Sebut saja ketika kita hendak memasuki perguruan tinggi. Dalam fase ini, tak jarang ada perdebatan yang sengit antara ingin kita dan kemauan orang tua. Jika hal ini tidak didiskusikan dengan kepala dingin, bisa jadi akan buruk kesudahannya.
Dalam memilih jodohpun, hal ini kerapkali terjadi.
Sebut saja Bejo. Atas kerja keras ibunya, ia berhasil diwisuda sebagai
dokter. Selepas itu, dia berkenalan dengan seorang wanita. Keduanyapun
bersepakat untuk mengikat cinta dalam bingkai kehalalan. Menikah.
Keduanya larut dalam kebahagiaan lantaran dipertemukan dengan belahan hatinya. Namun, sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Khususnya bagi Bejo. Calon istri yang selama ini dia impikan itu, memberikan syarat yang berat.
Sebelum mengucap kata sepakat untuk melangsungkan akad, wanita yang
kelak menjadi bidadarinya ini berujar, "Ada syaratnya, tolong jangan
ajak Ibumu untuk hadir dalam pesta pernikahan kita."
Seperti mendapat simalakama, Bejo belum bisa memutuskan. Hingga
akhirnya, ia teringat akan sosok dosen yang selama ini telah menjadi
Guru Spiritualnya.
Sebelum memberi jawaban, didatangilah Sang Dosen. Diceritakanlah apa
yang tengah dia alami, hingga akhirnya sang Dosen bertanya, "Apa yang
membuat calon istrimu itu keberatan jika Ibumu hadir dalam pesta
pernikahan kalian?"
Bejo pun berkisah, sambil menerawang, "Selama ini, hingga saya lulus
sebagai Dokter, yang membiayai hidup dan pendidikanku adalah Ibu. Karena
ayah sudah lama tiada. Ibu bekerja sebagai tukang cuci baju keliling.
Mungkin, calon istriku malu jika di pesta pernikahan nanti, semua kolega
ayahnya mendapati malu lantaran besannya adalah Ibuku yang hanya tukang
cuci baju keliling."
Seraya memahami, sang Dosen berpesan, "Silahkan pulang ke rumah. Cuci tangan Ibumu. Esok harinya, datanglah lagi ke mari."
Tanpa tapi, Bejo langsung mematuhi apa yang disarankan oleh Dosennya
itu. Sesampainya di rumah, Bejo langsung mencari Ibunya, dan kemudian
meminta ijin untuk mencuci tangan wanita yang selama ini telah
menghidupi dirinya itu.
Dalam prosesi pencucian tangan itu, Bejo dibuat terkejut lantaran tangan
ibunya yang rusak. Iritasi akut bersebab sering terkena sabun ketika
mencuci. Ketika itu pula, sang Ibu menahan perih. Tak terasa, Bejo pun
menangis. Betapa selama ini,dirinya hidup di atas perih yang dialami
Ibunya, selama bertahun-tahun.
Setelah selesai, Bejo langsung memahami apa yang dimaksudkan oleh
Dosennya. Ia langsung menghubungi Dosennya itu, "Pak, saya sudah
memahami apa yang bapak maksudkan. Saya tak perlu lagi menunggu sampai
esok hari. Saya tidak mungkin meninggalkan Ibu ketika pesta pernikahan
kami nanti, karena beliau telah mewakafkan seluruh hidupnya untukku,
hingga aku menjadi seperti sekarang ini."
Begitulah, persimpangan-persimpangan dalam kehidupan kita, kerap kali dihadirkan sebagai pelengkap, agar hidup lebih dinamis.
Yang perlu diperhatikan, dalam hal ini, adalah jebakan kegegabahan. Jika
salah, fatal akibatnya. Sehingga,berpikir bijak dengan meminta
pertimbangan yang sudah berpengalaman, adalah keniscayaan.
Dalam hal ini, selalu terhubung dengan Allah sebagai sumber solusi,
adalah kemestian. Pun, dengan mencontoh apa yang sudah dipraktekan oleh
Para Nabi, Sahabat-sahabat Nabi, dan orang-orang yang telah berhasil
melalui ujian hidup dengan gemilang, sesuai dengan apa yang Allah
inginkan.
Calon istri anda, bisa jadi tak hanya satu. Tapi Ibu Kandung anda,
sampai kapanpun, tidak mungkin lebih dari satu. Ia adalah Ibu, yang
sudah berbahagia ketika anda menghuni rahimnya. Padahal, tak ada jaminan
dari siapapun, sedikitpun, bahwa kelak, anda, anak-anaknya, akan
menjadi permata hati yang membuat ia berbahagia.
Bu, maafkan jika bakti kami selama ini, ala kadarnya
Bu, maafkan jika bakti kami selama ini, ala kadarnya
Komentar
Posting Komentar