Menilai tasawuf sebagai sesuatu yang
menyimpang bukanlah perkara ringan, apalagi tasawuf sudah ada sejak lama dan
tumbuh bersama tumbuhnya fiqih Islam. Bila ada penyimpangan-penyimpangan, itu
hanyalah penyimpangan oknum atau sekelompok orang yang menisbatkan diri kepada
tasawuf.
Penyimpangan suatu kelompok dalam satu
gerbong ilmu sudah biasa terjadi, seperti dalam akidah, kita bisa lihat
kelompok menyimpang seperti Khowarij dan Mujassimah, dalam fiqih juga, ada yang
mutasahil seperti orang-orang liberal ada juga juga yang mutasyadid.
Namun yang pasti, tasawuf sudah ada sejak
generasi emas umat Islam dan keberadaanya diakui oleh para ulama, bahkan Ibnu
Taimiyah (w 728 H) menulis kitab khusus tentang tasawuf yang beliau namai Fiqh
at-Tasawuf.
Prinsip dalam beragama
Seorang muslim ketika berkomitmen kepada
Islam, maka dia akan mengambil seluruh ajaran dan ketentuan yang telah
ditetapkan Islam. Mengambil sebagian ketentuan karena sesuai hawa nafsu dan
meninggalkan sebagian karena tidak sesuai hawa nafsu adalah perangai buruk dari
bangsa Israel dan merupakan sebab kebinasaan. Allah ﷻ berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ
الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا
خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ
الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ[1
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al
Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi
orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia,
dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”
Imam Ahmad (w 241 H) dalam musnadnya
membawakan sebuah hadits:
مهلا يا قوم، بهذا أهلكت
الأمم من قبلكم، باختلافهم على أنبيائهم، وضربهم الكتب بعضها ببعض، إن القرآن لم ينزل
يكذب بعضه بعضا، بل يصدق بعضه بعضا، فما عرفتم منه فاعملوا به، وما جهلتم منه فردوه
إلى عالمه [[2
“Tenanglah wahai kaum, inilah yang telah
membinasakan umat-umat sebelum kalian, mereka menentang Nabi yang diutus kepada
mereka dan mempertentangkan sebagian Taurot dengan sebagian lainnya.
Sesungguhnya al-Qur’an tidaklah diturunkan untuk mendustakan sebagian ayat
dengan ayat lainnya, justru membenarkan satu sama lain. Apa yang telah kamu
mengerti dari al-Qur’an maka amalkanlah, adapun yang kamu tidak mengeri,
tanyakanlah pada orang alim yang mengetahui maksudnya”
Penulis sengaja menulis prinsip ini, agar
menjadi pengantar untuk pembahasan berikutnya, karena memang yang akan dibahas
adalah suatu hadits yang harus dipahami dan diambil maknanya secara
keseluruhan.
Hadits Jibril as
Suatu hari Rosulullah ﷺ duduk bermajelis bersama sahabatnya,
tiba-tiba datang seorang yang nampak asing menghampiri majelis beliau,
rambutnya sangat hitam, bajunya sangat putih, bersih dan rapih, tidak seperti
seorang musafir yang telah melakukan perjalanan panjang.
Kemudian orang ini mendekati Rosulullah ﷺ, semakin dekat, sampai-sampai dia menempelkan
kedua lututnya kepada lutut Nabi, kemudian meletakkan dua telapak tangannya ke
atas dua paha Nabi, kemudian terjadilah tanya Jawab antara mereka berdua:
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ
عَنِ الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله ِﷺ : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ
اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،
وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ
: صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ
الإِيْمَانِ، قَالَ : أَنْ تؤمِنُ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ،
وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ.
قَالَ : فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ [3]
“Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku
tentang Islam.” Nabi ﷺ menjawab :”Islam adalah
kamu bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya
Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah; menegakkan shalat;
menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan kamu menunaikan haji ke
Baitullah, jika kamu mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Kamu benar,” maka
kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya
lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab: “Iman adalah, kamu
berIman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir,
dan berIman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau
benar.”Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan”. Nabi ﷺ menjawab:” Hendaklah kamu beribadah kepada
Allah seakan-akan kamu melihatNya, kalaupun engkau tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Hadits tersebut adalah hadits yang
dikenal dengan sebutan hadits Jibril, hadits yang memiliki kedudukan tinggi
dalam Islam, berkata Imam al-Qurthuby (w 671 H):
هذا الحديث يصلح أن يقال
له أم السنة لما تضمنه من جمل علم السنة[4]
“Hadits ini layak disebut sebagai ummu
sunnah,induknya sunah, itu dikarenakan kandunganya yang menghimpun ilmu sunah
secara global”
Imam Nawawi (w 676 H) mengomntari hadits
ini:
واعلم أن هذا الحديث يجمع
أنواعا من العلوم والمعارف والآداب واللطائف بل هو أصل الإسلام[5]
“Dan ketahuiah, bahwa sesunggunya hadits
ini menghimpun berbagai macam jenis ilmu, ma’rifah (pengetahun), adab dan
hal-hal tersirat, bahkan hadits ini merupakan pokok ajaran Islam”
Ibnu Daqiq (w 702 H) berkata:
هذا حديث عظيم قد اشتمل
على جميع وظائف الأعمال الظاهرة والباطنة، وعلوم الشريعة كلها راجعة إليه ومتشعبة منه
لما تضمنه من جمعه علم السنة فهو كالأم للسنة كما سميت الفاتحة: أم القرآن لما تضمنته
من جمعها معاني القرآن[6]
“Hadits ini hadits yang agung, mencangkup
seluruh fungsi dan kedudukan amal dhohir dan amal batin, semua ilmu tentang
syariat Islam merujuk kepada hadits ini dan tercabang daripadanya, itu semua
karena hadits ini mengandung ilmu sunah secara keseluruhan, dia seperti
induknya sunah sama halnya seperti
al-Fatihah yang dinamai induk al-Qur’an, karena kandungannya yang berisi
makna-makna al-Qur’an secara keseluruhan”
Cukuplah persaksian dan penjelasan
ulama-ulama besar yang mengatakan keagungan hadits Jibril ini dan bahwasannya
hadits ini memuat ajaran Islam secara menyeluruh atau paling tidak hadits ini
sebagai dasar dari semua ajaran Islam yang bercabang-cabang.
Dasar Fiqih dan Tasawuf
Di akhir hadits Jibril, Nabi menjelaskan
kepada Umar dan sahabat lainnya bahwa yang datang ke majelis beliau adalah
malaikat Jibril, dia datang untuk mengajarkan agama Islam kepada para Sahabat;
فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ
أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ
“Dia adalah Jibril, datang kepada kalian
untuk mengajarkan kepada kalian agama kalian”
Bayangkanlah suatu majelis yang mana
pengajarnya adalah Rosulullah dan malaikat Jibril dan pendengarnya adalah para
sahabat, sungguh indah dan luar biasa.
Mengapa Rosulullah mengatakan bahwa kedatangan malaikat Jibril adalah untuk
mengajarkan agama Islam? Itu karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada
Rosulullah menghimpun dasar-dasar dan jenis-jenis ilmu yang ada dalam Islam,
Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan:
هو حديث عظيم جدا، يشتمل
على شرح الدين كله، ولهذا قال النبي صلى الله عليه وسلم في آخره: "هذا جبريل أتاكم
يعلمكم دينكم" بعد أن شرح درجة الإسلام، ودرجة الإيمان، ودرجة الإحسان، فجعل ذلك
كله دينا[7]
“ini adalah hadits yang sangat agung,
mencangkup semua penjelasan agama, oleh sebab itu Rosulullah bersabda pada
akhir hadits tersebut: “Dia adalah Jibril, datang kepada kalian untuk
mengajarkan kepada kalian agama kalian” setelah menjelasakan kedudukan Islam,
kedudukan Iman dan kedudukan Ihsan, yang mana itu semua dijadikan sebagai
agama”
Ibnu Rajab kemudian melanjutkan
penjelasannya, bahwa yang dimaksud Islam dalam pertanyaan malaikat Jibril
adalah setiap amal anggota tubuh yang dohir (tampak) baik itu berupa perbuatan
atau ucapan. Intinya semua kewajiban berupa amalan dohir yang dibebankan kepada
manusia adalah apa yang dimaksud Islam dalam hadits Jibril. Di antara dalil
yang menguatkan penjelasan Ibnu Rajab ini adalah sabda Nabi :
المسلم من سلم المسلمون
من لسانه ويده[8
“Seorang muslim adalah ketika kaum muslim
selamat dari gangguan lisan dan tangannya”
Lihatlah, ketika sesorang mampu menjaga
lisan dan tangannya dari menyakiti orang lain maka dia disebut muslim,
keIslaman seseorang dikaitkan dengan amal perbuatannya.
Agar semua amal perbuatan kita diterima
Allah dan menjadi sebab masuk ke dalam jannah, maka dua syarat yang harus
dipenuhi, pertama harus diniatkah lillahi ta’ala dan yang kedua harus sesuai
dengan aturan dan ketentuan yang sudah digariskan syari’at.
Untuk megetahui aturan dan hukum yang
berkaitan dengan amal perbuatan munusia yang bersifat dhohir tentu sangat
sulit, namun alhamdulillah, ulama terdahulu yang cerdas, yang bertaqwa dan yang
ikhlas telah berjuang mencurahkan seluruh waktu, harta dan kemampuannya untuk
menyusun sebuah ilmu yang dapat memberi kemudahan bagi kita, orang awam, untuk
bisa mempelajari mana yang halal mana yang haram, mana yang boleh dikerjakan
mana yang tidak boleh dan sebagainya.
Ilmu tersebut adalah ilmu Fiqih. Sebenarnya
fiqih sebagai suatu makna tertentu sudah ada sejak dahulu, namun fiqih sebagai
suatu disiplin ilmu adalah hal baru hasil kerja keras para ulama. Itu terbukti
dari berbedanya definisi fiqih sebagai sebuah kata dalam bahasa Arab dengan
definisi fiqih dalam arti sebuah ilmu.
Definisi fiqih secara bahasa adalah
paham, sebagaImana do’a Nabi Muhammad kepada Ibnu ‘abbas :
اللّهم علّمه الدين و
فقّهه في التأويل[9
“Ya Allah ajarkanlah dia agama dan
pahamkan dia takwil-takwilnya”
Sedangkan definisi fiqih secara istilah
adalah:
العلم بالأحكام الشرعية
العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية[10
“Ilmu yang membahas tentang hukum syariat
atas perbuatan-perbuatan dhohir, yang digali dari dalil-dalil secara
terperinci”
Itulah di antara khidmah para ulama dalam
mengaplikasikan makna Islam dalam hadits Jibril dalam kehidupan nyata di Dunia
ini. Maka sudah selayaknya bagi kita untuk berterima kasih dan menghormati
jasa-jasa mereka -rohimahumullah-. Sedangkan di antara upaya kita agar mampu membumikan
makna Islam dalam diri kita dengan benar adalah dengan belajar ilmu fiqih.
Kemudian Iman ditafsirkan dengan segala
sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan hati atau amal batin berupa I’tiqod dan
keyakinan kita tentang rukun Iman yang enam. Agar keyakinan kita benar, para
ulama telah bersusah payah memilah, memilih dan merumuskan semua petunjuk yang
mengarahkan kita kepada Iman yang benar, lahirlah apa yang disebut ilmu tauhid
atau ilmu akidah.
Begitu juga Ihsan, para ulama di
antaranya Ibnu Rajab menjelaskan tentang maksud dari Ihsan ini, beliau berkata:
الإحسان هو أن يعبد المؤمن
ربه في الدنيا على وجه الحضور والمراقبة، كأنه يراه بقلبه وينظر إليه في حال عبادته
“Ihsan adalah ketika seorang mu’min
beribadah kepada Tuhannya di Dunia ini dengan merasakan kehadiran dan
pengawasanNya, seolah-olah dia melihat Allah dengan hatinya pada saat dia
beribadah”
Imam an-Nawawi (w 676 H) mengatakan:
فمقصود الكلام الحث على
الإخلاص في العبادة ومراقبة العبد ربه تبارك وتعالى في إتمام الخشوع والخضوع
“Yang dimaksud dengan ucapan Nabi tentang
Ihsan adalah anjuran agar senantiasa ikhlas dalam beribadah serta merasakan
pengawasan Allah ﷻ untuk menyempurnakan
kekhusyu’an dan ketundukan sepenuhnya kepada Allah”
Apabila seseorang telah mampu mencapai
keadaan seperti ini, maka bukan tidak mungkin Allah menyingkap sebagiam rahasia
atau hakikat yang orang lain tidak tahu.
