Apakah Dalil Syariat Sebatas al-Qurโ€™an dan Sunnah Saja?

Hukum-hukum Islam adalah ajaran yang dibangun atas argumentasi dan landasan yang jelas dan kokoh. Terbentuknya hukum Islam tidaklah semata olah akal manusia, namun di dalamnya terbangun sinergitas antara kehendak langit dan pengetahuan akal manusia. Di mana kedua hal tersebut merupakan bagian dari hidayah atau petunjuk yang Allah berikan kepada manusia sebagai bekal dalam menjalani kehidupannya di dunia.

Sebagai ajaran yang memiliki landasan dan dasar, para ulama sepakat bahwa dasar pokok dari ajaran Islam adalah al-Qurโ€™an. Di mana istilah dasar ini, kemudian lebih dikenal dengan istilah dalil. Dan dalil yang menjadi dasar hukum Islam disebut dengan dalil syarโ€™iy.

Secara Bahasa, dalil syarโ€™iy (ุงู„ุฏู„ูŠู„ ุงู„ุดุฑุนูŠ) terdiri dari dua kata yaitu dalil (ุฏู„ูŠู„) dan syarโ€™iy (ุดุฑุนูŠ). Secara etimologis, dalil berasal dari bahasa Arab yang bermakna petunjuk atas sesuatu yang hendak dituju (al-mursyid ila al-mathlub). Sedangkan penambahan kata syarโ€™iy yang artinya sesuatu yang bersifat ke-syariahan, untuk membedakannya dengan dalil-dalil lain yang tidak dikatagorikan syarโ€™iy seperti dalil logika, dalil matematika, dalil sains, dan dalil-dalil lainnya.

Sedangkan secara terminologi ilmu Ushul Fiqih, dalil syar'iy didefinisikan sebagaimana berikut:

ู…ุง ูŠูุณุชุฏู„ ุจุงู„ู†ู‘ูŽุธุฑ ุงู„ุตู‘ูŽุญูŠุญ ููŠู‡ ุนู„ู‰ ุญูƒู…ู ุดุฑุนูŠู‘ู ุนู…ู„ูŠู‘ู ุนู„ู‰ ุณุจูŠู„ ุงู„ู‚ุทุนู ุฃูˆ ุงู„ุธู‘ูŽู†ู‘ู.
โ€œSetiap sesuatu yang dijadikan petunjuk dengan pengamatan yang benar atas hukum syariah yang bersifat amali/praktis, baik dengan jalan yang qath'i atau zhanni.โ€

Apakah Dalil Syarโ€™i Hanya al-Qurโ€™an dan Sunnah?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah di dalam ajaran Islam khususnya dalam aspek hukum praktis (fiqih), yang dikatagorikan sebagai dalil hanyalah al-Qurโ€™an dan Sunnah semata?

Sebenarnya pertanyaan ini muncul disebabkan munculnya pemahaman yang โ€œkeliruโ€ terkait dengan istilah โ€œkembali kepada al-Qurโ€™an dan Sunnahโ€. Sebab pembatasan dalil syarโ€™i hanya kepada dalil al-Qurโ€™an dan Sunnah adalah pembatasan yang bertentangan dengan kesepakatan para ulama, sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab Ushul Fiqih. Imam Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) berkata:

ูˆูƒุงู† ุงู„ุฃุฆู…ุฉ ุฃุฌู…ุนูˆุง ุนู„ู‰ ุฃู† ุงู„ุฃุฏู„ุฉ ู„ุง ุชู†ุญุตุฑ ููŠู‡ุงุŒ ูˆุฃู†ู‡ ุซู… ุฏู„ูŠู„ ุดุฑุนูŠ ุบูŠุฑู‡ุง...
โ€œDan para imam mazhab sepakat bahwa dalil-dalil syariat tidak terbatas pada keempat dalil tersebut (al-Qurโ€™an, Sunnah, Ijmaโ€™, dan Qiyas), di mana terdapat dalil syariat lainnyaโ€ฆโ€

Sebagaimana pembatasan dalil hanya pada al-Qurโ€™an semata, pernah muncul pada masa Imam asy-Syafiโ€™i. Di mana pada masa beliau, muncul sekelompok orang yang menamakan diri mereka dengan al-Qurโ€™aniyyun, yang bermakna orang-orang yang menisbatkan diri kepada al-Qurโ€™an. Kelompok ini muncul โ€“ terlepas beragam motivasi yang melatar belakanginya โ€“ dengan membawa jargon โ€œDasar hukum Islam hanya al-Qurโ€™anโ€ dalam rangka menolak Sunnah sebagai dasar hukum.

