Walisongo
dan para penyebar Islam terdahulu dalam menyebarkan Islam sangat toleran dengan
tradisi lokal yang telah membudaya dalam masyarakat selama tidak bertentangan
dengan akidah dan hukum Islam. Mereka mencoba meraih hati mereka agar masuk
Islam dengan menyelipkan ajaran Islam dalam tradisi mereka.
Hari Raya
Ahli Hadis Ibnu Hajar berkata:"Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasai dengan sanad yang sahih" (Bulugh al-Maram I/179)
Thawaf
Dua riwayat diatas menunjukkan bahwa puasa
Asyura dan Perkumpulan 7 hari sekali dalam Salat Jumat adalah tradisi dari
agama Yahudi, Nashrani dan Musyrikin jahiliyah. Lalu apakah puasa Asyura dan
salat Jumat dihukumi haram karena tasyabbuh dengan agama lain?
Jawabannya tidak karena meski sama tapi ibadahnya berbeda, bahkan kedua
peristiwa ini ditetapkan dalam agama Islam.
Dalam
konteks ini seorang Ulama bermadzhab Hambali Syaikh Ibnu Muflih al-Maqdisi
al-Hanbali menegaskan: "Ibnu Aqil berkata: Tidak dianjurkan untuk keluar
dari tradisi masyarakat kecuali dalam hal yang haram. Sebab Rasulullah Saw
membiarkan Ka'bah (tidak sesuai pondasi Nabi Ibrahim), dan beliau bersabda:
Kalau mereka tidak baru saja (masuk Islam) dengan agama jahiliyahnya maka Aku
akan meluruskannya" (al-Adab al-Syar'iyah II/114. Begitu pula dalam kitab
Mathalib Uli al-Nuha II/367)
Mengganti Tradisi Secara Islami
Jika
mengamati hadis-hadis sahih secara seksama, maka akan dijumpai beberapa metode
dakwah Rasulullah saw yang lebih arif dalam menerima tradisi dengan mengganti
nilai yang ada di dalamnya dengan ajaran Islam, tidak dengan menghilangkan
tradisi tersebut secara keseluruhan. Hal ini dapat kita saksikan dari beberapa
hadis berikut ini:
"An
Anasin qala: Qadima Rasulullah Saw al Madinata wa lahum yaumani yal'abuna
fihim. Fa qala: Qad Abdalakum bihima khairan minhuma, yaumal adlha wa yauma
al-fitri". Artinya: "Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: ketika
Rasulullah Saw tiba di Madinah, penduduknya telah memiliki dua hari (Nairuz dan
Mahrajan) yang dijadikan sebagai hari bersenang-senang mereka. Kemudian
Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu bagi
kalian dengan yang lebih baik, yaitu Hari Adlha dan Fitri" (HR Ahmad No:
12025, Abu Dawud No: 1134, al-Nasai dalam Sunan al-Kubra No: 1755, Abu Ya'la No
3820, al-Hakim No: 1091, dan ia berkata Hadis ini sahih sesuai kriteria Muslim)
Ahli Hadis Ibnu Hajar berkata:"Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasai dengan sanad yang sahih" (Bulugh al-Maram I/179)
Dalam
hadis tersebut dijelaskan tentang latar belakangnya bahwa di Madinah (sebelum
Rasulullah hijrah bernama Yatsrib) para penduduknya telah memiliki 2 nama hari
yang dijadikan sebagai hari perayaan, yaitu Nairuz dan Mahrajan, dengan
bersenang-senang, persembahan pada berhala dan sebagainya. Maka, kedatangan
Islam tidak menghapus tradisi berhari raya, namun dengan merubah rangkaian
ritual yang ada di dalamnya dengan salat dan sedekah dalam Idul Fitri, juga
salat dan ibadah haji atau qurban dalam idul Adlha (HR al-Baihaqi dalam Syu'ab
al-Iman No 3710).
Begitu
pula ritual kaum Musyrikin Jahiliyah dalam melakukan tawaf di Ka'bah. Ahli
sejarah Syaikh Ibnu Ishaq berkata: "Para lelaki melakukan tawaf
dengan telanjang. Sementara perempuan, diantara mereka melepas seluruh
pakaiannya kecuali baju perang yang dilempar ke arahnya kemudian dikelilingi….
Hal itu terus berlangsung hingga Allah mengutus Nabi-Nya Saw" (Ibnu Ishaq
dalam al-Sirah al-Nabawiyah I/30)
Setelah
Islam datang, hal yang diluruskan adalah tatacara tawaf yang sesuai Syariat,
yaitu menutup aurat, dan bukan menghapus ritual tawaf itu sendiri yang telah
ada sejak masa Nabi Ibrahim As, sebagaimana dalam firman Allah Swt al-A'raf:
31:
"Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan"
Ibnu
Katsir berkata: "Ayat yang mulia ini adalah bantahan kepada kaum Musyrikin
yang melakukan tawaf di Ka'bah dengan telanjang, sebagaimana riwayat Muslim (No
3028) dan al-Nasa'i (V/233)" (Ibnu Katsir III/405)
Demikian
halnya cara dakwah yang dijalankan oleh para Walisongo khususnya di tanah Jawa.
Para wali sangat arif dengan budaya lokal pra Islam, seperti kenduren
sebelum perkawinan, tingkeban saat kehamilan, 7 hari, 40 hari dan 100 hari
setelah kematian dan tradisi selametan lainnya. Budaya ini tidaklah serta merta
dihapus oleh para penyebar Islam tersebut, tetapi diisi dengan nilai-nilai yang
sesuai ajaran Islam seperti baca al-Quran, shalawat, sedekah dan lainnya
sebagaimana cara yang dilakukan oleh Rasulullah ketika di Madinah dalam merubah
isi hari raya dan meluruskan tatacara dalam melakukan tawaf di Ka'bah.
Ahli hadis Syaikh asy-Syaukani berkata: "Tradisi
yang berlaku di sebagian negara dengan berkumpul di masjid untuk membaca
al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula
perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam
syariah, tidak diragukan lagi apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung
maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh. Sebab pada dasarnya perkumpulannya sendiri tidak
diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti membaca al-Quran dan
sebagainya. Dan tidaklah dilarang menjadikan bacaan al-Quran itu
untuk orang yang meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada
dasarnya seperti dalam hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal.
Ini adalah hadis sahih. Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di
depan mayit atau di kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya,
untuk mayit di masjid atau di rumahnya" (Rasail al-Salafiyah, Syaikh Ali
bin Muhammad as Syaukani, 46)
Kesamaan Tradisi
Beberapa pihak menuduh tradisi yang telah berlaku di
sebagian masyarakat sebagai bid'ah karena mewarisi tradisi agama sebelum Islam
di Jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga praktek semacam ini hukumnya haram
dilakukan karena menyerupai (tasyabbuh) dengan tradisi agama lain,
sebagaimana mereka mengharamkan perayaan maulid Nabi Saw karena dianggap
menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, yaitu natal dalam agama
Kristen. Ini adalah jalan ijtihad yang dangkal, bahwa setiap hal yang memiliki
kesamaan dengan agama lain akan divonis sebagai bentuk tasyabbuh
(penyerupaan) yang diharamkan dalam hadis Nabi Saw. Sebab tidak semua bentuk tasyabbuh
dalam kesamaan tradisi akan mengarah pada persamaan subtansi kandungan dalam
tradisi tersebut, salah satu contohnya adalah riwayat hadis-hadis sahih
berikut:
1.
Puasa Asyura
"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ketika
Rasulullah Saw tiba di Madinah beliau menjumpai Yahudi berpuasa pada 10
Muharram (Asyura'). Mereka
ditanya mengenai hal itu, mereka menjawab: Pada hari ini Allah memberi
kemenangan pada Musa dan Bani Israil atas Firaun, dan kami berpuasa pada hari
ini sebagai bentuk pengagungan kepadanya. Kemudian Rasulullah Saw bersabda:
Kami lebih berhak dengan Musa daripada kalian. Lalu Rasul memerintahkan
berpuasa pada hari itu" (HR al-Bukhari No 3943)
Asyura'
ini tidak hanya diagungkan oleh Yahudi saja, tapi kaum Musyrikin juga
mengagungkannya: "Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Kafir Quraisy
berpuasa pada hari Asyura' di masa Jahiliyah, kemudian Rasulullah memerintahkan
berpuasa Asyura. Hingga telah diwajibkan puasa Ramadlan, Rasulullah bersabda:
Barangsiapa bersedia maka berpuasalah, barangsiapa tidak bersedia maka
berbukalah" (HR al-Bukhari No 1893)
2. Mendirikan Salat
Jumat
Begitu
pula dalam salat Jumat yang diprakarsai oleh umat Islam yang ada di Madinah. "Diriwayatkan
dari Muhammad bin Sirin, ia berkata: Sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah
dan sebelum diturunkannya perintah salat Jumat, penduduk Madinah berkumpul,
kemudian mereka berkata: Sesungguhnya Yahudi memiliki hari yang dijadikan
sebagai hari perkumpulan setiap 7 hari, begitu pula Nashrani. Maka hendaknya
kita menjadikan sebuah hari dimana kita berkumpul untuk berdzikir kepada Allah,
kita salat dan kita bersyukur kepada-Nya. Mereka menjadikannya pada hari Arubah
(Jumat), dan mereka berkumpul di rumah As'ad bin Zarari untuk salat bersama
mereka. Kemudian Allah menurunkan ayat tentang salat Jumat" (Riwayat
Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No: 5144)
Ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
"Sanadnya sahih secara mursal" (Raudlah
al-Muhadditsin I/332). al-Hafidz Ibnu Hajar juga berkata: "Riwayat ini
meskipun mursal namun diperkuat dengan sanad yang hasan, yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan yang lain dari
Ka'b bin Malik" (Fathul Bari II/355)
Komentar
Posting Komentar