Seperti yang disebutkan dalam hadits mursal berikut ini:
أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال له: كيف أصبحت يا حارثة؟ قال: أصبحت مؤمنا حقا، قال: انظر ما تقول، فإن لكل
قول حقيقة، قال: يا رسول الله، عزفت نفسي عن الدنيا فأسهرت ليلي وأظمأت نهاري، وكأني
أنظر إلى عرش ربي بارزا، وكأني أنظر أهل الجنة في الجنة كيف يتزاورون فيها، وكأني أنظر
إلى أهل النار كيف يتعاوون فيها. قال: أبصرت فالزم، عبد نور الله الإيمان في قلبه[11]
“sesungguhnya Nabi ﷺ bertanya kepada haritsah: “bagaImana kabarmu
pagi ini haritsah?” dia menjawab: “pagi ini aku dalam kondisi mu’min hakiki”
Nabi bertanya: “apa maksud ucapanmu, karena setiap ucapan ada hakikatnya” dia
menjawab: “aku mencampakkan diriku dari dunia, aku beribadah sepanjang malam
dan aku berpuasa sepanjang hari, maka aku seolah dapt melihat Arsy Tuhanku
dengan jelas, dan aku seolah melihat ahli surga dalam surga bagaImana mereka
saling berkunjung, dan seolah aku melihat ahli neraka dalam neraka bagaImana
mereka saling menolong (untuk keluar dari neraka)” Nabi bersabda: “kamu telah
melihatnya, maka tetaplah seperti itu, seorang hamba yang telah Allah beri
cahaya Iman dalam hatinya”
Tersingkap atau tidaknya sebagian hakikat
dan rahasia-rahasia Allah itu tidak bisa dideteksi dan dipastikan dengan akal
dan panca indra, karena memang itu adalah pengalaman spiritual. Namun
orang-orang sholeh nan alim yang telah mencapai derajat Ihsan tersebut
menceritakan pengalaman-pengalamannya dan menjelaskan bagaimana cara agar sampai
kepada derajat Ihsan tersebut.
Namun satu yang pasti, bahwa para ulama
yang sholeh yang telah mendapat cinta dari Allah alias menjadi waliyullah, akan
mampu merasakan muroqobah (pengawasan) dari Allah, sehingga semua gerak-gerik
tubuh dan hatinya selalu dijaga, adab dan akhlaknya akan menjadi baik dan
ibadahnya akan penuh dengan kekhusyuan.
Untuk mencapat derajat Ihsan ini tidaklah
mudah, selain harus paham syari’at, menjaga kejernihan hati dan akhlak juga
menjadi syarat yang harus dipenuhi, namun ternyata, para ulama terdahulu yang
telah mencapai keadaan Ihsan ini sudah berupaya mencari, memilih, merenungi dan
memahami apa saja yang bisa menghantarkan kita kepada derajat Ihsan, lalu
mereka memetakan jalan-jalan menuju Ihsan ini, mereka beri rambu-rambu
perjalanan, mereka beri peringatan akan apa saja yang menghalangi kita dalam
menuju derajat Ihsan, inilah yang disebut ilmu tasawuf.
Sebagaimana salah satu definisi yang
dikatakan oleh Ma’ruf al-Karkhi (w 200 H):
التصوف الأخذ بالحقائق
واليأس مما في أيدي الخلائق[12
“Tasawuf adalah mencari kebenaran hakiki
dan berpaling dari apa yang dimiliki makhluk”
Maksudnya adalah hidup dan mati
dipesembahkan untuk Allah semata,serta tidak memperdulikan apapun yang ada pada
diri manusia, berupa harta, jabatan atau lainnya. Masih banyak lagi definisi tentang
tasawuf ini, tidak ada yang baku untuk dijadikan patokan, karena memang
definisi itu sendiri lahir dari
pengalaman spiritual pribadi setiap ulama yang telah mencapai derajat Ihsan,
namun pada intinya, semua definisi itu menggambarkan bagaimana keadaan
seseorang agar bisa mencapai derajat Ihsan.
Hubungan Fiqih dengan Tasawuf
Telah kita bahas semua bahwa fiqih dan
tasawuf memiliki dasar yang sama yaitu bertolak dari hadits Jibril, kemudian
fungsi dari fiqih dan tasawuf juga sama, yaitu untuk berkhidmah mewujudkan
kesempurnaan beragama bagi seorang muslim, fiqih untuk maqom Islam dan tasawuf
untuk maqom Ihsan.
Namun ada dua hal yang penting untuk
dibahas mengenai hubungan antara fiqih dan tasawuf ini, yaitu:
Islam, Iman dan Ihsan bertingkat-tingkat
Hadits ini meski dalam beberapa riwayat
memiliki redaksi berbeda, tetapi urutan Islam Iman dan Ihsan adalah yang paling
terpilih, kerena adanya at-taroqiy (kenaikan tingkat). Ibnu Hajar (w 852 H)
berkata:
ورجح هذا الطيبي لما فيه
من الترقي[13]
“Dan imam at-Thibi (w 743 H) merojihkan
urutan ini karena di dalamnya terdapat kenaikan tingkat”
Kenapa bisa terjadi kenaikan tingkat,
pertama karena setiap mukmin pasti seorang muslim, namun tidak setiap muslim
adalah seorang mukmin[14]. Di antara dalilnya adalah:
Allah ﷻ berfirman :
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِن
قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِن تُطِيعُوا
اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُم مِّنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ [15
“Orang-orang Arab Badui itu berkata:
"Kami telah berIman". Katakanlah: "Kamu belum berIman, tapi
katakanlah 'kami telah berIslam (tunduk)', karena Iman itu belum masuk ke dalam
hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”
sabda nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan Sa’ad bin Abi waqosh:
أن رسول الله ﷺ أعطى رهطا وسعد جالس فترك رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا هو أعجبهم
إلي فقلت يا رسول الله ما لك عن فلان فوالله إني لأراه مؤمنا فقال : أو مسلما[16
“Rosulullah ﷺ memberi sesuatu ke beberapa orang (ketika itu
Sa’ad bin Abi waqosh sedang duduk), namun Rosulullah tidak memberi kepada
seorang diantara mereka, padahal dialah yang paling aku kagumi, maka aku
bertanya :”wahai Rosulullah, kenapa engkau tidak memberi dia ? demi Allah aku
melihat dia sebagai seorang mukmin, kemudian Nabi ﷺ menjawab :”atau seorang muslim”
Hadits ini mengisyaratkan bahwa seseorang
yang tidak diberi oleh Rosulullah ﷺ itu belum mencapai
derajat mukmin sejati, akan tetapi hanya baru sampai pada derajat seorang
muslim.
Juga sabda Nabi Muhammad ﷺ :
ألا وإن في الجسد مضغة
إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب . متفق عليه[17
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh
terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah
seluruh (perbuatan) tubuh. Dan apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak
pulalah seluruh (perbuatan) tubuh. ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati”
Maksudnya adalah apabila hati seorang
manusia telah diliputi Iman, secara otomatis akan memerintahkan jasad untuk
mengimplementasikan keImanannya dalam kehidupan nyata, maka bergeraklah jasad
mengamalkan syari’at Islam dengan totalitas.
Namun ada juga orang yang dia memang
melakukan amalan-amalan Islam, seperti sholat atau puasa, namun dia
melakukannya asal-asalan, bolong-bolong atau malas-malasan, orang seperti tidak
bisa dikatakan sebagai mukmin sejati, namun dikatakan dia adalah seorang
muslim, karena dia mengamalkan syari’at Islam dan dihatinya masih ada Iman
meskipun lemah.
Adapun Ihsan, maka dia adalah derajat
paling tinggi seorang hamba dalam agama Islam, ini dikarenakan seorang yang
telah mencapai tingkat keImanan tinggi, akan tampak baginya hal-hal yang ghoib
seperti nyata, tak ada lagi dalam hatinya bimbang dan keraguan, oleh sebab
itulah nabi Muhammad ﷺ menyatakan bahwa Ihsan adalah “kamu beribadah
kepada Allah seperti kamu melihatNya”, dan derajat Ihsan ini hanya dicapai oleh
sedikit dari orang-orang mukmin.
Dengan Ihsan inilah seluruh amalan lahir
dan amalan batin menjadi sempurna, sebagai konsekuensi dari keyakinan dan
kesadaran selalu diawasi oleh Allah ﷻ , akan terjaga seluruh
anggota tubuh dari melakukan hal-hal yang buruk, akan terus hadir dalam hatinya
kekhusyuan, ikhlas dan rasa takut kepada Allah, akan baik akhlak dan adabnya
kepada sesama manusia dan makhluk lainnya, karena dia tahu bahwa itu semua
merupakan bentuk ibadah kepada Allah, dan Allah selalu mengawasinya.
Islam, Iman dan Ihsan tidak bisa
terpisah, semuanya satu kesatuan yang disebut agama
Meskipun disebut bertingkat-tingkat namun
bukan berarti maknanya adalah mengerjakan satu dulu kemudian berpindah ke level
berikutnya. Yang dimaksud tingkatan disini adalah tingkatan keimanan, yang
tadinya lemah, mengerjakan ibadah tidak optimal, masih suka bermaksiat, sampai
pada tingkat keimanan tinggi, yang mana mampu merasakan muroqobatullah.
Sebagai contoh, saat orang imannya masih
lemah, dia mengerjakan sholat, namun sholatnya tidak khusyu, tidak menjaga
adab-adab dan sebagainya. Beda dengan orang yang sudah mencapai derajat ihsan,
ketika dia sholat, hatinya khusyu, adab-adab dan sunah-sunahnya dijaga, serta
sholatnya akan membentengi dia dari maksiat.
Hal inilah yang sangat sulit dilakukan
oleh kebanyakan kita, karena dalam prakteknya, meskipun kita mengerjakan suatu
ibadah lengkap dengan semua rukun dan sunahnya, tetapi belum tentu mampu menghadirkan
hati sepenuhnya untuk tunduk dan merendahkan diri di hadapan Allah, mungkin
saja raga kita melaksakan sholat tetapi hati kita sibuk bersama dunia.
Begitu juga dalam bermuamalah dengan
manusia dan alam, mungkin kita berakhlak baik hanya ketika ada kepentingan,
mungkin kita berakhlak baik hanya kepada golongan kita saja dan seterusnya.
Padahal berakhlak baik adalah jenis ibadah juga, Rosulullah ﷺ bersabda :
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ
مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ
الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ[18
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat
dalam timbangan seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan
sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang suka berbicara keji lagi kotor”
Inilah salah satu pentingnya belajar
tasawuf di samping belajar fiqih,
من تصوف ولم يتفقه فقد
تزندق ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسّق ومن جمع بينهما فقد تحقق[19
“Barangsiapa bertasawuf tanpa fiqih maka
akan menjadi zindiq, barangsiapa berfiqih tanpa tasawuf maka akanmenjadi fasiq,
dan barangsiapa mengamalkan keduanya maka akan mencapai hakikat”
Meski penisbatan ucapan ini kepada imam
Malik (w 179 H) masih diperbincangkan, namun maknanya memang benar adanya,
ketika orang bertasawuf namun tidak mempunyai pengetahuan tentang fiqih akan
menjadi zindiq, dia seenaknya meninggalkan sholat karena merasa sudah dekat
dengan Allah, begitu juga orang yang tau fiqih namun tidak bertasawuf, dia akan
bermudah-mudahan dalam menjalankan syari’at, sholat asal-asalan yang penting
sah,ah ini kan halal dalam madzhab Maliki, ah ini kan boleh dalam madzhab
Hanafi dan sebagianya.
Intinya Islam, Iman dan Ihsan adala satu
kesatuan yang dinamakan agama Islam, semuanya berjalan bersama beriringan,
barangsipa memisahkannya maka telah berkurang sebagian dari agama.
Wallahu a’lam
[1] QS al-Baqoroh ayat 85
[2] HR. Ahmad
[3] HR. Muslim
[4] Fath al-Bari li Ibn Hajr (125/1)
[5] Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim
(160/1)
[6] Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah li Ibni
Daqiq al-‘Id hal. 29
[7] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 97
[8] Muttafaq alaihi
[9] Muttafaq ‘alaih
[10] Definisi menurut Tajudin as-Subki,
kitab jam’u al-jawami’ (1/42)
[11] Jami’ al-Ulum wa al-Hikam li Ibni
Rajab, hal. 127. Hadits mursal namun memiliki 49 syawahid.
[12] Awafif al-Ma’arif, hal. 62
[13] Fath al-Bari (117/1)
[14] Fathul bari (1/117), Syarah
al-Arba’in an-Nawawiyah hal.19, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam (1/86-87)
[15] QS : al-Hujarot ayat 14
[16] HR. Bukhori
[17] Muttafaq alaihi
[18] HR. At-Tirmidzi
[19] Hasiyah al-Adawi ala’ syarh al-Imam
az-Zarqoni ala’ matn al-Aziyah fi al-Fiqh al-Maliki (195/3)
Komentar
Posting Komentar