Hal mana, pemikiran yang sama pernah muncul pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib ra, yang dikemudian hari disebut dengan sekte Khawarij. Di mana mereka menolak ijtihad para shahabat dalam permasalahan yang memang terbuka peluang adanya ijtihad, sembari menyorakkan jargon โ€œTidak ada hukum kecuali hukum Allah swt.โ€ Mendengar ini, lantas Ali bin Abi Thalib ra berkata, โ€œKalimat haq yang dimaksudkan untuk kebatilan.โ€

Di sinilah permasalahannya, di mana jargon untuk kembali kepada al-Qurโ€™an dan Sunnah โ€“ sebagaia seruan yang ideal โ€“, kemudian dapat menimbulkan pemahaman dan persepsi yang keliru serta menyesatkan, jika dimaksudkan untuk menolak sumber atau dalil hukum Islam lainnya. Termasuk dalam hal ini, produk ijtihad para ulama terkait manhaj dalam berijtihad (metode istinbath hukum), maupun terkait produk fiqih.

Padahal, sebagaimana telah dikemukakan, para ulama sepakat bahwa dalil atau sumber hukum dalam Islam tidaklah semata al-Qurโ€™an dan Sunnah. Namun, syariat juga melegitimasi dalil lain yang dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan hukum Islam, seperti ijmaโ€™ dan qiyas.

Al-Qurโ€™an Sebagai Pondasi Setiap Dalil
Pada dasarnya, dalil hukum Islam yang pokok dan hakiki hanyalah al-Qurโ€™an. Sebagaimana yang berhak untuk menetapkan hukum atas manusia hanyalah Allah swt, yang kemudian titahnya ini secara langsung termaktub dalam al-Qurโ€™an. Penyusun al-Mausuโ€™ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah menulis :

ุงู„ู’ู‚ูุฑู’ุขู†ู ู‡ููˆูŽ ุงู„ุฃู’ุตู’ู„ ุงู„ุฃู’ูˆู‘ูŽู„ ู…ูู†ู’ ุฃูุตููˆู„ ุงู„ุดู‘ูŽุฑู’ุนูุŒ ูˆูŽู‡ููˆูŽ ุญูุฌู‘ูŽุฉูŒ ู…ูู†ู’ ูƒูู„ ูˆูŽุฌู’ู‡ู ู„ูุชูŽูˆูŽู‚ู‘ููู ุญูุฌู‘ููŠู‘ูŽุฉู ุบูŽูŠู’ุฑูู‡ู ู…ูู†ูŽ ุงู„ุฃู’ุตููˆู„ ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ู„ูุซูุจููˆุชูู‡ูŽุง ุจูู‡ูุŒ ููŽุฅูู†ู‘ูŽ ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ูŠูุฎู’ุจูุฑู ุนูŽู†ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุชูŽุนูŽุงู„ูŽู‰ุŒ ูˆูŽู‚ูŽูˆู’ู„ ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุฅูู†ู‘ูŽู…ูŽุง ุตูŽุงุฑูŽ ุญูุฌู‘ูŽุฉู‹ ุจูุงู„ู’ูƒูุชูŽุงุจู ุจูู‚ูŽูˆู’ู„ูู‡ู ุชูŽุนูŽุงู„ูŽู‰: {ูˆูŽู…ูŽุง ุฃูŽุชูŽุงูƒูู…ู ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ ููŽุฎูุฐููˆู‡ู} (ุงู„ุญุดุฑ: 7)ุŒ ูˆูŽูƒูŽุฐูŽุง ุงู„ุฅู’ุฌู’ู…ูŽุงุนู ูˆูŽุงู„ู’ู‚ููŠูŽุงุณู.
โ€œAl-Qurโ€™an adalah dasar pertama dari dasar-dasar syariat lainnya. Dan ia merupakan hujjah (wajib diamalkan) dari berbagai sisi, sebab dasar-dasar lainnya bersifat legal oleh sebab legitimasi al-Qurโ€™an. Oleh Karena Rasulullah saw menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah swt, dan sebab itulah perkataan Rasulullah saw (Sunnah) menjadi hujjah pula atas dasar legitimasi al-Kitab (al-Qurโ€™an). Berdasarkan firman-Nya, โ€œApapun yang dibawa oleh Rasul maka ambillah.โ€ (QS. Al-Hasyr: 7). Demikian pula (legitimasi al-Qurโ€™an) terhadap Ijmaโ€™ dan Qiyas.โ€

