HUT
Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2015, kini telah kita peringati.
Terkait HUT RI, ada satu hal yang menjadi momen “suci” bangsa Indonesia
khususnya di saat detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, yakni pengibaran
bendera pusaka Sang Saka Merah Putih oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka
atau Paskibraka.
Sang Saka Merah Putih sebagai bendera pusaka ternyata mempunyai
catatan sejarah yang cukup heroik sehingga harus diselamatkan dari penjajahan
Belanda saat itu. Jika tidak, mungkin anak cucu keturunan bangsa Indonesia
sekarang ini tidak dapat menyaksikan bendera pusaka sebagai salah satu bukti
sejarah kemerdekaan Indonesia. Tahukah anda bahwa sang penyelamat bendera
pusaka dari tangan penjajah saat itu adalah seorang habib, yang mempunyai darah
pertalian keturunan dengan Sayyidina Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa
shohbihi wa sallam?
Sayyidil Habib
Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad Al-Muthahar, beliau lah
sang penyelamat bendera pusaka Sang Saka Merah Putih dari tangan penjajah.
Tanpa jasa beliau, bangsa Indonesia sekarang mungkin sudah tidak dapat melihat
lagi bendera pusaka yang dijahit oleh istri Presiden Soekarno, Ibu Fatmawati.
Saat itu, Presiden Soekarno menugaskan Habib Muhammad Husein Muthahar yang
berpangkat Mayor untuk menjaga dan menyelamatkan bendera pusaka dari tangan
penjajahan Belanda meski harus dengan mengorbankan nyawanya. Amanah “menjaga
bendera pusaka dengan nyawa” ini pun berhasil dilaksanakan sang Habib dengan
penuh perjuangan.
KH Achmad Chalwani Nawawi, pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi
Berjan, Gebang, Purworejo yang juga Mursyid Thariqah Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah menuturkan bahwa Habib Muhammad Husein Muthahar yang merupakan
penyelamat bendera pusaka ini adalah paman dari Habib Umar Muthohar Semarang.
Ingin tahu
kisah sang Habib dalam menyelamatkan bendera pusaka? Berikut adalah kisah
selengkapnya tentang penyelamatan bendera pusaka oleh Habib Muhammad Husein
Muthahar ini yang mesti diketahui oleh bangsa Indonesia khsusunya umat Islam
agar tahu bagaimana perjuangan para pendahulu bangsa ini dalam mempertahankan
kemerdekan Republik Indonesia.
KISAH
HEROIK PENYELAMATAN BENDERA PUSAKA OLEH HABIB MUHAMMAD HUSEIN MUTHAHAR
Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih adalah sebutan bagi bendera
Indonesia yang pertama. Bendera Pusaka dibuat dan dijahit oleh Ibu Fatmawati,
istri Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Bendera pusaka untuk
pertama kali berkibar pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, setelah Soekarno membacakan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bendera dinaikkan pada tiang bambu oleh
Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang dipimpin oleh Kapten Latief
Hendraningrat. Setelah dinaikkan, lagu “Indonesia Raya” kemudian dinyanyikan
secara bersama-sama.
Pada tahun
pertama Revolusi Nasional Indonesia, Bendera Pusaka dikibarkan siang dan malam.
Pada 4 Januari 1946, karena aksi teror yang dilakukan Belanda semakin
meningkat, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan
kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera pusaka dibawa ke
Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya, ibukota
dipindahkan ke Yogyakarta.
Tanggal 19
Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua yang membuat Presiden,
wakil presiden dan beberapa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda.
Di saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta
dikepung oleh Belanda, Presiden Soekarno sempat memanggil salah satu
ajudannya berpangkat Mayor yang bernama Sayyidil Habib Muhammad
Husein Muthahar, yang kemudian ditugaskan untuk menyelamatkan sang bendera
pusaka. Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian “heroik”
dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi Indonesia. Saat
itu, Soekarno berucap kepada Habib Husein Muthahar:
“Apa
yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan
tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu
untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan
musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya
kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang
menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam
menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia
harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”
Di saat
bom-bom berjatuhan dan tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan
kota, Habib Husein Muthahar terdiam dan memejamkan matanya, berpikir dan
berdoa. Amanah “menjaga bendera pusaka dengan nyawa” dirasakannya sebagai
tanggungjawabnya yang sungguh berat. Setelah berpikir, Habib Husein Muthahar
pun menemukan solusi pemecahan masalahnya. Sang Habib ini membagi bendera
pusaka menjadi 2 bagian dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua
bagian merah dan putih bendera itu. Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua
carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan. Oleh Habib Husein Muthahar,
kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya.
Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan
putih itu. Sang Habib hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan
terjadi selanjutnya. Yang ada dalam pemikiran Habib Husein Muthahar saat itu
hanyalah satu, yakni bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera
merah-putih itu sebagai bendera, tapi hanya kain biasa, sehingga tidak
melakukan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah
sebuah “prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak
sejarah.
Benar, tak
lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat
(kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka,
sedangkan wakil presiden Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka. Habib
Husein Muthahar dan beberapa staf kepresidenan juga akhirnya tertangkap dan
diangkut dengan pesawat Dakota. Mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana.
Pada saat menjadi tahanan kota, Habib Husein Muthahar berhasil melarikan diri
dengan naik kapal laut menuju Jakarta.
Di Jakarta
Habib Husein Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang
sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, Habib
Husein Muthahar indekost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said
Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama). Selama di Jakarta
Habib Husein Muthahar selalu mencari informasi dan cara, bagaimana bisa segera
menyerahkan bendera pusaka kepada presiden Soekarno. Pada suatu pagi sekitar
pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono
yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta.
Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang
ditujukan kepadanya.
Sore harinya,
surat itu diambil oleh Habib Husein Muthahar dan ternyata memang benar berasal
dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan
kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat
dibawa ke Bangka. Soekarno sengaja tidak memerintahkan Habib Husein Muthahar
sendiri datang ke Bangka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung
kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono sebagai perantara
untuk menjaga kerahasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka. Itu
tak lain karena dalam pengasingan, Soekarno hanya boleh dikunjungi oleh anggota
delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah
pengawasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia). Dan Sudjono adalah
salah satu anggota delegasi itu, sedangkan Habib Husein Muthahar bukan.
Setelah
mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, Habib Husein Muthahar
berupaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam
mesin jahit tangan milik seorang istri dokter yang ia sendiri lupa namanya.
Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas
jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati,
tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya. Dengan
dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bendera pusaka
diberikan Habib Husein Muthahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada
Presiden Soekarno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Soekarno dengan Habib
Husein Muthahar sewaktu di Yogyakarta. Dengan diserahkannya bendera pusaka
kepada orang yang diperintahkan Soekarno maka selesailah tugas penyelamatan
yang dilakukan Habib Husein Muthahar. Sejak itu, Sang Habib tidak lagi
menangani masalah pengibaran bendera pusaka.
Tanggal 6 Juli
1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta
dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949,
bendera pusaka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung
Yogyakarta. Pada 27 Desember 1949, naskah pengakuan kedaulatan lndonesia
ditandatangani dan sehari setelah itu Soekarno kembali ke Jakarta untuk
memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun
ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu
juga, bendera pusaka dibawa kembali ke Jakarta. Dan untuk pertama kalinya
setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bendera pusaka Sang Saka Merah Putih
kembali berkibar di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus
1950. Karena kerapuhan bendera pusaka, sejak tahun 1968, bendera yang dinaikkan
di Istana Negara adalah replika yang terbuat dari sutra.
