
اَلْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
“Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya.”
(HR Abu Dawud)
Hadis di atas memiliki beberapa makna, di antaranya
adalah:
Pertama, jika seorang Mukmin melihat berbagai akhlak
mulia pada diri saudaranya, maka dia akan meneladaninya. Dan jika dia melihat
berbagai sifat tercela dalam diri saudaranya, dan dia mengetahui bahwa dirinya
memiliki keburukan yang sama, maka dia segera berusaha membersihkan dan
menyingkirkan sifat-sifat tercela itu dari dirinya.
Kedua, ketika seorang Mukmin melihat sebuah sifat
tercela pada diri saudaranya, maka dia segera memerintahkan dan meminta
saudaranya itu untuk menghilangkannya. Dia menjadi cermin bagi saudaranya.
Berkat nasihatnya saudaranya dapat melihat aibnya sendiri, seperti cermin yang
menampakkan keburukan wajah seseorang.
Ketiga, seorang Mukmin akan memandang kaum Mukminin
sesuai dengan keadaan hatinya. Jika hatinya baik, suci, jujur dan bersih dari
berbagai sifat tercela, maka dalam pandangannya semua Mukmin adalah baik. Dia
berprasangka baik kepada seluruh Mukmin dan sama sekali tidak akan berpikiran
buruk kepada mereka. Kau akan melihat dia mudah tertipu oleh setiap orang yang
berusaha menipunya dan membenarkan semua ucapan yang disampaikan kepadanya.
Sebab, dalam pandangannya semua orang berakhlak mulia seperti dirinya. Ini
adalah sebuah sifat mulia dan utama yang diberikan Allah kepada banyak Mukmin.
Tetapi, yang lebih baik dan sempurna adalah seseorang
yang mampu melihat sesuatu sebagaimana adanya, baik atau pun buruk, saleh
ataupun fasik.
Seorang yang berhati busuk dan bersifat buruk, wal
‘iyâ dzubillâh, maka keburukannya ini akan menjelma pada diri setiap orang yang
dilihatnya. Setiap kali melihat seseorang dia akan berprasangka buruk
kepadanya. Sebab, yang dia lihat adalah gambaran keburukan dirinya sendiri.
Menurutnya semua orang seperti dirinya. Rasulullah saw bersabda:
إِذَا قَالَ اْلإِنْسَانُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ
أَهْلَكُهُمْ
“Jika seseorang berkata, ‘Manusia telah binasa,’ maka
dialah yang paling binasa.” (HR Muslim, Abû Dâwûd, Ahmad dan Mâlik)
Seorang penyair berkata:
إِذَا سَآءَ فِعْلُ الْمَرْءِ سَآءَتْ ظُنُوْنُهُ
وَحَـقَّقَ مَا يَعْتَـادُهُ مِنْ تَـوَهُّمِ
وَعَـادَى مُحِبِّيْـهِ بِقَوْلِ عُـدَاتِهِ
وَأَصْبَحَ فِيْ شَكٍّ مِنَ اللَّيْلِ مُظْلِمِ
Jika perilaku seseorang buruk
Maka prasangkanya pun buruk
Dia wujudkan kebiasaannya dengan penuh keraguan
Dan memusuhi para pecintanya
karena ucapan musuhnya
akhirnya dia berada dalam keraguan
Seperti malam yang gelap gulita
Pernah seorang lelaki mengunjungi seorang saleh yang
dikenal sebagai waliyullâh (orang yang dicintai Allah) dan berkata kepadanya,
“Wahai Tuan, aku bermimpi melihatmu dalam wujud seekor babi.” Sang wali rhm pun
menjawab, “Babi itu adalah gambaran dirimu, bukan diriku. Ketika engkau
menghadapiku, maka gambaran dirimu menjelma pada diriku. Ketika melihat babi
itu engkau mengiranya sebagai diriku. Sesungguhnya itu adalah gambaran dirimu
yang menjelma pada diriku. Andaikata engkau baik, maka engkau akan melihatku
dalam wujud yang baik.”
Karena itu kami katakan bahwa setiap orang yang
bermimpi melihat Rasulullah saw dalam wujud yang baik, maka itu adalah tanda bahwa
dirinya baik. Tetapi, jika tidak demikian, maka itu adalah tanda bahwa dirinya
memiliki kekurangan. Kami tidak mengatakan bahwa keterangan ini berlaku untuk
semua orang. Keterangan ini hanya berlaku untuk orang yang penuh kekurangan
ketika bermimpi atau bertemu dengan orang yang sempurna, setingkat dengannya
atau orang yang tidak ia ketahui kedudukannya.
Pada umumnya apa yang dilihat oleh seseorang pada
diri kaum Mukminin adalah gambaran keadaannya sendiri. Jika dia baik, maka dia
akan melihat kebaikan dan jika dia buruk, maka dia akan melihat keburukan.
Sedangkan apa yang dilihat oleh orang-orang yang memiliki kesempurnaan, seperti
para Nabi as dan pewarisnya, dalam mimpi atau di luar mimpi, adalah keadaan
yang sebenarnya dari orang yang mereka lihat. Sebab, gambaran diri orang-orang
yang memiliki kesempurnaan tidak akan menjelma pada diri orang lain. Karena,
orang lain memiliki hijab yang terlalu tebal. Tetapi, gambaran orang lain dapat
menjelma pada diri mereka karena kejernihan hati mereka. Mereka dapat melihat
orang lain sesuai keadaannya yang sebenarnya.
Rasulullah saw bersabda:
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ
بِنُوْرِ اللهِ
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin,
sesungguhnya dia memandang dengan cahaya Allah.” (HR Tirmidzi)
Keadaan seperti ini hanya khusus bagi ahlillah.
Hati-hati jangan tertipu, sebab itulah sumber keburukan.
Keempat, hati seorang Mukmin yang sempurna imannya
akan menjadi tempat tajalli Allah SWT Al-Mu`min. Sebab, Al-Mu`min adalah salah
satu nama Allah. Hati seorang Mukmin adalah tempat makrifat. Allah SWT berkata
dalam sebuah hadits qudsi:
لَنْ تَسَعَنِيْ أَرْضِيْ وَلاَ سَمَآئِيْ وَوَسِعَنِيْ
قَلْبُ عَبْدِيْ الْمُؤْمِنِ
“Bumi dan langit-Ku tidak akan mampu menampung-Ku,
dan hati hamba-Ku yang berimanlah yang mampu menampung-Ku.” (Al-Hadis)
اَلْقَلْبُ بَيْتُ الرَّبِّ
“Hati adalah rumah Allah.” (Al-Hadis)
Arti kedua hadis ini adalah hati merupakan tempat
bermakrifat kepada Allah. WAllahu Subhânahu wa Ta’âlâ a’lam.
Oleh:
Habîb ‘Abdullâh bin Husein bin Thôhir, Majmû’, Dârul Kutubil ‘Arabiyyah, hal.
126-127.
Komentar
Posting Komentar