
Kajian teoretis
tentang kontradiksi yang ada dalam hadis-hadis Nabi Saw sudah dimulai sejak
abad kedua Hijriah. Sebagaimana dicatat al-Suyuti dalam kitabnya Tadrib
al-Rawi, buku yang pertama kali membahasnya sebagai kajian yang mandiri
Ikhtila>f al-H{adi>th adalah karya al-Syafi’i (w. 204 H) yaitu kitab
Ikhtilaf al-Hadith. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn
al-Abbas ibn Usman ibn Syafi‘, Al-Syafi‘i adalah nisbat kepada kakeknya yaitu al-Syafi‘i
ibn al-Saib, dan ia merupakan seorang sahabat junior (bertemu Nabi Muhammad
Saw., ketika masih kecil). Syafi’i dilahirkan di Gazah salah satu kota di
Palestina pada hari Jum’at bulan Rajab tahun 150 H (767 M) dan wafat di Mesir
pada tahun 204 H.
Hadis-hadis mukhtalif
merupakan salah satu objek kajian ilmu hadis. Secara khusus dibahas dalam
cabang ilmu hadis yang disebut ilmu mukhtalaf al-Hadith. Dalam rentang sejarah,
al-Syafi’i adalah tokoh pertama yang membicarakan dan menulis tentang
hadis-hadis mukhtalaf secara khusus, sekaligus cara-cara penyelesaiannya.
Sebagaimana dituangkan dalam kitab al-Umm dan al-Risalah.
Menurut al-Syafi’i,
sebenarnya tidak ada pertentangan (kontradiksi) di antara hadis-hadis tersebut.
Al-Syafi’i berkata:“Kami tidak menemukan adanya hadis yang bertentangan
(mukhtalif), melainkan ada jalan keluar penyelesaiannya.” Hadis-hadis yang
dinilai bententangan menurut al-Syafi’i hanya pada lahirnya saja, bukan dalam
arti yang sebenarnya. Suatu hadis dikatakan bertentangan dengan hadis lainnya
sebenarnya disebabkan karena kekeliruan dalam memahaminya. Tujuan al-Syafi’i
Mengarang Kitab Ikhtilaf al Hadith yaitu agar para pembaca
khususnya Muhaddisin mengetahui bagaimana cara al-Syafi’i dalam menyelesaikan
permasalahan hadis-hadis yang bertentangan tersebut. Seperti disampaikan
al-Nawawi dalam kitabnya al-Taqrib wa al-Taysir: “Al-Syafi’i mengarang kitabnya
(Ikhtilaf al-hadith), tidak bermaksud menyebutkan semua hadis-hadis yang
bertentangan, melainkan al-Syafi’i hanya menyebutkan beberapa hadis-hadis yang
bertentangan untuk menjelaskan bagaimana cara al-Syafi’i dalam menyikapi hadis
tersebut”. Di dalam kitab ini, al-Syafi’i menyebutkan 253 hadis yang saling
kontradiksi.
Al-Syafi’i dalam
menyikapi dan menyelesaikan hadis-hadis yang berten angan dalam kitabnya
“Ikhtilaf al-Hadith” memiliki beberapa metode yaitu: Pertama, metode jam’ yang
berarti mengumpulkan, yaitu mengumpulkan dua dalil dengan cara mengamalkan
keduanya tanpa membuang salah satunya. Al-Syafi’i menegaskan:“Selama dua hadis
(yang bertentangan) masih memungkinkan difungsikan, maka hendaknya hal itu
dilakukan tanpa menelantarkan salah satunya”.
Kedua, metode nasakh (pengubahan, penggantian). al-Syafi’i
mengartikan nasakh dengan penurunan perintah yang bertentangan dengan perintah
yang telah diturunkan sebelumnya. Nasakh dapat dilakukan jika terdapat dalil
yang mendukung. Dalil dapat berupa dari Nabi, sahabat yang menyaksikan
kejadian, rawi, atau informasi apapun yang dapat menunjukkan terjadinya nasakh.
Ketiga, Jika solusi
jam’u dan nasakh tidak mampu menyelesaikan kontradiksi hadis, al-Syafi’i
terakhir menawarkan metode tarjih al-riwayah, yaitu dengan membandingan kedua
hadis yang kontradiktif tersebut dari segi validitasnya, jika salah satu hadis
tersebut diriwayatkan melalui jalur yang kuat sedang yang lain tidak, maka
hadis yang kuatlah yang diamalkan.
Di sinilah kajian kritik sanad memiliki peranan penting untuk
mengetahui kevalidan sebuah hadis. Namun al-Syafi’i juga menawarkan teori lain
dalam menguatkan salah satu dari hadis yang kontradiktif, yaitu dengan metode
penyesuaian dengan dalil lain, yakni pensesuaian dengan al-Quran dan Qiyas,
jika salah satu hadis tersebut memiliki kesesuaian dengan dalil tersebut, maka
hadis itu dianggap lebih kuat dibanding dengan yang lainnya.
Komentar
Posting Komentar