Namun yang patut dipahami, meskipun al-Qurโ€™an merupakan satu-satunya dalil pokok, namun al-Qurโ€™an juga telah melegitimasi banyak dalil sebagai sumber hukum Islam. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak menetapkan hukum atas manusia, namun Allah swt juga telah memberikan legitimasi kepada manusia untuk menetapkan hukum.

Secara praktis, entitas Allah swt sebagai penetap hukum yang haqiqi kemudian tewujud dalam firman-Nya yaitu al-Qurโ€™an. Sedangkan legitimasi Allah diberikan kepada dua pihak. Pertama, kepada Rasulullah saw yang terwujud dalam Sunnah-sunnahnya. Dan kedua, para ulama yang terwujud dalam ijtihad mereka.

Adapun landasan ketentuan di atas adalah hadits berikut, yang menceritakan dialog antara Rasulullah saw dengan Muadz bin Jabal ra, saat Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli/hakim.

ูƒูŠู’ู ุชู‚ู’ุถูŠู ุฅูุฐุง ุนูุฑูุถ ู„ูƒ ู‚ุถุงุกุŸ ู‚ุงู„: ุฃู‚ู’ุถููŠ ุจูƒูุชุงุจู ุงู„ู„ู‡ู. ู‚ุงู„: ูุฅูู†ู’ ู„ู…ู’ ุชุฌูุฏู’ ููŠู ูƒุชูุงุจู ุงู„ู„ู‡ูุŸ ู‚ุงู„: ูุจูุณูู†ู‘ุฉู ุฑุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‡ู. ู‚ุงู„: ูุฅูู†ู’ ู„ู…ู’ ุชุฌูุฏู’ ููŠู ุณูู†ู‘ุฉู ุฑุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‡ ูˆู„ุง ููŠู ูƒุชูุงุจู ุงู„ู„ู‡ุŸ ู‚ุงู„: ุฃุฌู’ุชู‡ูุฏู ุฑุฃู’ูŠู ูˆู„ุง ุขู„ูˆ. ูุถุฑุจ ุฑุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‡ู ุตุฏู’ุฑู‡ู ูˆู‚ุงู„: ุงู„ุญู…ู’ุฏู ู„ูู„ู‘ู‡ ุงู„ู‘ุฐููŠ ูˆูู‚ ุฑุณููˆู„ู ุฑุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‡ู ู„ูู…ุง ูŠุฑู’ุถูŠ ุฑุณููˆู’ู„ู ุงู„ู„ู‡ู.
Dari Muaz bin Jabal ra berkata: bahwa Nabi bertanya kepadanya, โ€œBagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?โ€
Muadz menjawab, โ€œSaya akan putuskan dengan kitab Allah.โ€
Nabi bertanya kembali, โ€œBagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah?โ€.
Muadz menjawab, โ€œSaya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah.โ€
Rasulullah bertanya kembali, โ€œJika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?โ€
Muazd menjawab, โ€Saya akan berijtihad dengan akal saya dan saya tidak akan lalai.โ€
Lalu Rasulullah saw menepuk dadanya seraya bersabda, โ€Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan taufiq-Nya kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah. (HR. Abu Daud).

