
Detik-detik pemakaman dilewati secara dramatis. Sang istri terpaksa membayar
beberapa orang untuk mengangkut jasad suaminya menuju mushala. Karena tidak ada
orang yang mau menshalatkan, jenazah lantas digotong kembali ke padang sahara
untuk dimakamkan di sana.
Dalam kondisi yang malang ini, tiba-tiba seorang yang terkenal zuhud datang
menghampiri. Ia turun dari gunung tempatnya ibadah guna menshalatkan jenazah
lelaki fasik tersebut. Kealiman dan kesalehan sang zahid cukup harum di mata
masyarakat, karenanya begitu tersiar kabar ia menshalati jasad penjahat
tersebut, berbondong-bondonglah orang datang ke gurun. Masyarakat heran,
mau-maunya orang ahli ibadah itu menuruni gunung, lalu menghormati mayat orang
yang bergelimang dosa.
“Aku bermimpi seolah-olah ada suara yang mengatakan ‘Turunlah dari gunung,
pergilah ke salah satu jenazah yang tak ada orang lain menemani kecuali
istrinya sendiri. Lakukan shalat untuknya karena sesungguhnya ia diampuni,”
kata sang zahid.
Sang zahid pun memanggil istri lelaki jahat itu dan bertanya tentang perbuatan
suaminya semasa hidup. “Dia sering ke kedai untuk minum minuman keras,” jawab
sang istri.
“Ingat-ingatlah kembali, barangkali ada perbuatan yang baik.”
“Tak ada perbuatan yang baik kecuali dia tiap hari sadar di waktu subuh,
mengganti pakaiannya, berwudhu, lalu menunaikan sembahyang subuh. Selanjutnya
ia kembali ke kedai untuk mabuk lagi.”
Kebaikan lainnya adalah di rumah orang yang dikenal buruk itu tak pernah sepi
dari satu atau dua anak yatim yang selalu mendapat prioritas ketimbang anaknya
sendiri. Ketika sadar (tak mabuk), dia bermunajat seolah mengakui segela
kesalahannya, “Tuhan, di sudut manakah Engkau akan menempatkanku yang buruk ini
di neraka jahannam?”
Kisah ini membuka mata kita bahwa menilai seseorang tak semudah hanya dengan
cara melihat pribadi lahiriahnya. Orang yang sehari-hari tampak berbuat
maksiat, bisa jadi mulia di akhir hidupnya lantaran pertobatan dan kebaikan
yang dilakukannya. Keselamatan hakiki orang mutlak menjadi hak prerogative
Allah. Karena itu, ketimbang memvonis orang lain dengan label hitam atau putih,
alangkah baiknya energi itu dicurahkan untuk mengoreksi diri sendiri.
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malybari ketika menceritakan hal ini juga
hendak menyampaikan pesan bahwa kepedulian anak yatim adalah perbuatan yang
utama. Sikap tersebut mencerminkan keberpihakan kepada hamba lain yang lemah,
dan bisa jadi keistimewannya melebihi ibadah-ibadah ritual yang dilakukan
dengan penuh kebanggaan dan sikap meremehkan orang lainnya.
Rasulullah
pernah bersabda,orang yang berusaha membantu janda dan orang-orang miskin
seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Dan seperti orang yang menjalankan
shalat malam.
Komentar
Posting Komentar