اِعْلَمْ أَنَّ فِي الْأَخْذِ بِهَذِهِ الْمَذَاهِبِ
الْأَرْبَعَةِ مَصْلَحَةً عَظِيْمَةً وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُلِّهَا
مَفْسَدَةً كَبِيْرَةً
Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya mengikuti madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hanbali) mengandung kemaslahatan yang besar, dan meninggalkan seluruhnya
membawa resiko kerusakan yang fatal.
وَنَحْنُ
نُبَيِّنُ ذَلِكَ بِوُجُوْهٍ
Kami
akan menjelaskan persoalan diatas dari beberapa aspek:
أَحَدُهَا
أَنَّ الْأُمَّةَ اِجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَعْتَمِدُوْا عَلَى السَّلَفِ فِيْ
مَعْرِفَةِ الشَّرِيْعَةِ
Pertama,
bahwa umat Islam telah sepakat bulat untuk mengacu dan menjadikan ulama salaf
sebagai pedoman dalam mengetahui, memahami, dan mengamalkan syariat Islam
secara benar.
فَالتَّابِعُوْنَ
اِعْتَمَدُوْا فِيْ ذَلِكَ عَلَى الصَّحَابَةِ وَتُبَّعُ التَّابِعِيْنَ
اِعْتَمَدُوْا عَلَى التَّابِعِيْنَ وَهَكَذَا فِيْ كُلِّ طَبَقَةٍ اِعْتَمَدَ
الْعُلَمَاءُ عَلَى مَنْ قَبْلَهُمْ
Dalam
hal ini, para tabi'in mengikuit jejak para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam, lalu para pengikut tabi'in meneruskan langkah dengan mengikuti jejak
para tabi'in. Demikianlah seterusnya, pada setiap generasi, para ulama pasti
mengacu dan merujuk kepada orang-orang dari generasi sebelumnya.
وَالْعَقْلُ
يَدُلُّ عَلَى حُسْنِ ذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيْعَةَ لَا تُعْرَفُ إِلَّا
بِالنَّقْلِ وَالْإِسْتِنْبَاطِ
Akal
yang sehat menunjukkan betapa baiknya pola pemahaman dan pengamalan syariat
Islam yang seperti itu. Sebab syariat Islam tidak dapat diketahui kecuali
dengan cara naql (mengambill dari generasi sebelumnya) dan istinbath
(mengeluarkan dari sumbernya, Al Quran dan al Hadits, melalui ijtihad untuk
menetapkan hukum).
وَالنَّقْلُ
لَا يَسْتَقِيْمُ إِلَّا بِأَنْ تَأْخُذَ كُلُّ طَبَقَةٍ عَمَّنْ قَبْلَهَا
بِالْإِتِّصَالِ
Naql
tidak mungkin dilakukan dengan benar kecuali dengan cara setiap generasi
mengambil langsung dari generasi sebelumnya secara berkesinambungan.
وَلَا
بُدَّ فِي الْإِسْتِنْبَاطِ أَنْ يَعْرِفَ مَذَاهِبَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ لِئَلَّا
يَخْرُجَ عَنْ أَقْوَالِهِمْ فَيَخْرِقُ الْإِجْمَاعَ وَيَبْنِيْ عَلَيْهَا
وَيَسْتَعِيْنُ فِيْ ذَلِكَ بِمَنْ سَبَقَهُ
Sedangkan
untuk istinbath, disyaratkan harus mengetahui madzhab-madzhab ulama generasi
terdahulu agar tidak menyimpang dari pendapat-pendapat mereka yang bisa
berakibat
menyalahi kesepakatan mereka (ijma’). Dan melanjutkan madzhab-madzhab tersebut
dengan ditunjang madzhab-madzhab ulama generasi sebelumnya
لِأَنَّ
جَمِيْعَ الصِّنَاعَاتِ كَالصَّرْفِ وَالنَّحْوِ وَالطِّبِّ وَالشِّعْرِ
وَالْحِدَادَةِ وَالتِّجَارَةِ وَالصِّيَاغَةِ لَمْ تَتَيَسَّرْ لِأَحَدٍ إِلَّا
بِمُلَازَمَةِ أَهْلِهَا وَغَيْرُ ذَلِكَ نَادِرٌ بَعِيْدٌ لَمْ يَقَعْ وَإِنْ
كَانَ جَائِزًا فِي الْعَقْلِ
Sebab,
semua pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki seseorang, misalnya dibidang
shorof, nahwu, kedokteran, kesusastraan, pandai besi, perdagangan dan keahlian
logam mulia, tidak mungkin begitu saja mudah dipelajari oleh seseorang kecuali
dengan terus menerus belajar kepada ahlinya. Diluar cara itu, sungguh sangat
langka dan jauh dari kemungkinan, bahkan nyaris tidak pernah terjadi,
kendatipun secara akal boleh saja terjadi.
وَإِذَا
تَعَيَّنَ الْإِعْتِمَادُ عَلَى أَقَاوِيْلِ السَّلَفِ فَلَا بُدَّ مِنْ أَنْ
تَكُوْنَ أَقْوَالُهُمْ اَلَّتِيْ يُعْتَمَدُ عَلَيْهَا مَرْوِيَّةً
بِالْإِسْنَادِ الصَّحِيْحِ أَوْ مُدَوَّنَةً فِيْ كُتُبٍ مَشْهُوْرَةٍ
Jika
pendapat-pendapat para ulama salaf telah menjadi keniscayaan untuk dijadikan
pedoman, maka pendapat-pendapat mereka yang dijadikan pedoman itu haruslah
diriwayatkan dengan sanad (mata-rantai) yang benar dan bisa dipercaya, atau
dituliskan dalam kitab-kitab yang masyhur
وَأَنْ
تَكُوْنَ مَخْدُوْمَةً بِأَنْ يُبَيَّنَ الرَّاجِحُ مِنْ مُحْتَمَلَاتِهَا
وَيُخَصَّصَ عُمُوْمُهَا فِيْ بَعْضِ الْمَوَاضِعِ وَيُقَيَّدَ مُطْلَقُهَا فِيْ
بَعْضِ الْمَوَاضِعِ وَيُجْمَعَ الْمُخْتَلَفُ مِنْهَا وَيُبَيَّنَ عِلَلُ
أَحْكَامِهَا وَإِلَّا لَمْ يَصِحَّ الْاِعْتِمَادُ عَلَيْهَا
dan
telah diolah (dikomentari) dengan menjelaskan pendapat yang unggul dari
pendapat lain yang serupa, menyendirikan persoalan yang khusus (takhshish) dari
yang umum, membatasi yang muthlaq dalam konteks tertentu, menghimpun dan
menjabarkan pendapat yang berbeda dalam persoalan yang masih diperselisihkan
serta menjelaskan alasan timbulnya hukum yang demikian. Karena itu, apabila
pendapat-pendapat ulama tadi tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan
seperti diatas, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
وَلَيْسَ
مَذْهَبٌ فِيْ هَذِهِ الْأَزْمِنَةِ الْمُتَأَخِّرَةِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ إِلَّا
هَذِهِ الْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ اَللَّهُمَّ إِلَّا مَذْهَبَ الْإِمَامِيَّةِ
وَالزَّيْدِيَّةِ وَهُمْ أَهْلُ الْبِدْعَةِ لَا يَجُوْزُ الْاِعْتِمَادُ عَلَى
أَقَاوِيْلِهِمْ
Tidak
ada satu madzhabpun di zaman akhir ini yang memenuhi syarat dan sifat seperti
diatas selain madzhab empat ini. Memang ada juga madzhab yang mendekati syarat
dan sifat diatas, yaitu madzhab Imamiyah (Syi'ah) dan Zaydiyah (golongan
Syi'ah). Namun keduanya adalah golongan ahlu bid'ah, sehingga keduanya tidak
boleh dijadikan pegangan.
وَثَانِيْهَا
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِتَّبِعُوا السَّوَادَ
الْأَعْظَمَ
وَلَمَّا
انْدَرَسَتْ اَلْمَذَاهِبُ الْحِقَّةُ إِلَّا هَذِهِ الْأَرْبَعَةَ كَانَ
اتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا
خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Kedua,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: "Ikutilah
golongan terbesar (as-Sawad al-A'zham)!”.
