Dalam
haji wada’nya (haji perpisahan), Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan sekitar
120.000 orang, “Wahai manusia, dengar dan perhatikanlah, sesungguhnya aku
tidak akan bertemu lagi dengan kalian selepas tahun ini.”
Semuanya
terdiam, sambil terus mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Rasulullah
SAW. Beliau menasihati dan berwasiat kepada mereka tentang keterikatan mereka
dengan Tuhan dan agama mereka. Ketika itu Allah menurunkan ayat, “Pada hari
ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku sempurnakan nikmat-Ku
atas kalian, dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.”
Allah
menghidupkan makna kehidupan yang dahsyat di tengah-tengah mereka, dalam
suasana perpisahan dengan Rasulullah SAW. Saat itu, perpisahan dengan Beliau
adalah sebuah sisi kehidupan bagi umatnya setelah itu.
Kemudian
Rasulullah SAW pun pulang ke kota Madinah.
Bulan Rabi’ul Awwal tiba.
Di awal
bulan itu, tubuh Rasulullah SAW terasa lemah. Beliau terserang sakit demam.
Tubuhnya pun disirami air sejuk. Beliau bersabda, “Siramilah aku dengan air
supaya aku dapat keluar untuk mengucapkan salam perpisahan dengan para
sahabatku.” Baginda pun disirami air itu, yang membuat tubuhnya terasa lebih
segar.
“Sahabat
Teragung”
Kemudian
Beliau keluar rumah, melangkahkan kakinya dengan diiringi kedua sepupunya, Sayyidina
Ali bin Abi Thalib dan Sayyidina Fadhl bin Abbas, radhiyallahu ‘anhuma. Beliau
menemui para sahabat.
Saat
melihat hadirnya Rasulullah SAW di tengah-tengah mereka, tampak betapa
kegembiraan menyemburat dari wajah para sahabat. Kemudian Rasulullah SAW duduk
di atas mimbarnya. Para sahabat terdiam, bersiap untuk mendengarkan segala apa
yang akan diucapkan Rasulullah SAW.
Rasulullah
SAW pun berkhutbah, khutbah perpisahan. Beliau bersabda, “Seseorang telah diberi pilihan, antara kehidupan di dunia atau
menjumpai Ar-Rafiqul A’la
(“Sahabat Teragung”, Allah SWT).”
Rasulullah
SAW pun kemudian mengulang-ulang kata itu, “Ar-Rafiqul
A’la, Ar-Rafiqul A’la, Ar-Rafiqul A’la…”
Wahai
orang yang berakal, adakah kehidupan Allah akan berakhir? Adakah hubungan
dengan Allah akan menemui titik penghabisan? Hubungan dengan Ar-Rafiqul A’la
itu sesungguhnya merupakan kehidupan itu sendiri. Ucapan Rasulullah SAW itu
menandakan bahwa ia memilih kehidupan yang sejati.
Hati
sahabat Sayyidina Abubakar r.a tersentuh. Ia pun berkata kepada Rasulullah SAW,
“Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, biarlah
ruh-ruh kami, anak-anak kami, dan sanak keluarga kami, serta harta-harta kami,
sebagai tebusan bagimu.”
Melihat
Sayyidina Abubakar RA mengatakan itu, sahabat Sayyidina Abu Sa’id Al-Khudri RA
berkata, “Ada apa dengan orang tua ini?
Apakah ia (Abubakar) sudah pikun?”. Rasulullah SAW telah menceritakan ihwal
lelaki ini (Abubakar RA), yaitu seorang yang telah meyakini penuh bahwa diri Beliau
sebagai utusan Allah SWT (saat yang lain banyak yang mengingkarinya). Kelak Sayyidina
Abu Sa’id mengatakan, “Selepas wafatnya
Rasulullah SAW, Aku baru tahu, perkataan Abubakar itu perkataan yang tepat.”
Rasulullah
SAW memandang Sayyidina Abubakar RA. Pandangan yang penuh makna. Kemudian Beliau
berkata, “Biarkanlah sahabatku berkata
kepadaku. Orang yang paling percaya kepadaku adalah Abubakar. Sekiranya aku
memilih kawan dekat, niscaya aku akan memilih Abubakar. Tutuplah pintu rumah
kalian yang menuju masjidku, kecuali pintu rumah Abubakar.”
Wasiat-wasiat
Rasulullah
“Ya Rasulullah, berwasiatlah kepada kami,”
ujar para sahabat. Kala itu, di antara yang diwasiatkan Rasulullah SAW, “Berwasiatlah kalian terhadap para wanita
dengan kebaikan.” Wasiat ini menyimpan makna yang luar biasa yang Beliau
katakan di saat Beliau hendak mengucapkan salam perpisahan kepada sekalian
umatnya. Maknanya, agar kita mewujudkan hubungan yang baik sesama kita
sepeninggal Beliau, yang dengannya kehidupan akan berjalan harmonis. Beliau
mewasiatkan ini agar kita dapat menggapai kehidupan yang sebenarnya, yaitu
tatkala kita menjalani kehidupan ini dengan penuh kebaikan.
Beliau
juga berwasiat, “Dan berwasiatlah kalian
dengan baik terhadap keluargaku.” Beliau ingin kita dapat terus hidup
berkesinambungan dengan Beliau.Kenapa Beliau mengatakan “keluarga” yang
dinisbahkan sebagai keluarga Beliau, “keluargaku”. Hal itu disebabkan Beliau
ingin mengajarkan kepada kita bahwasanya perpindahan Beliau dari alam dunia
tidak dimaksudkan sebagai terputusnya hubungan umat dengan Beliau. Seakan Beliau
mengatakan, “Hubungan kalian denganku tak
akan terputus selagi kalian berhubungan dengan keluargaku.”
Wasiat
Beliau lainnya, “Janganlah kalian
menjadi kafir selepas kepergianku dan janganlah kalian berperang satu sama lain.”
Beliau pun terus berwasiat kepada para sahabat dengan wasiat-wasiat lain yang Beliau
berikan kepada mereka.
Sebagian
di antara mereka mengatakan, “Ya
Rasulullah, jika engkau wafat, siapakah yang akan memandikanmu?”. Beliau
menjawab, “Seseorang di antara ahlul
baytku.” Hati mereka amat tersentuh dengan perpisahan yang akan mereka
lalui, perpisahan antara mereka dengan Rasulullah SAW.
Kemudian
mereka berkata lagi, “Dengan apa engkau
akan kami kafankan?”. Saat melihat rasa gundah melanda hati para
sahabatnya, air mata Rasulullah SAW pun berlinang. Beliau menjawab, “(Bahan) dalam pakaianku ini, atau kain dari
Yaman, atau jubah dari Syam, atau kapas dari Mesir.”
Sayyidina
Abubakar r.a Mengimami Shalat
Mereka
terus bertanya kepada Rasulullah SAW dengan beberapa pertanyaan lainnya. Setelah
banyaknya pertanyaan sebagai persiapan bagi para sahabat bila sewaktu-waktu
Rasulullah SAW wafat dan meninggalkan mereka, Rasulullah SAW pun menangis. Lalu
Beliau bersabda, “Berlaku lembutlah
kepada nabi kalian.”
Kemudian
Beliau berdiri, melangkah pulang, dan memasuki rumah Beliau. Beliau pun
merebahkan diri di pembaringan.
Di
saat yang sama, rasa bimbang semakin menggelayuti hati para sahabat. Kemudian
mereka meninggalkan pekerjaan dan urusan mereka dan berkeliling di sekitar
rumah Rasulullah SAW dan masjid Beliau. Mereka ingin mengetahui perkembangan
berita tentang Rasulullah SAW. Sampai tiba pada waktu shalat, sedangkan imam
mereka (Rasulullah SAW) tidak kunjung keluar untuk shalat bersama mereka. Para
sahabat pun semakin bertambah bimbang.
Kemudian
Rasulullah SAW berkata kepada Sayyidatuna Aisyah RA, “Perintahkan Abubakar
untuk mengimami shalat.”. Sayyidatuna Aisyah RA (putri Abubakar RA) berkata
kepada Beliau, “Ayahku seorang yang kurus dan aku khawatir ia akan menangis
dan tak sanggup berdiri. Mintalah dari Umar, ya Rasulullah.”
Rasulullah
SAW menjawab, “Kalian seperti sahabat Nabi Yusuf AS. Perintahkanlah Abubakar
untuk mengimami shalat.”
Sayyidina
Abubakar RA pun bangkit mengimami jama’ah shalat fardhu yang pertama dan
shalat-shalat berjama’ah berikutnya.
Salam
Perpisahan
Senin
waktu shalat Subuh, 12 Rabi’ul Awwal. Rasulullah SAW menyingkap tabir kain dari
pintu rumah Beliau. Pandangannya mengarah kepada para sahabat. Tampak mereka
tengah shalat dengan khusyu’ dan tunduk di hadapan Allah SWT, di bawah
pimpinan Sayyidina Abubakar RA.
Segala
puji bagi Allah, saat Rasulullah SAW memperhatikan para sahabatnya itu, masjid
pun bercahaya dengan kemunculan Beliau. Sampai sebagian sahabat mengatakan, “Hampir saja kami terlalaikan dari shalat
kami ketika Rasulullah muncul.”
Sayyidina
Abubakar RA hampir saja mundur dari pengimaman, sementara para sahabat yang
lainnya hampir saja memalingkan pandangannya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah
SAW menunjuk dengan tangan Beliau, “Tetaplah
di tempat kalian.” Kemudian Beliau menutup kembali tirai di pintu masuk
rumah Beliau itu.
Para
sahabat mengatakan, “Itulah saat terakhir
Rasulullah SAW memandangi para sahabatnya.” Sayyidina Abdullah bin Mas’ud
RA, pembantu Rasulullah SAW, mengatakan, ketika Rasulullah SAW melihat mereka, Beliau
mengatakan, “Allah memelihara kalian, Allah memberkahi kalian, Allah menguatkan
kalian, Allah menolong kalian, Allah membantu kalian.”
Inilah
salam perpisahan dari seorang yang merindukan para sahabatnya. Para sahabat pun
memberi salam kepada Rasulullah SAW dan keluar dari masjid. Dikatakan, para
sahabat bergembira saat mendapati Rasulullah SAW memperhatikan mereka dari
pintu rumah Beliau. Mereka menyangka kondisi kesehatan Rasulullah SAW telah
berangsur pulih. Karenanya, sebagian dari mereka kemudian beraktivitas lagi
seperti sedia kala, dan mereka menyangka bahwa itu adalah rahmat Allah SWT
terhadap mereka.
Berita
Kematian yang Menggembirakan
Sayyidatuna
Aisyah RA berkata, “Rasulullah SAW
meminta izin dari sekalian istri Beliau untuk dirawat di rumahku, lalu mereka
mengizinkan. Saat hari Senin itu, hari wafatnya Rasulullah SAW, tiba, ruh Beliau
diambil di rumahku sedangkan Beliau ada dalam dekapanku.”
Ia
berkisah, “Ketika kami semua sedang
duduk, datanglah Fathimah sambil menangis. Cara berjalannya mirip cara berjalan
ayahandanya, Rasulullah SAW.”
Kemudian
Beliau mendekap dan mengecupnya. Lalu Beliau membisikkan sesuatu di
telinganya. Sesaat kemudian Fathimah mengangkat kepalanya. Ia menangis. Kemudian
Rasulullah memberi isyarat kepadanya, Beliau ingin membisikkan lagi sesuatu
kepada Fathimah. Fathimah mendekati ayahnya dan Rasulullah kemudian berbisik
kepadanya. Sesaat setelah itu Fathimah kembali mengangkat kepalanya dengan
penuh rasa gembira yang merona di wajahnya.
Aku
tidak pernah melihat tangisan yang kemudian disusul dengan tertawa seperti
itu.” Sayyidatuna Aisyah RA pun bertanya kepada Fathimah RA, “Apa yang dibisikkan Ayahandamu kepadamu?”
Sayyidatuna
Fathimah RA menjawab, “Jangan engkau
hiraukan hal itu, karena aku tak mau membuka rahasia ini selagi Beliau masih
hidup.”
Kelak
setelah Rasulullah SAW wafat, Sayyidatuna Aisyah bertanya lagi tentang hal itu.
Sayyidatuna Fathimah mengatakan, “Ya,
ketika aku mendekati ayahku, Beliau berbisik kepadaku, ‘Wahai Fathimah, sekali
dalam setahun Jibril mendatangiku untuk membacakan Al-Qur’an kepadaku dan pada
tahun ini ia telah mendatangiku dua kali. Dan Allah telah memberi pilihan
kepada ayahmu, antara dunia dan Ar-Rafiqul A’la.’ Ayahku memilih Ar-Rafiqul
A’la. Dan aku diberi tahu bahwa nyawanya akan dicabut pada hari itu. Lalu aku
pun menangis.Kemudian Beliau memanggilku lagi dan membisikkan kepadaku,
‘Apakah engkau suka bahwa engkau menjadi penghulu wanita sekalian alam dan
menjadi orang yang pertama kali akan menyusulku?’.Aku pun bergembira dengan
berita dari ayahku itu.”
“Kematian adalah sesuatu yang menyedihkan.
Bagaimana dengan kabar kematianmu ini, wahai Zahra?
Fathimah
mengatakan, “Berita kematianku ini
mempercepat pertemuanku dengan orang yang aku kasihi, dan inilah kehidupan yang
sesungguhnya bagiku.”
Dialog
dengan Malaikat Maut
Sayyidatuna
Aisyah melanjutkan kisahnya, “Sebelum itu kami mendengar ada sesuatu yang
bergerak di balik pintu. Dan itu adalah Jibril. Jibril meminta izin Rasulullah
untuk masuk. Beliau mengizinkannya.
Kemudian
aku mendengar Rasulullah berkata kepadanya, “Wahai Jibril, Ar-Rafiqul A’la…, Ar-Rafiqul A’la… Kami tahu bahwa
sangkaan kami adalah tepat”
Kemudian
aku bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa
yang telah terjadi, wahai Rasulullah?”. Rasulullah SAW menjawab, ‘Itulah Jibril yang datang dan berkata:
Malaikat maut telah berada di depan pintu dan meminta izin. Dan tidaklah
malaikat maut meminta izin kepada seorang pun baik sebelum dan sesudahmu. Dan
ia (Jibril) mengatakan: Allah menyampaikan salam kepadamu dan Dia telah
merindukanmu.”
Maka,
wahai orang-orang yang berakal, apakah perpindahan kepada Tuhan yang
merindukannya merupakan suatu kematian? Bukan. Kehidupan yang sebenarnya adalah
perpindahan kepada Allah, Yang Maha Hidup.
Kemudian
malaikat maut mengatakan kepada Rasulullah SAW, “Jikalau engkau berkenan, aku akan mencabut ruhmu untuk menemui
Ar-Rafiqul A’la. Namun jika engkau tak berkenan, aku akan biarkan mengikuti
berlalunya masa sampai tempo waktu yang engkau inginkan.
”
Rasulullah
memilih Allah Ta’ala. Ya, Beliau memilih Sahabat Yang Teragung. Kemudian
malaikat maut pun masuk dan mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW. Ia
berkata lagi, “Wahai Rasulullah, apakah
kau mengizinkanku?”
