
Ketika itu Imam Abu
Hanifah memang sudah dikenal sebagai salah satu dariFuqaha’ Al-‘Iraq (ahli
fiqih Iraq), ada juga yang menyebutnya sebagai faqih Al-Kufah yang
terkenal banyak menggunakan qiyas dalam mengistinbath sebuah
hukum syariah.
Sayangnya, kabar
penggunaan qiyas dan juga ra’yun (Istihsan)
sering dinegatifkan oleh sebagian orang ketika itu, sehingga Imam Abu Hanifah
dan beberapa ulama fiqih Iraq sering sekali dituduh sebagai ulama yang banyak
meninggalkan atsar/hadits dalam menentukan sebuah hukum syariah.
Padahal sejatinya tidak demikian.
Kabar itu sangat membuat
Imam Muhammad al-Baqir marah, akhirnya ketika bertemu dalam salah satu
perjalanan hajinya, Imam Abu Hanifah yang memang sudah tahu kebesaran dan
keluasan ilmu Imam Muhammad Al-Baqir langsung mendatangi beliau dan
mempekenalkan diri. Kemudian Imam Muhammad Al-Baqir bertanya:
“kamu yang bernama Nu’man
bin Tsabit yang dari kufah itu? Kamu yang merubah agama kakekku (Nabi Muhammad
saw) dengan qiyas?”
Imam Abu Hanifah
menjawab; “Maadzallahu. Aku sama sekali tidak pernah merubah agama kakek
anda wahai guru dengan qiyas! Aku menggunakan qiyas pada perkara yang memang
tidak ada dalilnya dari al-quran dan sunnah serta qaol sahabiy”
Imam Abu Hanifah
meneruskan: “sebagai bukti kalau aku tidak merubah agama Muhammad saw
dengan qiyas, aku punya 3 pertanyaan untuk anda, tua guru! Mana yang lebih
lemah, laki-laki atau wanita?”
Imam Muhammad Al-Baqir
menjawab: “wanita lebih lemah dari laki-laki!”, Imam Abu
Hanifah: “baik, agama kakekmu katakana bahwa untuk laki-laki itu 2
jatah (waris), dan wanita satu jatah. Dan aku pun mengatakan demikian, sama
seperti kakekmu. Kalau seandainya aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakana
bahwa wanita dapat jatah 2 dan laki-laki satu, karena wanita itu lebih lemah
dari laki-laki. Karena ia lemah maka pantas untuk mendapat lebih. Tapi aku
tidak katakan demikian.”
Imam Abu Hanifah: “kedua,
mana yang lebih afdhol, puasa atau sholat?”, Imam Muhammad Al-Baqir:“tentu
sholat lebih afdhol dari puasa!”. Imam Abu Hanifah: “ya. Sholat
lebih afdhol dari puasa. Agama kakekmu bilang bahwa wanita yang haidh tidak
mengqadah sholatnya tapi mengqadha puasanya. Dan akupun berendapat seperti apa
yang dikatakan oleh kakekmu. Kalau seandainya aku menggunakan qiyas, pastilah
aku katakan wanita haidh harus mengqadah sholatnya bukan puasanya, karena
sholat lebih afdhol dari puasa.”
Imam Abu Hanifah: “ketiga,
mana yang lebih najis, air mani atau air kencing?”, Imam
Al-Baqir: “air kencing lebih najis dari air mani.” Imam Abu
Hanifah: “ya. Air kencing lebih najis daripada air mani. Agama kakekmu
juga katakan bahwa cukup wudhu untuk air kencing dan harus mandi (janabah)
untuk air mani. Dan akupun mengatakan demikian! Kalau seandainya aku
menggunakan qiyas, pastilah aku katakana bahwa untuk air kencing mandi, dan
untuk air mani cukup wudhu saja, karena air kencinglebih najis daripada air
mani. Tapi aku tidak katakana begitu!”
Mendengar jawabannya itu,
Imam Muhammad bin Ali langsung memeluk Imam Abu Hanifah An-Nu’man dan mencium
keningnya.
Fatwa Sahabat Lebih
Didahulukan dari Qiyas
Terkait kabar tentang
ahli fiqih Irqa meninggalkan hadits dan beralih kepada qiyas atau ra’yu, tidak
mutlak dibenarkan. Karena mereka juga menggunakan hadits, hanya saja memang
kadar penggunaanqiyas jauh lebih banyak dibanding dengan hadits
atau atsar. Tentu bukan karena tanpa sebab.
Banyak factor yang
membuat ahli Iraq menggunakan ra’yu dalam pengambilan hukum,
sebagaimana sahabat yang menjadi bibit terciptanya madrasah
Al-Iraq ini, yaitu Ibnu Mas’ud 932 H) dan juga Imam Ali
bin Abi Thalib (40 H).
Fuqaha Al-Hijaz (Mekah
dan Madinah) pun demikian, mereka dikenal sebagai madrasah fiqih yang
banyak menggunakan hadits. Padahal tidak demikian, mereka juga punya kadar
tertentu yang mana mereka menggunakan ra’yu sebagai media
pengambilan hukum, yang hasilnya sering disebut dengan istilah maslahah. Dan
ini banyak dipraktekan oleh Imam mereka sendiri, sayyidina Umar bin Khaththab
(23 H).
Dan kemudian juga
diteruskan oleh para 7 AHli Fiqih Madinah yang hampir kesemuanya menjadi
penasehat keagamaan bagi khalifah ketika itu. Di antaranya ialah Said bin
Al-Musayyib (94 H), juga ‘Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah (94 H) yang
menjadi penasehat khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H).
Dan sejatinya agak keliru
juga kalau madzhabnya Imam Abu Hanifah dikatakan sebagai pewaris madrasah Kufah/’Iraq saja,
karena dalam catatan hidupnya, Imam Abu Hanifah jua mewarisi fiqihMadrasah
Atsar dari Mekkah melalui ‘Atha’ bin Abi Rabah (114
H). yang mana beliau berguru langsung kepada ‘Atha’ ketika
berada di Mekkah dan sempat tinggal lama, bahkan terulang setiap tahun. Karena
sejarawan menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah pergi haji dalam hidupnya sebanyak
55 kali, jadi frekuensi pertemuannya pun sangat lama.
Baiknya kita tutup
tulisan ini dengan perkataan Imam Hanani yang masyhur ini yang kemudian
dijadikan sebagai ushul madzhabnya, bahwa Imam Abu Hanifah
tidak asal berijtihad, bahkan fatwa sahabat pun menjadi dalil bagi mereka.
Di tengah majli yang
dihadiri oleh para muridnya, termasuk Imam Abu Yusuf (182 H) dan Imam Muhammad
bin Al-Hasan Al-Syaibani (189 H):
“Aku mengambil (hukum)
dengan kitab Allah swt (al-Quran), dan apa yang aku tidak dapati di Al-Quran,
aku mengambil dari hadits-hadits Nabi saw. Kalau aku tidak menemukannya di
Al-Quran dan juga tidak di hadits Nabi saw, aku mengambil dari fatwa
(perkataan) para sahabat Nabi saw, aku mengambil dari mereka yang aku mau, dan
aku tingalkan yang aku mau (memilih), akan tetapi aku tidak keluar dari
perkataan mereka kepada selain mereka (sahabat).
Kalau dari para sahabat
juga aku tidak menemukan, atau perkara ini sampai pada Ibrahim Al-Nakho’i,
SUfyan Al-Tsauri, Al-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, ‘Atho, dan Said bin Al-Musayyib
dan beberapa orang lain (dari kalangan tabi’in), maka aku berijtihad sebagaimana
mereka berijtihad!”
Begitu juga dengan
redaksi yang sama disebutkan oleh Imam Al-Mizi dalam kitabnya Tahdzib
Al-Kamal(29/443). Begitu oleh Imam Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam
kitabnya Al-Intiqo’ fi Fadhoil Al-Tsalastah Al-Aimmah Al-Fuqoha’ (hal
144).
Komentar
Posting Komentar