
Padahal seiring perkembangan zaman, muncul pula perkara-perkara anyar dalam lingkup komunitas tertentu yang tidak ditemukan dalil-dalinya baik dalam nushus (qur’an dan sunnah) ataupun Ijma’ dan qiyas. Hal ini membuat sebagian besar orang melirik kepada dalil al mukhtalaf fiiha (dalil yang menjadi polemik antar ulama), dimana lebih difokuskan kepada urf atau kebiasaan yang berlaku kepada sebagian besar masyarakat.
Hal ini menarik untuk dikaji, bagaimana para ulama bisa menjadikan
adat atau kebiasaan masyarakat menjadi dalil dalam agama, bagaimana
rambu-rambunya sehingga tidak terjadi tabrakan antara urf dengan dalil
syar’i lainnya.
Dalil itu apa saja?
Seluruh ulama sepakat bahwa dalil syar’i terbagi kepada dua jenis
yakni Al-adillah al muttafaq ‘alaih (dalil-dalil yang disepakati) yang terdiri
dari empat hal, yakni: Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Kemudian yang ke dua
yakni Al-adillah al-mukhtalaf fiihaa (dalil-dalil kontroversial yang dipakai
oleh satu madzhab dan bisa jadi tidak dipakai oleh madzhab yang lain, atau sama
teknisnya namun berbeda penamaanya) yang terdiri dari: Istihsan, Istishab,
syariat orang-orang terdahulu, madzhab para sahabat, urf atau adat istiadat,
maslahat mursalah, dll.
Tidak sedikit dari sejumlah perkara baru yang kita temui di
masyarakat yang mana hal tersebut berdasarkan kebiasaan yang disepakati oleh
sebagian besar orang-orang, seperti adat bertukar makanan menjelang bulan
Muharram, atau kebiasaan mengaji bergantian seusai shalat tarawih yang biasa
dikenal dengan tadarus, hingga adat menggelar kajian dan dzikir bersama pada
momen-momen besar Islam.
Pengertian urf
Secara bahasa, urf berasal dari kata ‘arafa dengan masdar al ma’ruf yang
bermakna dikenal, bisa juga bermakna kebaikan karena lawan kata dari ma’ruf
adalah munkar [1] . Kemudian dalam makna
istilah, Syekh Abdul Wahhab Khollaf merangkum sejumlah definisi dari para ulama
menjadi:
العُرف هو ما تعارفه
الناس وساروا عليه، من قول، أو فعل، أو ترك
Urf adalah apa-apa yang dikenal orang banyak dan kemudian
dibiasakan baik dari perkataan, perbuatan, hingga kebiasaan meninggalkan dan
mengerjakan sesuatu[2].
Para ulama sepakat tidak ada perbedaan yang signifikan antara urf
dan adat kecuali bahwa adat lingkupnya lebih luas daripada urf yang hanya
menekankan pada kebiasaan sebuah komunitas.
Pendapat Para Ulama Terkait Kehujjahan Urf
Secara garis besar, para ulama sepakat tentang menjadikan urf sebagai
dalil dalam syari’at. Namun mereka hanya berbeda dalam menjadikannya dalil yang
bisa berdiri sendiri tanpa nushus atau tidak:
1. Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Ibnu Qayyim
al Jauziyah dari Hanabilah berpendapat bahwa urf bisa menjadi dalil yang
berdiri sendiri tanpa harus bersandar kepada maksud nushus. Mereka berdalil
dari surat al a’raf ayat 199, dimana dalam kitab majmuah fawaid bahiyyah
dikatakan:
خُذِ الْعَفْوَ
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين (الأعراف: 911)، فالأمر
بالعرف في الآية يدل على وجوب الرجوع إلى عادات الناس، وما جرى تعاملهم به، وهذا
يدل على اعتبار العادات في الشرع بنص الآية. قال ابن الفرس في كتابه: "أحكام
القرآن": المقصود بقوله: {وأمر بالمعروف} أي: المعروف عند الناس، الذي لا
يخالف الشرع
Dari surat al a’raf 199, maka perintah dengan urf dalam hal ini
bermakna pada kewajiban menjadikan adat manusia sebagai sandaran, dan apa-apa
yang menjadi kebiasaan dalam muamalat mereka, maka ini secara eksplisit
melegitimasi penggunaan urf sebagai landasan. Kemudian Ibnu Faras dalam
kitabnya ahkamul qur’an berkata: maksud dari firman Allah “wa’mur bil urf”
yakni ma’ruf menurut sebagian banyak orang, yang tidak bertentangan dengan
syara’[3]
Kemudian dengan Atsar dari Abdullah bin Mas'ud:
"ما رآه المسلمون حسنًا فهو عند اللَّه حسن"
“segala hal yang dianggap oleh kaum Muslim sebagai sesuatu yang
baik maka menurut Allah hal itu adalah baik pula” (HR. Ahmad)”
Dari sini ulama Hanafiah berpendapat:
يدل الحديث أن الأمر
المتعارف عليه تعارفًا حسنًا بين المسلمين يعتبر من الأمور الحسنة
التي يقرها اللَّه
تعالى، وما أقره الله تعالى فهو حق وحجة ودليل، ولذا يعتبر الحنفية أن الثابت
العرف ثابت بدليل شرعي، وأن المعروف عرفًا كالمشروط شرطً.
Hadist ini bermakna bahwa hal yang sama-sama diketahui oleh
muslimin dan dianggap sebagai perkara yang baik maka dianggap baik dan
disetujui pula oleh Allah, dan apa-apa yang disetujui oleh Allah maka itu
adalah haq dan menjadi hujjah serta dalil, maka daripada itu ulama Hanafiah
menganggap bahwa ketetapan dengan urf seperti halnya ketetapan dalam dalil
syar’i, dan bahwa hal baik yang menjadi urf posisinya seperti yang disyaratkan
menjadi syarat[4]
2. Madzhab Syafi’iyah: Urf bisa menjadi dalil asalkan tetap
bersandar kepada prinsip nushus, Ijma, dan Qiyas, serta tidak boleh berdiri
sendiri[5].
Rambu-rambu Berdalil dengan Adat
Ada sejumlah syarat dimana urf bisa dikategorikan sebagai urf yang
benar untuk dijadikan dalil dalam syariat:
1. Urf tidak boleh bertentangan dengan Nushus, Ijma’ dan Qiyas
Syar’i.
2. Harus dikenal dan berlaku oleh masyarakat umum, bukan kebiasaan
individu atau kelompok kecil.
3. Urf tersebut harus masih tetap eksis,tidak diperkenankan
berdalil dengan urf yang sudah tidak lagi berlaku oleh masyarakat di tempat
tersebut.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat luas bisa dijadikan landasan
dalam syariat. Seperti halnya madzhab Malikiyah yang tak sedikit berdalil
dengan kebiasaan penduduk Madinah dan menjadikannya lebih kuat dari khabar
ahad. Bahkan Madzhab Hanafiah dalam berdalil dengan Istihsan menjadikan adat
dan kebiasaan masyarakat lebih kuat posisi dalilnya dibandingkan dengan dalil
dari redaksi ayat dan hadist yang berkonotasi umum.
Berbeda dengan madzhab Syafi’iyah dimana beliau menempatkan urf
sohih sebagai pijakan setelah 4 dalil muttafaq (Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas).
Maka secara garis besar, para ulama telah sepakat tentang posisi urf Shahih
sebagai dalil syar’i.
Lantas, bagaimana dengan kaidah :
الأصل في العبادة
التحريم إلا ما دلّ الدليل على جوازه
“hukum asal dari Ibadah adalah haram, hingga ada dalil yang
membolehkannya”
Dalam hal ini perlu kita fahami
lagi apa itu definisi dan kriteria Ibadah. Dan jika memang ada hal baru dalam
ibadah yang muncul dari adat masyarakat. Maka tak bisa dipungkiri hal tersebut
bisa menjadi dalil atas kebolehannya, selama adat yang diapakai sesuai dengan
rambu-rambu yang telah disepakati oleh para ulama salaf.
Berdasarkan hal inilah muncul kaidah lain dari madzhab Hanafiah
terkait kuatnya adat atau kebiasaan masyarakat yang bisa menjadi dalil juga:
الثابت بالعرف
كالثابت بالنص
“Yang telah ditetapkan berdasarkan urf, sama halnya seperti yang
telah ditetapkan berdasarkan nash (Quran dan Hadist)[6]”
Kesimpulannya adalah bahwa adat masyarakat selama masih dalam koridor yang
tidak bertentangan dengan prinsip yang ada pada nushus serta mengikuti
rambu-rambu yang telah disepakati oleh jumhur ulama, maka boleh dijadikan
landasan berdalil apalagi hanya dalam perihal furu’ yang sangat memungkinkan
sekali terjadi perbedaan dalam aplikasinya.
Wallahu a’lam bishhowab
[1] Muhammad Musthofa al-Zuhaily. al-Wajiz fi al-Ushul al-fiqh. Jil.
1. (Damaskus: Dar al-Khair. 2006). 265.
[2] Abdul Wahab Kholaf. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. (Kairo: Dar al-Ghod
al-Jadid. 2014). 93.
[3] Abu Muhammad al-Asmariy al-Qahtaniy. Majmuat al-Fawaid
al-Bahiyyah ala mandzumat al-Qawaid al-Fiqhiyyah. (Saudi Arabia: Dar al-Sumaiy’iy.
2000). 95.
[4] Op.cit. al-Wajiz fi al-Ushul al-Fiqh. 267.
[5] Hasan bin Muhammad bin Mahmud al-Atthor. Hasyiyat al-Atthor
ala syarhi jalal al-Mahlliy ala jam’i al-Jawami’. Jil. 2. Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah. 395.
[6] Ibnu-l-Hummam Al Hanafi. Fathul Qodir. 8/32
Komentar
Posting Komentar