Rasulullah
SAW menjawab, “Terserah apa yang akan
kau lakukan, wahai malaikat maut. Dan berlaku lembutlah sewaktu mencabut ruhku.”
“Hhhhhhhhh………..”
(Desis suara Rasulullah SAW menahan rasa sakit).
Rasulullah
SAW kembali mengatakan kepada malaikat maut, “Berlaku lembutlah kepadaku, wahai malaikat maut.”
Perhatikanlah
(meski dicabut dengan selembut-lembutnya pencabutan ruh yang pernah dilakukan
malaikat maut), Rasulullah SAW pun merasakan sakitnya sakaratul maut. Maka
bagaimana (yang akan dirasakan) oleh orang yang lalai dengan kematian dalam
kehidupan mereka? Mereka tidak merenungi saat-saat ketika nyawa dicabut pada
saat sakaratul maut.
“Beratkan
bagiku, Ringankan bagi Umatku”
Maka
menanjak naiklah ruh mulia Baginda Rasulullah SAW, yang ditandai dengan
sentakan kedua kaki Beliau. Peluh pun bercucuran dari dahi Baginda. Peluh yang
bagaikan butiran permata berbau kesturi.
Rasulullah
SAW menyapu peluhnya itu dengan tangannya dan kemudian meletakkan tangannya
pada sebuah wadah di tepinya untuk menyejukkan tubuhnya.
Kembali
suara berdesis dari lisan suci Beliau, “Hhhhhhhh……” Lantaran rasa sakit yang
ia alami pada saat sakaratul maut. Beliau pun mengatakan, “Sesungguhnya maut itu amatlah berat. Ya Allah, ringankan beratnya
maut terhadapku.”
Maka
para malaikat dari langit pun turun kepada Beliau. Mereka berkata, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya Allah menyampaikan salam atasmu dan Dia mengatakan
bahwa sesungguhnya perihnya sakaratul maut 20 kali lipat (dalam riwayat lain 70
kali lipat) dari rasa sakit akibat pedang yang menusuk tubuh.”
Rasulullah
SAW pun menangis dengan tangisan yang tiada tangisan lain yang lebih
menyedihkan bagi kalian semua. Beliau berdoa, “Ya Allah, beratkanlah (sakaratul maut) ini atasku, tapi ringankanlah
atas umatku.”
Wahai
saudaraku, bagaimana hati kita tidak tergetar dan semakin merasakan kerinduan
kepada Rasulullah SAW? Bagaimana hati kita tidak terkesan dengan Rasulullah
SAW? Bagaimana kita dapat melupakan perintah untuk mencintai Beliau? Bagaimana
hati kita tidak terikat untuk senantiasa merindukan Beliau? Bagaimana hati
kita tidak tersentuh kala pribadi Beliau diperdengarkan?
Pesan
Terakhir
Sayyidatuna
Aisyah RA berkata, “Saudaraku,
Abdurrahman bin Abubakar, masuk dan ia sedang membawa sebatang kayu siwak yang
ujungnya belum dilembutkan. Aku lihat Rasulullah memandang ke arahnya dan
adalah Rasulullah SAW menyukai bersiwak.”
Maka,
apakah kalian menyukai apa yang Beliau suka dari sunnah-sunnah Beliau? Adalah
Rasulullah SAW menyukai bersiwak. Sayyidatuna Aisyah mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Ya
Rasulullah, apakah engkau menginginkannya (siwak)?’
Rasulullah,
di saat Beliau sudah tak dapat lagi berkata-kata dan kami pun tak dapat
mendengar sesuatu pun darinya, memberi isyarat dengan menganggukkan kepala Beliau,
pertanda Beliau menginginkan untuk bersiwak. Dan perkara yang terakhir Beliau
katakan adalah, ‘Ash-shalah….
ash-shalah… ash-shalah…’ – ‘Shalat… shalat… shalat....’
Maka,
apakah yang kalian lakukan terhadap wasiat Nabi kalian di saat-saat akhir dari
kehidupannya di dunia ini? Shalat adalah hubungan kalian dengan Tuhan, agar
terjalin hubungan yang hakiki dengan-Nya.
Wahai
orang yang mendahulukan pekerjaan dunianya dan hawa nafsunya sebelum shalat,
yang mendahulukan keterlenaannya dibanding shalatnya, ingatlah, wasiat yang
terakhir dituturkan oleh kekasih kalian di akhir usianya adalah, ’Ash-shalah…. ash-shalah… ash-shalah…’,
di samping ‘Berwasiatlah dengan kebaikan terhadap para wanita’, dan juga, ‘Aku
berwasiat kepadamu dengan kebaikan terhadap keluargaku.’
Sesaat
kemudian, lidah Rasulullah SAW tampak kaku. Tapi, ruh Beliau belum tercabut. Beliau
masih berkata-kata.”
Sayyidina
Anas bin Malik r.a. berkata: “Ketika ruh Rasulullah SAW telah
sampai di dada Beliau telah bersabda: “Aku wasiatkan kepada kamu agar kamu
semua menjaga shalat dan apa-apa yang telah diperintahkan ke atasmu.”
Dan
majelis ini, kata Habib Ali, adalah salah satu kenyataan yang menggambarkan
keadaan ruh Rasulullah SAW.
Kalaulah
tidak karena kehidupan Rasulullah SAW yang wujud dalam diri kita, niscaya kita
tidak tersentak saat disebut perihal kisah wafatnya Rasulullah SAW. Bergetarnya
hati kalian saat disebutkan perihal kejadian-kejadian pada saat wafatnya
Rasulullah SAW adalah sebagian dari petunjuk yang nyata bahwa kematian Beliau
adalah sebuah kehidupan. Adakah kematian yang dapat menggerakkan banyak hati?
Sejahteralah
Jasad Beliau
Kemudian,
Sayyidatuna Aisyah melanjutkan, “Rasulullah SAW memberikan isyarat lewat
anggukan kepalanya, sebagai pertanda keinginannya. Maka aku berikan kepada Beliau
kayu siwak yang belum dilembutkan itu.
Tapi
kemudian aku mengambilnya dari tangan Beliau ketika kulihat siwak itu tak dapat
Beliau gunakan karena keras, belum dilembutkan. Lalu aku melembutkannya
dengan mulutku.Aku bangga, karena, di kalangan para sahabat, benda terakhir
yang masuk ke mulut Beliau adalah air liurku.
Lalu
aku meletakkannya dalam mulut Beliau. Beliau pun memegangnya dengan tangan Beliau
sendiri. Sakaratul maut yang dialami Rasulullah semakin mendalam. Cahaya memancar
dari wajah Beliau, dan cahaya itu meliputi keluarganya.
Waktu
terus berjalan. Ruh mulia Rasulullah SAW telah sampai pada kerongkongannya. Beliau
membuka kedua kelopak bola matanya. Kemudian Beliau menunjukkan isyarat
dengan jari telunjuknya sebagai kesaksian atas keesaan Sang Pencipta, yaitu
isyarat ketauhidannya.
Sayyidna
Ali radhiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW
ketika menjelang saat-saat terakhir, telah mengerakkan kedua bibir Beliau
sebanyak dua kali, dan saya meletakkan telinga saya dengan Rasulullah SAW
berkata: “Umatku, Umatku, Umatku.”
Tak
lama kemudian, Beliau pun mengembuskan napas terakhir.
Sejahteralah
jasad Beliau yang agung setelah melalui hari-hari yang melelahkan, lantaran
segala hal ia baktikan demi keselamatan kita.
Sejahteralah
jasad Beliau setelah perutnya kerap kali diikat dan diganjal batu karena
kelaparan, demi pengorbanannya kepada kita.
Sejahteralah
jasad Beliau, yang pernah dilempari batu hingga melukai Beliau, demi dakwahnya
kepada kita.
Sejahteralah
jasad Beliau, yang gerahamnya pernah dipatahkan, lantaran kesungguhan Beliau
dalam membela agama yang akan menyelamatkan kita.
Sejahteralah
jasad Beliau, yang dahinya pernah dilukai sampai mengalir darah dari dahinya
yang mulia itu, lalu Beliau menahannya dengan tangan Beliau agar darah suci Beliau
tak sampai jatuh ke tanah, sebagai rahmat bagi mereka, kaum yang memerangi Beliau,
dan bagi kita, dari kemurkaan Allah SWT.
Sejahteralah
jasad Beliau, yang mata panah pernah menembus daging pipinya, demi kita.
Sejahteralah
jasad Beliau, yang kakinya sampai bengkak disebabkan pengabdian Beliau
kepada Allah SWT dan demi dakwah kepada kita.
Sejahteralah
jasad yang telah memikul kesukaran, keletihan, kesakitan, dan kelaparan karena
kita.
Ketika
para penghuni rumah itu menyaksikan kepergian Rasulullah SAW, yaitu setelah ruh
beliau meninggalkan jasad beliau, tangis pun meledak menyelubungi seisi rumah.
“Wahai Nabi Allah….! Wahai Rasulullah…!
Wahai kekasih Allah….!”
Saat
kesedihan menyelubungi rumah itu, seketika, suasana penuh haru menyemburat di
wajah para sahabat yang ada di dalam masjid. Tak lama kemudian, berita wafatnya
Rasulullah pun kemudian menyebar begitu cepat ke segenap penjuru kota Madinah.
Musibah
Terberat
Kembali
lagi sejenak pada apa yang dialami Sayyidina Ali bin Abu Thalib KW pada
detik-detik yang sangat bersejarah itu. Saat itu, ia tengah duduk di sisi tubuh
mulia Rasulullah SAW.
Ketika
ia melihat guncangan ruh beliau, ia melihat Sayyidatuna Aisyah RA menangis.
Maka kemudian ia mengangkat tubuh Rasulullah SAW dan meletakkannya di kamar
beliau. Setelah meletakkan tubuh nan suci itu, di saat ruh Rasulullah SAW
hampir terlepas dari jasadnya, Sayyidina Ali pun terjatuh dan kemudian tak
kuasa untuk berdiri.
Maka
kemudian, tatkala suara tangisan memenuhi ruangan rumah itu, terdengarlah
suara yang tidak terlihat siapa yang mengatakannya. Mereka mendengar suara
yang mengatakan, “Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Ahlal Bait, a’zhamallahu ajrakum. Ishbiru
wahtasibu mushibatakum. Fa inna Rasulallah farathukum fil jannah.”
– Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Wahai penghuni
rumah, semoga Allah membesarkan ganjaran pahala kalian. Bersabarlah dan
bermuhasabahlah dengan musibah yang kalian alami ini. Maka sesungguhnya
Rasulullah mendahuluimu sekalian di surga.”
Ketika
suara itu terdengar, mereka pun terdiam dan menjadi tenang. Setelah suara itu
berhenti, mereka pun menangis lagi.
Demi
Allah, Dzat Yang Disembah, kalian tidak pernah diberi musibah seperti musibah
yang mereka rasakan. Tiada satu rumah pun yang pernah merasakan kehilangan
seperti yang mereka rasakan.
Kabar
itu tersiar cepat di kota Madinah. Para sahabat merasa kebingungan. Ketika
dikatakan kepada mereka “Wahai para
sahabat, tidakkah kalian tahu, Rasulullah SAW adalah manusia, dan sebagai
manusia beliau pun pasti mengalami kematian?”, mereka mengatakan, “Ya, tapi kehidupan beliau kekal dalam diri
kami dan telah menjadi cambuk dahsyat pada jiwa kami.”
Hati
para sahabat terus bergetar.
Kala
itu, Sayyidina Umar bin Khaththab menghunuskan pedangnya sambil
mengibas-ngibaskannya di jalan. Karena rasa sedih yang begitu mendalam, ia berteriak,
“Sekelompok dari golongan munafik
berkata bahwa Rasulullah telah mati. Rasulullah SAW tidak wafat. Akan tetapi beliau
menjumpai Tuhannya sebagaimana perginya Musa AS. Dan beliau kembali kepada
kita. Siapa yang mengatakan Rasulullah telah mati akan kutebas dengan
pedangku ini.”
Setelah
sampai kabar kepada Sayyidina Abdullah bin Zaid RA, ia menangis, kemudian
menengadahkan tangannya dan berdoa, “Ya
Allah, ambillah penglihatanku ini, sehingga aku tak dapat melihat seorang pun
lagi selepas kepergian Rasulullah SAW.”
Maka,
ia pun kehilangan penglihatan pada saat itu juga.
Sahabat
yang lain, ketika mendengar berita tentang Abdullah bin Zaid RA, berteriak, “Ya Allah, ambillah ruhku, dan tiada lagi
kehidupan setelah wafatnya Rasulullah SAW.” Tiba-tiba ia terjatuh. Allah
mengambil nyawanya seketika itu juga.
Sementara
itu, Sayyidina Utsman RA membisu. Ia tidak dapat berkata apa-apa.
Hidup
dan Mati dalam Kebaikan
Ketika
pikiran mereka terganggu, mereka kebingungan, maka telah sampai berita kepada
Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiq RA, dan ia pun berada dalam keadaan yang
menyedihkan itu. Dari arah rumahnya, ia menuju ke Masjid Nabawi dan
memasukinya. Ia mendapati Sayyidina Umar dan para sahabat yang lain tengah
dalam kebingungan.
Kemudian
ia melintasi masjid itu dan sampai di rumah Rasulullah. Ia meminta izin dari
penghuni rumah untuk dapat masuk ke rumah dan ia diizinkan untuk masuk.
Periwayat
kisah ini mengatakan, Sayyidina Abubakar RA masuk dalam keadaan dadanya
berdebaran dan tampak ia penuh keluh kesah, seakan-akan nyawanya pun akan
dicabut pada saat itu.
Ia
menangis. Kemudian terdengar darinya suara bagaikan bergolaknya air yang
tengah mendidih. Ia memalingkan wajahnya, sementara air matanya terus
bercucuran. Saat itu, jasad mulia Rasulullah SAW diselimuti kain. Lalu ia
membuka kain selimut yang menutupi jasad mulia Rasulullah SAW, demi menatap
wajah paling mulia itu.
Ia
memandang wajah Rasulullah SAW dan mendekatkan wajahnya. Dikecupnya kening dan
pipi Rasulullah SAW. Lalu, sambil menangis ia mengatakan, “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah,
betapa mulianya kehidupan dan wafatmu. Allah SWT tidak akan menimpakan dua kali
wafat untukmu. Jikalau tangisan itu bermanfaat bagimu, niscaya kami akan
biarkan air mata ini terus berlinang. Tetapi, tiada tempat mengadu selain
kepada Allah SWT. Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan sesungguhnya
kepada-Nya-lah kita akan kembali. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan aku bersaksi bahwa engkau, ya Muhammad, adalah utusan Allah. (Aku bersaksi
bahwa) engkau telah menunaikan risalah dan menyampaikan amanah. Dan engkau
meninggalkan kami di atas jalan yang bersih.”
Sayyidina
Abubakar tenggelam dalam kesedihan. Napasnya pun tersengal-sengal. Ia
pandangi kembali wajah Rasulullah SAW seraya berkata, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muhammad.”