Ketika
beberapa madzhab yang tergolong benar telah hilang dan yang tersisa hanya
tinggal empat madzhab ini, maka nyatalah bahwa mengikuti empat madzhab berarti
mengikuti as-Sawad al-A'zham, dan keluar dari sana berarti telah keluar dari
as-Sawad al-A'zham.
وَثَالِثُهَا
أَنَّ الزَّمَانَ لَمَّا طَالَ وَبَعُدَ الْعَهْدُ وَضُيِّعَتِ الْأَمَانَاتُ لَمْ
يَجُزْ أَنْ يُعْتَمَدَ عَلَى أَقْوَالِ عُلَمَاءِ السُّوْءِ مِنَ الْقُضَاةِ
الْجَوَرَةِ وَالْمُفْتِيْنَ التَّابِعِيْنَ لِأَهْوَائِهِمْ حَتَّى يَنْسِبُوْا
مَا يَقُوْلُوْنَ إِلَى بَعْضِ مَنْ اِشْتَهَرَ مِنَ السَّلَفِ بِالصِّدْقِ
وَالدِّيَانَةِ وَالْأَمَانَةِ إِمَّا صَرِيْحًا أَوْ دَلَالَةً وَحِفْظِ قَوْلِهِ
فِيْ ذَلِكَ وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ لَا نَدْرِيْ هَلْ جَمَعَ شُرُوْطَ
الْإِجْتِهَادِ أَوْ لَا
Ketiga,
pada saat zaman sudah begitu lama berputar, makin jauh (dari masa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam), dan amanat menjadi begitu mudah disia-siakan,
maka tidak boleh berpegang pada pendapat-pendapat oknum-oknum ulama yang buruk,
baik dari kalangan hakim-hakim yang menyeleweng maupun mufti-mufti yang hanya
mengikuti hawa nafsunya, meskipun mereka mengaku bahwa pendapatnya itu sesuai
dengan pendapat ulama salaf yang masyhur integritas pribadinya, loyalitas
agamanya dan amanah moralnya, baik secara eksplisit maupun secara implisit,
serta memelihara pendapatnya secara bertanggung jawab. Kitapun tidak boleh
mengikuti pendapat orang yang kita belum mengetahui persis apakah yang
bersangkutan sudah memenuhi persyaratan ijtihad atau belum.
فَإِذَا
رَأَيْنَا الْعُلَمَاءَ الْمُحَقِّقَيْنَ فِيْ مَذَاهِبِ السَّلَفِ عَسَى أَنْ
يَصْدُقُوْا فِيْ تَخْرِيْجَاتِهِمْ عَلَى أَقْوَالِهِمْ وَاسْتِنْبَاطِهِمْ مِنَ
الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَأَمَّا إِذَا لَمْ نَرَ مِنْهُمْ ذَلِكَ فَهَيْهَاتَ
Apabila
kita melihat para ulama ahli tahqiq (penelitian) yang menekuni madzhab-madzhab
para ulama salaf, maka ada harapan bahwa mereka akan memperoleh kebenaran dalam
usahanya merumuskan pendapat dan penggalian ketentuan-ketentuan hukum dari
al-Qur'an dan as-Sunnah. Sebaliknya, apabila kita tidak melihat hal itu kepada
mereka, maka sungguh jauh dari kemungkinan memperoleh kebenaran yang
diharapkan.
وَهَذَا
الْمَعْنَى الَّذِيْ أَشَارَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ حَيْثُ قَالَ يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ جِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ
وَابْنُ مَسْعُوْدٍ حَيْثُ قَالَ مَنْ كَانَ مُتَّبِعًا فَلْيَتَّبِعْ مَنْ مَضَى
Inilah
pengertian yang secara tidak langsung ditunjukkan oleh Khalifah ‘Umar bin
Khatthab radhiyallaahu ‘anhu melalui perkataannya: "Islam akan hancur
akibat kelihaian orang-orang munafik dalam berdebat dengan menggunakan
al-Qur'an."
Dan
juga sahabat Ibnu Mas'ud berpesan: "Barangsiapa menjadi pengikut (yang
baik) maka hendaklah mengikuti (para ulama) generasi sebelumnya."