Pada tahun
1968, Habib Muhammad Husein Muthahar membentuk organisasi mahasiswa Pasukan
Pengibar Bendera Pusaka, atau Paskibraka (Bendera Pusaka Flag Hoisting
Troop). Paskibraka inilah yang nantinya akan selalu bertugas sebagai pasukan
pengibar bendera pusaka pada setiap upacara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia
hingga sekarang. Selain membentuk Paskibraka, beliau pun menyusun tata cara
pengibaran bendera pusaka. Atas jasanya ini, beliau mendapat julukan Bapak
Paskibraka Indonesia.
SANG
KOMPONIS LAGU INDONESIA YANG FENOMENAL, HARI MERDEKA, DAN HYMNE SYUKUR
Habib Muhammad Husein Muthahar tidak hanya dikenal sebagai
penyelamat bendera pusaka dan pendiri Paskibraka saja tetapi beliau juga
seorang komponis lagu Indonesia yang hebat. Habib yang dikenal dengan nama H.
Mutahar ini telah menghasilkan ratusan lagu Indonesia, seperti lagu nasional
Hari Merdeka, Hymne Syukur, Hymne Pramuka, Dirgayahu Indonesiaku, juga lagu
anak-anak seperti Gembira, Tepuk Tangan Silang-silang, Mari Tepuk, dan
lain-lain.
Lagu Hari
Merdeka dan Hymne Syukur adalah salah satu lagu fenomenal yang diciptakan oleh
Habib Muhammad Husein Muthahar. Terkait penciptaan lagu Hari Merdeka, ada satu
cerita yang menarik. Ternyata inspirasi lagu Hari Merdeka ini muncul secara
tiba-tiba saat beliau sedang berada di toilet salah satu hotel di Yogyakarta.
Bagi seorang komponis, setiap inspirasi tidak boleh dibiarkan lewat begitu
saja. Beliau pun cepat-cepat meminta bantuan Pak Hoegeng Imam Santoso (Kapolri
pada 1968 –1971). Saat itu Pak Hoegeng belum menjadi Kapolri. Sang
Habib menyuruh Pak Hoegeng untuk mengambilkan kertas dan bolpoin. Berkat
bantuan Pak Hoegeng, akhirnya jadilah sebuah lagu yang kemudian diberi judul
“Hari Merdeka”. Sebuah lagu yang sangat fenomenal dan sangat terkenal yang
banyak dinyanyikan oleh bangsa Indonesia, bahkan anak-anak pun sangat hafal dan
pandai menyanyikannya.
Selain “Hari
Merdeka”, lagu berikut juga menjadi karya fenomenal beliau. Judulnya “Syukur”.
Lagu ini tercipta setelah menyaksikan banyak warga Semarang, kota
kelahirannya, bisa bertahan hidup dengan hanya memakan bekicot.
Dan masih
banyak lagi karya fenomenal beliau yang lainnya.
Habib Muhammad Husein Muthahar meninggal dunia di Jakarta pada
usia hampir 88 tahun, pada 9 Juni 2004 akibat sakit tua. Semestinya beliau
berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata dengan upacara
kenegaraan sebagaimana penghargaan yang lazim diberikan kepada para pahlawan.
Tetapi, beliau tidak menginginkan itu. Sesuai dengan wasiat beliau, pada 9 Juni
2004 beliau dimakamkan sebagai rakyat biasa di Tempat Pemakaman Umum (TPU)
Jeruk Purut Jakarta Selatan dengan tata cara Islam.
Allahu
yarhamhu, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat (kasih sayang) kepada
beliau, Sayyidil Habib Muhammad Husein Muthahar. Semoga jasa dan perjuangan
beliau untuk Tanah Air Indonesia dibalas dengan surga dan keridhaan Allah
subhanahu wa ta’ala. Semoga pula beliau tercatat sebagai pejuang yang syahid.
Amin Ya Robbal ‘Alamin, Alfatihah….
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-70, JAYALAH NEGERIKU JAYALAH
BANGSAKU
17 AGUSTUS 1945 – 17 AGUSTUS 2015
Komentar
Posting Komentar