Wahai
para sahabat yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah SAW. (Dan untukmu
Sayyidina Abubakar) wahai sahabat Rasulullah ketika di Gua Tsur. Jadi, engkau
memahami bahwa perpindahan Rasulullah SAW itu adalah suatu kehidupan baru bagi
Rasulullah SAW. Sehingga, kalian mengatakan, “Ingatlah kami di sisi Tuhanmu, wahai Muhammad.”
Makna
“Siapa Menyembah Muhammad…”
Sayyidina
Abubakar mengusap air mata dari kedua matanya yang mulia itu dengan tangannya. Lalu
ia kembali menyelimuti kain penutup wajah mulia Rasulullah SAW.
Ia
pun kemudian beranjak kepada keluarga Rasulullah SAW dan berusaha untuk
menenangkan mereka.
Pada
saat ia menangis dan mengatakan kepada Rasulullah SAW bahwa beliau hidup dan
wafat dalam kebaikan, saat itu para wanita seisi rumah itu pun menangis.
Sayyidina Abubakar RA kemudian keluar dan ia melihat kembali betapa seisi
masjid berada dalam kepiluan.
Kemudian
ia menaiki mimbar kekasihnya, tuannya, dan pemimpinnya, Rasulullah SAW.
Langkah kakinya telah membawanya ke mimbar itu. Maka, setelah memuji Allah
SWT, bershalawat atas Nabi, ia pun mengutip firman Allah SWT, “Setiap jiwa akan mendapatkan kematian.”
Ia juga membacakan ayat, “Dan tidaklah
Muhammad itu kecuali sebagai rasul dan telah berlalu para rasul sebelumnya.”
Dan ayat, “Sesungguhnya engkau mati dan
mereka juga mati.”
Ia
berkata lagi, “Siapa yang menyembah
Muhammad, Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, Allah itu hidup
dan tidak mati.”
Kalimat
ini mengandung pemahaman yang dalam. Pemahamannya bukanlah seperti pemahaman
mereka yang jahil pada saat ini, yang memahami kata-kata “Siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat” sebagai putusnya
hubungan dengan Nabi SAW.
Demi
Allah, Tuhan Yang Disembah, makna kalimat itu adalah siapa yang mengaitkan
dirinya dengan kehidupan Rasulullah SAW di dunia saja, kehidupan Rasulullah SAW
telah berakhir. Rasulullah SAW telah wafat. Namun siapa yang menjadikan
hubungannya dengan Rasulullah SAW sebagai hubungannya dengan Allah SWT, Allah
itu Maha Hidup dan tidak mati.
Jadi,
dengan pengertian bahwa hubungan kalian dengan Rasulullah SAW tidak akan
pernah berakhir. Karena, hubungan dengan Rasulullah SAW memiliki kaitan erat
dengan hubungan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup. Kaitan ini adalah kaitan yang
hidup dan tidak pernah mati.
Kemudian
Sayyidina Abubakar berpaling kepada Sayyidina Umar, menghiburnya dari
kebimbangan yang ia rasakan.
Aroma
Kesturi
Di
rumah Rasulullah SAW, Sayyidina Ali pun telah bangun setelah terjatuh lantaran
kesedihan. Ia bersama Sayyidina Abbas mengurus jenazah Rasulullah SAW.
Kemudian, turut pula bersama itu kedua putra Sayyidina Abbas, yaitu Abdullah
dan Fadhl.
Dibantu
oleh mereka, Sayyidina Ali KW memandikan jasad mulia Rasulullah SAW dengan
pakaian yang masih beliau kenakan tanpa membuka aurat beliau sedikit pun.
Sayyidina
Ali KW mengatakan, “Kami memandikan
beliau dan beliau masih mengenakan pakaiannya. Saat kami hendak memiringkan beliau ke kanan, beliau menghadap ke kanan
dengan sendirinya. Ketika kami hendak memiringkan beliau ke kiri, beliau
menghadap ke kiri dengan sendirinya. Kami tidak mendapati seorang pun yang
membantu kami untuk memandikan beliau, kecuali jasad beliau sendiri yang berubah
kedudukannya.”
Katanya
lagi, “Ketika kami memandikan beliau,
angin yang sejuk dan nyaman bertiupan ke arah kami seakan-akan kami merasakan
para malaikat masuk dan bersama dengan kami pada saat itu, ikut memandikan
jasad mulia Rasulullah SAW. Tidaklah ada air yang jatuh dari jasad mulia
Baginda Rasulullah, melainkan ia lebih wangi dari aroma kesturi. Kemudian, kami
kafankan jasad beliau.”
Salah
Satu Taman Surga
Di
tempat lain, para sahabat saling bertanya, “Di
manakah akan kita makamkan jasad Rasulullah SAW ?”
Sebagian
dari mereka ada yang mengatakan agar jasad Rasulullah SAW dimakamkan di Baqi’.
Imam Muslim dalam kitab Ash-Shahih-nya
menyatakan, sebagian sahabat mengatakan agar beliau dimakamkan di sisi
mimbarnya, yaitu di dalam masjidnya, Masjid Nabawi.
Hal
ini menjelaskan bahwa, ketika Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang menjadikan
kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud mereka, laknat tersebut bukanlah
karena sujud di suatu masjid yang ada kubur di dalamnya. Sebab, bila cara
pandang seperti itu benar, niscaya para sahabatlah yang terlebih dahulu
memahami akan hal tersebut, sebagai buah dari kehidupan mereka bersama
Rasulullah SAW.
