
Sejarah Hari Raya
Sebelum Islam mengalami kejayaan, tradisi orang Arab
pada saat merayakan hari rayanya lain dengan cara umat Islam. Mereka
bersenang-senang dengan berfoya-foya sehingga tradisi tersebut menjamur sampai
mereka masuk Islam. Diantara hari raya yang mereka rayakan adalah hari raya
Nairuz dan Mihron. Kemudian pada saat Baginda Nabi Muhammad Saw. datang di
Madinah, beliau Saw. menjumpai kaum Anshar yang sedang merayakan hari rayanya
dengan model seperti di atas. Lalu Nabi Saw. bertanya: “Hari apakah ini?”
Mereka menjawab: “Ini adalah hari raya yang biasa
kami buat hiburan pada saat zaman jahiliyah.” Kemudian Nabi Saw. bersabda:
قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ
اْلأَضْحَى وَيَوْمَ اْلفِطْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan keduanya
dengan hari yang lebih baik, yaitu hari raya Idul Adha (Qurban) dan hari raya
Idul Fitri.”
Hal-hal yang Disunnahan pada Hari Raya
1) Membaca takbir. Dimulai pada saat terbenamnya
matahari pada malam hari raya sampai imam akan mengerjakan shalat hari raya.
Takbir dibagi menjadi 2 macam; Takbir Mursal, yakni
takbir yang tidak disunnahkan dibaca setelah shalat, seperti halnya takbiran
pada hari raya Idul Fitri. Kedua adalah Takbir Muqayyad, yakni takbir yang
disunnahkan untuk dibaca setelah shalat, seperti halnya takbiran pada hari raya
Idul Adha yang waktunya dimulai waktu Shubuhnya bulan Arafah sampai Ashar yang
terakhir hari tasyriq.
Takbiran ini disunnahkan setelah shalat fardhu, baik ada’ atau qadha, setelah shalat sunnah Rawatib, sunnah Mutlak, sunnah Tahiyyatul Masjid, sunnah Wudhu dan shalat Jenazah. Adapun bacaan takbirnya sebagai berikut:
اَللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ لاَاِلَهَ اِلاَّالله وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ و لِلَّهِ اْلحَمْدُ .اَللهُ أَكْبَرْكَبِيَرًا وَاْلحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً .لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَلاَنَعْبُدُ إِلاَّ إِياَّهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْن وَلَوْ كَرِهَ الْكاَفِروْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلمُشْرِكُوْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلمُنَافِقُوْنَ .لاَاِلَهَ اِلاَّوَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَاَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلاَحْزَابَ وَحْدَهُ .لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَ لِلَّهِ اْلحَمْدُ
2) Mengisi malam hari raya dengan memperbanyak beribadah.
Minimal melakukan shalat Isya berjamaah dan berkeinginan melakukan shalat
Shubuh secara berjamaah. Sesuai dengan sabda Nabi Saw.:
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ اْلعِيْدِ أَحْيَا اللهُ
قَلْبَهُ يَوْمَ تَمُوْتُ اْلقُلُوْبُ.
“Barangsiapa yang mengisi malam hari raya dengan
memperbanyak ibadah maka Allah akan menghidupkan hatinya disaat semua hati
manusia mati.”
Ulama salaf punya metode lain, yaitu melakuan shalat
sunnah Mutlak. Adapun tata caranya sebagai berikut:
a. Membaca niat:
أُصَلىِّ سُنَّةً لِإِحْياَءِ لَيْلَةَ عِيْدِ
اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
b. Melakukan shalat 2 rakaat. Rakaat pertama membaca
surat al-Fatihah dan al-Falaq masing-masing 15 kali. Dan rakaat kedua membaca
surat al-Fatihah dan an-Nas masing-masing 15 kali.
c. Setelah salam membaca wirid: Ayat Kursi 13 kali,
istighfar 15 kali, shalawat 15 kali, dzikir 15 kali dan ditutup dengan doa.
3) Mandi. Meskipun tidak punya tujuan untuk menghadiri shalat hari raya. Waktunya mulai pertengahan malam sampai terbenamnya matahari pada hari raya. Namun yang lebih utama adalah mandi dilakukan setelah shalat sunnah Fajar. Adapun niatnya mandi sebagai berikut:
نَوَيْتُ اْلغُسْلَ لِدُخُوْلِ يَوْمِ عِيْدِ اْلفِطْرِ
سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى.
Sebelum melakukan shalat hari raya, yang lebih utama
adalah makan kurma yang jumlahnya ganjil.
4) Berangkat pagi-pagi. Bagi selain imam disunnahkan berangkat
dini hari setelah shalat Shubuh. Sedangkan bagi imam disunnahkan berangkat pada
saat masuknya waktu shalat.
5) Memakai wangi-wangian dan pakaian yang bagus,
warna hijau atau putih.
6) Berangkat berjalan kaki dengan keadaan tenang
melalui jalan yang jauh, dan ketika pulang melalui jalan yang lebih pendek.
7) Bagi selain imam dianjurkan melakukan shalat
sunnah Qabliyyah jika tidak mendengarkan khutbah. Sedangkan bagi imam hukumnya
makruh melakukan shalat sunnah Qabliyyah dan Ba’diyyah hari raya.
8) Mencukur rambut, memotong kuku dan menghilangkan
bau yang tidak sedap.
9) Melakukan shalat sunnah Idul Fitri.
