
Istilah Fiqih Sunnah tidak pernah ada sebelumnya di dalam dunia
ilmu syariah. Yang kita kenal adalah istilah fiqul hadits atau hadits ahkam.
Selain itu yang kita kenal adalah fiqih yang dinisbahkan kepada salah satu nama
dari pendirinya yang berlevel mujtahid mutlak mustaqil, seperti Imam Abu
Hanifah, Malik, Syafi'i atau Ahmad. Maka kita kenal istilah Fiqih Hanafi, Fiqih
Maliki, Fiqih Syafi'i dan Fiqih Hambali. Tidak pernah kita kenal istilah Fiqih
Sunnah. Sunnah? Sunnah itu siapa? Nama orang atau nama yayasan?
Penamaan istilah Fiqih Sunnah ini sebenarnya agak rancu atau
blunder. Kalau maksudnya adalah fiqih yang mengacu kepada Rasulullah SAW,
bukankah semua mazhab fiqih itu memang mengacu kepada Rasulullah SAW? Mana ada
fiqih yang tidak mengacu kepada Rasulullah SAW? Semua ilmu fiqih pastilah
mengacu dan merujuk kepada Rasulullah SAW.
Kalau ternyata jadinya
saling berbeda satu sama lain, karena metode ijtihadnya bisa jadi memang
berbeda-beda, maka para shahabat pun saling berbeda satu sama lain. Maka
perbedaan pendapat di kalangan ulama tidak lantas membuatnya seolah keluar dari
ajaran Rasululah SAW. Apa yang dianggap shahih menurut ulama mazhab Hanafi
boleh jadi tidak shahih menurut ulama Syafi'i dan sebaliknya. Tetapi tidak ada
satupun mazhab fiqih yang berorientasi kepada selain Rasulullah SAW.
Karena metodologi dan
hasil-hasil ijtihadnya satu sama lain ada perbedaan, lalu orang-orang menamakan
dan membedakan masing-masingnya itu dengan nama-nama pendirinya. Penamaan ini
juga tidak lantas membuat fiqih itu keluar dari ajaran Rasulullah SAW. Bukankah
kita juga sering menyebut hasil ijtihad Abu Bakar dengan sebutan Fiqih Abu
Bakar. Hasil pemahaman Umar bin Al-Khattab juga sering disebut dengan Fiqih
Umar. Dan nanti ada Fiqih Utsman, Fiqih Ali, Fiqih Ibnu Umar, Fiqih Ibnu Abbas,
Fiqih Ibnu Mas'ud dan seterusnya.
Apakah ketika kita sebut
nama-nama mereka sebagai cara untuk menjelaskan hasil-hasil ijtihad para
shahabat itu bisa dijadikan dasar bahwa mereka telah menyimpang dari ajaran
Rasulullah SAW? Tentu saja tidak.
Persis sebagaimana
bacaan qiraat yang berbeda-beda itu, ada 7 qiraat yang mutawatir dan 3 yang
shahih, kemudian semua jenis qiraat itu dinamakan sesuai dengan nama para ulama
ahli bacaan Al-Quran. Kita di Indonesia yang kebanyakan umat Islam di dunia
kenal dengan qiraat riwayat Hafsh (w. 180 H) dan 'Ashim (w. 128 H).
Lalu apakah bacaan
qiraat mereka tidak mengacu kepada cara membaca Al-Quran sebagaimana yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW? Jawabannya tentu saja semua aliran qiraat itu
mengacu dan merujuk kepada Rasulullah SAW. Bahkan riwayatnya mutawatir.
Demikian juga dengan mazhab fiqih, meski namanya dinisbahkan
kepada masing-masing pendiri mazhabnya, tetapi rujukannya tetap kepada
Rasulllah SAW. Bahkan rujukan yang paling dijamin validitas dan kebenarannya
justru lewat mazhab-mazhab fiqih itu sendiri. Sebab di setiap mazhab itu telah
berkumpul jutaan ulama ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli qiraat, ahli
fiqih, ahli ushul fiqih, ahli sastra Arab yang terbaik dari semua cabang ilmu
di masanya.
Mereka sepanjang 12 abad ini telah bekerja keras untuk menjaga
kemurnian agama Islam serta menggali dengan gigih hukum-hukum yang terkandung
di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga menjadi cabang ilmu agama dengan
sangat dalam dan luas. Lalu melahirkan produk terbaik yang pernah ada di dalam
sejarah, dengan melewati mazhab-mazhab lainnya yang sudah tenggelam di makan
zaman.
Lalu kalau semua itu dianggap 'sampah' dan harus dibuang atau
ditinggalkan begitu saja dan kita kembali saja kepada Rasulllah SAW, artinya
kita malah kembali ke zaman unta. Produk yang telah 12 abad disepakati umat
Islam untuk dijadikan acuran resmi agama Islam, tiba-tiba mau ditumbangkan
begitu saja oleh sebuah buku kecil yang 'mengaku-ngaku' paling sunnah.
Memang kalangan anti mazhab sampai hari ini masih saja
mencari-cari celah untuk menusuhkkan belatinya di ulu hati umat Islam. Lucunya,
karena kelemahan pendidikan fiqih di tengah umat, mudah saja dibohongi atau
dicuci otaknya sedemikian rupa.
Jutaan kitab fiqih
yang sudah kokoh bertahan sepanjang zaman, tiba-tiba mau 'dihapus' begitu saja
dengan orang yang berijtihad sendirian saja. Anehnya, tidak pernah ada yang
bisa jamin ijtihadnya itu benar atau tidak. Pekerjaan yang dikerjakan oleh
jutaan pakar ulama yang tersebar di seluruh dunia Islam dan sudah berlangsung
sepanjang 12 abad ini kok tiba-tiba mau 'dinasakh' dengan pekerjaan seorang
yang menulis cuma 3 jilid buku, mentang-mentang judulnya pakai menyebut istilah
'sunnah'.
Kita bisa bertanya
dalam hati,"Terus, jutaan kitab fiqih yang sudah tertulis selama 12 abad
ini, bagaimana statusnya? Apa dianggap 'sampah' hanya karena namanya
dinisbahkan kepada nama pendirinya dan tidak pakai istilah 'sunnah'?"
Ketika kita memakai
istilah 'fiqih sunnah', dengan keyakinan seperti itu, sebenarnya kita telah
'menuduh' bahwa fiqih yang lain itu tidak sunnah atau tidak mengacu kepada
Rasulullah SAW. Ini sebuah pemahanan yang terlalu awam dan menyederhanakan
masalah seenaknya.
Kerancuan Yang
Terlanjur Menyebar
Tetapi saya boleh katakan kerancuan ini memang sudah terlanjur
menyebar dan sulit untuk diluruskan kembali. Contohnya adalah apa yang
dikemukakan oleh salah satu pengurus jamaah pengajian yang saya asuh. Ternyata
mereka pun ikut jadi korban kerancuan pemahamana seperti ini. Karena saking
jauhnya mereka dari kajian ilmu fiqih selama ini, sampai-sampai beranggapan
bahwa ilmu fiqih yang sahih itu hanyalah yang tertulis di dalam kitab Fiqih
Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq. Dan ngotot minta kajian menggunakan kitab Fiqih
Sunnah. Semacam ada pesanan khusus dari petingginya agar kalau membahas fiqih
harus pakai kitab Fiqih Sunnah.
Memang kitab ini
'diendors' oleh sebuah jamaah yang banyak pengikutnya, yaitu Al-Ikhwan
Al-Muslimun. Pimpinan tertingginya yaitu Hasan Al-Banna (w. 1368 H - 1949 M)
memang bangga dengan karya salah satu anggotanya, dan semacam memberi dorongan
kepada semua anggotanya untuk merujuk dalam masalah fiqih ke kitab
Fiqhussunnah. Kalimatnya tercantum di dalam muqaddimah kitab Fiqih Sunnah.
Pesan yang baik ini kadang suka disalah-tafsirkan oleh para
pengikutnya dan simpatisannya tanpa terarah, kadang dijadikan alasan untuk
meninggalkan kitab fiqih lainnya dan mencukupkan diri dengan kitab ini saja.
Padahal kalau kita baca baik-baik pesan dari sang Pendiri, beliau memuji karena
kitab ini disusun secara simple, sederhana, tidak ada istilah-istilah yang
membingungkan buat orang awam. Juga tidak pakai ta'rif (definisi) yang
njelimet. Pokoknya bagus buat orang awam, kira-kira begitu pesannya. Sebenarnya
tidak ada ungkapan bahwa inilah kitab fiqih yang shahih atau yang paling sesuai
sunnah.
Lalu apakah kitab
Fiqih Sunnah itu sudah final kesunnahannya?
Jawabannya tidak juga,
setidaknya belakangan juga muncul kitab lain yang bernama Shahih Fiqih Sunnah
karya Kamal Sayid Salim Abu Malik. Maka terjadi semacam 'perang judul' dalam
hal ini. Dengan ditambahkannya kata 'Shahih' pada judulnya, seolah seperti
mengatakan begini,"Silahkan Anda klaim buku itu sebagai sunnah, tapi hadits-haditsnya
shahih atau tidak?".
Kebetulan hari ini
istilah 'sunnah' sedang naik daun dan menjadi semacam trand tersendiri, apa-apa
selalu dikaitkan dengan sunnah. Tetapi saya kok kemudian jadi agak curiga,
jangan-jangan ini pintar-pintarnya pihak penerbit memanfaatkan trand ini.
Mereka ciptakan semacam konflik dan debat tak berkesudahan di tengah umat, biar
dagangan kitabnya laris manis laku keras. Semoga saja saya keliru dan nampaknya
banyak yang tidak sepakat dengan kecurigaan saya.
Fiqhul
Hadits
Kalau kita ingin membahas hadits-hadits nabawi dari sisi
fiqihnya, biasanya di dalam kitab-kitab hadits ada istilah khusus yaitu Fiqhul
Hadits. Maksudnya setelah bicara tentang sanad, perawi, status keshahihan dan
lain-lainnya, pembahasan kemudian dikhususkan kepada pembahan fiqih yang
terkait dengan hadits tersebut.
Biasanya rujukannya
dikembalikan kepada para ahli fiqih, setidaknya kitab-kitab hadits yang disusun
oleh para ahli fiqih. Walaupun terkadang penulis kitab sendiri yang malah
membuat kajian fiqih atas hadits itu.
Hadits Ahkam
Ada istilah lain yaitu Hadits Ahkam. Maksudnya adalah kitab atau
kajian tentang hadits, namun hadits-haditsnya dikhususkan hanya yang terkait
dengan hukum fiqih. Seperti kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar A-Asqalani
(w. 852 H) atau kitab Nailul Authar karya Asy-Syaukani (w. 1250 H).
Wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar