
Penamaan Muhammad Saggaf memiliki cerita
yang cukup unik. Tiga hari menjelang kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua
orang wali yang berasal dari Hadhramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut
mempunyai nama yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya berpesan kepada Tuan Guru KH.
Abdul Majid, jika mempunyai anak agar diberi nama Saqqaf seperti nama mereka
berdua.
Kata Saqqaf dalam bahasa Arab berarti
membuat atap atau mengatapi. Kata ini kemudian diIndonesiakan menjaddi Saggaf
dan dikarenakan berada di daerah Lombok Nusa Tenggar Barat yang masih kental
dengan budaya daerahnya sehingga nama tersebut didialekkan ke dalam bahasa
daerah yang biasa disebut bahasa sasak menjadi Segep, dan pada masa kecilnya
pun beliau kerap dipanggil dengan panggilan Gep.
Disamping
itu, terdapat keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita
gembira yang dibawa oleh seorang wali, bernama Syaikh Ahmad Rifa’i yang juga
berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru KH. Abdul Majid menjelang kelahiran
putranya. Syaikh Ahmad Rifa’i berkata kepada Tuan Guru KH. Abdul Majid: “Akan
segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama
besar.”
Dengan adanya keunikan-keunikan yang
terjadi menjelang kelahiran putranya yang kemudian dinamakan Muhammad Saggaf,
Tuan Guru KH. Abdul Majid dan istrinya merasa senang dan gembira karena
kelahiran puteranya disambut dan dinantikan oleh para ulama dan para wali-wali
Allah.
Ayah Ibu Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin
Abdul Majid
Beliau adalah anak bungsu yang lahir dari
perkawinan antara Tuan Guru KH. Abdul Majid dengan seorang wanita shalihah yang
berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, yang bernama Inaq Syam dan lebih dikenal
dengan nama Hajjah Halimatus Sa’diyah.
Beliau memiliki saudara kandung sebanyak
lima orang, diantaranya yaitu Siti Syarbini, Siti Chilah, Hajjah Saudah, Haji
Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah.
Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur
dan cerdas. Kerena itu, tidak mengherankan kalau ayah bundanya memberikan
perhatian khusus dan menumpahkan kecintaan serta kasih sayang demikian besar
kepada beliau.
Tentang silsilah keturunan beliau yang
lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh dikarenakan dokumen dan catatan
silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orangtua beliau mengalami kebakaran. Namun yang jelas
beliau terlahir dari keturunan keluarga yang terpandang dan garis keturunan
terpandang pula yaitu keturunan Selaparang. Selaparang adalah nama Kerajaan
Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.
Pernikahan Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Majid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perempuan
yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai wafat, ada yang
wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada yang diceraikannya setelah
beberapa bulan menikah.
Disamping itu, ketujuh perempuan yang
telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari
berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa dan ada pula yang
berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah Baiq Siti
Zuhriyah Mukhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Baiq adalah gelar kebangsawanan bagi
perempuan yang secara stratifikasi sosial masyarakat Lombok berada satu tingkat
di atas masyarakat umum, dan dua tingkat di bawah strata tertinggi, yakni Datu
Bini dan Denda. Biasanya gelar Baiq ditujukan kepada mereka yang belum menikah.
Setelah menikah gelar tersebut berubah menjadi Mamiq Bini.
Adapun nama-nama perempuan yang pernah
dinikahi oleh Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid adalah:
- Chasanah
- Hajjah Siti Fatmah
- Hajjah Raihan
- Hajjah Siti Jauhariyah
- Hajjah Siti Rahmatullah
- Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar, dan
- Hajjah Adniyah.
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Majid sulit memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul
padahal beliau sendiri sangat mengiginkan keturunan yang akan melanjutkan
perjuangan beliau untuk mengembangkan dakwah Islam. Namun pada akhirnya beliau
dianugerahi dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu Siti Rauhun dari Siti
Jauhariyah dan Siti Raihanun dari Siti Rahmatullah. Karena dengan hanya
memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap dipanggil dengan sebutan “Abu
Rauhun wa Raihanun”.
Pendidikan Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid
Perjalanan Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali dengan pendidikan
yang dilakukan di dalam lingkungan keluarga. Beliau belajar mengaji membaca
al-Quran dan berbagai ilmu agama lainnya kepada ayahandanya sendiri, Tuan Guru
KH. Abdul Majid.
Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya
tersebut dimulai semenjak beliau berusia 5 tahun dan kemudian memasuki
pendidikan formal semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki
adalah sekolah umum yang pada saat itu disebut dengan Sekolah Rakyat Negara
(Sekolah Gubernemen) di Selong Lombok Timur. Di sekolah tersebut beliau belajar
selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya
pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh
ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lebih luas lagi pada beberapa
kyai lokal saat itu, antara lain Tuan Guru KH. Syarafuddin dan Tuan Guru KH.
Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru KH. Abdullah bin Amaq Dulaji dari
Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai ini, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin
selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu,
juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu
nahwu dan sharaf.
Pola pengajaran yang dilakukan oleh
kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik, yaitu masih menggunakan sistem
halaqoh, yang dalam pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang guru
memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para murid
masing-masing membacanya saling bergantian satu persatu.
Bagi Tuan Guru KH. Syarafuddin, Muhammad
Saggaf merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya
untuk membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu
murid-murid yang mengaji di rumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran.
Sebagai gantinya, mereka dihariskan berkerja di sawah tuan guru tersebut.
Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena
keinginan kuat ayahnya agar ia menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup
dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun (sekitar 2 ton padi atau gabah),
sebagai ganti kewajiban bekerja di sawah. Maksud ayahnya dengan kesediaan ini
adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya sehingga ia
berkonsentrasi pada pelajarannya.
Belajar ke Tanah Suci Makkah
Menjelang musim haji pada saat itu sekitar
tahun 1923 M, Muhammad Saggaf yang pada saat itu tengah berusia 15 tahun,
berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studinya, memperdalam berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan islam dengan diantar langsung oleh kedua
orangtuanya bersama adiknya, yaitu Muhammad Faishal dan Ahmad Rifa’i serta
seorang kemenakannya.
Bahkan pada saat itu salah seorang
gurunya ikut serta dalam rombangan itu, yaitu Tuan Guru KH. Syarafuddin dan
beberapa anggota keluarga dekat lainnya.
Beliau belajar di Tanah Suci Makkah
selama 12 tahun. Di kota suci itu beliau mula-mula belajar di Masjidil Haram.
Ayahnya sangat selektif dalam mencarikan dan menentukan seorang guru yang akan
mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini bahwa
seorang guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan panutan
bagi muridnya dalam segala aspek kehidupan baik dalam pola berfikir dan
berperilaku, sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh sang murid berguna dan
bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia dan di akhirat.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan
ayahnya sibuk mencarikannya seorang guru yang tepat dan cocok untuk mengajari
dan mendidik anaknya. Kemudian bertemulah ayahnya dengan seorang syaikh yang
belakangan dikenal dengan Syaikh Marzuki. Dari cara dan metode yang digunakan
dalam mengajar, Tuan Guru KH. Abdul Majid merasa cocok jika syaikh tersebut
menjadi guru bagi anaknya.
Syaikh Marzuki adalah seorang keturunan
Arab kelahiran Palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji
di Masjidil Haram. Ia fasih berbahasa Indonesia dan Arab. Kebanyakan muridnya
berasal dari Indonesia. Ada yang berasal dari Palembang, Jawa Barat, Jakarta,
Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Lombok.
Salah seorang murid Syaikh Marzuki yang
berasal dari Lombok bernama H. Abdul Kadir dari desa Mamben Lombok Timur. H.
Abdul Kadir sudah setahun lebih belajar di Makkah pada waktu itu.
Namun pada akhirnya Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid merasakan ketidakcocokan terhadap Syaikh Marzuki
karena dirasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut
ilmu. Karena pada saat itu sang guru mengajarkan kitab gundul yang tidak
memiliki baris sedangkan beliau masih murid baru dan dapat dikatakan masih awam
dalam mempelajari kitab-kitab gundul yang tidak memiliki baris tersebut,
sehigga beliau berfikiran ingin memulai pelajarannya dari awal agar mampu
membaca dan memahami makna yang terkandung dalam kitab gundul tersebut. Setelah
ayahnya pulang ke Lombok beliau langsung berhenti belajar mengaji pada Syaikh
Marzuki.
Dua tahun setelah terjadinya huru-hara di
Makkah karena perang ssaudara antara faksi Wahabi dengan kekuasaan Syarif
Husein, stabilitas keamanan relativ terkendali. Pada saat itu Muhammad
Zainuddin berkenalan dengan seorang yang bernama Haji Mawardi yang berasal dari
Jakarta. Dari perkenalan itu beliau diajak untuk ikut belajar di sebuah
madrasah legendaris di Tanah Suci, yakni Madrasah ash-Shaulatiyah yang pada
saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah putra Syaikh Rahmatullah,
pendiri Madrasah ash-Shaulatiyah.
Madrasah ini adalah madrasah pertama
sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudi Arabia. Gaungnya
telah menggema ke seluruh dunia dan telah banyak mencetak ulama-ulama besar
dunia. Di Madrasah ash-Shaulatiyah inilah beliau belajar berbagai disiplin ilmu
pengetahuan Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah bimbingan ulama-ulama
terkemuka Kota Suci Makkah waktu itu.
Pada hari pertama beliau masuk di
Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah beliau bertemu dengan Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat.
Di sana juga ia bertemu as-Sayyid
al-Habib Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajar syair pada
as-Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di Madrasah
ash-Shaulatiyah.
Sudah menjadi tradisi di Madrasah
ash-Shaulatiyah Makkah bahwa setiap murid baru yang masuk harus mengikuti tes
untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok untuk murid baru tersebut. Demikian
juga halnya dengan Muhammad Zainuddin, beliau juga diuji terlebih dahulu.
Beliau diuji langsung oleh Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath.
Akhirnya Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath menentukan ia masuk di kelas III. Padahal beliau belum terlalu
menguasai ilmu nahwu dan sharaf yang diajarkan di kelas II. Mendengar keputusan
tersebut, kemudian beliau meminta untuk diperkenankan masuk di kelas II, dengan
alasan ingin mendalami mata pelajaran nahwu dan sharaf. Walaupun pada awalnya
Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath bersikeras dengan keputusannya, namun
argumentasi yang dikemukakan oleh Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir
kembali. Kemudian Syaikh Hasan pun mengabulkan permohonannya, dan resmilah
beliau diterima di kelas II.
Di Madrasah ash-Shaulatiyah ini, Muhammad
Zainuddin mulai tekun belajar. Ia ingin membuktikan kemampuannya menguasai ilmu
dengan baik. Di malam dan sore hari beliau belajar kepada beberapa guru yang
lain.
Di rumah juga beliau manghabiskan
waktunya untuk belajar. Salah satu bentuk ketekunannya dalam belajar adalah
besarnya porsi waktu yang disediakan untuk membaca kitab-kitab mulai dari
setelah shalat Tahajjud sampai waktu shalat Shubuh tiba.
Pernah suatu ketika beliau tertidur pada
saat membaca kitab, padahal di hadapannya terdapat sebuah lampu minyak sebagai
alat penerang beliau dalam membaca. Tanpa beliau sadari sorbannya terlalap api
dari lampu minyak tersebut dan terbakar. Mencium bau benda terbakar, ibunya pun
terbangun, sementra beliau masih tertidur dengan lelapnya. Kemudian ibunya pun
berteriak membangunkannya. Beliaupun terkejut dan terbangun.
Kebiasaan beliau membaca dan belajar
dalam waktu yang cukup lama menyebabkan mata beliau mengalami gangguan.
Meskipun demikian beliau masih tetap mampu mempertahankan kebiasaan membaca dan
belajarnya tersebut sampai waktu yang cukup lama.
Ketekunannya dalam belajar membuahkan
hasil. Beberapa orang gurunya mengakui bahwa beliau tergolong murid yang
cerdas. Syaikh Salim Rahmatullah sebagai kepala Madrasah ash-Shaulatiyah selalu
mempercayakan beliau untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang
sering kali datang ke madrasah itu. Penilik madrasah itu menganut faham Wahabi.
Dan beliaulah satu-satunya murid Madrasah ash-Shaulatiyah yang dianggap
menguasai faham Wahabi.
Pertanyaan penilik itu biasanya
menyangkut soal-soal hukum ziarah kubur, tawassul kepada anbiya’ dan auliya’,
bernadzar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya. Dan
beliau selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan.
Prestasi akademiknya sangat membanggakan,
ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Disamping itu, dengan
kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun
waktu 6 tahun. Padahal waktu belajar normal adalah 9 tahun, yaitu mulai dari
kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun
berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara
berturut-turut naik ke kelas VII,VIII dan IX.
Sahabat sekelas Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin bernama Syaikh Zakaria Abdullah Bila, mengakui kejeniusannya dan
mengatakan: “Syaikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena
kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh menyadari hal ini.
Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan saya belum pernah
mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi pada waktu
saya bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah.”
Predikat istimewa ini disertai pula
dengan perlakuan istimewa dari Madrasah ash-Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis
langsung oleh ahli khat terkenal di Makkah, yaitu al-Khathath asy-Syaikh Dawud
ar-Rumani atas usul dari direktur Madrasah ash-Shaulatiyah. Prestasi istimewa
itu memerlukan pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di
Madrasah ash-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah.
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid menyelesaikan studinya di Madrasah ash-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzul
Hijjah tahun 1353 H dengan predikat “mumtaz” (Summa Cumlaude).
Setelah tamat dari Madrasah
ash-Shaulatiyah, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin tidak langsung pulang ke
Lombok, tetapi bermukim lagi di Makkah selama dua tahun sambil menunggu adiknya
yang masih belajar, yaitu Muhammad Faisal. Waktu dua tahun itu dimanfaatkan
untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah
al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh selama di Tanah Suci
Makkah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini berarti selama
di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
Guru-guru Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid
Para guru yang mengajarkan al-Quran dan
kitab Melayu di Lombok diantaranya adalah:
- Tuan Guru KH. Abdul Majid
- Tuan Guru KH. Syarafuddin Pancor Lombok Timur
- Tuan Guru KH. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur.
- Adapun para guru beliau di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah adalah:
- Asy-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath
- Asy-Syaikh Umar Bajunaid asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Muhammad Said al-Yamani asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Ali al-Maliki
- Asy-Syaikh Marzuqi al-Palimbani
- Asy-Syaikh Abubakar al-Palimbani
- Asy-Syaikh Hasan Jambi asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Abdul Qadir al-Mandili asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Mukhtar Betawi asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki
- Asy-Syaikh Abdussattar ash-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kutbi al-Maliki;
- Al-‘Allamah al-Kabir al-Syeikh
- Asy-Syaikh Abdul Qadir asy-Syibli al-Hanafi
- Asy-Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi
- As-Sayyid al-Habib Muhsin al-Musawa asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Khalifah al-Maliki
- Asy-Syaikh Jamal al-Maliki
- Asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Kalantani asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Mukhtar al-Makhdumi al-Hanafi
- Asy-Syaikh Salim Cianjur asy-Syafi’i
- As-Syayid Ahmad Dahlan Shadaqi asy-Syafi’i
- Asy-Syaikh Salim Rahmatullah al-Maliki
- Asy-Syaikh Abdul Gani al-Maliki
- As-Syayid Muhammad Arabi at-Tubani al-Jazairi al-Maliki
- Asy-Syaikh Umar al-Faruqi al-Maliki
- Asy-Syaikh Abdullah al-Farisi
- Asy-Syaikh Malla Musa.
Jika diklasifikasikan guru-gurunya
berdasarkan latar belakang madzhab yang berbeda, maka akan terlihat
kategorisasi madzhab sebagai berikut: 11 orang bermadzhab Syafi’i, 6 orang
bermadzhab Hanafi dan 11 orang bermadzhab Maliki.
Berdasarkan kategorisasi madzhab di atas
terlihat jelas bahwa semua guru-guru beliau masih berada dalam satu landasan
teologi yang sama, yakni faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan kata lain, bahwa
tidak ada seorang pun gurunya yang menganut faham teologi yang berbeda, seperti
Mu’tazilah, Syi’ah ataupun Wahabi.
Kepulangan Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid ke Tanah Air
Setelah selesai menuntut ilmu di Makkah
dan kembali ke tanah air, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga
dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya
dengan sebutan “Tuan Guru Bajang”.
Semula, pada tahun 1934 mendirikan
pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan
selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul
Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada
tahun ajaran 1940/1941.
Kepemimpinan Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid
Kesuksesan perjuangan seseorang tokoh
atau pemimpin banyak ditentukan oleh pola kepemimpinannya. Kearifan seorang
pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya akan menentukan keberhasilan
perjuangannya. Perjuangan dan kepemimpinan merupakan dua hal yang saling
mengkait, karena perjuangan itu akan berhasil baik, apabila pola pendekatan
yang dipergunakan dalam kepemimpinan itu baik. Disamping itu, kepemimpinan yang
arif dan bijaksana akan menghasilkan keberhasilan perjuangan.
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid dikenal sebagai ulama besar di Indonesia karena ilmu yang dimiliki
sangat luas dan mendalam. Demikian juga kharisma beliau sebagai sosok figur
ulama demikian besar. Beliau adalah tokoh panutan yang sangat berpengaruh
karena kearifan dan kebijaksanaannya.
Perjuangan dan kepemimpinan beliau
senantiasa diarahkan untuk kepentingan umat. Penghargaan dan penghormatan yang
diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya terutama kepada
guru-guru beliau diwujudkan dalam bentuk yang dapat memberikan manfaat kepada
umat.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa
penghargaaan beliau kepada mahaguru yang paling dicintai dan disayangi,
asy-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath diwujudkan dalam bentuk Pondok Pesantren
Hasaniyah NW di Jenggik, Lombok Timur. Penghargaan kepada mahagurunya
asy-Syaikh as-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi diwujudkan dalam bentuk Pondok
Pesantren Aminiyah NW di Bonjeruk Lombok Tengah, dan penghargaan kepada
mahagurunya asy-Syaikh Salim Rahmatullah beliau sudah merencanakan untuk
mendirikan sebuah Pondok Pesantren di Lombok Timur.
Pola kepemimpinan yang beliau contohkan
di atas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang
dalam serta pemimpin yang memiliki kearifan dan kebijaksanaan. Demikian pula
tentang pendekatan yang beliau lakukan selalu bernilai paedagogik dalam arti
mengandung nilai-nilai pendidikan. Beliau tidak mau bahkan tidak pernah
bersikap sebagai pembesar yang disegani. Beliau selalu bertindak sebagai
pengayom yang berada di tengah-tengah jamaah dan senantiasa menempatkan diri
sesuai dengan keberadaan dan kemampuan mereka. Demikian juga halnya di kala
beliau memberikan fatwanya selalu disesuaikan dengan kondisi dan jangkauan alam
pikiran murid dan santrinya.
Pembawaan dan sikap hidup beliau selalu
menunjukkan kesederhanaan. Inilah yang membuat beliau selalu dekat dengan para
warganya dan murid-muridnya dengan tidak mengurangi kewibawaan dan kharisma
yang beliau miliki. Keluhan yang disampaikan para warga dan muridnya ditampung,
didengar, dan dicarikan jalan penyelesaiannya dengan penuh kearifan dan
kebijaksanaan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
Untuk melanjutkan dan mengembangkan
perjuangan Nahdlatul Wathan di masa datang, beliau sangat mendambakan munculnya
kader-kader yang memiliki potensi dan militansi, serta loyalitas yang tinggi,
baik dari segi semangat, wawasan, maupun bobot keilmuan.
Dalam banyak kesempatan beliau sering
menyampaikan keinginannya agar murid dan santri beliau memiliki ilmu
pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lipat lebih tinggi daripada ilmu
pengetahuan yang beliau miliki. Demikian motovasi yang selalu beliau
kumandangkan supaya murid dan santri beliau lebih tekun dan berpacu dalam
menuntut ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam menerima dan menghadapi para murid
dan santri serta warga Nahdlatul Wathan, beliau tidak pernah membedakan antara
yang satu dengan yang lain. Semua murid dan santri serta warga Nahdlatul Wathan
diberikan perhatian dan kasih sayang yang sama besarnya, bagaikan cinta dan
kasih sayang seorang bapak kepada anak-anaknya.
Yang membedakan murid dan santri di
hadapan beliau adalah kadar keikhlasan dan sumbangsihnya kepada Nahdlatul
Wathan. Dan, untuk membina dan memonitor kualitas kader Nahdlatul Wathan,
beliau mengeluarakan wasiat dalam bahasa Arab, yang artinya:
“Dengan menyebut nama Allah dan dengan
memujiNya semoga keselamatn tetap tercurah padamu, demikian pula rahmat Allah,
keberkatan, ampunan dan ridhaNya.
Anak-anak yang setia dan murid-muridku
yang berakal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisiku ialah yang paling
banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan. Dan sejahat-jahat kamu di
sisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan.
Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu,
tetaplah bersiap siaga, berjuanglah kemudian berjuanglah di jalan Nahdlatul
Wathan untuk mempertinggi citra agama dan negara. Niscaya kamu dengan kekuasaan
Allah Swt. Tergolong pejuang agama, orang shaleh dan mukhlish baik pada waktu
sendirian maupun pada waktu bersama orang lain.
Semoga Allah membukakan pintu rahmat
untuk kami dan kamu dan semoga ia menganugerahi kami dan kamu serta para
simpatisan Nahdlatul Wathan masuk surga dan nikmat tambahan yang tiada taranya,
yaitu melihat DzatNya dari dalam surga.”
Demikianlah, wasiat ini dikeluarkan
setelah terlihat beberapa kader dari kalangan alumni Madrasah NWDI, dan mereka
yang sudah dibiayai beliau untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi
keluar dari garis perjuangan oraganisasi. Tidak taat pada kebijakan-kebijakan
yang ditetapkan oleh beliau.
Memang dalam rangka kaderisasi beliau
banyak memberikan bantuan kepada alumni NWDI dan orang-orang lain untuk
melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan nawaitu khusus dan perjanjian
khusus pula, yaitu untuk setia membela dan memperjuangkan cita-cita NWDI, NBDI
dan NW.
Alhamdulillah tidak sedikit diantara
mereka yang benar-benar menepati janjinya dengan tulus. Sebaliknya ada juga
yang khianat pada janjinya, tidak malu merobek-robek nawaitu pengirimannya.
Eksistensi dan aplikasi dari wasiat ini menjadi tolok ukur kualitas dan kader
ketaatan serta keihklasan kader-kader Nahdlatul Wathan.
Disamping itu, untuk mempertegas Wasiat
Renungan Masa I dan II berbahasa Indonesia dalam bentuk puisi. Wasiat Renungan
Masa ini berisikan nasihat, fatwa dan pedoman bagi warga Nahdlatul Wathan dalam
berjuang.
Lahirnya wasitat-wasiat tersebut
merupakan konsekuensi logis dari pola kepemimpinan beliau yang selalu
menekankan hubungan guru dan murid. Beliau adalah figur pemimpin yang selalu
menekankan agar tetap terjalin dan terpelihara hubungan antara guru dan murid.
Menurut prinsip beliau bahwa tidak ada guru yang membuang murid akan tetapi
kebanyakan murid yang membuang guru.
Perjuangan Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemudian kembali ke
Indonesia atas perintah dari guru beliau yang paling dikagumi, yakni Syaikh
Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934.
Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan
Pesantren al-Mujahidin pada tahun1934 M. Kemudian pada tanggal 15 Jumadil Akhir
1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria.
Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir
1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah
Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan
madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal
bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan.
Dan secara khusus nama madrasah tersebut diabadikan menjadi nama Pondok
Pesantren Dar an-Nahdlatain Nahdlatul Wathan. Istilah “Nahdlatain” diambil dari
kedua madrasah tersebut. Beliau aktif berdakwah keliling desa diPulau Lombok
dan mengajar.
Pada tahun 1952, madrasah-madrasah cabang
NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumni di berbagai daerah telah berjumlah 66
buah. Maka untuk mengkoordinir, membina dan mengembangkan madrasah-madrasah
cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam
bidang pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah pada tanggal 15 Jumadil Akhir
1372 H/1 Maret 1953 M.
Sampai dengan tahun 1997 M,
lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi Nahdlatul Wathan telah
berjumlah 747 buah dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan
tinggi. Begitu juga lembaga sosial dan dakwah islamiyah Nahdlatul Wathan berkembang
dengan pesat bukan hanya di NTB melainkan juga diberbagai daerah di Indonesia
seperti NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau, Sulawesi,
Kalimantan, bahkan sampai ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, dan lain sebagainya.
Pada zaman penjajahan, Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat
pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap
bertempur melawan dan mengusir penjajah.
Bahkan secara khusus Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk
suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan al-Mujahidin”. Gerakan al-Mujahidin ini
bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk
bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa
Indonesia.
Dan pada tanggal 7 Juli 1946, Tuan Guru
KH. Muhammad Faisal Abdul Majid adik kandung Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Namun, dalam
penyerbuan ini gugurlah TGH. Muhammad Faisal Abdul Majid bersama dua orang
santri NWDI sebagai syuhada sekaligus sebagai pencipta dan penghias Taman Makam
Pahlawan Rinjani Selong, Lombok Timur.
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid sebagai ulama pemimpin umat, dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
telah mengemban berbagai jabatan dan menanamkan berbagai jasa pengabdian,
diantaranya:
- Pada tahun 1934 mendirikan Pesantren al-Mujahidin
- Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
- Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI
- Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
- Pada tahun 1946 pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur
- Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Haji dari Negara Indonesia Timur
- Pada tahun 1948/1949 menjadi anggota delegasi Negara Indonesia Timur ke Arab Saudi
- Pada tahun 1950 Konsulat NU Sunda Kecil
- Pada tahun 1952 Ketua Badan Penasehat Masyumi Daerah Lombok
- Pada tahun 1953 mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan
- Pada tahun1953 Ketua Umum PBNW pertama
- Pada tahun 1953 merestui terbentuknya parti NU dan PSII di Lombok
- Pada tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cang Lombok
- Pada tahun 1955 menjadi anggota Konstituante RI hasil Pemilu I (1955)
- Pada tahun 1964 mendiriakn Akademi Paedagogik NW
- Pada tahun 1964 menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
- Pada Tahun 1965 mendirikan Ma’had Dar al-Quran wa al-Hadits al-Majidiyah asy-Syafi’iyah Nahdlatul Wathan
- Pada tahun 1972-1982 sebagai anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III
- Pada tahun 1971-1982 sebagai penasihat Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
- Pada tahun 1974 mendirikan Ma’had li al-Banat
- Pada Tahun 1975 Ketua Penasihat Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram (sampai 1997)
- Pada tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi
- Pada tahun 1977 menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi
- Pada tahun 1977 mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi
- Pada tahun 1978 mendirikan STKIP Hamzanwadi
- Pada tahun 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hamzanwadi
- Pada tahun 1982 mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi
- Pada tahun 1987 mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
- Pada tahun 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi
- Pada tahun 1990 mendirikan Sekolah Tinggi Ilamu Dakwah Hamzanwadi
- Pada tahun 1994 mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri
- Pada tahun 1996 mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi.
Oleh karena jasa-jasa beliau itulah, maka
pada tahun 1995 belau dianugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang
Pembangunan oleh pemerintah.
Disamping itu, Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu berupaya mengadakan
inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan ummat demi
kebahagian di dunia maupun di akhirat. Diantara inovasi atau rintisan-rintisan
beliau adalah:
- Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran agama Islam di NTB dengan sistem madrasi (madrasah)
- Membuka lembaga pendidikan khusus untuk wanita
- Mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di samping didatangi
- Meyelenggarakan pengajian umum secara bebas
- Mengadakan gerakan doa dengan berhizib
- Mengadakan syafa’at al-kubra
- Mengamalkan thariqat, yakni thariqat Hizib Nahdlatul Wathan
- Membuka sekolah umum disamping sekolah agama (madrasah)
- Menyusun nadzam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia
- Dan lain-lain.
Sebagai seorang ulama mujahid beliau
telah memberikan keteladanan yang terpuji. Seluruh sisi kehidupan beliau,
beliau isi dengan perjuangan memajukan agama, nusa dan bangsa. Tegasnya, tiada
hari tanpa perjuangan. Itulah yang senantiasa terlihat dan terkesan dari
seluruh sisi kehidupan beliau yang patut dicontoh dan diteladani oleh seluruh
pengikut dan murid beliau.
Karya-karya Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid
Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul
Majid, selain tergolong ulama yang berbobot dalam bidang keilmuan, beliau juga
termasuk penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuannya tersebut
tumbuh dan berkembang semenjak beliau belajar di Madrasah ash-Shaulatiyah
Makkah. Akan tetapi karena kepadatan dan banyaknya acara kegiatan keagamaan
dalam masyarakat yang harus diisi oleh beliau, sehingga peluang dan kesempatan
beliau untuk mengarang dan memperbanyak tulisannya hampir tidak pernah ada.
Itulah sebabnya pada beberapa kesempatan
beliau seringkan mengungkapkan keadaannya kepada para muridnya. Beliau teringat
pada kawan seperjuangan di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah yang juga telah
tergolong ulama besar dan pengarang terkenal seperti asy-Syaikh Zakaria
Abdullah Bila, asy-Syaikh Yasin al-Faddani dan lain-lain. Mereka sekarang ini
memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis menulis (kitab).
Dalam hal ini Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid tidak pernah berkecil hati, walaupun kawan seperguruannya
menonjol dalam bidang tersebut. Beliau menyadari akan hal ini, karena situasi
dan kondisi kehidupan ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat jauh berbeda,
yaitu masyarakat Makkah di satu pihak dan masyarakat Indonesia di lain pihak.
Beliau pernah mengatakan: “Seandainya aku
mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menulis dan mengarang, niscaya
aku akan mampu menghasilkan karangan dan tulisan-tulisan yang lebih banyak,
seperti yang dimiliki Syaikh Zakaria Abdullah Bila, Syaikh Yasin Padang, Syaikh
Ismail dan ulama-ulama lain tamatan Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah.”
Dikarenakan seluruh waktu dan kehidupan
beliau dimanfaatkan dan dipergunakan untuk mengajar dan berdakwah keliling
untuk membina umat dalam upaya menanamkan iman dan taqwa, sehingga membuat
beliau tidak memiliki cukup banyak waktu untuk menulis dan mengarang. Dan
bahkan beliau tidak pernah putus semangat untuk menghabiskan waktunya berjuang
demi kepentingan umat, sebagaimana ucapan dan ikrar beliau sendiri: “Aku wakafkan
diriku untuk ummat.”
Sekalipun dalam keadaan yang sangat sibuk
seperti itu, beliau masih menyempatkan dirinya untuk mengembangkan bakat dan
kemampuannya tersebut. Bagi beliau mengarang dan tulis menulis bukanlah suatu
tugas dan pekerjaan yang sulit, karena hal ini merupakan kemampuan dasar yang
dianugerahkan Allah Swt. kepada beliau. Bakat dan kemampuannya inilah yang
terus dibawa sehingga tumbuh dan berkembang semenjak beliau bersekolah di
Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah, sehingga tidak mengherankan apabila
beliau mendapatkan banyak pujian
dari guru-guru beliau.
Diantara karya tulis dan
karangan-karangan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid adalah:
- Risalat at-Tauhid (Ilmu tauhid dalam bentuk soal jawab).
- Sullam al-Hija Syarh Safinat an-Naja (Ilmu fiqh).
- Nahdhat az-Zainiyah (Ilmu faraidh dalam bentuk nadzam).
- At-Tuhfat al-Ampenaniyah Syarh Nahdhat az-Zainiyah (Syarah nadzam ilmu faraidh).
- Al-Fawakih al-Ampenaniyah (Ilmu faraidh dalam bentuk soal jawab).
- Mi’raj ash-Shibyan ila Sama’ ‘Ilm Bayan (Ilmu balaghah).
- An-Nafahat ‘ala at-Taqrirat as-Saniyah (Ilmu mushtalahul hadits).
- Nail al-Anfal (Ilmu tajwid).
- Hizb Nahdhat al-Wathan (Doa dan wirid kaum pria).Hizb Nahdhat al-Banat (Doa dan wirid kaum wanita).
- Shalawat Nahdhatain (Shalawat iftitah dan khatimah).
- Thariqat Hizb Nahdhat al-Wathan (Wirid harian).
- Ikhtishar Hizb Nahdhat al-Wathan (Wirid harian).
- Shalawat Nahdhat al-Wathan (Shalawat iftitah).
- Shalawat Miftah Bab Rahmatillah (Wirid dan doa).
- Shalawat Mab’uts Rahmatan li al-‘Alamin (Wirid dan doa).
- Batu Nompal (Ilmu tajwid).
- Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu tajwid).
- Wasiat Renungan Masa I dan II (Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga Nahdlatul Wathan).
- Dan masih banyak lagi.
Adapun karya beliau dalam benuk nasyid
atau lagu perjuangan dan dakwah dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak
diantaranya adalah:
- Ta’sis NWDI (Anti Ya Pancor Biladi)
- Imamuna asy-Syafi’i
- Ya Fata Sasak
- Ahlan bi Wafdi az-Zairin
- Tanawwar
- Mars Nahdlatul Wathani
- Bersatulah Haluan
- Nahdlatain
- Pau Gama’
- Dan masih banyak lagi.
Dengan banyaknya karya yang telah beliau
terbitkan mencerminkan ketinggian ilmu yang dimilikinya, sehingga oleh
guru-gurunya Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendapat pujian dan
kepercayaan yang besar. Diantaranya ia pernah diberi kesempatan untuk
memberikan kata pengantar dari gurunya, yakni asy-Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath.
Dalam kata pengantar yang beliau tulis
untuk kitab Baqi’ah al-Mustarsyidin karya asy-Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath sambil mengutip hadits Nabi Saw. mengatakan:
“Janganlah kamu mempelajari ilmu syariat
dari seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat hidupnya dan hatinya dan
kamu sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”
Dari asy-Syaikh Hasan Muhammad
al-Masysyath inilah, beliau pernah mendapatkan risalah atau ijazah dengan
seluruh isi kitabnya: “al-Irsyad bi adz-Dzikr ba’da Ma’alim al-Ijazah wa
al-Ashnaf”. Dari sinilah, beliau menukil sebagian ucapan gurunya tentang
kehidupan pribadinya yang mantap, tetapi tetap menganggap dirinya adalah orang
yang hina dan fakir dalam pengetahuan agama.
Asy-Syaikh Muhammad al-Masysyath pernah
memberikan sanjungan kepada Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid: “Demi
Allah saya kagum kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya atas orang lain pada
kebesaran yang tinggi dan kecerdasannya yang tiada tertandingi. Jasanya bersih
ibarat permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya dan karya-karya tulisnya
indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di lereng pegunungan. Di
lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab dab thalibat menuntut
ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi muda menggapai mustawa
dengan karyanya Mi’raj ash-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan. Semoga Alah
memanjangkan usianya dan dengan perantaraannya ia memajukan ilmu pengetahuan
agama di Ampanan bumi Selaparang. Terkirimlah salam penghormatan harum semerbak
bagaikan kasturi dari tanah Suci menuju “Rinjani” (Syaikh Muhammad Zainuddin
Abdul Majid dalam Mi’raj ash-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan).
Dengan demikian, Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid selain dikenal sebagai ulama yang memiliki kepedulaian
yang tinggi terhadap dunia pendidikan Islam, ia juga mampu menuliskan
pikiran-pikirannya untuk memberikan warisan yang paling berharga bagi penerus-penerusnya.
Karamah Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin
Abdul Majid
Suatu hari salah satu kyai besar
Nahdlatul Ulama (NU), KH. Ma’shum Ahmad Lasem, ayahanda KH. Ali Ma’shum
Krapyak, bersilaturrahim ke Lombok.
Menjelang waktu Maghrib kiai asal Lasem
itu sampai di sana. Saat dijamu oleh tuan rumah, Mbah Ma’shum (panggilan akrab
KH. Ma’shum Ahmad) mengetahui betapa ramainya pesantren sang kiai. Hiruk-pikuk
para santri yang melakukan aktifitasnya sangat tampak. Segenap santri terlihat
mengaji dan berdzikir.
“Alhamdulillah, pesantren Tuan sudah
maju. Santrinya banyak. Semoga mereka bisa jadi pemimpin kaumnya,” kata Mbah
Ma’shum.
Setelah mengamini doa temannya itu, sang
tuan rumah hanya tersenyum penuh arti.
Akan tetapi keesokan harinya, tiba-tiba
saja pesantren itu mendadak sepi. Tak seorang pun santri yang terlihat berlalu
lalang. Dan di tempat itu hanya ada sang kiai saja, yang bersama keluarga
rumahnya berada di tengah-tengah pelataran pesantren. Lalu Mbah Ma’shum
bertanya kepada sang tuan rumah: “Ke mana gerangan para santrinya?”
Lalu Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin
Abdul Majid, pendiri organisasi Nahdlatul Wathan (NW) pada tahun 1356 H atau
bertepatan dengan tahun 1936 M, itu pun menjelaskan bahwa santri-santrinya itu
adalah segenap jin. Sang kiai itu memang sangat alim, tangguh dan memiliki
banyak kekeramatan, sehingga umatnya tidak saja manusia.
Kekeramatannya yang lain adalah air dari
buah-buah kelapa yang tumbuh di lingkungan pesantrennya. Air kelapa itu sangat
mujarab untuk menyembuhkan banyak penyakit. Mbah Ma’shum ketika berpamitan pun
diberi bawaan (oleh-oleh) berupa beberapa biji buah kelapa itu.
Pertemanan Mbah Ma’shum dengannya berawal
ketika keduanya masih sama-sama belajar di Makkah. Beliau sangat akrab dengan
Mbah Ma’shum, dan keduanya sama-sama saling menghormati meskipun dalam hal
organisasi keduanya berbeda jalan.
Dan masih banyak karamah Tuan Guru KH.
Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang lainnya yang belum kami tulis di sini.
Kewafatan Tuan Guru KH. Muhammad
Zainuddin Abdul Majid
Akhir tahun 1997 menjadi masa kelabu Nusa
Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa 21 Oktober 1997 M/18 Jumadil Akhir
1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut
Hijriah, sang ulama kharismatis, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid,
berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kediaman beliau di desa
Pancor, Lombok Timur.
Tiga warisan besar beliau tinggalkan:
ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan
Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Beliau adalah ulama pewaris para nabi.
Beliau sangat berjasa dalam mengubah masyarakat NTB dari keyakinan semula yang
mayoritas animisme, dan dinamisme menuju masyarakat NTB yang Islami. Buah
perjuangan beliau jugalah yang menjadikan Pulau Lombok sehingga dijuluki Pulau
Seribu Masjid. Karena di seluruh kampung di Lombok pasti kita temukan masjid
untuk tempat ibadah dan acara sosial, baik yang berukuran kecil maupun besar.
Perjuangan beliau dalam menegakkan syiar
Islam dan pendidikan di bumi Indonesia tidak boleh terhenti begitu saja, namun
harus terus dilanjutkan oleh siapa saja, baik umat muslim Indonesia secara
keseluruhan dan masyarakat Sasak pada umumnya, maupun oleh kader-kader
Nahdlatul Wathan yang telah dididik melalui lembaga-lembaga pendidikan
Nahdlatul Wathan serta seluruh warga Nahdlatul Wathan (abituren, pencinta dan
simpatisan) pada khususnya.
Wallahu al-Musta’an A’lam
Referensi bacaan:
- “TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal Terjemah Tuhfatul Athfal”, terbitan Nahdlatul Wathan Jakarta 1996.
- “Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid 1904-1997”, karya Muhammad Noor dkk. PT. Logos Wacana Ilmu Jakarta 2004.
- “Mbah Ma’shum Lasem: The Authorized Biography of KH. Ma’shum Ahmad” karya M. Luthfi Thomafi Pustaka Pesantren 2007.
- Majalah Aula no. 03/xxxii edisi Maret 2010.
- “Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Majid Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat” karya Masnun, Pustaka Al-Miqdad, Jakarta 2007.
- Harian Umum Suara Nusa, Kobarkan Semangat Kemerdekaan, (Mataram: tanggal 19 November 1997).
- “Maulana Syaikh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid Menjadi Tauladan Bagi Umat Islam” oleh KH. Abdullah Syafi’i (Pimpinan Pondok Pesanteren asy-Syafi’iyah Jakarta) dalam Majalah Triwulan Sinar Lima, Jakarta 1995.
Komentar
Posting Komentar