10) Melakukan khutbah Idul Fitri.
11) Saling memberi penghormatan antara satu dengan
yang lainnya seperti mengucapkan “Taqabbalalallahu minna waminkum”.
12) Berjabat tangan dengan sesama jenis atau beda
jenis yang semahram. Klasifikasi hukum berjabatan tangan sebagai berikut: 1)
Haram berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak semahram serta
tidak menggunakan penghalang, begitupula dengan amrad yang tampan. 2) Makruh
berjabat tangan dengan orang yang punya penyakit menular. 3) Makruh berangkulan
kecuali dengan orang yang baru datang dari bepergian. 4) Sunnah mengecup
tangannya orang yang shaleh, alim dan zuhud. 5) Makruh mengecup tangannya orang
lain karena kekayaannya.
13) Melakukan puasa 6 hari. Puasa ini boleh dilakukan
dengan berbagai macam cara, baik dilakukan secara berurutan dan bersambung atau
tidak. Tetapi yang lebih utama dilakukan secara berurutan. Kesunnahan puasa ini
juga bisa didapat dengan melakukan puasa qadha atau nadzar. Jika puasa ini
dilakukan di luar bulan Syawal maka pahalanya tidak sama dengan yang dilakukan
pada bulan Syawal, sebab pahala di bulan Syawal laksana melakukan puasa fardhu
setahun penuh sebagaimana bunyi hadits:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ
شَوَّالَ كاَ نَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang melakukan puasa Ramadhan kemudian
mengikutinya dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti puasa
setahun penuh.”
Kemudian jika puasa itu dilakukan di luar bulan
Syawal maka laksana melakukan puasa sunnah setahun penuh. Adat puasa Syawal
yang telah berlaku, yakni puasa 6 hari secara berurutan kemudian ditutup dengan
hari raya ketupat, itu hanyalah metode yang diajarkan oleh Wali Songo untuk mempermudah
membiasakan dan agar tidak dirasa berat. Sedangkan niatnya berpuasa Sayawal
adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ يَوْمِ شَهْرِ شَوَّالَ
سَنَةٍ للهِ تَعَالَى.
Hikmah Disyariatkannya Shalat Hari Raya
Perlu diketahui bahwa shalat jamaah itu lebih utama
daripada shalat sendirian. Sebab di dalamnya membentuk persatuan dan kesatuan
dengan berwujud semua muslim berdiri dalam keadaan berbaris di belakang seorang
imam. Sehingga mirip dengan sebuah bangunan yang saling menguatkan, bagian satu
menguatkan sebagian lainnya.
Ketika hal itu dirasa belum cukup untuk mewujutkan
persatuan dan kesatuan umat Islam, maka disyariatkanlah shalat Jum’at. Kemudian
dirasa masih kurang lagi, maka disyariatkanlah shalat hari raya agar rasa
persatuan dan kesatuan umat Islam semakin ditingkatkan. Sebab hal ini dapat
memberikan manfaat yang sangat besar.
Hikmah lain disyariatkannya shalat hari raya adalah menampakkan kekuatan umat Islam di mata orang kafir. Dan dengannya membentuk suatu sistem kekuasan yang akhirnya dapat menakut-nakuti orang kafir.
Tata Cara Shalat Idul Fitri
Tata cara shalat sunnah hari raya Idul Fitri adalah
sebagai berikut
a) Bilal membaca:
صَلُّوْا سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ جَمَاعَةُ
أَثَابَكُمُ اللهُ .
b) Jamaah menjawab:
لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ
بِاللهِ.
c) Membaca niat shalat:
أُصَلِّى سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ
مَأْمُوْمًا / إِمَامًا لِلَّهِ تَعاَلَى. اللهُ أَكْبَرْ
d) Melakukan shalat 2 rakaat. Rakaat pertama setelah
takbiratul ihram membaca takbir (Allahu Akbar) 7 kali, sedangkan rakaat kedua
setelah takbir berdiri membaca takbir 5 kali. Rakaat pertama setelah al-Fatihah
membaca surat Qaf, sedangkan pada rakaat kedua setelah al-Fatihah membaca surat
Iqatarabat as-Sa’ah (al-Qamar).
Masing-masing takbir baik yang jumlahnya 7 atau 5
dipisah dengan bacaan:
سُبْحَانَ اللهُ وَاْلحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ
Waktu melaksanakan shalat hari raya Idul Fitri adalah
setelah matahari terbit dan naik setinggi ujung tombak menurut pandangan mata,
atau masuknya waktu Dhuha.
e. Khutbah Idul Fithri
Seusai melaksanakan shalat sunnah Idul Fitri
berjamaah maka dilaksanakanlah khutbah. Tata caranya adalah, terlebih dahulu
Bilal membacakan:
أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ
اللهُ .أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا أَثَابَكُمُ اللهُ .أَنْصِتُوْا
وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا لَعَكُّمْ تُرْحَمُوْنَ .اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ
مُحَمَّدٍ . اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ .اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ
Kemudian khatib naik mimbar untuk berkhutbah.
(Referensi: Asy-Syarqawi, I’anat ath-Thalibin, Tanwir al-Qulub,
Bujairami ‘ala al-Khathib, Hasyiyat al-Jamal, Nihayat az-Zain, al-Munasabah li
as-Sayyid Muhammad al-Maliki, al-Adzkar an-Nawawi, Kitab Primbon Syaikh Sholeh
Darat dan Durrat an-Nashihin).
Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar