Pada masa kekuasaan Prabu Siliwangi, kawasan Betawi
disebut sebagai Sunda Kelapa di bawah kerajaan Pajajaran. Pada Masa kerajaan
Islam, kawasan ini berada di bawah kendali Kesultanan Banten, sedangkan ketika
Belanda datang, maka ia disebut sebagai Batavia.
Karena sebenarnya Batavia adalah sebuah kota baru
(benar-benar dibangun baru) yang berupa kota benteng dengan meniru semacam
kastil di Eropa, yakni terletak di sepanjang garis pantai yang sekarang disebut
sebagai kawasan Kota dan Ancol, maka daerah-daerah pemukiman penduduk Asli yang
bukan kawasan pesisir murni tetap berada dalam situasi sebagaimana asalnya,
seperti sebelum benteng Batavia didirikan oleh Belanda. Yang membedakan
hanyalah, statusnya yang terjajah dan penguasanya yang kejam serta kondisi
kehidupan yang kian sengsara, selebihnya tetap utuh seperti adanya, mengaji dan
bercocok tanam.
Betawi adalah sebuah kawasan yang sangat religius
sebelum menjadi seperti yang kita kenali sekarang sebagai kawasan metropolitan
dengan berbagai kesibukan pemerintahan, bisnis dan hiburan saat ini. Betawi
adalah sebuah tempat yang khas dengan tradisi kesantrian yang berbeda dengan
kawasan-kawasan lain di pulau Jawa, baik tanah Pasundan maupun wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Tradisi kesantrian di Betawi sungguh sangatlah unik,
karena masyarakat betawi umumnya tidak mengandalkan pesantren dengan asrama tinggal
para santri dalam mendidik generasi penerusnya. Betawi memiliki tradisi mengaji
yang sedemikian kuat terhadap para ulama di tempat tinggal yang berbeda-beda.
Para santri pergi mengaji dan kemudian pulang kembali ke rumahnya begitu
pengajian selesai. Mereka dapat berpindah-pindah guru mengaji menurut kecocokan
masing-masing santri. Kondisi seperti ini berlangsung hingga tahun 1960-an.
Biasanya jika mereka ingin meneruskan pendidikannya, biasanya mereka akan
melanjutkan ke Timur Tengah, terutama ke Makkah.
Di tengah-tengah suasana penjajahan Belanda yang
menjadikan kehidupan seluruh rakyat berada dalam kesulitan, terlahirlah seorang
bayi mungil pertama dari pasangan suami istri Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini
yang diberi nama Muhammad Syafi’i pada tanggal 31 Januari 1931 M. bertepatan
dengan 12 Ramadhan 1349 H. di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Ayah Syafi’i
adalah seorang Betawi asli, sedangkan ibunya berasal adari daerah Citeureup
Bogor. Ayahnya adalah seorang pekerja pada perusahaan minyak asing di Sumatera
Selatan. Dua tahun kemudian, setelah Syafi’i lahir, ayahnya pulang ke kampung
halaman dan tidak pernah kembali lagi bekerja di perusahaan minyak asing.
Ayahnya kemudian bekerja sebagai penarik bendi.
Ulama Betawi ini sejak kecil di asuh oleh kakeknya
dari pihak ayah, yang merupakan seorang guru agama yang tinggal di daerah Batu
Tulis XIII, Pecenongan yang bernama guru Husin. Karenanya, Syafi’i kecil juga
didik sebagai guru agama. Kakeknya ini adalah seorang pensiunan pegawai
percetakan yang tidak memiliki anak, sehingga sebenarnya, ia bukanlah kakek
langsung, melainkan paman dari ayah Syafi’i. dengan demikian ia memiliki banyak
waktu untuk mendidik syafi’i mengaji bersama dengan teman-temannya di samping
berdagang kecil-kecilan untuki mengisi waktu senggang. Dari sini terlihat bahwa
Syafi’i adalah anak yang cerdas dan ulet, ia tidak suka menyia-nyiakan waktunya
hanya untuk bersantai-santai saja.
Kakeknya ini sangat keras dalam mendidik anak-anak,
sehingga dalam usia Sembilan tahun, Syafi’i telah berhasil menghatamkan
al-Qur’an. Sejak kecil Syafi’i tidak pernah mengalami benturan dengan kakeknya.
Meskipun kakeknya ini adalah orang kaya dan pensiunan pegawai percetakan, namun
ia sama sekali tidak pernah mencita-citakan cucunya kelak menjadi seorang
pegawai juga. Karenanya, kakeknya selalu mengajak Syafi’i ke tempat-tempat
pengajian, kemana pun kakeknya ini mengaji. Sebagai seorang guru ngaji,
kakeknya juga menginginkan cucunya belajar mengaji dan bergulat di bidang
agama.