Dan juga firman Allah swt berikut ini:

ูŠูŽุง ุฃูŽูŠู‘ูู‡ูŽุง ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ุขู…ูŽู†ููˆุงู’ ุฃูŽุทููŠุนููˆุงู’ ุงู„ู„ู‘ู‡ูŽ ูˆูŽุฃูŽุทููŠุนููˆุงู’ ุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ูŽ ูˆูŽุฃููˆู’ู„ููŠ ุงู„ุฃูŽู…ู’ุฑู ู…ูู†ูƒูู…ู’ ููŽุฅูู† ุชูŽู†ูŽุงุฒูŽุนู’ุชูู…ู’ ูููŠ ุดูŽูŠู’ุกู ููŽุฑูุฏู‘ููˆู‡ู ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ู‡ู ูˆูŽุงู„ุฑู‘ูŽุณููˆู„ู ุฅูู† ูƒูู†ุชูู…ู’ ุชูุคู’ู…ูู†ููˆู†ูŽ ุจูุงู„ู„ู‘ู‡ู ูˆูŽุงู„ู’ูŠูŽูˆู’ู…ู ุงู„ุขุฎูุฑู ุฐูŽู„ููƒูŽ ุฎูŽูŠู’ุฑูŒ ูˆูŽุฃูŽุญู’ุณูŽู†ู ุชูŽุฃู’ูˆููŠู„
โ€œHai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu (ulama). Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.โ€ (QS. An-Nisa : 59).

Klasifikasi Dalil-dalil Syarโ€™i
Lalu apa saja dalil atau sumber hukum dalam Islam?. Dalam hal ini, dalil dapat diklasifikasikan sebagaimana dijelaskan dalam definisinya di atas; apakah berdasarkan jenisnya yang disimpulkan dari kata โ€œsetiap sesuatuโ€, atau berdasarkan kualitasnya yang disimpulkan dari kata โ€œjalan yang qathโ€™i atau zhanniโ€.

a. Klasifikasi Dalil Berdasarkan Kualitasnya
Maksud dari kualitas dalil adalah sifat dalil dari aspek qathโ€™i dan zhanni-nya dalil. Dalam Ushul Fiqih, istilah qathโ€™i-zhanni digunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil. Kata qathโ€™i adalah sinonim dari kata-kata dharuri, yakin, pasti, absolut, dan mutlak. Sedangkan kata zhanni adalah sinonim dari kata-kata hadari, dugaan, relatif, dan nisbi.

Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan dalil qathโ€™i sebagaimana berikut:

ู…ุง ุฏู„ ุนู„ู‰ ู…ุนู†ู‰ ู…ุชุนูŠู† ูู‡ู…ู‡ ู…ู†ู‡ ูˆู„ุง ูŠุญุชู…ู„ ุชุฃูˆูŠู„ุง ูˆู„ุง ู…ุฌุงู„ ู„ูู‡ู… ู…ุนู†ู‰ ุบูŠุฑู‡ ู…ู†ู‡.
โ€œDalil yang menunjukkan kepada suatu makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat al-Qurโ€™an atau hadits), dan tidak mengandung kemungkinan taโ€™wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta tidak ada peluang untuk memahami makna selain makna yang ditunjukkan oleh teks.โ€

Contoh dari dalil yang dipahami secara qathโ€™i, seperti firman Allah swt yang menjelaskan bahwa โ€˜iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Maka makna angka 4 bulan 10 hari, hanya bisa dipahami secara qathโ€™i dengan angka tersebut. Sebagaimana firman-Nya:

ูˆูŽุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ูŠูุชูŽูˆูŽูู‘ูŽูˆู’ู†ูŽ ู…ูู†ู’ูƒูู…ู’ ูˆูŽูŠูŽุฐูŽุฑููˆู†ูŽ ุฃูŽุฒู’ูˆูŽุงุฌู‹ุง ูŠูŽุชูŽุฑูŽุจู‘ูŽุตู’ู†ูŽ ุจูุฃูŽู†ู’ููุณูู‡ูู†ู‘ูŽ ุฃูŽุฑู’ุจูŽุนูŽุฉูŽ ุฃูŽุดู’ู‡ูุฑู ูˆูŽุนูŽุดู’ุฑู‹ุง ููŽุฅูุฐูŽุง ุจูŽู„ูŽุบู’ู†ูŽ ุฃูŽุฌูŽู„ูŽู‡ูู†ู‘ูŽ ููŽู„ูŽุง ุฌูู†ูŽุงุญูŽ ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ูููŠู…ูŽุง ููŽุนูŽู„ู’ู†ูŽ ูููŠ ุฃูŽู†ู’ููุณูู‡ูู†ู‘ูŽ ุจูุงู„ู’ู…ูŽุนู’ุฑููˆูู ูˆูŽุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุจูู…ูŽุง ุชูŽุนู’ู…ูŽู„ููˆู†ูŽ ุฎูŽุจููŠุฑูŒ (234)
โ€œOrang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari (4 bulan 10 hari). Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.โ€ (QS. al Baqarah: 234).

Sedangkan definisi dari dalil zhanni sebagaimana berikut:

ู…ุง ุฏู„ ุนู„ู‰ ู…ุนู†ูŠ ูˆู„ูƒู† ูŠุญุชู…ู„ ุฃู† ูŠุคูˆู„ ูˆูŠุตุฑู ุนู† ู‡ุฐุง ุงู„ู…ุนู†ู‰ ูˆูŠุฑุงุฏ ู…ู†ู‡ ู…ุนู†ูŠ ุบูŠุฑู‡.
โ€œDalil yang menunjukkan makna tertentu yang harus dipahami dari teks al-Qurโ€™an dan hadits yang mengandung kemungkinan taโ€™wil atau pengalihan dari makna asal kepada makna lain, serta masih adanya peluang untuk memahami makna lain selain makna yang ditunjukkan oleh teks.โ€

Contoh dari dalil yang dipahami secara zhanni, seperti firman Allah yang menjelaskan tentang najisnya orang-orang musyrik, apakah najis yang dimaksud adalah najisnya badan mereka secara hakiki, atau najisnya akidah yang mereka yakini. Allah swt berfirman:

ูŠูŽุง ุฃูŽูŠู‘ูู‡ูŽุง ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ุขู…ูŽู†ููˆุง ุฅูู†ู‘ูŽู…ูŽุง ุงู„ู’ู…ูุดู’ุฑููƒููˆู†ูŽ ู†ูŽุฌูŽุณูŒ ููŽู„ูŽุง ูŠูŽู‚ู’ุฑูŽุจููˆุง ุงู„ู’ู…ูŽุณู’ุฌูุฏูŽ ุงู„ู’ุญูŽุฑูŽุงู…ูŽ ุจูŽุนู’ุฏูŽ ุนูŽุงู…ูู‡ูู…ู’ ู‡ูŽุฐูŽุง ูˆูŽุฅูู†ู’ ุฎููู’ุชูู…ู’ ุนูŽูŠู’ู„ูŽุฉู‹ ููŽุณูŽูˆู’ููŽ ูŠูุบู’ู†ููŠูƒูู…ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ู…ูู†ู’ ููŽุถู’ู„ูู‡ู ุฅูู†ู’ ุดูŽุงุกูŽ ุฅูู†ู‘ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ูŽ ุนูŽู„ููŠู…ูŒ ุญูŽูƒููŠู…ูŒ (ุงู„ุชูˆุจุฉ: 28)
โ€œHai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.โ€ (QS. at Taubah: 28).

b. Klasifikasi Dalil Berdasarkan Sifatnya
Adapun dari aspek sifatnya, setidaknya dalil dapat dibedakan menjadi dua: dalil naqli dan dalil โ€™aqli. Di mana dari setiap dalil dengan dua sifat tersebut, ada yang disepakati legalitasnya (muttafaq โ€™alaihi) dan adapula yang diperselisihkan (mukhtalaf fihi).

Maksud dari dalil naqli (ุฏู„ูŠู„ ู†ู‚ู„ูŠ) adalah dalil-dalil yang diterima melalui proses periwayatan seperti al-Qurโ€™an, Sunnah, Ijmaโ€™, Syaraโ€™ man qablana, dan โ€™Urf.

Sedangkan yang dimaksud dengan dalil โ€™aqli (ุฏู„ูŠู„ ุนู‚ู„ูŠ) adalah dalil-dalil yang digunakan untuk mengistinbath hukum yang dasarnya adalah akal seperti Qiyas, Istihsan, Istishlah, dan Sadd Zariโ€™ah.

Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang disepakati adalah bahwa semua ulama dari berbagai mazhab atau mayoritas di antara mereka sepakat untuk menggunakan dalil tersebut sebagai sumber dalam melakukan penggalian hukum. Dalil-dalil syaraโ€™ yang telah disepakati itu ada empat, yaitu: (1) al-Quran, (2) Sunnah, (3) Ijma', dan (3) Qiyas.