فَمَا
ذَهَبَ اِلَيْهِ ابْنُ حَزْمٍ حَيْثُ قَالَ اَلتَّقْلِيْدُ حَرَامٌ إِلَى آخِرِهْ
إنَّمَا يَتِمُّ فِيْمَنْ لَهُ ضَرْبٌ مِنَ الْاِجْتِهَادِ وَلَوْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
وَاحِدَةٍ
Dengan
demikan gagasan yang pernah dilontarkan Ibnu Hazm bahwa taqlid itu hukumnya
haram, sesungguhnya hanya ditujukan kepada orang yang memiliki kemampuan
berijtihad meskipun hanya dalam satu permasalahan,
وَفِيْمَنْ
ظَهَرَ عَلَيْهِ ظُهُوْرًا بَيِّنًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَذَا وَنَهَى عَنْ كَذَا وَأَنَّهُ لَيْسَ بِمَنْسُوْخٍ
إِمَّا بِأَنْ يَتَتَبَّعَ الْأَحَادِيْثَ وَأَقْوَالَ الْمُخَالِفِ
وَالْمُوَافِقِ فِي الْمَسْأَلَةِ فَلَا يَجِدُ لَهَا نَسْخًا
serta
buat orang yang konkrit meyakini bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan ini atau melarang itu, sedang perintah atau larangan itu belum
dihapuskan.
Keyakinan
mungkin dapat diperoleh dengan meneliti banyak Hadits dan pendapat para ulama
yang menentang maupun yang setuju, lalu jelas bahwa ketentuannya belum
terhapuskan
أَوْ
بِأَنْ يَرَى جَمًّا غَفِيْرًا مِنَ الْمُتَبَحِّرِيْنَ فِي الْعِلْمِ
يَذْهَبُوْنَ إِلَيْهِ وَيَرَى الْمُخَالِفَ لَهُ لَا يَحْتَجُّ اِلَّا بِقِيَاسٍ
أَوْ اِسْتِنْبَاطٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
Atau
mungkin dengan melihat mayoritas terbesar dari golongan ulama yang mendalami
ilmunya ternyata sependapat dalam ketentuan tersebut, sementara golongan yang
menentangnya tidak mampu mengajukan dalil kecuali hanya berupa qiyas atau
istinbath atau yang sejenisnya (bukan berupa dalil nash).
فَحِيْنَئِذٍ
لَا سَبَبَ لِمُخَالَفَةِ حَدِيْثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَّا نِفَاقٌ خَفِيٌّ
أَوْ
حُمْقٌ جَلِيٌّ
Jika
demikian maka tidak ada dalih untuk menyalahi Hadits Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam selain kemunafikan yang terselubung atau kebodohan yang nyata.
وَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا بُدَّ لِلْمُكَلَّفِ غَيْرِ الْمُجْتَهِدِ الْمُطْلَقِ مِنْ
اِلْتِزَامِ التَّقْلِيْدِ لِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَذَاهِبِ الْأَئِمَّةِ
الْأَرْبَعَةِ وَلَا يَجُوْزُ لَهُ الْاِسْتِدْلَالُ بِالْآيَاتِ وَالْأَحَادِيْثِ
لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَ مِنْهُمْ
Dan
ketahuilah, bahwa setiap orang yang sudah mukallaf (aqil baligh) yang tidak
mampu
berijtihad
secara mutlak, harus mengikuti salah satu dari empat madzhab dan tidak boleh
baginya untuk ber-istidlal (mengambil dalil secara langsung) dari al-Qur'an
atau Hadits.
Ini
didasarkan pada firman Allah Ta’ala (yang artinya kurang lebih): “Dan
seandainya menyerahkan (urusan itu) kepada Rasul dan ulil amri (yang menguasai
pada bidangnya) diantara mereka, niscayalah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenaran akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).”.
وَمَعْلُوْمٌ
أَنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَهُ هُمُ الَّذِيْنَ تَأَهَّلُوْا
لِلْاِجْتِهَادِ دُوْنَ غَيْرِهِمْ كَمَا هُوَ مَبْسُوْطٌ فِيْ مَحَلِّهِ
Dan
telah dimaklumi, bahwa mereka yang dapat ber-istinbath (mengambil dalil
langsung dari al-Qur'an dan Hadits) adalah orang-orang yang telah memiliki
cukup keahlian dan kemampuan berijtihad, bukan orang lain, sebagaimana
keterangan yang diuraikan dalam bab ijtihad di berbagai kitab.
