
Hukum mencium tangan ulama, guru dan kerabat
yang lebih tua adalah sunnah dan dianjurkan sebagaimana yang dilakukan oleh
para sahabat pada baginda nabi berdasarkan hadits dengan sanad yang shahih.
وَيُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ يَدِ الْحَيِّ لِصَلَاحٍ
وَنَحْوِهِ من الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ كَزُهْدٍ وَعِلْمٍ وَشَرَفٍ كما كانت الصَّحَابَةُ
تَفْعَلُهُ مع النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم كما رَوَاهُ أبو دَاوُد وَغَيْرُهُ بِأَسَانِيدَ
صَحِيحَةٍ وَيُكْرَهُ ذلك لِغِنَاهُ وَنَحْوِهِ من الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ كَشَوْكَتِهِ
وَوَجَاهَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا لِخَبَرِ من تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ لِغِنَاهُ
ذَهَبَ ثُلُثَا دِينِهِ
“Dan disunahkan mencium tangan orang yang
masih hidup karena kebaikannya dan sejenisnya yang tergolong kebaikan-kebaikan
yang bersifat ‘diniyyah’ (agama), kealimannya, kemuliaannya sebagaimana yang
dilakukan oleh para sahabat pada baginda nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa
sallam dalam hadits riwayat Abu Daud dan lainnya dengan sanad hadits yang
shahih.
Dan dimakruhkan mencium tangan seseorang
karena kekayaannya atau lainnya yang bersifat duniawi seperti lantaran butuh
dan hajatnya pada orang yang memiliki harta dunia berdasarkan hadits
“Barangsiapa merendahkan hati pada orang kaya karena kekayaannya hilanglah 2/3
agamanya". [Asnaa al-Mathaalib III/114]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya (juz II halaman 523, hadits nomor 524,) dan
Imam Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausathnya (juz I halaman 424, hadits nomor
425, maktabah syamilah), Sanad dan matannya sebagai berikut (al-Mu’jam
al-Ausath) :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
خُلَيْدٍ ، قَالَ : نا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى الطَّبَّاعُ ، قَالَ : نا مَطَرُ بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ الأَعْنَقُ ، عَنْ أُمِّ أَبَانَ بِنْتِ الْوَازِعِ بْنِ الزَّارِعِ
، عَنْ جَدِّهَا الزَّارِعِ ، وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ : لَمَّا
قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ، جَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا ، فَنُقَبِّلُ يَدَيِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَيْهِ
“Telah menceritakan kepada kami, Ahmad
bin Khulaid, berkata, telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Isa
ath-Thabba’, berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman al-A’naq, dari
Ummu Aban bin al-Wazi’ bin al-Zari’, dari kakeknya, al-Zari’ dan beliau menjadi
salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata: Ketika sampai di Madinah
kami bersegera turun dari kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan dan kaki
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam“.
Atas dasar hadits ini, para ulama
mensunnahkan mencium tangan para habaib, para kiyai, para ustadz dan para guru
serta orang-orang yang kita hormati.
Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudhoh
juz X halaman 36, cetakan al-Maktab al -Islami tahun 1412 H -1991 M berkata:
وَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَدِ
، فَإِنْ كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ
وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ ، فَمُسْتَحَبٌّ ، وَإِنْ
كَانَ لِدُنْيَاهُ وَثَرْوَتِهِ وَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ ، فَمَكْرُوهٌ
شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ
“Adapun mencium tangan, jika karena
kezuhudan dan kesalehan orangnya, atau karena ilmunya, atau mulianya, atau
karena dia menjaga perkara keagamaan, maka hukumnya MUSTAHAB (disunnahkan). Dan
apabila karena dunianya, kekayaannya dan kepangkatannya dan sebagainya, maka
hukumnya sangat MAKRUH".
As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip
dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqolani, bahwa beliau berkata:
اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ
مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ
يَسْتَحِقُّ التَّعْ… ظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ
الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ
سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا،
وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ
اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ
وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُ النَّاشِرِيُّ
عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ:
وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ..
“Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa
sebagian ulama mengambil dalil dari disyari’atkannya mencium hajar aswad,
kebolehan mencium setiap yang berhak untuk di agungkan; baik manusia atau
lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab,
sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal
bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah,
lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran
nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah
seorang ulama madzhab Syafi’i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf,
buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri
menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan
menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh" .
Wallohu A’lam.
Komentar
Posting Komentar