Sehingga teman-teman dan guru-guru kakeknya, secara
otomatis juga menjadi guru langsung dari Syafi’i muda. Di antara teman-teman
kakeknya ini adalah, Guru Abdul Fatah yang tinggal di daerah Batu Tulis. Juga
kepada Bapak Sholihin di Musholla kakeknya, sehingga Musholla tempatnya mengaji
ini kemudian dinamakan dengan Raudhatus Sholihin.
Menikah dan Terus Belajar
Sebagaimana kebiasaan masyarakat Betawi pada waktu
itu, bahkan masyarakat Indonesia pada umumnya, maka Syafi’i juga menikah di
usia muda, yakni tujuh belas tahun. Syafi’i menikahi gadis teman sepermainannya
di Batu Tulis, seorang gadis bernama Nonon. Ketika menikah Syafi’i telah
mengikuti neneknya pindah ke kawasan Kemayoran sepeninggal kakeknya.
Syafi’i yang sejak kecil memang sangat gigih dalam
menuntut ilmu dan menjalani hidup yang serba dibatasi dalam didikan kakeknya,
tak menjadikan pernikahan sebagai hambatan untuk terus mencari ilmu. Syafi’i
menamatkan sekolah dasar pada tahun 1942 M. dan setelah kemerdekaan ia bekerja
sebagai karyawan di RRI. Karena ia juga selalu membawa-bawa kitab-kitab
bacaannya, maka ruang kerjanya yang di RRI juga berfungsi sebagai tempat
muthala’ah.
Karena telah dewasa dan memiliki cukup ilmu, maka
selain bekerja dan berumah tangga, Syafi’i juga mulai mengajar secara resmi.
Berangsur-angsur kemudian ia sering dipanggil sebagai Muallim syafi’i, yang
berarti Guru Syafi’i. Namun bukan berarti setelah mulai mengajar, ia berhenti
berguru dan mengaji. Muallim Syafi’i tetap merupakan pribadi yang tawadhu’ dan
senantiasa giat menuntut ilmu. Karenanya, ia tetap memiliki banyak guru yang
aktif menyampaikan ilmu-ilmu agama kepadaya, selain telah mulai memiliki banyak
murid.
Di antara guru-gurunya tersebut adalah, Habib Ali bin
Husein al-Atthas, di Bungur kawasan Senen Jakarta Pusat; Ajengan KH. Abdullah
bin Nuh, dari Cianjur Jawa Barat yang aktif berceraman di RRI; Habib Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang Jakarta Pusat; KH. Ya’qub Saidi, Kebun Sirih
Jakarta Pusat; KH. Muhammad Ali Hanafiyah: Pekojan Jakarta Barat; KH. Muhtar
Muhammad, kebun Sirih; KH. Muhammad Sholeh Mushonnif, Kemayoran Jakarta Pusat;
KH.Zahruddin Usman yang berasal dari Jambi; dan sederet ulama-ulama lain di
seantero Jakarta, baik yang memang tinggal di Jakarta, maupun para ulama yang
sedang bertugas di Jakarta. Syeikh Yasin bin Isa al-Fadani adalah salah satu
guru dari Muallim Syafi’i, karena seringkali ketika Syeikh Yasin berkunjung ke
Jakarta dan tinggal di tempat salah seorang temannya di Prapanca Jakarta Barat,
Muallim Syafi’i selalu menyempatkan hadir di pengajian-pengajian yang di buka
oleh Syeikh Yasin di sana.
Dari tata cara beginilah, mengajar sembari terus
menuntut ilmu, Muallim Syafi’i mendarmabaktikan hidupnya untuk perkembangan
islam di Jakarta. Lambat laun, nama muallim Syafi’i bertambah menjadi Syafi’i
Hadzami. Ketika Beliau telah bergelut dengan masyarakat sela puluhan tahun,
maka namanya kemudian menjadi salah satu tokoh terdepan di kehidupan umat Islam
Jakarta. Murid-muridnya terdiri dari beragam usia, latar belakang profesi dan
kesukuan. Hal ini terjadi seiring terus tergesernya dan perpindahan para
penduduk asli Betawi dari kampong-kampung asal mereka. Sehingga
pengajian-pengajian Muallim Syafi’i Hadzami yang dahulu ramai dikunjungi oleh
penduduk suku Betawi, lambat laun juga dibanjiri oleh penduduk-penduduk
pendatang yang beragam sukunya.
Kharisma dan Daya Tarik
Termasuk pula yang menjadi daya tarik pengajian
Muallim Syafi’i Hadzami adalah karena pengajian-pengajiannya selalu juga
dihadiri oleh para Kyai dan teman-teman seperjuangannnya. Bahkan banyak sekali
para ulama yang dahulunya adalah guru-guru Muallim Syafi’i, kini menghadiri
pengajian-pengajian Beliau sebagai murid atau pendengar.