أَمَّا
الْمُجْتَهِدُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّقْلِيْدُ فِيْمَا هُوَ مُجْتَهِدٌ فِيْهِ
لِتَمَكُّنِهِ مِنَ الْاِجْتِهَادِ الَّذِيْ هُوَ أَصْلُ التَّقْلِيْدِ لَكِنِ
الْمُجْتَهِدُ الْمُسْتَقِلُّ بِوُجُوْدِ الشَّرَائِطِ الَّتِيْ ذَكَرَهَا
الْأَصْحَابُ فِيْ أَوَائِلِ الْقَضَاءِ مَفْقُوْدٌ مِنْ نَحْوِ سِتِّمِائَةِ
سَنَةٍ كَمَا قَالَهُ ابْنُ الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى
Adapun
orang yang dapat menyandang status mujtahid, maka haram baginya untuk bertaqlid
dalam persoalan yang ia sendiri mampu berijtihad, karena kemampuannya
berijtihad justru menjadi acuan bagi mereka yang taqlid.
Namun
demikian, mujtahid mustaqill (mujtahid yang mampu menggali hukum langsung dari
sumbernya, al-Qur'an dan Hadits) dengan memenuhi segala persyaratnnya
sebagimana yang telah dijelaskan oleh para pengikutnya dalam permulaan bab
qodlo', ternyata sudah tidak ditemukan lagi sejak kira-kira enam ratus tahun
yang silam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Shalah rahimahullaau ta’ala
حَتَّى
قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ إِنَّ النَّاسَ لَا إِثْمَ عَلَيْهِمْ اَلْآنَ بِتَعْطِيْلِ
هَذَا الْفَرْضِ أَيْ بُلُوْغِ دَرَجَةِ الْاِجْتِهَادِ الْمُطْلَقِ لِأَنَّ
النَّاسَ كُلَّهُمْ بُلَدَاءُ بِالنِّسْبَةِ إِلَيْهَا وَفَرْضُ الْكِفَايَةِ فِيْ
طَلَبِ الْعُلُوْمِ لَا يُتَوَجَّهُ إِلَى الْبَلِيْدِ
Bahkan
tidak sekedar satu orang yang menyatakan manusia sekarang tidak berdosa
seandainya meninggalkan kewajiban berijtihad ini, karena manusia zaman sekarang
ini terlalu bodoh untuk mencapai derajat ijtihad. Padahal fardlu kifayah dalam
hal mencari ilmu tidak mungkin ditujukan kepada orang-orang yang bodoh.
وَلَيْسَتِ
الْمَذَاهِبُ الْمَتْبُوْعَةُ مُنْحَصِرَةٌ فِي الْأَرْبَعَةِ بَلْ لِجَمَاعَةٍ
مِنَ الْعُلَمَاءِ مَذَاهِبُ مَتْبُوْعَةٌ أَيْضًا كَالسُّفْيَانَيْنِ وَإِسْحَاقَ
بْنِ رَاهَوَيْهِ وَدَاوُدَ اَلظَّاهِرِيِّ وَالْأَوْزَاعِيِّ
Sebenarnya
madzhab-madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas hanya kepada empat
madzhab saja, bahkan ada golongan ulama dari madzhab yang bisa diikuti, seperti
madzhab Sufyan Tsawri dan Sufyan bin ‘Uyaynah, Ishaq bin Rahawayh, madzhab
Dawud ad-Zhahiri dan madzhab al-Awza'i.