Sedangkan yang dimaksud dengan dalil-dalil yang tidak disepakati adalah dalil-dalil syaraโ€™ selain al-Quran, Sunnah, Ijmaโ€™ dan Qiyas. Disebut mukhtalaf (diperselisihkan) karena tidak semua mujtahid menjadikan dalil-dalil ini sebagai rujukan dalam berijtihad.

Namun patut dicatat disini, bahwa sekalipun para ulama berbeda pendapat terkait legitimasi dalil-dalil yang diperselisihkan tersebut, namun dalam aplikasinya, mereka kadangkala menggunakannya dengan kadar yang berbeda atau bersepakat dalam suatu hukum, namun berbeda dalam penisbatan dalil atas masalah tersebut. Itu sebabnya sebagian ulama menyebut dalil yang diperselisihkan tersebut juga dengan istilah dalil sekunder (adillah tabโ€™iyyah).

Di samping itu, adapula yang menyebutnya dengan istilah istidlal. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zarkasyi dalam syarahnya atas kitab Jamโ€™u al-Jawamiโ€™ karya Tajuddin as-Subki (w. 771 H):

ุงู„ูƒุชุงุจ ุงู„ุฎุงู…ุณ: ููŠ ุงู„ุงุณุชุฏู„ุงู„: ูˆู‡ูˆ ุฏู„ูŠู„ ู„ูŠุณ ุจู†ุต ูˆู„ุง ุฅุฌู…ุงุน ูˆู„ุง ู‚ูŠุงุณ ...(ุด): ู„ู…ุง ุงู†ุชู‡ู‰ ุงู„ูƒู„ุงู… ููŠ ุงู„ูƒุชุงุจ ูˆุงู„ุณู†ุฉ ูˆุงู„ุฅุฌู…ุงุน ูˆุงู„ู‚ูŠุงุณุŒ ูˆูƒุงู† ุงู„ุฃุฆู…ุฉ ุฃุฌู…ุนูˆุง ุนู„ู‰ ุฃู† ุงู„ุฃุฏู„ุฉ ู„ุง ุชู†ุญุตุฑ ููŠู‡ุงุŒ ูˆุฃู†ู‡ ุซู… ุฏู„ูŠู„ ุดุฑุนูŠ ุบูŠุฑู‡ุงุŒ ูˆุงุฎุชู„ููˆุง ููŠ ุชุดุฎูŠุตู‡ ู…ู† ุงุณุชุตุญุงุจ ูˆุงุณุชุญุณุงู†ุŒ ูˆุบูŠุฑู‡ุงุŒ ุนู‚ุฏ ู‡ุฐุง ุงู„ูƒุชุงุจ ู„ุฐู„ูƒ.
โ€œKitab yang kelima: Istidlal. Yaitu setiap dalil selain nash (al-Qurโ€™an dan Sunnah), Ijmaโ€™, dan qiyasโ€ฆ(penjelasan az-Zarkasyi): โ€œSetelah as-Subki selesai menjelaskan masalah terkait al-Kitab (al-Qurโ€™an), Sunnah, Ijmaโ€™ dan Qiyas, dan para imam mazhab sepakat bahwa dalil-dalil syariat tidak terbatas pada keempat dalil tersebut, di mana terdapat dalil syariat lainnya. Hanya saja mereka berbeda dalam penyebutan (tasykhish) dalil tersebut, ada yang menyebutnya Istishhab, Istihsan, dan lainnya. Baru kemudian as-Subki memulai pembahasan ini (istidlal).โ€

Demikian pula dijelaskan secara gamblang oleh Saifuddin al-Amidi (w. 631 H), melalui definisinya atas istilah Istidlal:

ุนูุจูŽุงุฑูŽุฉูŒ ุนูŽู†ู’ ุฏูŽู„ููŠู„ู ู„ูŽุง ูŠูŽูƒููˆู†ู ู†ูŽุตู‘ู‹ุง ูˆูŽู„ูŽุง ุฅูุฌู’ู…ูŽุงุนู‹ุง ูˆูŽู„ูŽุง ู‚ููŠูŽุงุณู‹ุง.
โ€œ(Istidlal) adalah ungkapan untuk menunjuk setiap dalil selain nash (al-Qurโ€™an dan Sunnah), Ijmaโ€™, dan Qiyas.โ€

Pendapat inilah yang masyhur di tengah ulama, bahwa makna istidlal secara khusus (maโ€™na โ€˜urfi) adalah setiap dalil selain ke-empat dalil yang disepakati. Sebagaimana istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh imam al-Juwaini, dan diperjelas oleh ulama setelahnya seperti al-Ghazali (w. 505 H) dan al-Amidi.

