Kita tidak mendapati –sejak dulu- ulama salaf yang
beneran salaf juga ulama madzhab, yang dalam masalah-masalah fiqih, mereka
menisbatkan pendapat hasil ijtihad mereka kepada al-Qur’an dan sunnah. Dengan
bahasa yang lebih ringan, kita tidak pernah mendapati mereka menuliskan dalam
kitab-kitab mereka “ini pendapat yang shahih dan benar menurut al-Qur’an dan
sunnah”. Tidak pernah kita dapati itu. Sama sekali tidak pernah. Yang kita
dapati adalah, bahwa mereka dalam masalah-masalah fiqih yang mereka ijtihad-kan
mereka menisbatkan pendapat mereka itu kepada diri mereka atau madzhab mereka.
Itu tentu bukan karena para salaf dan ulama madzhab serta imam-imam mulia mereka tidak mengambil hukum dari al-Qura’an dan sunnah. Bukan itu tentunya. Keliru jika ada yang beranggapan seperti ini. Toh para imam-imam itu beserta ulamanya, adalah orang yang memang sangat mengerti dengan dalam maksud teks syariah, baik ayat atau juga hadits. Baik itu yang manthuq atau juga yang mafhum-nya. Apa yang mereka lakukan dengan tidak menisbatkan pendapat mereka kepada al-Qur’an dan sunnah, itu bukti kedalaman kepahaman mereka terhadap teks-teks al-Quran dan sunnah.
Syariah dan Fiqih
Yang mesti kita tahu terlebih dahulu, bahwa dalam
al-Qur’an dan sunnah yang merupakan 2 sumber utama dalam syariat Islam ini ada
di dalamnya teks yang bersifat qath’iy (pasti), dan juga yang sifatnya Dzanniy
(duga-duga). Yang Qath’iy itu adalah teks yang tidak punya makna berbilang dan
sudah tidak mungkin ditafsirkan lagi, serta tidak perlu dilakukan didalamnya
ijtihad. Itu yang disebut dengna istilah Nash. Seperti wajibnya shalat, haramnya
berjudi, mencuri juga berzina. Kesemua itu syariah yang menghukumi.
Jadi wajibnya shalat itu bukan perkara ijtihadiy, maka tidak bisa dikatakan “shalat itu wajib menurut madzhab fulan...”, tidak bisa. Harus dikatakan bahwa “shalat itu wajib menurut syariat islam!”.
Di samping Qath’iy, ada bahkan banyak teks syariah
yang sifatnya dznniy; karena memang ini yang menjadi porsi terbesar dalam teks
syariah, baik itu ayat al-Qur’an atau juga Hadits nabi s.a.w.. dzanniy itu teks
yang masih multi tafsir, mana tidak bisa digali hukum dari teks tersebut kalau
hanya berdiri sendiri karena memang masih bias kandungannya. Yang membuat teks
syariah itu menjadi dzanniy banyak sebabnya, bisa karena memang dari sisi
bahasa, teks tersebut punya arti yang lebih dari satu dan kesemua punya
kekuatan dari segi pemakaian.
Atau mungkin karena memang kandungannya berseinggungan atau berselisih denga teks syariah lainnya. Atau bisa juga karena sumbernya yang masih diragukan; seperti hadits Ahad. Pada intinya, teks-teks syariah yang sifatnya dzanniy ini tidak mungkin bisa difahami dan tidak bisa digali hukum dari akndungannya kecuali dengan upaya penelitian yang lebih mendalam. Itu yang dinamakan dengan ijithad.
Fiqih = Teks Dzanniy = Ijtihad
Nah, di teks-teks dzanniy inilah para imam madzhab
dan ulamanya bekerja. Artinya mereka memang bekerja menggali hukum dari
teks-teks yang syariah itu sendiri tidak memberikan hukum secara pasti, karena
memang sifatnya yang dzanniy. Kalau dibiarkan, tentu akan ada kekosongan hukum
yang jelas sangat tidak membantu bagi orang awam. Maka dari itu, mereka; para
imam beserta ulama madzhab meneliti, menelaah apa yang sejatinya dimaksud oleh
Allah s.w.t. dan juga Rasul-Nya s.a.w. dari ayat dan juga hadits, untuk
kemudian dihasilkan dari penelitian tersebut sebuah hukum. Itu yang disebut
dengan ijtihad.
Itu yang disebut perkara ijtihadiy. Lapangannya adalah teks-teks dzanniy, yang bekerja di dalamnya adalah imam dan ulama madzhab. Pekerjaan disebut ijtihad, dan hasilnya dinamakan fiqih.
Contohnya ijtihad ulama madzhab dalam hal menghitung
masa iddah wanita yang tertalak oleh suaminya; apakah 3 kali masa hadih, atau 3
kali masa suci? Disebutkan dalam ayat dengan redaksi “Quru’”; yang dalam bahasa
arab, bisa berarti masa suci, bisa berarti juga masa haidh. Atau juga ijtihad
ulama madzhab terkait bismillah dalam shalat sebelum membaca al-Fatihah,
disebabkan karena karena memang banyak dalil yang bersinggungan. Satu riwayat
mengatakan baca, riwayat lain justru tidak. ini lapangan ijtihad yang mana ulama
bekerja di dalamnya untuk kita; orang awam agar mudah memahami.
