Di dalam buku Akhbar Makkah wa Maa Jaa-a Fiihaa min Aatsaar, Abul Walid
al-Azraqi (w.250H), seorang sejarawan abad ketiga, menyebutkan tentang
salah satu dari banyak tempat di Mekah yang dipergunakan masyarakat
untuk shalat dan beribadah, yakni sebuah rumah sederhana tempat
kelahiran Baginda Nabi Muhammad saw.
Rumah mulia ini (terletak di lokasi yang saat ini dikenal dengan Suq
al-Layl, Syi’b Bani Amir, Syi’b Ali, atau Syi’b al-Mawlid, di Jalan
Qassasiyah), dahulu adalah milik Abdullah, ayah Nabi Muhammad, yang
merupakan warisan dari ayahnya, Abdul Mutthalib. Kemudian rumah ini
diwariskan kepada Nabi Muhammad, walau akhirnya dipasrahkan kepada
sepupu beliau, ‘Aqil bin Abi Thalib.
Sepeninggal ‘Aqil, rumah ini diwariskan kepada putranya. Oleh putranya
ini, rumah tersebut dijual kepada Muhammad bin Yusuf (saudara al-Hajjaj
bin Yusuf). Oleh Muhammad bin Yusuf ini, rumah tersebut diperluas dan
kemudian dikenal sebagai Al-Baydha atau Dar Ibnu Yusuf.
Ketika Al-Khayzaran (w.173H), penguasa Abbasiyah yang merupakan ibu dari
Khalifah Musa dan Khalifah Harun Al-Rasyid, menziarahi Mekah, ia
mengambil alih rumah tersebut dari tangan Muhammad bin Yusuf. Kemudian
menjadikan tempat itu sebagai masjid yang kemudian dikenal sebagai Zuqaq
al-Mawlid. Maka ramailah tempat ini sebagai salah satu tempat warga
Mekah bermunajat kepada Allah. Hal ini juga dicatat oleh Muhammad bin
Jarir at-Thabari (w.320H) di dalam karyanya, Taarikh al-Umam wal Muluk.
Abul Abbas al-Azafi, sejarawan abad ke tujuh, menyebutkan di dalam karyanya, Ad-Durr al-Munadzdzam; para peziarah dan pelancong yang dating ke Mekah pada hari kelahiran Nabi (mawlid) menyaksikan bahwa pada hari itu tidak ada aktivitas seperti biasanya, baik jual beli maupun apapun, justru orang-orang nampak ramai menziarahi tempat kelahiran Baginda Nabi dan menyesakinya, pada hari itu pula Ka’bah dibuka dan dapat dimasuki. Demikian terus berlanjut hingga akhir abad ke-14 hijriah di masa kekhilafahan Turki Utsmani. Tentang sejarah ihtifal (perayaan) Mawlid di rumah mulia ini akan kami sajikan dalam artikel lain.
Perkembangan selanjutnya, mulai ada perubahan signifikan setelah terjadinya kudeta yang dilakukan Ibnu Sa’ud dan koalisinya, Ibnu Abdil Wahhab, pada tahun 1920. Pemerintahan baru yang kemudian dikenal sebagai ‘Al-Mamlakah Al-‘Arabiyyah As-Su’udiyyah’ (Kingdom of Saudi Arabia) ini memiliki pandangan keagamaan yang sangat sensitif terhadap berbagai macam petilasan, dan sangat mengkhawatirkan timbulnya syirik (penyekutuan terhadap Tuhan).
Abul Abbas al-Azafi, sejarawan abad ke tujuh, menyebutkan di dalam karyanya, Ad-Durr al-Munadzdzam; para peziarah dan pelancong yang dating ke Mekah pada hari kelahiran Nabi (mawlid) menyaksikan bahwa pada hari itu tidak ada aktivitas seperti biasanya, baik jual beli maupun apapun, justru orang-orang nampak ramai menziarahi tempat kelahiran Baginda Nabi dan menyesakinya, pada hari itu pula Ka’bah dibuka dan dapat dimasuki. Demikian terus berlanjut hingga akhir abad ke-14 hijriah di masa kekhilafahan Turki Utsmani. Tentang sejarah ihtifal (perayaan) Mawlid di rumah mulia ini akan kami sajikan dalam artikel lain.
Perkembangan selanjutnya, mulai ada perubahan signifikan setelah terjadinya kudeta yang dilakukan Ibnu Sa’ud dan koalisinya, Ibnu Abdil Wahhab, pada tahun 1920. Pemerintahan baru yang kemudian dikenal sebagai ‘Al-Mamlakah Al-‘Arabiyyah As-Su’udiyyah’ (Kingdom of Saudi Arabia) ini memiliki pandangan keagamaan yang sangat sensitif terhadap berbagai macam petilasan, dan sangat mengkhawatirkan timbulnya syirik (penyekutuan terhadap Tuhan).
Maka kubah yang ada di atas rumah mulia ini dihancurkan. Pada masa
tersebut, rumah kelahiran Baginda Nabi ini pernah difungsikan sebagai
pasar ternak. Lalu atas protes sekalangan masyarakat Mekah, pemerintah
mau lebih mengurus tempat itu dengan menjadikannya sebagai perpustakaan
umum; Maktabah Makkah al-Mukarramah
Komentar
Posting Komentar