وَمَعَ
ذَلِكَ فَقَدْ صَرَّحَ جَمْعٌ مِنْ أَصْحَابِنَا بِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ
تَقْلِيْدُ غَيْرِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ ، وَعَلَّلُوْا ذَلِكَ بِعَدَمِ
الثِّقَةِ بِنِسْبَتِهَا إِلَى أَرْبَابِهَا لِعَدَمِ الْأَسَانِيْدِ الْمَانِعَةِ
مِنَ التَّحْرِيْفِ وَالتَبْدِيْلِ
Meskipun
demikian para ulama pengikut madzhab Syafi'i menjelaskan bahwa mengikuti selain
empat madzhab adalah tidak boleh, karena tidak ada jaminan kebenaran atas
hubungan madzhab itu dengan para imam yang bersangkutan, sebab tidak adanya
sanad (mata-rantai) yang dapat menjamin daari beberapa kekeliruan dan perubahan
بِخِلَافِ
الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ فَإِنَّ أَئِمَّتَهَا بَذَلُوْا أَنْفُسَهُمْ فِيْ
تَحْرِيْرِ الْأَقْوَالِ وَبَيَانِ مَا ثَبَتَ عَنْ قَائِلِهِ وَمَالَمْ يَثْبُتْ
فَأَمِنَ أَهْلُهَا مِنْ كُلِّ تَغْيِيْرٍ وَتَحْرِيْفٍ وَعَلِمُوا الصَّحِيْحَ
مِنَ الضَّعِيْفِ ،
Berbeda
dengan madzhab empat, karena para pemimpinnya telah mencurahkan jerih payahnya
dalam mengkodifikasi (menghimpun) pendapat-pendapat serta menjelaskan hal-hal
yang telah ditetapkan atau yang tidak ditetapkan oleh pendiri madzhab. Dengan
begitu, maka para pengikutnya menjadi aman dari segala perubahan dan
kekeliruan, serta bisa mengetahui mana pendapat yang benar dan yang lemah.
وَلِذَا
قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ فِي الْإِمَامِ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ إِنَّهُ إِمَامٌ
جَلِيْلُ الْقَدْرِ عَالِي الذِّكْرِ وَ إِنَّمَا ارْتَفَعَتْ اَلثِّقَةُ
بِمَذْهَبِهِ لِعَدَمِ اعْتِنَاءِ أَصْحَابِهِ بِالْأَسَانِيْدِ فَلَمْ يُؤْمَنْ
عَلَى مَذْهَبِهِ التَّحْرِيْفُ وَالتَّبْدِيْلُ وَنِسْبَةُ مَالَمْ يَقُلْهُ
إِلَيْهِ ، فَالْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ الْمَشْهُوْرَةُ الْآنَ
الْمُتَّبَعَةُ ، وَقَدْ صَارَ إِمَامُ كُلٍّ مِنْهُمْ لِطَائِفَةٍ مِنْ طَوَائِفِ
الْإِسْلَامِ عَرِيْفًا بِحَيْثُ لَا يَحْتَاجُ السَّائِلُ عَنْ ذَلِكَ
تَعْرِيْفًا
Oleh
karena itu, tidak sedikit orang yang memberi komentar terhadap Imam Zayd bin
'Ali. Beliau adalah seorang imam yang agung kedudukannya dan tinggi
reputasinya, akan tetapi kepercayaan terhadap madzhabnya menjadi hilang karena
para murid-muridnya kurang dalam memberikan perhatian pada pentingnya sanad
yang menjamin kesinambungan suatu madzhab.
فَالْمَذَاهِبُ
الْأَرْبَعَةُ هِيَ الْمَشْهُوْرَةُ الْآنَ الْمُتَّبَعَةُ ، وَقَدْ صَارَ إِمَامُ
كُلٍّ مِنْهُمْ لِطَائِفَةٍ مِنْ طَوَائِفِ الْإِسْلَامٍ عَرِيْفًا بِحَيْثُ لَا
يَحْتَاجُ السَّائِلُ عَنْ ذَلِكَ تَعْرِيْفًا
Maka
madzhab empat inilah madzhab yang sekarang masyhur dan diikuti. Para imam dari
masing-masing empat madzhab ini begitu dikenal, sehingga orang yang bertanya
tidak perlu lagi diberikan pengenalan kepada mereka, karena begitu nama mereka
disebut, dengan sendirinya orang bertanya pasti mengenalnya.
Wallaahu
A’lamu Bishshowaab
KH.
Abdullah Afif
Risalah
Tentang Pentingnya Mengikuti Madzhab Empat
Karya
Hadlratusysyaikh KH.Hasyim Asy’ari
(1287H-1366H)
Syiah bid'ah mana hukumx dan hadits x
BalasHapus