Sejak awal, Muallim Syafi’i Hadzami telah mengajar ke
berbagai majlis ta’lim. Pada tahun 1963, pada usia 32 tahun, Beliau membentuk
sebuah Badan Musyawarah Majlis Ta’lim (BMMT) yang diberi nama al-’Asyirotus
Syafi’iyyah. Badan ini kemudian berkembang menjadi sebuah Yayasan pada tahun
1975 yang mampu mendirikan sebuah komplek pesantren di kampung Dukuh, kebayoran
lama, Jakarta Selatan. Pesantren ini kemudian berkembang mejadi sebuah lembaga
pendidikan yang berhasil mengelola pendidikan dari tingkat TK hingga Aliyah. Di
komplek pesantren inilah kemudian Muallim Syafi’i tinggal sepanjang usianya.
Namun demikian pengajian-pengajian ke berbagai penjuru Jakarta tetap
dilakoninya sepanjang hidup. Bahkan hampir-hampir tiada waktu luang untuk
sekedar bersantai, karena kalaupun Muallim sedang tidak mengajar, maka Beliau
pasti sedang Muthola’ah. Hal ini dikarenakan sedemikian cinta beliau kepada
ilmu-ilmu agama. Bahkan karena cintanya ini, ruang tamu di rumahnya pun lebih
mirip sebagai perpustakaan.
Gaya bicaranya datar-datar saja namun tertib dan
jelas, cara berpakaiannya yang wajar-wajar saja, dan sikapnya yang tenang,
serta pembawaannya yang sederhana, menjadikan Muallim disegani oleh seluruh
ulama di betawi, baik dari kalangan habaib maupun para ulama Betawi Asli. Hal
ini terutama sekali dikarenakan sikap Beliau yang sangat teguh dalam memegang
prinsip-prinsip agama. Selain itu Muallim Syafi’i Hadzami juga terkenal sangat
rendah hati dan mencintai para muridnya.
Menurut KH. Rodhi Sholeh, salah seorang Mustasyar
PBNU yang mengenal Muallim Syafi’i Hadzami ini dalam sebuah pengajian di PWNU
DKI Jakarta, Muallim Syafi’i Hadzami adalah sosok guru yang tidak suka
menyombongkan diri meskipun Beliau sangat alim. Banyak orang-orang dari daerah
yang merasa telah menjadi Betawi setelah kenal dengan beliau, karena Beliau
sama sekali tidaklah membedakan mana orang-orang pendatang dari daerah dan mana
orang-orang asli Jakarta.
Sementara KH. Irvan Zidni yang mengaku sering bertemu
langsung di forum-forum Batsul Masail Muktamar PBNU mengakui bahwa Muallim
Syafi’i Hadzami memberi bobot yang berbeda kepada ulama-ulama asal Jakarta,
karena dalam forum-forum seperti itu, memang biasanya pendapat mereka sering
ditolak. Namun keberadaan Muallim Syafi’i Hadzami mampu menepis kebiasaan ini.
Muallim memang memiliki kemampuan keilmuan yang cukup untuk mempertahankan
pendapat-pendapatnya. Dalam arena batsul masail, kemampuannya sebanding dengan
para ulama dari daerah-daerah lain yang sedari kecil menuntut ilmu di pesantren
selama puluhan tahun, sehingga sangatlah sukar untuk meruntuhkan
argumen-argumen Beliau.
Karya-Karya
Muallim Syafi’i Hadzami, selain mendarmabhaktikan
seluruh aktivitasnya untuk kemajuan umat Islam, khususnya di daerah Jakarta,
Beliau juga memiliki karya-karya tulis yang masih dapat dijadikan referensi
hingga sekarang. Karya-karya Muallim hampir semuanya ditulis sebelum era
1980-an meski masih memiliki usia panjang hingga akhir 2006, namun tidak lagi
ditemukan karya-karya yang merupakan buah tangan langsung Beliau pada
era-1990-an. Beberapa buku memang kemudian banyak di terbitkan, terutama
setelah tahun 2000 M. namun kesemuanya adalah kumpulan hasil transkripsi
pidato-pidato Muallim, baik dalam pengajian-pengajian darat maupun
pengajian-pengajian yang disiarkan melalui gelombang radio.
Karya-karya tersebut antara lain adalah Taudhihul
Adillah yang menjelaskan tentang hukum-hukum syariat berikut dengan dalil-dalil
dan keterangan-keterangannya; Sullamul Arsy fi Qiro’atil Warsy yang menjelaskan
tentang seluk beluk bacaan bacaan al-Qur’an menurut Imam Warsy, kitab ini
disusun pada tahun 1956 M. saat berusia 25 tahun.
