Esensi Hadis Qudsi
Secara terminologi pengertian Hadis Qudsi adalah: ragam khusus dari Hadis-Hadis yang diriwayatkan dari Nabi, yang beliau sandarkan kepada Allah. Dengan sebab penyandaran tersebut, Hadis-Hadis ragam ini memperoleh kekudusan (kesucian), dan karena itu pulalah terkadang Hadis Qudsi ini di disebut al Hadis al-Ilahiyah dan al-Hadis al-Rabbaniyah.
Penjelasan tentang Hadis Qudsi ini, banyak ditemukan diberbagai definisi dan pendapat para ulama terdahulu dan masa kini yang pantas untuk dikemukakan. Adapun salah satu dari definisi tertua mengenai Hadis Qudsi adalah apa yang dikemukakan oleh As-Syarif al-Jurjani[1] (w.816 H) dalam bukunya at-ta’rifat, yaitu:
Hadis Qudsi, dari segi makna bersumber dari Allah, dan dari segi redaksi bersumber dari Rasulullah.
Hadis Qudsi merupakan sesuatu yang diberitakan Allah kepada Rasul-Nya melalui ilham, atau mimpi, kemudian Rasulullah menyampaikannya kepada umat manusia dengan memakai redaksi yang beliau susun sendiri (seiring qudrah dan iradah-Nya). Karena itu al-Qur’an lebih mulia dari pada Hadis Qudsi, sebab lafaz al-Qur’an termasuk yang diturunkan-Nya.
Sejalan dengan definisi di atas juga dipaparkan oleh al-Mulla bin Muhammad al-Qari, pakar hukum Islam bermadzhab Hanafi (w. 1016 H), dalam mukaddimah karyanya al-Hadis al-Qudsiyyah al-Arba’iniyyah.[2]
Bersamaan dengan definisi di atas, masih ada pendapat-pendapat lain yang hampir tidak keluar dari kandungan apa yang telah disebut di atas. Misalnya definisi Muhammad bin Yusuf al-Kirmani yang mengomentari kandungan kitab as-Shahih al-Bukhari (w. 743 H), Ibnu Hajar al-Atsqalani, yang mengomentari kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah (w. 974 H), Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i, yang mengomentari kitab ar-Riyadh as-Shalihin ( w. 1057 H).[3]
Adapun keinginan para ulama terkait dengan Hadis Qudsi adalah berupaya untuk menjelaskan esensi Hadis Qudsi menyangkut beberapa hal:
Perbedaan Antara Hadis Qudsi Dengan Hadis Nabi
Secara kesimpulan, Hadis Nabi, sanadnya berakhir pada Rasulullah. Sedang Hadis Qudsi sanadnya berlanjut hingga kepada Allah. Dengan demikian ia adalah firman Allah, seperti pada Hadis yang mengharamkan penganiayaan, yakni: ”wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya di antara kamu pun haram, karena itu, janganlah saling menganiaya,
Namun penting untuk diketahui bahwa hal ini tidak menafikan bahwa Hadis Nabi secara umum adalah wahyu dari Allah, berdasarkan firman-Nya: ”Sesungguhnya dia ( Muhammad ) tidak berucap dari hawa nafsu,” (QS. An-Najm : 53).
Cara Kehadiran Hadis Qudsi Dari Segi Redaksi Dan Esensinya
Dalam pembahasan ini, ada dua pendapat ulama.
1) Sebagian berpendapat bahwa lafaz dan maknanya sama-sama dari Allah dengan alasan bahwa Hadis Qudsi secara tegas dinisbatkan kepada Allah, dan penamaannya sebagai Qudsi, Ilahi, dan Rabbany, demikian juga dengan redaksinya yang menggunakan kata pada persona pertama (Allah).
2) sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa yang dari Allah hanya maknanya saja, dengan alasan-alasan yang sama dengan apa yang di kemukakan tadi, adapun redaksinya merupakan susunan dari Rasulullah atas izin dan iradah Allah, dengan sebab itu Hadis Qudsi tidak dapat menjadi mukjizat, dan boleh jadi berbeda-beda dalam periwayatannya,
Perbedaan pendapat ini tidak terlalu signifikan, selama terdapat kesepakatan tentang sumber maknanya yaitu dari Allah, dan bahwa Hadis Qudsi tersebut tidak merupakan mukjizat dan tidak juga tercakup dalam janji pemeliharaan Allah sebagaimana al Qur’an. Dari asumsi ini dapat disimpulkan bahwa redaksi tersebut diucapkan Nabi melalui ilham atau taufik Allah.
Bentuk-Bentuk Redaksi Periwayatan Hadis Qudsi
Mengenai hal ini ada dua bentuk redaksi periwayatan Hadis Qudsi yang di perkenalkan para ulama.
Pertama, -dan ini yang dianggap afdhal oleh ulama salaf- yaitu memulai Hadis Qudsi itu dengan berkata:
”Nabi Bersabda, dari apa yang beliau riwayatkan dari Allah Azza Wa Jalla (yang Maha Mulia lagi Maha Agung )”.
Kedua, menggunakan redaksi ”Allah berfirman, sebagaimana diriwayatkan dari-Nya oleh Rasulullah,”
Sebenarnya dari dua periwayatan ini hampir sama hanya saja redaksinya yang sedikit terdapat perbedaan tapi tetap se arti. Kalau lebih diteliti lagi secara cermat kita akan menemukan berbagai riwayat Hadis Qudsi yang berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di atas, seperti berikut ini:
Hadis Qudsi tersebut dimulai dengan redaksi: ”Rasulullah Bersabda, Allah Azza Wa Jalla berfirman”, kemudian sang perawi menyebut teks Hadis.
Firman Allah dalam Hadis Qudsi tersebut disampaikan bukan dalam bentuk ”Dia berfirman”, seperti Hadis Qudsi yang diriwayatkan imam Muslim: ”Setelah Allah telah menyelesaikan ciptaan, Dia memutuskan dalam ketetapan-Nya atas diri-Nya, maka keputusan itu ada di sisi-Nya, ‘sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku’. [4] Teks terakhir ini diriwayatkan secara sangat pasti dengan bentuk persona pertama kepada Allah.
Dalam suatu redaksi Hadis hampir tidak ditemukan Hadis yang dari awal hingga akhir berupa Hadis Qudsi semua, tetapi bagian Qudsinya hanya yang dinisbatkan secara jelas kepada Allah, setelah dimulai dengan Sabda Nabi yang menjelaskan konteks pembicaraan. Seperti Hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, Rasulullah bersabda: ”Tuhanmu kagum terhadap seorang pengembala kambing, di belahan puncak suatu Gunung, dia mengumandangkan azan untuk salat, lalu ia melaksanakan salat, Allah Azza Wa Jalla (Yang Maha Mulia lagi Maha Agung ) befirman: ”lihatlah kepada hamba-Ku ini…”
Bagian Hadis yang Qudsi, termasuk ke dalam Hadis sebagaimana yang terdapat di atas, tetapi kenisbatannya kepada Allah dipahami dari konteksnya, tidak dengan redaksi yang tegas menisbatkan kepadanya. Seperti dalam Hadis riwayat Imam Muslim: ”Rasulullah bersabda: ”dibuka pintu-pintu surga (setiap) hari Senin dan Kamis, ketika itu setiap hamba yang tidak diampuni adalah seorang yang terdapat antara dia dan saudaranya (seagama) permusuhan. Menyangkut mereka akan dikatakana (oleh allah): ‘tangguhkan kedua orang itu sampai mereka berdamai”.
Epilog
Semua bentuk redaksi tersebut memiliki sifat ke-qudsian (kesucian), karena semua mengandung redaksi yang dinisbatkan kepada Allah. Dan dari penjabaran di atas kita bisa membedakan dengan sendirinya antara Hadis-Hadis, apakah ini berupa Hadis Qudsi atau Hadis yang murni dari Rasulullah.
Wallahu ‘a’lam
[1] Asy-Syarif al-Jurjani adalah Ali bin Muhammad bin Ali (at-Ta’rif), (Tunis: ad-Dar at-Tunisiah, 1971), hal. 45
[2] Mulla Ali al-Qari, al-Ahadits al-Qudsiyyah, (Halab: al-Ilmiah, 1927), hal 2
[3] Lihat al-Majlis al-A’la li asy-Syu’un al-Islamiah, al-Ahadits al-Qudsiyyah, (Kairo: jilid 1, 1969), hal 5-7. Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi, Kitab Dalil al-Falihin, li Thuruq Qiyadh ash-Shalihin, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, jilid 1,201), hal.74. Dr. Sya’ban Muhammad Ismail, al-Ahadits al-Qudsiyyah wa Manzilatuha fi at-Tasyri’.(Kairo: 1398 H.) hal 28.
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim juz 5, hal 718.
oleh : Muhairil Yusuf /Santri Sidogiri Asal Bangkalan.
Komentar
Posting Komentar