Sampai
kemudian Sayyidina Abubakar RA mengatakan kepada para sahabat yang lainnya, “Sesungguhnya para nabi dikuburkan di tempat
mereka mengembuskan napasnya yang terakhir, sebagaimana yang aku dengar dari
sabda Rasulullah SAW.”
Maka
digalilah lubang di dalam kamar Rasulullah SAW sebagai tempat untuk
menyemayamkan jasad suci beliau. Kemudian turunlah Sayyidina Ali KW ke dalam
lubang kubur Rasulullah SAW, yang, Demi Allah, tak lain merupakan salah satu
taman dari taman-taman surga. Selain Sayyidina Ali, ikut turun pula pembantu
Rasulullah SAW yang bernama Sayyidina Syaqran.
Sayyidina
Syaqran berkata, “Aku melihat ke atas,
tempat yang pernah diduduki Rasulullah SAW. Hatiku pilu. Kini kami harus
meletakkan jasad Rasulullah SAW dalam kuburnya. Aku melihat ke atas tempat
duduk Rasulullah SAW. Aku mengambilnya. Aku pun berkata, ‘Ya Rasulullah, tiada
satu pun yang boleh duduk di atas tempat duduk ini selepasmu, wahai
Rasulullah!’.”
Sayyidina
Ali pun memakamkan Rasulullah SAW dalam kubur beliau, bersama para sahabat
yang terlibat saat pemakaman itu.
Sang
Putri Menyusul
Ketika
mereka telah bubar usai pemakaman, datanglah Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra.
Dialah yang tidak ada kesedihan yang lebih mendalam melanda seseorang setelah
kepergian Rasulullah SAW selain yang dialami oleh putri Rasulullah SAW ini.
Dalam
keadaan menangis, Sayyidatuna Fathimah melihat Sayyidina Anas bin Malik RA,
pembantu ayahandanya, yang besar di bawah asuhan Rasulullah SAW dan mendapat
didikan Rasulullah SAW, di rumah beliau itu. Kemudian ia berkata kepada Anas,
“Ya Anas, engkau sanggup meletakkan
tanah di atas tubuh Rasulullah?”
Sayyidina
Anas pun menangis, sambil mengatakan, “Celakalah
kami, celakalah kami, celakalah kami, wahai Fathimah. Sesungguhnya kami tidak
menyadari dengan apa yang kami lakukan. Kalaulah kami telah mendengar terlebih
dulu apa yang engkau katakan sekarang ini, niscaya kami tidak akan sanggup
mengebumikannya.”
Sayyidatuna
Fathimah pun berlalu, seakan ia tak mengenali siapa pun yang ada di situ.
Hatinya amat sedih karena musibah yang sedang menimpanya. Ia kemudian berdiri
di sisi kubur ayahandanya dan mengambil segumpal tanah, lalu menciumnya. Dalam
tangisannya, ia berkata,
“Apa yang dapat dirasakan si pencium tanah
kubur Nabi Muhammad ini… tidak dapat dirasakan pada selainnya sepanjang masa. Aku
ditimpa musibah dengan musibah yang jika musibah selainnya menimpaku setiap
hari pun niscaya tidak mengapa.”
Tidak
sampai lima bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, Sayyidatuna Fathimah pun
wafat. Sayyidatuna Fathimah adalah seorang yang digelari Ummu Abiha, Ibu dari
Ayahnya (Karena sejak meninggalnya Sayyidatuna Khadijah, istri Rasulullah SAW, Sayyidatuna
Fathimah-lah yang banyak mengurus keseharian hidup Rasulullah SAW).
“Wahai
Rasulullah…”
Sekarang,
bagaimanakah keadaan kalian semua, wahai para sahabat, selepas wafatnya
Rasulullah SAW? Adakah kalian memahaminya sebagai akhir dari kehidupan
Rasulullah SAW?
Demi
Allah, tidak demikian. Dugaan seperti itu benar-benar meleset.
Seperti
yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid kedua pada kitab Memohon Pertolongan,
sebagaimana juga ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ibnu Khuzaimah
dengan sanad yang shahih, Bilal ibn Harits Al-Muzuni, salah seorang sahabat
Nabi, datang berziarah ke makam Rasulullah SAW. Saat itu musim paceklik tengah
melanda, yaitu pada masa pemerintahan Sayyidina Umar RA. Ia pun berdiri di
sisi makam mulia Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah….”
Perhatikanlah
baik-baik, sahabat Nabi ini mengatakan “Ya
Rasulullah….” (Yaitu memanggil Rasulullah SAW secara langsung, atau
sebagai orang kedua).
“Ya Rasulullah. Banyak yang telah
binasa, mohonkanlah air kepada Allah untuk umatmu.”
Karena
mereka memahami bahwa Rasulullah SAW hidup di dalam kuburnya. Beliau
mendengar shalawat yang diucapkan atas beliau, dan beliau menjawab salam yang
diucapkan kepada beliau. Beliaulah yang telah bersabda, “Sesungguhnya para nabi itu hidup dalam kubur mereka”.
Allahumma
Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in
nice post gan, ijjin copas yah
BalasHapus