Maka dalam 2 hal di atas, atau lebih luasnya dalam hal fiqih, karena memang medan kerjanya adalah teks-teks dzanniy yang butuh Ijtihad, tidak bisa seseorang –siapapun itu- mengatakan bahwa masa Iddah wanita itu 3 masa haidh menurut syariat. Tidak! yang benar itu menurut madzhab fulan. Tidak juga kita katakan, membaca bismillah dikeraskan dalam shalat itu adalah yang benar menurut syariat. Tidak bisa! Itu benar menurut ijtihadnya imam fulan atau madzhab fulan; Karena memang syariah sendiri memberi peluang untuk diadakan ijtihad di dalamnya.
Ijtihad = Hasil Otak Bukan Wahyu
Dan yang namanya ijtihad itu kebenaran tidak mutlak
dan tidak ditentukan pada ijtihad siapa. Yang benar-benar tahu di ijtihad mana
kebenran itu berada hanyalah Allah s.w.t.. Ulama hanya menjalankan perintah,
bahwa teks yang masih bias harus dijalankan ijtihad, tentu yang melaksanakan
mereka yang kompeten. Maka kalimat yang masyhur dari kalangan imam mazdhab itu
adalah “qouliy shawab, yahtamilu al-khatha’. Qoulu Ghairy Khatha’, Yahtamilu
shawab” = “pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Pendapat selainku salah,
tapi bisa jadi benar”.
Karena memang yang namanya ijihad itu hasilnya bisa
jadi benar, bisa jadi salah. Tapi jika memamng dilakukan oleh pihak yang
kompeten dan otoritatif, kesalahanya tidak berdosa akan justru mendapat pahala.
Karena memang kebenarannya tidak pasti, tidak ada ulama yang berani menisbatkan
pendapatnya kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi s.a.w.. Mungkin sampai sini bisa
dipahami mengapa tidak ada ulama yang mengatakan dalam masalah fiqih “ini
pendapat yang benar menurut al-Qur’an dan sunnah!”. Tidak ada!
Hukum fiqih yang dihasilkan adalah hasil kerja
otaknya sendiri, yang bisa jadi salah bisa jadi benar. Dan otaknya itu
terbatas, juga bukanlah patokan kebenaran dalam syariah. Meraka selalu
mengatakan: “ini pendapatku, jika benar ini dari Allah. Jika salah ini dari
diriku dan juga setan!. Sama sekali tidak ada dari mereka yang mematok
kebenaran. Dan yang menyelisihnya salah, keliru, serta telah menyelisih
syariah.
Kalau mereka menisbatkan pendapatnya itu kepada
al-Quran dan sunnah, itu artinya ia menisbatkan sesuatu yang kebenarannya belum
dipastikan kepada Allah s.w.t. dan Rasul s.a.w.. Itu artinya ia merasa bahwa
otaknya itu adalah representasi dari apa yang diinginkan oleh Allah s.w.t dan
Rasul-Nya s.a.w.. artinya, jika pendapatnya salah berarti ia telah menisbatkan
kesalahan kepada Allah s.w.t. yang maha benar dan kepada Rasul s.a.w.. Dosa apa
yang lebih besar dibanding menisbatkan kesalahan kepada Allah dan Rasul-Nya?
Ini pelecehan kepada al-Quran dan sunnah namanya.
Allah Maha Benar Tidak Mungkin Salah
Jadi, para ulama madzhab menisbatkan pendapat
ijtihadnya kepada diri mereka dan madzhab mereka sendiri tidak kepada al-Qur’an
dan sunnah bukan mereka tidak berhukum dengan al-Quran dan sunnah. Tapi
Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah sebuah kebenenaran yang
Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya menjalankan tugas ijtihad, tapi
tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa ijtihadnya yang paling benar. Karena
itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.
Tapi justru dengan tegas mereka mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur seperti ini: “ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Dan ini adalah kebiasaan ulama salaf yang benar-benar salaf yang memang diwarisi dari para sahabat Nabi s.a.w.. Ini juga terekam oleh Imam Ibn Taimiyyah dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وَقَدْ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ
وَغَيْرُهُمَا مِنَ الصَّحَابَةِ فِيْمَا يُفْتُوْنَ فِيْهِ بِاجْتِهَادِهِمْ:
إِنْ يَكُنْ صَوَابًا فَمِنَ اللهِ وَإِنْ يَكُنْ خَطَأً فَهُوَ مِنِّي وَمِنَ
الشَّيْطَانِ وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ بَرِيئَانِ مِنْهُ
“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah
berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau
ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku
sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku
ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.
Dan lebih jauh lagi, kalau menisbatkan pendapat pribadi kepada sunnah, itu berarti menjual nama Nabi s.a.w. agar pendapatnya ‘laku’, padahal sama sekali itu bukan Nabi yang mengatakan, nyatanya itu hasil dari otaknya yang terbatas, ingat bahwa berdusta atas nama Nabi s.a.w., hadiahnya adalah nereka.
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan
tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)
Jadi, masih mau mencatut nama Allah s.w.t., dan
Rasul-Nya s.a.w. agar pendapat pribadi dari otak yang dangkal ini ‘laku’ di
depan khalayak awam? Silahkan jika memang mampu menandingi para sahabt juga
ulama-ulama madzhab.
Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar