Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam
mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan,
apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau
tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini
disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah : sesuatu yang asing, tidak
dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah yang
sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan
yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari
ajaran Islam, seperti shalat dengan bahasa Indonesia, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah,
Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak
akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam
sebagaimana disebutkan dalam kitabtuhfatul akhwadzi juz 7 hal 34 menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi menjadi lima hukum :
- Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah dan Mu’tazilah.
- Makruh, seperti membuat hiasan-hiasan dalam masjid.
- Wajib, seperti belajar ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu).
- Sunnah, seperti membangun pesantren atau madrasah.
- Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat.
Alhasil, menurut Imam ‘Izzuddin, “Segala kegiatan keagamaan yang
tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya bergantung pada
tercakupnya dalam salah satu kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib,
sunnah, atau mubah. Sebagai contoh, belajar ilmu nahwu untuk menunjang
dalam belajar ilmu syariat yang wajib, maka hukum belajar ilmu nahwu
menjadi wajib.”.[1]
Penjelasan tentang bid’ah bisa kita ketahui dari dalil-dalil berikut :
1. Hadits riwayat sayyidatina A’isyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
“Dari ‘Aisyah RA. Ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu
perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”
HR.Muslim.
Hadits ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk
perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal
maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa
hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak
pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit
(jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah
murni kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena
itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini,
yaitu :
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar
dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka
bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada dalil yang dapat dibuat
sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan pada ajaran ulama
salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.). Apabila sudah diajarkan oleh
mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka
buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur
perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya
dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram,
maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib. Dan begitu seterusnya.[2]
2. Hadits riwayat Ibn Mas’ud :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه
“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud.
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah
kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling
jelek adalah membuat hal baru. Dan setiap perbuatan yang baru itu adalah
bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.
Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala
perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat atau
tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.
Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat perbedaan pandangan pandangan di kalangan ulama’.
Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ), sehingga makna dari hadits ini adalah “bid’ah yang buruk itu sesat” . Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar). Sebagaimana contoh-contoh berikut :
- Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’:30)
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.
- Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu,
namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru
yang tidak didapatkan di masa Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya
sama sekali dalam usul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara
yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang
terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna
hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syai’at.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan
di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan
atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW.
Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah
tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga,
apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang
berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para
sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif
(bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah
orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya.
Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh
karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi
SAW yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an
dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan
Rasulullah SAW.[3]
[1] Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal. 6-8.
[2] Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal.6-7.
[3] Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488.
Komentar
Posting Komentar