Hanya saja, terkait berapa jumlah pasti dalil-dalil yang diperselisihkan ini, para ulama tidak satu suara. Asโ€™ad al-Kafrawi dalam disertasinya, al-Istidlal โ€˜inda al-Ushuliyyin, menyimpulkan setidaknya terdapat 8 istidlal yang masyhur di kalangan ulama, atau dapat pula disebut 8 dalil lain di luar dalil al-Qurโ€™an, Sunnah, Qiyas, dan Ijmaโ€™. Ke-delapan dalil tersebut adalah: (1) al-Adillah al-โ€˜Aqliyyah, (2) โ€™Urf, (3) Mazhab Shahabi, (4) Syaraโ€™ man qablana, (5) Istihsan, (6) Istishlah, (7) Sadd Zhariโ€™ah, dan (8) Istishhab.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalil atau sumber hukum dalam Islam tidaklah semata al-Qurโ€™an dan Sunnah, namun termasuk juga setiap dalil yang dilegitimasi oleh al-Qurโ€™an dan Sunnah.

Berdasarkan ini pula, jika seorang ulama mujtahid menetapkan suatu hukum yang tidak kita temukan landasannya dari al-Qurโ€™an dan Sunnah, tidak serta merta pendapatnya tersebut ditolak. Apalagi dianggap tidak perlu diamalkan, dengan anggapan mereka adalah manusia yang bisa benar dan salah. Sebab bisa jadi, mereka memiliki argumentasi atau dalil lain yang telah dilegitimasi oleh al-Qurโ€™an dan Sunnah itu sendiri.

Itu sebabnya, pendapat mujtahid bagi umat (awam), pada dasarnya merupakan dalil yang juga dilegitimasi oleh syariat. Imam Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H) berkata:

ูุฅู†ู‡ ุฅุฐุง ูƒุงู† ูู‚ุฏ ุงู„ู…ูุชูŠ ูŠุณู‚ุท ุงู„ุชูƒู„ูŠู ูุฐู„ูƒ ู…ุณุงูˆ ู„ุนุฏู… ุงู„ุฏู„ูŠู„ุ› ุฅุฐ ู„ุง ุชูƒู„ูŠู ุฅู„ุง ุจุฏู„ูŠู„ุŒ ูุฅุฐุง ู„ู… ูŠูˆุฌุฏ ุฏู„ูŠู„ ุนู„ู‰ ุงู„ุนู…ู„ ุณู‚ุท ุงู„ุชูƒู„ูŠู ุจู‡ุ› ููƒุฐู„ูƒ ุฅุฐุง ู„ู… ูŠูˆุฌุฏ ู…ูุช ููŠ ุงู„ุนู…ู„ุ› ูู‡ูˆ ุบูŠุฑ ู…ูƒู„ู ุจู‡ุŒ ูุซุจุช ุฃู† ู‚ูˆู„ ุงู„ู…ุฌุชู‡ุฏ ุฏู„ูŠู„ ุงู„ุนุงู…ูŠุŒ ูˆุงู„ู„ู‡ ุฃุนู„ู…
โ€œJika tiada mufti disebuah tempat maka tiada pula taklif/beban syariat, sebab hal tersebut seperti ketiadaan dalil. Di mana tiada taklif tanpa dalil, dan jika tiada dalil maka tiada amal. Demikian pula jika tiada mufti, maka orang awam tidaklah ditaklif untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan hal ini, maka disimpulkan bahwa pendapat mujtahid adalah dalil bagi orang awam. Wallahuaโ€™lam.โ€


Isnan Ansory, Lc., M.A
Peneliti Rumah Fiqih Indonesia (RFI)

Komentar

Posting Komentar