalah mayyit bisa mendapat manfaat dari apa yang dikerjakan orang yang
masih hidup. Hukumnya boleh, orang membaca al-Quran lantas berkata; “Saya
niatkan pahala ini untuk fulan atau fulanah. Baik orang itu kerabat atau bukan.
Ini adalah pendapat yang rajih. (Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin w. 1421 H, Majmu’ Fatawa wa Rasail, h. 7/ 159)
Kesimpulan
Bacaan
dzikir yang dihadiahkan kepada ahli kubur dapat sampai kepada mereka,
sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari:
وَقَالَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِي يَصِلُ لِلْمَيِّتِ كُلُّ
عِبَادَةٍ تُفْعَلُ وَاجِبَةٍ أَوْ مَنْدُوْبَةٍ وَفِي شَرْحِ الْمُخْتَارِ
لِمُؤَلِّفِهِ مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ لِلاِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ
ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلاَتِهِ لِغَيْرِهِ وَيَصِلُهُ اهـ (حاشية إعانة الطالبين 1
/ 33)
“Semua
ibadah yang dilakukan, baik ibadah wajib atau sunah, dapat sampai kepada orang
yang telah wafat. Dan disebutkan dalam kitab Syarah al-Mukhtar bahwa dalam
ajaran Aswaja hendaknya seseorang menjadikan pahala amalnya dan salatnya
dihadiahkan kepada orang lain (yang telah wafat), dan hal itu akan sampai
kepadanya” (I’anat al-Thalibin I/33)
Komentar
Posting Komentar