Beriman kepada Allah SWT erat kaitannya dengan keharusan beriman bahwa Muhammad SAW
adalah Nabi dan Rasulullah yang terakhir, penutup sekalian nabi dan
rasul; tidak ada lagi Nabi, apalagi rasul sesudah beliau. “Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu
[1223]., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah
Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Ahzab 33:40).
Nabi Muhammad SAW sangat mencintai
umatnya. Beliau hidup dan bergaul serta dapat merasakan denyut nadi
mereka. Beliau sangat menyayangi umatnya. Beliau ikut menderita dengan
penderitaan umat dan sangat menginginkan kebaikan untuk mereka. Tentang
sikap beliau ini Allah SWT berfirman yang
artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang
terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah 9:128)
Kita sebagai umat Nabi Muhammad yang sangat dicintainya, tentunya
kita harus mencintai beliau melebihi cinta kepada siapapun selain Allah
SWT. Konsekuensi dari cinta kita pada beliau
membuktikan bahwa kita betul-betul beriman dan mengerjakan perintahnya
serta menjauhi larangannya. Manifestasi dari bentuk cinta itu juga
beruapa mengucapkan shalawat kepada beliau. Sebab ketika kita mengucap
shalawat, banyak keutamaan yang diberikan kepada kita. Maka orang yang
tidak mau mengucap shalawat kepada Nabi saw adalah sebuah tindakan
kurang ajar, sekaligus sombong. Setidaknya kekurangajaran itu
digambarkan di dalam riwayat dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah
saw bersabda: “Orang yang paling bakhil adalah seseorang yang jika
namaku disebut ia tidak bersholawat untukku.” [H.R. Nasa’i, Tirmidzi dan
Thabaraniy]
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan 40 tempat yang disunnahkan
untuk mengucapkan shalawat. Di antaranya adalah:
1. Sebelum berdoa,
sebagaimana disebutkan oleh Fadhalah bin ‘Abid: “Rasulullah SAW
mendengar seorang laki-laki berdoa dalam sholatnya, tetapi tidak
bersholawat untuk Nabi Muhammad, maka beliau bersabda: “Orang ini
tergesa-gesa” Lalu beliau memanggil orang tersebut dan bersabda
kepadanya dan kepada yang lainnya: “Bila salah seorang di antara kalian
sholat (berdoa) maka hendaklah ia memulainya dengan pujian dan sanjungan
kepada Allah lalu bersholawat untuk nabi, kemudian setelah itu berdoa
dengan apa saja yang ia inginkan.” [H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan
Hakim]
2. Ketika menyebut, mendengar dan menulis nama beliau,
berdasarkan kepada sabda Rasulullah saw: “Celakalah seseorang yang
namaku disebutkan di sisinya lalu ia tidak bersholawat untukku.” [H.R.
Tirmidzi dan Hakim]
3. Dianjurkan memperbanyak shalawat Nabi pada hari
Jum’at, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari ‘Aus bin ‘Aus:
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di antara hari-hari yang paling
afdhal adalah hari Jum’at, maka perbanyaklah sholawat untukku pada hari
itu, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku……” [HR. Abu Daud, Ahmad
dan Hakim]
4. Ketika masuk dan keluar masjid, sebagaimana disebutkan di
dalam hadis yang diriwayatkan dari Fatimah ra, ia berkata: Rasulullah
saw bersabda: “Bila kalian masuk mesjid, maka ucapkanlah: ”Dengan nama
Allah, salam untuk Rasulullah, ya Allah (sampaikan) sholawat untuk Muhammad dan
keluarga Muhammad, ampunilah kami dan mudahkanlah bagi kami pintu-pintu
rahmat-Mu.” “Dan bila keluar dari mesjid maka ucapkanlah itu, tapi (pada
penggalan akhir) diganti dengan: “Dan permudahlah bagi kami pintu-pintu
karunia-Mu.” [H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi]
5. Ketika Shalat jenazah.
Disyari’atkan bershalawat pada shalat jenazah setelah takbir yang kedua
didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Umamah ra, bahwa beliau
diberitahu oleh seorang shahabat nabi; Bahwa sunnah di dalam shalat
bagi mayat adalah imam bertakbir, kemudian membaca Fatihatul Kitab
(surat al-Fatihah) setelah takbir pertama, kemudian bershalawat kepada
Nabi saw (Hadis Shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan yang lainnya)
Dalam mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad ditambah dengan
lafaz ”sayyidina”. Dalam membaca tambahan ini sebenarnya dari dulu sudah
ada, tapi sekarang muncul fatwa-fatwa yang mengatakan bahwa membaca
“sayyidina” dalam mengucapkan shalawat kepada Nabi, tidak baik, bahkan
ada yang membid`ahkan orang yang melakukannya.
Pengertian dan Hakekat ”Sayyidina”
Kata ”Sayyidina” berasal
dari bahasa Arab, merupakan gabungan kata ”Sayyid” (penghulu) dan ”na”
dari ”nahnu” berupa kepemilikan (kami/ kita). Bila ada orang yang diberi
predikat ”Penghulu”, maka orang tersebut adalah dimuliakan dalam suatu
kelompok manusia dan orang yang dijadikan ikutan dan pemimpin dalam
segala urusan.
Nabi Muhammad SAW yang diberi sanjungan
dengan lafaz ”Sayyidina” berkonotasi pada martabat dan kedudukan dari
”Penghulu” bagi orang mengucapkannya. Lafaz ”sayyidina” itu merupakan
maksud bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang kita muliakan, yang kita
hormati, yang kita junjung tinggi, dan yang kita jadikan pimpinan dan
ikutan lahir bathin, dunia akhirat.
Hakekat dari lafaz ”Sayyidina” pada ungkapan “sayyidina Muhammad”,
baik ditambah pada shalawat ataupun saat menyebut namanya adalah bukti
dari kita memuliakan beliau sebaik-baiknya dan mengangkat derajat beliau
setinggi-tingginya, sesuai dengan kedudukan beliau yang sebenarnya.
Paradigma hukum ”Sayyidina”
Lafaz ”Sayyidina” sebelum mengucapkan nama Nabi Muhammad SAW
terdapat perbedaan ulama dalam membolehkannya dan menidaknya, sehingga
terdapat minimal dua pendapat.Pertama: Membaca “sayyidina” sebelum nama
Nabi Muhammad SAW dalam shalawat adalah afdhal, yakni lebih baik karena itu berarti memuliakan dan menghormati Nabi SAW.
Menambahkan “sayyidina” itu dalam shalawat, merupakan suatu perbuatan
yang bernilai melaksanakan perintah Nabi dan pula telah mengucapkan yang
benar, yaitu berbicara secara sopan dan beradab. Menambahkan
“sayyidina” dan “maulana”, dan lain-lain perkataan yang menyatakan
menghormati, memuliakan serta membesarkan Nabi dalam mengucapkan
shalawat untuk penghulu kita Nabi Muhammad Saw. Mengucapkan lebih baik
dari pada meninggalkan. Ungkapan seperti ini banyak terdapat dalam
mazhab Syafi`i. Kedua: Membaca ”Sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad SAW dalam segala hal, baik shalawat atau tidak, adalah dilarang dan termasuk dalam perbuatan bid`ah, sebab Nabi Muhammad SAW melarang memanggilnya dengan kata ”sayyid”.
Paradigma yang kita hadapi dalam ini lafaz ”Sayyidina” sebelum nama
Nabi Muhammad adalah pemahaman-pemahaman yang berkaitan dari maksud dan
tujuan dalam mengucapkannya. Pendapat yang membid`ahkannya berdalil
pada tidak adanya anjuran Rasulullah dan hadits yang menyatakan setiap
perbuatan yang belum ada contoh dari Nabi SAW
adalah bid`ah dan setiap bid`ah adalah sesat.Sedangkan pendapat yang
membolehkannya, bahkan dalam mazhab Syafi`i dikatakan afdhal, berkutat
pada pemahaman dalil-dalil yang bersifat umum, diantaranya dalam surat
Al- A’raf: 157 yang artinya: ”Maka mereka yang beriman pada Nabi,
memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti Qur’an yang diturunkan
kepadanya, mereka itulah yang beruntung mendapat kemenangan”. (Surat
al-A`raf : 157).
Dasar kesimpulan pemahaman adalah Orang yang memuliakan Nabi SAW
merupakan orang yang akan dapat kemenangan dan keberuntungan. Membaca
“sayyidina” adalah dalam rangka memuliakan Nabi Muhammad yang mulia.
”Janganlah kamu memanggil Rasul dengan sebagaimana panggilan sesama
kamu”. (Surat an-Nur ayat 63: ).
Dasar pemahaman adalah Ayat ini menyatakan bahwa memanggil Nabi Muhammad SAW haruslah secara terhormat dan sopan, misalnya dengan: ya Rasulullah! Jangan dengan: ya Muhammad saja.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: ”Saya penghulu anak Adam pada hari kiamat. Orang yang paling
dahulu muncul dari kubur, orang yang paling dahulu memberi syafa’at dan
orang yang paling dahulu dibenarkan memberi syafa’at”. (HR. Imam Muslim
dan Abu Daud). Dasar pemahaman dari hadits ini adalah Nabi Muhammad SAW
menyatakan bahwa beliau adalah penghulu anak Adam, dan ini menunjukkan
bahwa membaca sayyidina dalam mengucapkan shalawat adalah justru dalam
rangka mengamalkan apa yang dikatakannya.
Dalam hal ini, Imam al-Nawawi
mengemukakan pemahaman hadits ini dengan ketentuan: (1). Nabi Muhammad
itu adalah “sayyid”, yakni penghulu anak adam seluruhnya didunia dan
akhirat. Kepenghuluan beliau sangat tampak pada alam akhirat dengan
tunduk dan menghormatnya seluruh makhluk kepada beliau.
(2). Nabi
Muhammad menyatakan dirinya sebagai penghulu anak Adam, mengandung
maksud dan tujuan yaitu: Mengabarkan yang benar yang mesti dikabarkan
kepada ummat supaya mereka mengetahui, mengi’tiqadkan, menyesuaikan amal
pekerjaan dengan hal itu, dan menghormati beliau. Juga menjalankan
perintah Allah.
Bila kita lihat dengan kaca mata yang dinamis tentang persoalan
membaca lafaz ”Sayyidina” sudah terjadi perbedaan itu semenjak dulu.
Namun terjadi pada masa sekarang saling salah menyalahkan atau
membenarkan pendapatnya dan yang lain tidak benar merupakan sebuah
kepicikan.
Padahal dari segi kedalaman ilmu, nyaris hari ini tidak ada lagi
sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu
pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang
mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa
para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir
dari ijtihad para ulama sekaliber fuqaha mazhab, kita tidak mungkin
menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad
itu. Dan tentunya juga menghargai mereka yang menggunakan fatwa itu di
masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi
aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya
berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat
yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah
Komentar
Posting Komentar