Sementara karya-karya lain biasanya berupa penjabaran
tentang suatu permasalahan, seperti penggalan-penggalan sebuah permasalahan
hokum dan ibadah-ibadah tertentu. Karya-karya jenis ini antara lain, Qiyas
adalah Hujjah Syariah (1969 M.); Qabliyyah Jum’at; Shalat tarawih; Ujalah
Fidyah Sholat (1977 M.) dan Mathmah ar-Ruba fi Ma’rifah ar-Riba (1976 M.).
Muallim dan Kitab Kuning
Hingga usia senjanya, hari-hari Muallim Syafi’i
Hadzami senantiasa diisi dengan mengajar berpindah-pindah, dari satu majlis
ta’lim ke majlis ta’lim lain. Meskipun lembaga pendidikan yang didirikannya
kini telah berkembang dan mapan, namun Beliau senantiasa membagi waktunya untuk
ummat secara merata.
Kenyataan ini menjadikan hari-hari Muallim senantiasa
berjibaku dengan kitab kuning, sebab pengajian-pengajian Muallim Syafi’i
Hadzami tidak pernah lepas dari kitab kuning. Di sini Beliau tampak menekankan
betapa tradisionalisme adalah sebuah watak perjuangan yang tidak boleh
ditinggalkan begitu saja.
Dalam pandangan Muallim, kitab kuning merupakan dasar
bagi pemahaman umat Islam untuk memahami sumber hukum asal syariat.
Ini berarti bahwa dalam pandangan Syafi’i Hadzami,
sebuah kesalahan fatal apabila mencoba memahami al-Qur’an dan hadits secara
langsung tanpa mengerti pandangan dari para ulama terlebih dahulu. Syafi’i
Hadzami meyakini bahwa kitab kuning masih selalu relevan dan selalu menawarkan
hal-hal baru bagi masyarakat Muslim. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa
Muallim Syafi’i sangat mengikuti perkembangan kitab kuning. Artinya pembacaan
dan oleksi kitab-kitab kuningnya boleh dibilang up to date. Memang Muallim
Syafi’i Hadzami sangat banyak mengoleksi kitab-kitab kuning yang beraneka
ragam, mulai klasik, modern hingga kontemporer.
Karena telah mengenyam manfaat yang demikian besar
dari kitab kuning, maka Muallim memiliki kiat-kiat jitu untuk dapat menguasai
kitab kuning dengan benar, dengan arti yang sebenarnya. Menurut Muallim, hal
pertama-tama yang semestinya dilakukan oleh para santri yang mempelajari kitab
kuning adalah menguasai ilmu-ilmu alat, hingga masalah yang sekecil-kecilnya.
Ini berarti seorang pembaca kitab kuning haruslah memahami lughat. Artinya
harus mengenal lughat yg berbeda-beda, serta harus memiliki rasa penasaran yang
tinggi kepada ilmu-ilmu perbandingan madzhab, sehingga tidak kaku dalam
memberikan fatwa atau memandang suatu permasalahan hukum.
Hal ini jelas sangat terlihat dari
aktivitas-aktivitas muallaim yang bukan hanya di MUI DKI Jakarta saja,
melainkan juga di NU. Muallaim sangat rajin menghadiri batsul masail-batsul
masail, dan rapat pleno-rapat pleno yang diadakan oleh PBNU, terutama yang
diadakan di Jakarta. Hingga pada muktamar NU ke 29 di Cipasung, Tasikmalaya,
Muallim Syafi’i Hadzami dipercaya menjadi salah satu Rois Suriah PBNU. Hal ini
tentu saja merupakan pengakuan keilmuan dan keulamaan dari NU mengingat jarang
sekali ada ulama dari Batawi yang dipercaya untuk menduduki posisi ini.
Karisma keulamaan dalam diri Muallim Syafi’i Hadzami
memancar bukan hanya di Indonesia. Kedalaman ilmu Muallim juga dikenal hingga
Mekkah dan Hadramaut. Hal ini nampak dari seringnya muallim mendapat kunjungan
dari beberapa ulama dan para Habaib dari Hadramaut.
Ba’da mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad, tepatnya
tanggal 07 mei 2006 M. Muallaim Syafi’I Hadzami merasakan nyeri di dada dan
sesak napas. Muallim berpulang ke rahmatullah dalam perjalanan menuju ke Rumah
Sakit Pertamina Pusat (RSPP). Linangan air mata mengalir mengantarkan kepergian
sang guru yang sangat dicintai oleh seluruh penduduk Jakarta ini.
Komentar
Posting Komentar